Jumat, 21 Agustus 2009

Tidak Lapar saat Puasa? WASPADALAH!!!


Dulu, saya sering menganggap, bahwa hal yang terbaik saat kita berpuasa adalah pada saat kita bisa terus kuat, tidak terlalu merasa lapar saat melaksanakan ibadah tersebut. Karena itu berarti, kita bisa bebas menjalankan aktivitas layaknya orang yang tidak sedang berpuasa, tanpa perasaan loyo, lemah, dan letih. Anggapan saya itupun terus terpelihara dengan banyaknya reklame produk yang menawarkan iming-iming tenaga ekstra untuk menghadapi ibadah puasa. Jenis suplemen ini dan itu, pun dengan berbagai jenis makanan sehat yang membuat perut kita tidak keroncongan hingga waktu berbuka tiba.
Namun, anggapan itu kemudian berubah…

Dalam sebuah moment, seorang ustadz berkata, bahwa disitulah kesalahan kita. Kita berusaha agar tidak lapar saat puasa dengan mengkonsumsi berbagai makanan, obat-obatan, dan berbagai tips lainnya. Padahal, bukankah hikmah puasa adalah agar kita bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang tidak berpunya? Perasaan itulah yang akan melahirkan empati kepada sesama dan perasaan syukur atas apa yang kita miliki. Kita bisa merasakan bagaimana saat kita lapar, tapi kita tidak bisa makan. Bagaimana rasanya haus, sedang kita tidak bisa minum. Bagaimana rasanya melaksanakan berbagai aktivitas dalam keadaan tubuh yang kekurangan energy, namun tak ada daya untuk memasok energy tersebut. Yah, puasa seharusnya mengajarkan kita agar kita ‘merasa’. Merasakan apa yang mungkin tidak akan kita rasakan di luar ibadah tersebut.

Jadi, hati-hati…, saat kita berpuasa tanpa ada perasaan haus dan lapar tersebut, jangan sampai setelah selesai bulan Ramadhan nanti, kita keluar sebagai manusia-manusia yang tidak punya perasaan! Naudzubillahi min zalik…

Wallahu a’lam.

Senin, 10 Agustus 2009

Kita Manusia Biasa, Bukan Malaikat


Dalam sebuah kesempatan, seorang akhwat berkata, “Kami meminta maaf atas segala kesalahan, sebab kita sedang bekerjasama dengan manusia biasa, bukan dengan malaikat..”. Mendengar kata-kata itu, saya tertegun. Yah, betapa kadang kita terlalu banyak menyimpan harap pada orang lain, hingga tanpa sadar menganggapnya bukan lagi manusia yang tentunya punya sisi manusiawi yang mungkin dapat memperlihatkan tingkah ‘negatif’, baik secara disengaja, maupun tidak.
Pertama kali bergabung dengan jalan dakwah, saya sempat pula berpikir demikian. Karena tertarik dengan kelembutan dan keramahan akhwat yang membuat saya jatuh cinta dan akhirnya memilih bergabung dalam sebuah keteraturan, saya sempat menganggap bahwa mereka –akhwat-akhwat itu, sebagai sosok yang tanpa cela. Saya pikir, bergabung dengan mereka tentu akan terhindar dari sakit hati, perasaan tidak enak, ataupun hal-hal lainnya yang tentu akan kita dapati jika berinteraksi dengan ‘orang-orang kebanyakan’.
Tapi, seiring dengan berjalanannya waktu. Dengan terlibatnya saya dengan banyak saudari saya dalam berbagai kesempatan, berkenalan dengan semakin banyak akhwat, dan berbagai takdir Allah lainnya, rupanya saya kemudian diantarkan untuk berusaha memahami, bahwa bagaimanapun, mereka juga manusia biasa.
Adalah benar bahwa mereka adalah orang-orang berilmu dan beradab yang tentu saja senantiasa berusaha mengamalkan ilmunya dan mengejawantahkannya dalam bentuk akhlak mulia ataupun kata-kata yang santun. Tapi terlepas dari itu, mereka tetaplah bukan malaikat yang senantiasa bersih dari salah dan khilaf. Sekali lagi, mereka adalah manusia biasa. Akhwat juga manusia!
Namun, ada orang yang kadang terlalu tinggi pengharapannya dan tidak mau untuk berusaha memahami hal tersebut. Maka muncullah kemudian orang-orang yang bahkan hingga memilih mundur dari jalan dakwah hanya karena sedikit tersinggung dengan sesama akhwat. Saya pikir, itu salah satunya karena kita kadang terlalu menganggap sempurna sosok saudari kita, sehingga saat terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan itu, begitu sakit kemudian kita rasa sebab kita terlalu berharap banyak.
Ya, setiap manusia tidak terlepas dari salah dan dosa, bahkan manusia-manusia yang telah dipilih Allah dengan hidayahnya. Jangan sampai karena hanya sekali saja melihat kesalahan dari saudari kita, kita kemudian begitu mudah untuk melupakan kebaikannya yang mungkin lebih melimpah. Seperti halnya kita juga ingin dipahami sebagai seorang manusia yang utuh dengan segala kekurangannya, seperti itu pulalah kita harus berusaha memahami orang lain. Mungkin benarlah bahwa cinta yang sesungguhnya adalah saat kita dapat mencintai seseorang apa adanya. Mencintai kebaikannya untuk kita teladani, dan menerima kekurangannya untuk berusaha ikut membantu memperbaiki. Dengan itu, semoga langkah ini semakin mencipta harmoni, sebab kita sama-sama tahu betapa indahnya jika kita dapat mencipta keindahan lewat ukhuwah itu dalam hidup ini.
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujurat [49]:10)

Teruntuk; akhwatfillah di bumi manapun kalian berpijak, uhibbukifillah…