Rabu, 30 November 2011

Finally, Tahun Kelima di Kampus Merah

Pagi ini, ingatan saya langsung tertuju pada benda itu. Saya hanya ingin memastikan, kapan tepatnya saya menginjakkan kaki pertamakali sebagai seorang mahasiswa di kampus merah. Tapi ternyata, benda itu –diary bersampul biru yang sudah penuh, tidak memberikan info tersebut. Disana hanya ada cerita tentang kali pertama saya mendapatkan kartu mahasiswa, lalu langsung meloncat ke cerita saat saya begitu stress di awal-awal perkuliahan di Agustus 2007. Tapi tak mengapa.

Yah, tahun kelima. Mungkin, tepatnya empat tahun lebih sekitar empat bulan. Maka cerita di tahun kelima ini tentunya ‘hanya’ menyisakan semester terakhir yang penuh dengan harapan. Harapan untuk mengakhiri masa kuliah S1 dengan baik dan sesuai dengan target pencapaian. Rangkaian penyelesaiannya mungkin tidak akan pernah lepas dari semester-semester sebelumnya, juga pada empat moment penting bagi mahasiswa tingkat akhir; seminar proposal, KKN, seminar hasil, dan ujian sidang. Dan bagi saya, keempat peristiwa itu, ternyata terlalui dengan caranya masing-masing.

Di seminar proposal, terus terang, saya merasa lumayan dibantai pada forum dua jam lebih itu. Kejadian itu akhirnya membuat saya semalaman merutuki diri yang di hari sebelumnya memutuskan untuk tidak mempelajari materi yang justru dipertanyakan saat seminar. Untuk moment KKN, sepertinya sudah cukup gamblang saya ceritakan dalam sebuah tulisan lengkap, ditambah beberapa tulisan-tulisan lainnya yang ditulis ditengah-tengah kegiatan KKN itu, Nah, untuk seminar dua, kisahnya diwarnai dengan semacam delay. Penundaan sebab kondisi kampus yang ditutup oleh huru-hara. Penundaan yang membuat saya mengalami semacam antiklimaks untuk persiapan seminar, tapi ternyata, dalam moment ini saya mendapatkan kemudahan (baca: tidak dibantai-bantai amat :p).

Finally, moment terakhir saya lewati kemarin (30/11). Akhir November yang hujan itu menjadi berbeda dengan hujan-hujan sebelumnya. Whiteboard kamar saya masih menyisakan tulisan ‘Road 2 The Wonderfull December’ yang memuat kalender bulan September, Oktober, dan November yang tanggalnya saya lingkar-lingkari dengan berbagai macam target; untuk kuliah dan untuk hal-hal lainnya. Setelah sebelumnya sempat give up karena peristiwa delay pada seminar hasil –yang menyebabkan saya nampaknya tidak dapat mengejar deadline untuk bisa wisuda bulan 12, ternyata masih ada jalan menuju ke sana. Ternyata masih ada injury-time buat saya untuk berlari-lari, bukan untuk mengejar bola, kau tahu, tapi untuk mengumpulkan berkas-berkas yang sebelumnya telah saya tatap dengan miris karena saya pikir tidak akan bisa masuk tepat waktu.

Bahkan diantara injury-time itu, saya masih belum dapat meyakinkan diri bahwa semuanya akan selesai dengan tepat waktu. Berbagai macam hal yang saya lalui selama perkuliahan telah mengajarkan saya untuk selalu menyiapkan diri pada kondisi terburuk, pada harapan yang tidak kesampaian. Dan untuk yang ini, saya tahu, mungkin menyakitkan jika terlalu tinggi bermimpi. Tapi ternyata semuanya dapat terkejar! Yah, terkejar dalam arti konotasi dan denotasi, sebab sejatinya saya memang banyak berlari-lari dalam prosesnya, baik dengan dua belah kaki ini, pun bersama rekan seperjuangan saya saat di atas roda-dua-nya, bahkan meski harus menerobos hujan di malam yang dingin.

Maka atas ini semua, saya tahu, kami –mahasiswa yang seolah begitu bernafsu agar bisa wisuda pada Desember, bukan hanya sekadar menganggap ini sebagai semacam selebrasi saja. Ini pencapaian. Ini target yang mungkin telah lama digadang-gadang, pun mungkin telah mengalami sekian kali penundaan atau pemakluman karena target sebelumnya yang tinggal kenangan. Namun, atas teman-teman yang belum mendapatkannya, betapa saya sadar, hal itu bukan karena mereka tidak benar-benar ingin atau tidak benar-benar berusaha. Tapi, tiap orang memiliki masalahnya masing-masing, dan mereka semua berusaha menghadapinya dengan cara terbaik. Beberapa kawan saya saksikan telah menghadapi banyak hal berat dan masih dapat tersenyum. Yang lainnya, saya tahu, telah memilih untuk mengerjakan hal lain yang mungkin mereka anggap lebih penting untuk saat ini. Teman-teman yang telah melewatinya terlebih dahulu pun, baik yang telah duluan ber-jas-krem-mahasiswa-Apoteker, maupun yang duluan menyelesaikan sidangnya, tetap berusaha memberikan support dan sama sekali tidak berubah. Maka semua itu, tetap tidak dapat merubah kesyukuran saya, betapa saya bahagia memiliki teman-teman seangkatan seperti mereka. Mixtura’07, i love you all, guys! :’)

Maka bagian favorit saya dalam skripsi setebal lima puluh tiga halaman itu, tetap saja berada lembaran ucapan terima kasih :p. Di dua paragraf akhir saya menulis;

Penulis sangat menyadari bahwa lembaran-lembaran ini tidak akan pernah cukup untuk mewakili setiap ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sumbangsihnya, baik dengan sepengetahuan penulis, maupun yang telah membantu secara tidak langsung. Maka biarlah Allah Subhana Wata’ala, Sebaik-baik Pemberi Balasan, yang membalas semua itu dengan pahala yang tidak terhingga.

Ya, ucapan terima kasih tidak akan pernah cukup. Maka atas semua itu, secara khusus ucapan ini saya haturkan dalam doa yang semoga diijabah oleh Allah; Jazakumullah khairan katsiran; terkhusus kepada Ibu saya yang telah menenangkan saya saat meminta didoakan olehnya; “Mama sudah doakan kamu sebelum kamu minta, Nak...”. Juga kepada dua orang rekan seperjuangan yang telah teramat baiknya kepada saya; Tina dan Ainun. Di awal semester ini, kita pernah berbincang bertiga, dan tidak muluk-muluk untuk dapat wisuda tahun ini, lalu hanya menjadikan ‘bisa-daftar-apoteker’ sebagai target. Tapi kalian tahu, saya justru begitu optimis, sebenarnya bukan untuk diri saya sendiri, tapi justru untuk kalian, bahwa kalian dapat mendapatkan yang lebih dari itu.

Saya menyaksikan keduanya, selama ini, bukan hanya berkampus ria untuk diri mereka sendiri, tapi juga bersibuk-sibuk mengerjakan hal-hal lainnya yang secara kasat mata terlihat untuk kepentingan orang lain. Untuk itulah saya selalu salut, dan selalu yakin dengan janji Allah yang pasti kalian pun yakini... “maka Allah akan menolongmu, dan meneguhkan kedudukanmu...”. Ya, dan itu telah terbukti, bukan? Dan kalian pantas menerimanya. Sementara saya, mungkin hanya sekadar dapat melewati ini semua, karena doa-doa kalian yang diijabah.

Semoga ilmu kita bermanfaat. Semoga ilmu kita bermanfaat. Untuk kebaikan ummat. Aamiin...

Kamar saya, December 1 '11

Minggu, 27 November 2011

Bisakah Kau Berhenti Bertanya “Kenapa?”



Pada masa yang lampau, pernah salah seorang ukhti tiba-tiba menjauh dari kami. Saat itu, kami menduga-duga bahwa beliau sedang ada masalah di rumah atau dengan anggota keluarganya. Hal ini membuatnya lebih sering diam dan tidak bergabung seperti biasanya. Maka, kami pun mulai bertanya-tanya; ada apa gerangan? Satu per satu kami berusaha untuk mendekatinya. Mencoba membuat pergerakan sehalus mungkin, mengingat ia sepertinya akan menjadi sensitif jika kami melakukan sesuatu yang frontal terhadapnya. Maka layaknya cara memperlakukan seseorang yang mungkin membutuhkan bantuan, kami mulai sedikit demi sedikit berusaha mendekatinya secara personal. Nah, pada saat giliran saya belum tiba, saya mencoba bertanya pada seorang ukhti yang sudah lebih dahulu mencoba ‘mengorek’ inti permasalahannya, dan saat itulah, ukhti tersebut memberitahukan kepada saya informasi yang ia dapatkan.

“ Saya sudah berusaha mendekatinya, lalu bertanya padanya, ukh...Tapi beliau justru mengatakan kepada saya; Bisakah kau berhenti bertanya ‘kenapa?’” ucap ukhti tersebut dengan nada suara yang sulit untuk dijelaskan. Saya tertegun.

Bisakah Kau berhenti bertanya ‘kenapa?’.

Ya, kalimat itu selalu terngiang di telinga saya meski sudah bertahun lamanya ia berlalu. Dari sana saya belajar bahwa terkadang, tidak semua hal membutuhkan penjelasan atau pun membutuhkan alasan. Bahkan, sekalipun ia memiliki alasan, maka tidak semuanya pantas untuk kita ketahuai atau kita campuri. Saya kadang berspekulasi, bahwa (mungkin) semua orang di dunia ini memiliki suatu rahasia yang hanya ia dan Tuhan yang tahu. Suatu rahasia yang akan ia bawa hingga ke liang lahat, hingga ke pejaman matanya yang paling akhir. Dan untuk itu, tidak seorang pun berhak untuk memaksa orang lain agar menceritakan hal tersebut.

Dari sana saya juga belajar, tentang betapa pentingnya memahami seseorang. Memahami yang setingkat lebih tinggi dari sekadar mengenal. Menjengkelkan rasanya jika ada seseorang yang merasa ‘telah mengenal’ orang lain –bahkan yang sangat dekat dengannya sekalipun, hingga kemudian merasa dapat benar-benar mengerti perasaannya, hingga kemudian merasa berhak untuk ikut menentukan pilihan hidupnya, apalagi yang sampai merasa berhak memberikan judge terhadap ini dan itu.

Perkataan seperti; Kalau orang lain bisa, kenapa kamu tidak bisa? Mungkin kerap kali menjadi motivasi dosis tinggi yang membuat kita terus berusaha untuk berhasil melakukan banyak hal. Namun, perkataan tersebut (setidaknya menurut saya) justru menjadi menafikan persetujuan kita bahwa tiap manusia itu memiliki keunikan masing-masing, konsekuensinya adalah: tiap orang punya kebisaannya sendiri-sendiri yang tentunya akan sangat tidak adil jika harus dibandingkan dengan kebisaan orang lain.

Atas sesuatu yang tidak dapat saya lakukan, seseorang pernah melontarkan hal demikian pada saya; Kalau dia bisa, lalu kenapa kamu tidak bisa? Saya hanya tersenyum kecut dan dalam hati berujar; Mungkin, karena ada juga sesuatu yang saya bisa dan orang itu tidak bisa...

Yah, hingga saat ini saya masih percaya bahwa tiap orang itu berbeda. Berbeda dalam hal melakukan sesuatu, pun dengan cara tepat untuk memperlakukannya. Kesalahan fatal dalam memahami hal ini bisa membuat segalanya menjadi runyam. Misalnya, salah dalam memperlakukan seseorang yang sedang ngambek; dimana ada orang yang senangnya untuk dibujuk, ada pula yang lebih nyaman jika ditinggal sendiri. Atau saat seorang sahabat memiliki masalah; ada yang memilih untuk menceritakannya dalam curhatan panjang, namun ada pula yang menganggap diam dan menyelesaikannya sendiri adalah pilihan yang terbaik. Yah, meski mungkin sulit, semoga kita setidaknya dapat memilih cara yang paling tepat, dan sebab manusia bukanlah kaca bening yang transparan untuk diketahui isi hatinya, maka ada baiknya bila kita dapat berbicara, menjelaskan setidaknya pada orang terdekat, cara seperti apa yang paling kita inginkan untuk diperlakukan. Ini tentunya juga harus diikuti dengan kesediaan memperlakukan seseorang juga dengan cara yang ia minta.

Maka semoga dengan itu semua, kita dapat membersamai dengan cara-cara yang lebih menghangatkan, dan bukan justru membekukan.

Kamar Saya, 27 November 2011

Ini khan harusnya saya belajar? Endofit.. mana endofit??? #lalu printer menderit

gambar:http://browse.deviantart.com/?q=colorfull%20flower&order=9&offset=72#/d28td9n


Kamis, 24 November 2011

Bu, Memangnya Berapa Harga Kaca Spion Anda?


Setelah beberapa hari ini berkutat dengan hal-hal yang menuntut untuk segera di selesaikan, saya pikir haruslah ada satu tulisan diantaranya. Yah, sekadar untuk melatih diri agar tidak terbuai dengan kevakuman menulis dan juga untuk membagi sebuah pengalaman, meski sebenarnya tidak begitu menyenangkan untuk diceritakan...

Hari itu seharusnya menjadi sempurna, kecuali karena terjadilah peristiwa itu. Ya, hal ini kemudian menginsyafkan saya bahwa; sebagaimana kita memahami bahwa sesudah kesulitan akan datang kemudahan, maka seperti itu pula kita harus mengerti bahwa setelah kemudahan, mungkin saja akan muncul kesulitan. Hidup memang keras, begitu kata beberapa orang kawan.

Setelah menempuh seminar hasil yang dinanti-nantikan dengan harap-harap cemas, akhirnya moment itu datang juga. Alhamdulillah, banyak kemudahan yang saya peroleh setelah beberapa halang rintangan yang harus dilalui. Maka, saya pun berada dalam kondisi mood yang teramat sangat baik dan seolah menjadi begitu siap dengan apapun yang terjadi setelahnya. Singkat cerita, saya kemudian berada di ruko salah seorang kawan dimana saya menitipkan tas dan beberapa barang lainnya. Sore itu hujan mengguyur dengan cukup deras setelah siang yang panas dan gerah berlalu.

Karena sebuah keperluan, saya dan kawan saya itu kemudian keluar dari ruko dengan bermodalkan sebuah payung pinjaman. Kami berjalan meniti di pinggir-pinggir jalanan sambil menghindari genangan-genangan air yang mulai muncul dimana-mana. Saat itulah kejadian itu terjadi. Saya terhentak saat tiba-tiba tubuh kawan saya itu tidak seimbang dan menimpa saya. Saya pun ikut jatuh, atau lebih tepatnya menjatuhi sebuah pot bunga besar di depan rumah seseorang. Sakitnya belum begitu terasa saat itu. Semuanya berlangsung begitu cepat saat saya kemudian sadar bahwa kawan saya itu bukan hanya sekadar kehilangan keseimbangan atau terpeleset sesuatu yang licin. Ternyata, kami baru saja diserempet oleh sebuah mobil yang kini menghentikan lajunya beberapa meter di depan kami.

Kami pun berjalan menuju mobil itu sambil masih meringis menahan sakit yang mulai muncul, belum lagi pakaian kami yang basah sebab hujan yang deras itu. Pikiran positif saya mengira-ngira bahwa pemilik mobil itu berhenti untuk –mungkin, turun dari kendaraannya atau sekadar membuka jendela mobil dan mengucapkan maaf dengan raut wajah cemas. Apalagi, saat ternyata saya mendapati bahwa pengemudinya adalah seorang ibu yang membawa mobil itu seorang diri.

Tapi ternyata tidak.

Ya, jangankan meminta maaf, raut wajah cemas ataupun merasa bersalah sama sekali tidak ditunjukkan olehnya. Dia malah nampak sedikit cemberut sambil menatap kaca spion mobilnya yang patah, saking kerasnya menambrak punggung kawan saya tadi. Ia mengulurkan tangannya untuk memperbaiki letak kaca spion yang kini menjuntai-juntai itu, lalu ia kemudian menggumamkan kalimat yang sama sekali tidak saya mengerti;

“Aduh...bagaimana sih cara kalian jalan..”, ucapnya dengan raut wajah masih cemberut.

Saya terperangah. Ya, ibu itu malah mempertanyakan cara kami jalan! Kami yang sudah berusaha meniti di pinggir-pinggir jalanan karena menghindari hujan. Kami yang kemudian diseruduk dari belakang hingga terjungkal dan jatuh kebasahan. Kami yang ditabrak olehnya hingga kaca spionnya patah! Lalu, dengan entengnya, dan juga dengan raut wajahnya yang seolah tidak terima dan mencoba menempatkan diri sebagai korban, ia masih bertanya bagaimana cara kami jalan? Ingin rasanya saya melotot padanya dan menghamburkan pertanyaan balik kepada ibu itu, “MEMANGNYA BAGAIMANA CARA ANDA MENGENDARAI MOBIL HINGGA BISA MENYEREMPET PEJALAN KAKI YANG SUDAH MENEPI HINGGA KE PINGGIR?”

Kawan saya nampak cemas dan khawatir diminta untuk ganti rugi. Ia kemudian menggumam dengan takut-takut, “Bu..., kami ini mahasiswa..Tidak ada uang buat ganti kaca spion ibu...”. Tapi saya kemudian segera menyenggol tangannya dan berkata bahwa kami sama sekali tidak salah, bahwa kami justru adalah korban yang seharusnya menerima pertanggungjawaban dari ibu itu.

Ibu itu kemudian menatap lurus ke jalanan yang nampak lengang. Ia seolah sedang menimbang-nimbang untuk meminta kami bertanggung jawab, namun sepertinya ia pun ragu karena kami di matanya mungkin nampak tidak akan sanggup untuk itu. Saya pun tetap berdiri di samping mobil itu sambil menatap si ibu, berusaha menahan-nahan emosi yang mulai muncul, dan berpikir bahwa mungkin si ibu akan berubah pikiran dan setidaknya mengucap maaf atas apa yang baru saja ia lakukan.

Sekali lagi, ternyata tidak.

Setelah memperbaiki letak kaca spionnya, ia menaikkan jendela lalu pergi berlalu tanpa mengucapkan apa-apa. Mengerikan. Ya, begitu mengerikan sekaligus menyedihkan harus menjadi saksi dari ketdakpedulian tersebut. Hingga tulisan ini di buat, bekas tubrukan akibat jatuh menimpa pot itu masih terasa bahkan kini meninggalkan bekas lebam yang membiru. Saya tidak bisa membayangkan bekas macam apa yang dialami oleh kawan saya yang sampai membuat kaca spion yang kokoh itu patah. Tapi, ini bukan hanya tentang rasa sakit yang kami derita, bukan pula tentang rasa sakit hati kami karena si pelaku yang begitu berat untuk sekadar mengucap maaf. Tapi, ini tentang sebuah kenyataan bahwa betapa kepedulian kini menjadi begitu rendah posisinya jika disandingkan dengan hal-hal yang berbau material.

Saya tidak tahu, apakah ibu itu akan bersikap yang sama bila saja kaca spionnya tidak patah. Apakah dia akan ada kesadaran untuk meminta maaf? Atau justru akan terus melaju karena merasa tidak ada kepentingan apapun karena tidak rugi apapun? Tapi, semoga saja ini hanyalah masalah kasuistik yang tidak menimpa semua hal. Cukup ibu itu saja yang tidak memiliki kepedulian dan perasaan tidak bersalah setelah jelas-jelas melakukan hal yang merugikan orang lain. Cukup ibu itu saja yang lebih khawatir pada nasib kaca spionnya dibandingkan keselamatan dua orang manusia yang telah ia celakakan. Lalu semoga kita, tetap memiliki itu semua.

Saya membayangkan bahwa ibu itu juga mungkin memiliki anak-anak yang pasti akan sangat ia inginkan keamanan atasnya. Dan jika saja ia berada dalam posisi ibu saya, tentu ia tidak akan terima jika seseorang menjadi penyebab rasa aman itu terenggut dan menyisakan kedongkolan. Hmm..., semoga masih tersisa nurani pada diri kita untuk tidak selalu memandang dunia ini pada sisi materi saja. Bahwa masih begitu banyak hal lain yang mungkin memang bersifat abstrak, namun begitu penting untuk kita pertimbangkan. Lalu sebagaimana kita menginginkan orang lain untuk mempunyai kepedulian dan rasa tanggungjawab, semoga kita pun menjadi orang yang pertama mengusahakannya.

Semoga Allah mengganti kaca spion ibu itu dengan sesuatu yang lebih baik. Lalu lamat-lamat saya sering mendengar hati saya bertanya dalam diam; Bu, memangnya berapa harga kaca spion Anda?

gambar:http://klimg.com/kapanlagi.com/p/carmirr_wikimedia.jpg

Sabtu, 05 November 2011

Me-Time


Ya, manusia tidak dapat hidup sendiri. Tapi terkadang, kita memang butuh waktu untuk sendiri.

Rempong. Satu kata yang akhir-akhir ini sering saya gumamkan, minimal dalam hati. Yah, kerepotan dalam berbagai hal, di berbagai tempat, di hampir semua komponen kehidupan yang saya punya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang saya hadapi sekarang memang menuntut segala kerempongan itu. Hal-hal yang menyangkut banyak orang dan tidak dapat saya tentukan dengan pilihan sendiri dan semau-gue. Sehingga terkadang, begitu terasa, bahwa memang terkadang hidup ini bukan hanya tentang diri kita, tapi juga tentang 'dia', 'dia', 'dia', 'dan' banyak 'dia' lainnya. *sigh*

Benar, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian. Hal ini telah didoktrin kepada kita sejak bangku sekolah dasar, dan selanjutnya dibenarkan oleh diri kita sendiri, bahwa memang kita membutuhkan orang lain dalam hidup ini. Sebagaimana Nabi Adam 'Alahissalam dahulu membutuhkan Hawa untuk membersamainya, padahal itu masih di surga, lho... Apalagi kita, manusia yang telah ditakdirkan hidup di dunia dengan segala -sekali lagi, kerempongannya. Tidak dapat dinafikan bahwa kemampuan kita yang terbatas membutuhkan adanya simbiosis dengan manusia lain, bahkan dengan makhluk hidup lain untuk dapat bertahan hidup, bahkan untuk 'selamat' setelah mati.

Namun, yah... Akhir-akhir ini saya sering menganggap bahwa sosialiasasi dengan manusia lain justru hanya menambah kerempongan yang ada. Baiklah, hal ini tidak sepenuhnya benar, saya akui. Tapi, adanya pemikiran ini membuat saya kemudian menjadi teramat sangat menghargai moment bersama diri saya sendiri. Humm.., semacam 'me-time' begitu...


Saya kemudian berandai-andai, terlepas dari segala kenyataan yang ada dan segala tuntutan yang menuntut, saya ingin punya rumah sendiri. Yah, semacam rumah impian yang sejuk dan terbuat dari kayu. Rumah itu menghadap ke arah sawah yang menghijau dan dapat dinikmati sejauh mata memandang. Saya pernah menyaksikan itu di lokasi tempat saya KKN, dan meski di dekat rumah saya sekarang pun ada sawah, namun tetap berbeda dengan yang di sana. Sawah di sini sangat jelas dibatasi oleh bangunan-bangunan perumahan dan tembok-tembok yang seolah memagarinya. Jika memandangnya, rasanya mata ini tertumbuk dan tidak bebas. Yah, bukan sawah yang seperti itu. Tapi, sawah yang seperti di lokasi KKN saya dulu. Sawah yang hijaunya begitu menenangkan, sama seperti birunya laut yang mengagumkan. Dapat menyaksikan itu secara langsung, setiap hari dari jendela rumah sendiri, pasti sangat menyenangkan.

Rumah kayu itu sejuk. Celah-celahnya dapat dialiri oleh embusan angin, tapi tidak bocor saat hujan turun (maunya... ;p). Beberapa sisi dindingnya ditutupi oleh rak buku kayu tempat saya menyimpan buku-buku favorit. Lalu, walaupun suasanya cenderung terkesan ndeso, tapi jaringan internetnya bagus dan unlimited (ckckckc...) jadi bisa OL dan blogwalking ke blog-blog favorit juga. :D

Lalu halaman rumah itu dihiasi oleh pot-pot kaktus yang mulai berbunga. Ada juga sebuah lahan khusus tempat budidaya sambiloto, tanaman yang banyak khasiatnya itu (tanaman yang membantu saya untuk nanti meraih gelar sarjana farmasi, aamiin... Sambiloto, bantu-bantu yah... :p). Mungkin, ada juga beberapa jenis bunga berwarna putih, kuning, biru, dan merah sebagai pemanis.

Setiap sudut rumah itu menyenangkan untuk di huni. Menyenangkan untuk ditempati membaca buku dan belajar, juga mengejar ketertinggalan hapalan. Rumah itu hening, sunyi, dan hanya saya yang berhak menciptakan bunyi di sana. Lantainya bersih dan kinclong, wangi melati pula. Pokoke, nyaman dan aman meski saya menghuninya seorang diri. Sinyal handphone juga bagus, jadi sesekali saya dapat mengabari ibu, bahwa saya baik-baik saja di sini.

Rumah itu, tempat saya benar-benar ingin pulang. Tempat saya beristirahat dengan tenang tanpa gangguan siapapun. Tempat saya beribadah dengan tenang tanpa harus khawatir niat terusik karena disaksikan siapapun. Tempat saya belajar dengan tenang tanpa dipaksa siapapun. Dan tempat saya berkarya dengan tenang tanpa diintervensi siapapun.

*tulisan mengkhayal sejadi-jadinya diantara suara takbir
*selamat Idul Adha, blogger :)