Minggu, 03 November 2013

Tiga November

“Kenapa yah, aku bisa sayang padamu? Padahal, di saat aku bermain-main di pinggir jurang dan meminta pendapatmu tentang itu, kau bukannya menyelamatkanku, tapi malah mendorongku hingga aku terjatuh dan merasakan sakit. Hingga tersadarkan, betapa aku telah bersalah. Tapi nyatanya, kau selalu tetap berada di sana. Berdiri di bibir jurang, menungguku yang terseok-seok untuk bangkit kembali. Kau menungguku di sana, sambil melangitkan doa-doa. Mungkin karena itu, saat sesak ini bertambah-tambah, justru namamu yang kucari paling pertama.”

Kita harus setuju, bahwa hidup ini sederhana. Kita saja membuatnya terlalu kompleks. Hingga pada akhirnya kita tersadar, hanya mampu menilai segala sesuatu dari sisi luarnya saja. Apa yang tersimpan dalam hati orang lain, tidak akan pernah sanggup untuk kita benar-benar pahami. Dan bahwa ada terlalu banyak hal yang bisa dengan mudah untuk disembunyi.

Setiap senyuman tidak selalu berarti bahagia. Ia bisa saja menjadi benteng terakhir untuk menghalangi semua semburat duka. Tetapi tidak semua manusia bisa menyadarinya. Perlu pengetahuan yang menyeluruh tentang rangkaian perjalanan dan semua liku-liku yang telah dihadapi. Perlu kesabaran hati dan pikiran untuk menenangkan diri, dan tidak terlampau cepat menarik kesimpulan. Sayangnya, tidak semua orang punya waktu untuk itu. Sehingga setiap senyum akhirnya dimaknai sebagai bahagia dari hati, atau persetujuan atas keadaan yang ada. Lalu, itu digunakan sebagai bahan untuk menilai banyak hal.

Tapi apa peduli kita?

Seberapa penting kita memikirkan pendapat manusia selama itu hanya menunjuk pada pribadi kita saja?

Padahal pada akhirnya, hanya penilaian Allah saja yang akan paling berpengaruh untuk kita, di akhirat kelak, pun di dunia kini. Kedudukan kita, nyatanya hanya bergantung pada keimanan pada Allah. Tidak menjadi kurang karena dicela manusia, dan pujian pun tidak bisa menjadi sebab meningkatnya kemuliaan. Keimanan berimplikasi pada kedudukan di hadapan Allah, maka hanya Dia pula yang dapat valid dalam menilainya.

Begitu banyak hal yang terjadi, rangkaian peristiwa yang kita lalui, yang sungguh picik jika kita anggap begitu saja sebagai sebuah kebetulan. Sungguh tidak ada yang terjadi karena kebetulan. Setiap perjumpaan menyimpan perhitungan yang konkret, kombinasi antara ketepatan waktu, keterarahan perasaan, kesesuaian kondisi, dan berbagai variabel penyusun lain yang menyebabkan sesuatu bisa terjadi. Ia, terancang bukan oleh semesta yang luas ini, bukan pula oleh konspirasi siapa-siapa atau apa-apa. Namun, semata-mata karena memang telah ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla.

Kita bisa saja memiliki keinginan. Kita, bahkan telah dicekoki dengan anjuran untuk memiliki impian yang setinggi-tingginya. Kita, tentu harus mengikhtiarkannya. Sebab mimpi tanpa usaha tidak lebih dari bunga-bunga tidur yang tidak ada artinya. Kita harus meluruskan cara-cara yang kita pilih sebagai jalan terbaik untuk meraih apa yang kita inginkan. Namun, apakah setiap impian yang baik, yang juga pun telah diusahakan dengan baik, akan pasti memeroleh hasil yang baik? Tidak. Semuanya kembali lagi kepada kehendak Allah. Lalu, apakah dengan demikian segala usaha kita akan berarti sia-sia? Tidak juga. Sebab apa yang kita raih, memang tidak selalu dari apa yang kita usahakan. Layaknya Siti Hajar yang berlari-lari dari Shafa ke Marwa untuk mendapatkan air, ikhtiarnya berlari itu tidak mendatangkan hasil, air yang ia cari tak jua muncul pada lintasan tempat ia berlari. Namun, Allah memberikan karunianya justru dari hentakan kaki-kaki kecil bayi Ismail yang dari tanahnya muncul mata air. Maka kita berusaha, lalu tunggulah keajaiban atas kehendakNya. Kita tidak akan mati, sebelum menikmati semua jatah rezeki.

Maka atas apa yang Allah beri, sudah seharusnya kita ridha. Apa yang Allah beri adalah yang terbaik menurut ilmuNya, meski mungkin tidak menurut pendapat kita. Lalu apakah ridha atas takdirnya adalah akhir dari segalanya? Bukan. Ridha atas takdir justru adalah awal untuk sebuah ikhtiar yang baru. Saat kita kembali lagi memulai menjalani apa yang telah digariskanNya, dengan sebaik-baik cara.

Tidak ada yang salah dengan segala masalah dalam hidup. Seperti sedang mengikuti sebuah ujian, soal yang diberikan tidak pernah salah. Yang membuat runyam adalah jika jawaban kita yang tidak benar. Maka dalam hidup, yang salah bukanlah persoalan yang diujikan Allah kepada kita. Namun, yang harus kita perbaiki adalah cara kita dalam menyikapi persoalan tersebut. Ada dua kemungkinan di sana, kita dapat menghadapinya dengan cara yang benar. Atau justru dengan cara yang salah. Dan, keduanya adalah kemungkinan, yang kita menentukan pilihan atasnya.

“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia. Dan jka Dia mendatangkan kebaikan padamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Dan Dialah yang berkuasa atas hambaNya. Dan Dia Mahabijaksana, Maha Mengetahui.” (QS. Al An’am:17-18)

Jika kita memang hidup hanya mencari ridha Allah, maka setiap celaan hanyalah sebuah evaluasi, betapa masih lebih banyak aib kita yang Allah tutupi. Lalu setiap pujian justru harus membuat kita semakin sadar diri, betapa besar prasangka baik orang lain kepada kita, dan betapa keliru kita jika menyalahgunakannya.  Jika memang hidup kita hanya untuk mencari ridhaNya, kita tidak akan peduli pada harta, jabatan, kedudukan, pandangan manusia, yang semuanya tiada guna untuk kehidupan akhirat kelak. Kembalilah kepada Allah. Allah itu dekat, hanya saja kita yang sering menjauh.  Kembalilah kepada Allah, dan serahkan setiap urusan hanya kepadaNya saja.

Yaa hayyu yaa qayyum, bi rahmatika astaghitsu, ashlihlii sya’ni kullahu wa la takilnii ila nafsi thar fata ‘ain ~  Wahai yang Maha Hidup, Yang Maha Terjaga, hanya kepada rahmatmu aku memohon keselamatan, perbaikilah seluruh urusanku, janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri, walau hanya sekejap mata.

“Sakinah itu bukan pada suami. Bukan pada istri. Bukan pada keluarga. Sakinah itu ada dalam hati, yang selalu dekat kepada Allah. Seperti saat Abu Bakar membersamai Rasulullah di dalam gua, lalu mereka yakin, Allah selalu bersamanya. Sakinah itu sesederhana hilangnya haus, setelah meneguk air nan sejuk."

Makassar, 3 November 2013 / 29 Dzulhijjah 1434 H  
.: A note to my self:..

2 komentar:

  1. suka sekali dengan kutipan terakhirnya: “Sakinah itu bukan pada suami. Bukan pada istri. Bukan pada keluarga. Sakinah itu ada dalam hati, yang selalu dekat kepada Allah. Seperti saat Abu Bakar membersamai Rasulullah di dalam gua, lalu mereka yakin, Allah selalu bersamanya. Sakinah itu sesederhana hilangnya haus, setelah meneguk air nan sejuk."

    BalasHapus
  2. Setuju, saya juga suka sama quote terakhirnya

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)