Senin, 25 November 2013

Nyinyir

"Sepertinya jadi orang nyinyir itu gampang, ya?", tanya saya suatu waktu pada adik saya. 
"Kamu baru tahu?", jawab adik saya dengan pertanyaan yang tidak perlu saya jawab. 

Nyinyir. Sebuah kata yang secara pribadi saya definisikan sebagai sebuah sikap dimana seseorang menanggapi sesuatu dengan nada negatif dan dengan cara yang negatif, tanpa ada solusi. Biasanya, dengan aroma-aroma membenarkan diri, pun dengan meletakkan dirinya secara langsung ataupun tidak sebagai orang yang paling benar, yang lainnya salah. 

Setiap manusia harus bisa bersosialisasi dengan baik di tengah masyarakat. Anjuran ini bukan tanpa tujuan, namun memang memiliki banyak manfaat. Diantara manfaat itu adalah sebab dengan bergaul, kita bisa belajar banyak hal dari tingkah laku manusia. Manusia sebagai makhluk sempurna, nyatanya memang perlu menyempurnakan dirinya dengan mengusahakan banyak hal, tanpa itu, maka manusia tidak lebih dari makhluk hidup yang dicipta seplanet dengan tumbuhan dan hewan, tanpa ada keistimewaan sama sekali. Dalam proses sosialisasi itu, kita akan mendapati bahwa begitu banyak karakter pada diri setiap individu. Karakter nyinyir ini salah satunya. 

Orang-orang nyinyir ini biasanya senang mengomentari sesuatu, diminta atau tidak diminta. Saat berkomentar itulah, ia akan mengeluarkan kenyinyirannya, sesuai dengan kadarnya masing-masing. Mengapa menjadi nyinyir saya sebut sebagai sesuatu yang mudah? Ya, sebab melakukannya memang cukup dengan: mengatakan semua hal yang ingin kamu katakan. Ya, semudah itu saja!

Kata-kata dalam bentuk ucapan adalah gambaran diri seseorang. Orang yang berpenampilan menarik, rapi, necis, wangi, cantik atau ganteng, bisa saja menjadi terjun bebas citranya jika ia tidak bisa menjaga bacot-nya dengan baik. Sembarangan berkata-kata tanpa mempertimbangkan lawan bicaranya, dan tanpa mempertimbangkan kapasitas dirinya, akan membuat seseorang menjadi kelihatan ke-nyinyir-annya. Kita harusnya paham, tidak mungkin perkataan menjadi sesuatu yang penting untuk kita jaga, jika ia bukan sesuatu yang kelak akan kita pertanggungjawabkan; di dunia dan akhirat. 

Orang-orang nyinyir ini akan nampak seperti orang yang mengira mati-ya-mati-aja, artinya ia tidak memperhitungkan pertanggungjawaban akhirat atas apa yang ia katakan. Ia tidak peduli perasaan orang lain ataupun dampak dari perkataannya yang buruk. Bahkan, perkataan yang baik pun berkemungkinan berdampak buruk jika dituturkan dengan cara nyinyir, apalagi yang memang sudah buruk dari sananya. Orang-orang seperti ini hadir dalam berbagai varian, bukan hanya yang dari sono-nya memang terlihat (maaf) brengsek, tapi bisa saja justru adalah kaum terdidik dengan titel berderet di belakang nama, bahkan ada juga yang penampakannya seperti orang yang religius dan sarat dengan ilmu agama. Semua itu bukanlah sebuah jaminan seseorang tidak jatuh dalam jurang kenyinyiran. 

Salah satu ciri lain dari orang nyinyir adalah, hanya mampu berkomentar, tanpa bisa bekerja, bahkan mengerjakan sesuatu yang bisa ia komentari tersebut. Artinya, ia berbicara tanpa menakar kapasitas dirinya, ia merasa tidak perlu ekspert di bidang yang ia komentari untuk menjadi pantas  berkomentar. Jangankan bisa memberikan solusi dan mengerjakan yang lebih baik dari orang yang ia komentari, memahami komentarnya sendiri saja belum tentu ia mampu. Maka wajar saja jika senjata orang nyinyir adalah perkataannya saja, sebab memang hanya itu yang ia bisa. Saya sarankan bagi yang merasa nyinyir, silakan segera asuransikan mulut Anda!

Sepertinya pepatah itu masih berkalu hingga kini, mungkin hingga seterusnya; tong kosong nyaring bunyinya. Sebaliknya, air yang tenang biasanya menghanyutkan. Kadang, jusru dari orang-orang yang tidak banyak bicaralah karya-karya bisa tercipta. Mereka, lebih senang berbuat sesuatu dalam keheningan. 

Makassar, 26 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)