Selasa, 26 November 2013

Perempuan Itu Menangis Lagi

Perempuan itu menangis lagi. Ini untuk kesekian kalinya sejak sekitar delapan bulan yang lalu saat ia selesai menerima selembar ijazah dan sekali lagi menjadi peserta di gelaran wisuda. Perempuan itu menangis lagi di hadapannya. Sungguh, ia lebih rela ada ratusan orang lain yang menangis dan curhat kepadanya, lalu ia akan menasihatkan kata-kata bijak dan beberapa ayat atau hadits dan membuat orang-orang itu kembali tersenyum. Itu lebih baik daripada menghadapi perempuan yang kini berlinang air mata itu. Mulutnya terkunci. Matanya ia kerjap-kerjapkan untuk menghindari lapisan bening itu jatuh menjadi bulir-bulir. Perempuan itu berkata tentang masa depannya, harusnya ia bekerja sesuai profesinya, atau melanjutkan kuliah yang masih bisa perempuan itu biayai, bukan mengeram di rumah seperti sekarang. Papar perempuan itu, sesunggukan. 

Aku telah jadi penghalangmu, Nak...”, ujar perempuan itu. Ia harusnya tahu, anaknya sungguh merasa nyaman berada di rumah. Telah lama ia ingin menebus bertahun-tahun masa kuliah yang membuatnya hanya menjadi anak kost di rumahnya sendiri. Hanya pulang untuk singgah beristirahat dan mandi, lalu pergi lagi. Hanya bisa menatap sekilas pada wajah-wajah anggota keluarga kemudian kembali terbang pada rutinitas yang tiada habisnya. Telah lama ia ingin sebenar-benarnya pulang. Dan masa selepas studi panjang non stop hingga menambah dua gelar di belakang namanya itu, ingin ia bayar tunai, lalu Allah menunjukkannya cara seperti sekarang. 

Jangan sedih begitu. Aku baik-baik saja, Bu...” ucapnya sambil menyisir rambut perempuan yang baru saja selesai ia mandikan itu. Perempuan itu masih sibuk menghapus air matanya sambil berbicara tentang opname di rumah sakit atau tentang panti jompo. Ia juga sering berpikir untuk pulang ke kampungnya saja, berkumpul dengan sanak saudaranya yang lain. 

"Jangan bicara begitu, Bu..." lagi-lagi hanya itu yang bisa ia ucapkan sebagai tanggapan.

Perempuan itu seharusnya tahu, bahwa anaknya tidak lagi peduli atas komentar siapapun. Ia belajar untuk menyadari bahwa tidak semua perkataan harus didengarkan, bahkan tidak semua pertanyaan harus di jawab. Mengetahui fakta tentang sesuatu tidak membuat orang lain akan memahami. Dan tidak seorang pun berhak untuk menilai kehidupan orang lain. Ia sudah cukup piawai untuk hanya menjawab dengan senyuman atas setiap pertanyaan tentang peluang yang tidak ia ambil atau tentang kesempatan yang tidak ia hiraukan. Ia belajar bahwa salah satu cara menjalani hidup dengan tenang adalah dengan menerima segalanya. 

Di masa-masa sibuk dulu, kau selalu berdoa semoga Allah memberikanmu kemudahan. Doa itu dijawabNya sekarang. Allah bahkan memberikanmu pekerjaan bergaji surga. Surga yang paling tengah...” ujarnya kepada bayangan di cermin saat ia terkadang merasa sesak menatap tembok dan tembok dan tembok. 

Tapi jika keadaannya memungkinkan, mungkin kau butuh sekali-kali pergi melihat sesuatu yang luas. Laut, misalnya. Pergilah ke tempat itu kalau sempat, agar kau lebih segar. Wajahmu yang berseri mungkin akan membuat perempuan itu tidak menangis lagi”, jawab bayangan di cermin itu kepadanya. 

Perempuan itu seharusnya tahu, bahwa anaknya seperti apa yang selalu menjadi jawaban setiap ia menangis dan bertanya. Anaknya, baik-baik saja. 

Makassar, 27 November 2013

Senin, 25 November 2013

Nyinyir

"Sepertinya jadi orang nyinyir itu gampang, ya?", tanya saya suatu waktu pada adik saya. 
"Kamu baru tahu?", jawab adik saya dengan pertanyaan yang tidak perlu saya jawab. 

Nyinyir. Sebuah kata yang secara pribadi saya definisikan sebagai sebuah sikap dimana seseorang menanggapi sesuatu dengan nada negatif dan dengan cara yang negatif, tanpa ada solusi. Biasanya, dengan aroma-aroma membenarkan diri, pun dengan meletakkan dirinya secara langsung ataupun tidak sebagai orang yang paling benar, yang lainnya salah. 

Setiap manusia harus bisa bersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat. Anjuran ini bukan tanpa tujuan, namun memang memiliki banyak manfaat. Diantara manfaat itu adalah sebab dengan bergaul, kita bisa belajar banyak hal dari tingkah laku manusia. Manusia sebagai makhluk sempurna, nyatanya memang perlu menyempurnakan dirinya dengan mengusahakan banyak hal, tanpa itu, maka manusia tidak lebih dari makhluk hidup yang dicipta seplanet dengan tumbuhan dan hewan, tanpa ada keistimewaan sama sekali. Dalam proses sosialisasi itu, kita akan mendapati bahwa begitu banyak karakter pada diri setiap individu. Karakter nyinyir ini salah satunya. 

Orang-orang nyinyir ini biasanya senang mengomentari sesuatu, diminta atau tidak diminta. Saat berkomentar itulah, ia akan mengeluarkan kenyinyirannya, sesuai dengan kadarnya masing-masing. Mengapa menjadi nyinyir saya sebut sebagai sesuatu yang mudah? Ya, sebab melakukannya memang cukup dengan: mengatakan semua hal yang ingin kamu katakan. Ya, semudah itu saja!

Kata-kata dalam bentuk ucapan adalah gambaran diri seseorang. Orang yang berpenampilan menarik, rapi, necis, wangi, cantik atau ganteng, bisa saja menjadi terjun bebas citranya jika ia tidak bisa menjaga bacot-nya dengan baik. Sembarangan berkata-kata tanpa mempertimbangkan lawan bicaranya, dan tanpa mempertimbangkan kapasitas dirinya, akan membuat seseorang menjadi kelihatan ke-nyinyir-annya. Kita harusnya paham, tidak mungkin perkataan menjadi sesuatu yang penting untuk kita jaga, jika ia bukan sesuatu yang kelak akan kita pertanggungjawabkan; di dunia dan akhirat. 

Orang-orang nyinyir ini akan nampak seperti orang yang mengira mati-ya-mati-aja, artinya ia tidak memperhitungkan pertanggungjawaban akhirat atas apa yang ia katakan. Ia tidak peduli perasaan orang lain ataupun dampak dari perkataannya yang buruk. Bahkan, perkataan yang baik pun berkemungkinan berdampak buruk jika dituturkan dengan cara nyinyir, apalagi yang memang sudah buruk dari sananya. Orang-orang seperti ini hadir dalam berbagai varian, bukan hanya yang dari sono-nya memang terlihat (maaf) brengsek, tapi bisa saja justru adalah kaum terdidik dengan titel berderet di belakang nama, bahkan ada juga yang penampakannya seperti orang yang religius dan sarat dengan ilmu agama. Semua itu bukanlah sebuah jaminan seseorang tidak jatuh dalam jurang kenyinyiran. 

Salah satu ciri lain dari orang nyinyir adalah, hanya mampu berkomentar, tanpa bisa bekerja, bahkan mengerjakan sesuatu yang bisa ia komentari tersebut. Artinya, ia berbicara tanpa menakar kapasitas dirinya, ia merasa tidak perlu ekspert di bidang yang ia komentari untuk menjadi pantas  berkomentar. Jangankan bisa memberikan solusi dan mengerjakan yang lebih baik dari orang yang ia komentari, memahami komentarnya sendiri saja belum tentu ia mampu. Maka wajar saja jika senjata orang nyinyir adalah perkataannya saja, sebab memang hanya itu yang ia bisa. Saya sarankan bagi yang merasa nyinyir, silakan segera asuransikan mulut Anda!

Sepertinya pepatah itu masih berkalu hingga kini, mungkin hingga seterusnya; tong kosong nyaring bunyinya. Sebaliknya, air yang tenang biasanya menghanyutkan. Kadang, jusru dari orang-orang yang tidak banyak bicaralah karya-karya bisa tercipta. Mereka, lebih senang berbuat sesuatu dalam keheningan. 

Makassar, 26 November 2013

Minggu, 03 November 2013

Tiga November

“Kenapa yah, aku bisa sayang padamu? Padahal, di saat aku bermain-main di pinggir jurang dan meminta pendapatmu tentang itu, kau bukannya menyelamatkanku, tapi malah mendorongku hingga aku terjatuh dan merasakan sakit. Hingga tersadarkan, betapa aku telah bersalah. Tapi nyatanya, kau selalu tetap berada di sana. Berdiri di bibir jurang, menungguku yang terseok-seok untuk bangkit kembali. Kau menungguku di sana, sambil melangitkan doa-doa. Mungkin karena itu, saat sesak ini bertambah-tambah, justru namamu yang kucari paling pertama.”

Kita harus setuju, bahwa hidup ini sederhana. Kita saja membuatnya terlalu kompleks. Hingga pada akhirnya kita tersadar, hanya mampu menilai segala sesuatu dari sisi luarnya saja. Apa yang tersimpan dalam hati orang lain, tidak akan pernah sanggup untuk kita benar-benar pahami. Dan bahwa ada terlalu banyak hal yang bisa dengan mudah untuk disembunyi.

Setiap senyuman tidak selalu berarti bahagia. Ia bisa saja menjadi benteng terakhir untuk menghalangi semua semburat duka. Tetapi tidak semua manusia bisa menyadarinya. Perlu pengetahuan yang menyeluruh tentang rangkaian perjalanan dan semua liku-liku yang telah dihadapi. Perlu kesabaran hati dan pikiran untuk menenangkan diri, dan tidak terlampau cepat menarik kesimpulan. Sayangnya, tidak semua orang punya waktu untuk itu. Sehingga setiap senyum akhirnya dimaknai sebagai bahagia dari hati, atau persetujuan atas keadaan yang ada. Lalu, itu digunakan sebagai bahan untuk menilai banyak hal.

Tapi apa peduli kita?

Seberapa penting kita memikirkan pendapat manusia selama itu hanya menunjuk pada pribadi kita saja?

Padahal pada akhirnya, hanya penilaian Allah saja yang akan paling berpengaruh untuk kita, di akhirat kelak, pun di dunia kini. Kedudukan kita, nyatanya hanya bergantung pada keimanan pada Allah. Tidak menjadi kurang karena dicela manusia, dan pujian pun tidak bisa menjadi sebab meningkatnya kemuliaan. Keimanan berimplikasi pada kedudukan di hadapan Allah, maka hanya Dia pula yang dapat valid dalam menilainya.

Begitu banyak hal yang terjadi, rangkaian peristiwa yang kita lalui, yang sungguh picik jika kita anggap begitu saja sebagai sebuah kebetulan. Sungguh tidak ada yang terjadi karena kebetulan. Setiap perjumpaan menyimpan perhitungan yang konkret, kombinasi antara ketepatan waktu, keterarahan perasaan, kesesuaian kondisi, dan berbagai variabel penyusun lain yang menyebabkan sesuatu bisa terjadi. Ia, terancang bukan oleh semesta yang luas ini, bukan pula oleh konspirasi siapa-siapa atau apa-apa. Namun, semata-mata karena memang telah ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Kita bisa saja memiliki keinginan. Kita, bahkan telah dicekoki dengan anjuran untuk memiliki impian yang setinggi-tingginya. Kita, tentu harus mengikhtiarkannya. Sebab mimpi tanpa usaha tidak lebih dari bunga-bunga tidur yang tidak ada artinya. Kita harus meluruskan cara-cara yang kita pilih sebagai jalan terbaik untuk meraih apa yang kita inginkan. Namun, apakah setiap impian yang baik, yang juga pun telah diusahakan dengan baik, akan pasti memeroleh hasil yang baik? Tidak. Semuanya kembali lagi kepada kehendak Allah. Lalu, apakah dengan demikian segala usaha kita akan berarti sia-sia? Tidak juga. Sebab apa yang kita raih, memang tidak selalu dari apa yang kita usahakan. Layaknya Siti Hajar yang berlari-lari dari Shafa ke Marwa untuk mendapatkan air, ikhtiarnya berlari itu tidak mendatangkan hasil, air yang ia cari tak jua muncul pada lintasan tempat ia berlari. Namun, Allah memberikan karunianya justru dari hentakan kaki-kaki kecil bayi Ismail yang dari tanahnya muncul mata air. Maka kita berusaha, lalu tunggulah keajaiban atas kehendakNya. Kita tidak akan mati, sebelum menikmati semua jatah rezeki.

Maka atas apa yang Allah beri, sudah seharusnya kita ridha. Apa yang Allah beri adalah yang terbaik menurut ilmuNya, meski mungkin tidak menurut pendapat kita. Lalu apakah ridha atas takdirnya adalah akhir dari segalanya? Bukan. Ridha atas takdir justru adalah awal untuk sebuah ikhtiar yang baru. Saat kita kembali lagi memulai menjalani apa yang telah digariskanNya, dengan sebaik-baik cara.

Tidak ada yang salah dengan segala masalah dalam hidup. Seperti sedang mengikuti sebuah ujian, soal yang diberikan tidak pernah salah. Yang membuat runyam adalah jika jawaban kita yang tidak benar. Maka dalam hidup, yang salah bukanlah persoalan yang diujikan Allah kepada kita. Namun, yang harus kita perbaiki adalah cara kita dalam menyikapi persoalan tersebut. Ada dua kemungkinan di sana, kita dapat menghadapinya dengan cara yang benar. Atau justru dengan cara yang salah. Dan, keduanya adalah kemungkinan, yang kita menentukan pilihan atasnya.

“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia. Dan jka Dia mendatangkan kebaikan padamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas hambaNya. Dan Dia Mahabijaksana, Maha Mengetahui.” (QS. Al An’am:17-18)

Jika kita memang hidup hanya mencari ridha Allah, maka setiap celaan hanyalah sebuah evaluasi, betapa masih lebih banyak aib kita yang Allah tutupi. Lalu setiap pujian justru harus membuat kita semakin sadar diri, betapa besar prasangka baik orang lain kepada kita, dan betapa keliru kita jika menyalahgunakannya.  Jika memang hidup kita hanya untuk mencari ridhaNya, kita tidak akan peduli pada harta, jabatan, kedudukan, pandangan manusia, yang semuanya tiada guna untuk kehidupan akhirat kelak. Kembalilah kepada Allah. Allah itu dekat, hanya saja kita yang sering menjauh.  Kembalilah kepada Allah, dan serahkan setiap urusan hanya kepadaNya saja.

Yaa hayyu yaa qayyum, bi rahmatika astaghitsu, ashlihlii sya’ni kullahu wa la takilnii ila nafsi thar fata ‘ain ~  Wahai yang Maha Hidup, Yang Maha Terjaga, hanya kepada rahmatmu aku memohon keselamatan, perbaikilah seluruh urusanku, janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri, walau hanya sekejap mata.

“Sakinah itu bukan pada suami. Bukan pada istri. Bukan pada keluarga. Sakinah itu ada dalam hati, yang selalu dekat kepada Allah. Seperti saat Abu Bakar membersamai Rasulullah di dalam gua, lalu mereka yakin, Allah selalu bersamanya. Sakinah itu sesederhana hilangnya haus, setelah meneguk air nan sejuk."

Makassar, 3 November 2013 / 29 Dzulhijjah 1434 H  
.: A note to my self:..