Minggu, 25 Oktober 2015

Menapak pada Rembulan

Jadi, analoginya seperti antara astronom dan astronot...”

Saya tidak ingat betul, apa yang awalnya mengantarkan dosen berkacamata itu membahas analogi astronom-astronot di kelas farmakokinetik siang itu. Terlebih lagi, sebab kemudian kedua hal itu dikaitkan ke ranah yang selalu asyik untuk diperbincangkan, terutama oleh para lajang; tentang pernikahan.

“Astronom itu belajar tentang ilmu perbintangan, lewat teori, dari jauh, meski mereka tidak pernah ke luar angkasa. Sedangkan astronot, mereka langsung ke sana! Ke bulan.. menjelajah di antara bintang... Ini ibarat seseorang yang belum menikah dan yang sudah menikah.” ujarnya dengan senyum mengembang. Setahu saya, saat itu dia pun masih berada dalam kategori yang kedua.
Baiklah Pak Dosen, sepertinya kita akan meninggalkan sejenak pembahasan tentang absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat...

Seluruh kelas semakin bersemangat menyimak perkataan pak dosen. Beberapa kawan nampak memperbaiki letak duduknya. “Jadi, orang yang belum menikah itu layaknya astronom. Mereka melihat dunia pernikahan itu hanya dari jauh, hanya dari luarnya saja. Bahkan meskipun mereka belajar tentang segala hal terkait pernikahan, toh mereka belum merasakannya sendiri. Hanya sebatas teori! Kapan bisa jadi astronot? Nah, kalau sudah menikah. Baru bisa merasakan sendiri. Melihat luar angkasa, mendarat di planet lain, sampai ke bulan...” ujarnya.

Di kemudian hari, perbincangan tentang analogi yang menarik ini pun saya bahas bersama seorang ukhti dalam sebuah kesempatan chit-chat. Saat itu, kami berdua masih berstatus singel (and happy, actually.. *ehem). Saya melemparkan konsep astronom-astronot itu padanya. Ternyata, ia mengingatnya hingga kemudian ia lebih dahulu menikah. Selepas merasakan masa-masa pernikahan itu, suatu waktu pesan singkatnya yang selalu bernada manis,  mendarat di ponsel saya.

“Diena-chan, saya sudah sampai di bulan!”

Cerita-ceritanya tentang kehidupan pasca-menikah kemudian membuat saya tersenyum sekaligus sadar; betapa sudut pandang bisa berubah, seiring dengan pengalaman yang kita punya.

Benar sekali apa yang dikatakan oleh dosen saya tadi, bahwa sebanyak apapun seorang lajang belajar tentang teori pernikahan, pada akhirnya pasti akan tetap berbeda dengan mereka yang benar-benar sudah menikah. Saya sendiri, honestly, sudah mulai membaca buku-buku tentang pernikahan bahkan sebelum berpikir ke arah sana *uhuk! Sebenarnya, salah satu faktornya hanya karena ingin melengkapi koleksi buku karya penulis yang saya gemari tulisannya sih.. #ngelesmodeON. Ah, bukankah kita harus berilmu sebelum berkata dan beramal, yes?

Dan, semakin saya belajar, semakin saya sadar bahwa memang harus banyak sekali yang dipelajari sebelum memasuki pintu gerbang pernikahan tersebut. Tapi.... setelah benar-benar memasukinya, pemahaman baru kemudian muncul; ternyata, jauuuuh lebih banyak yang harus dipelajari setelah ‘nyebur’ ke dalamnya. Sebagai seorang astronot, meski kaki sudah menapak pada bulan, nyatanya kita tidak boleh berhenti belajar. Belakangan saya semakin sadar, saat kemudian kerap kali mendapat masukan bahwa sebagai seorang istri, seharusnya saya begini... seharusnya saya begitu. Saya jadi sadar: wah, belajar yang kemarin ternyata memang sama sekali tidak cukup! Lebih dari itu, teori yang nyempil di antar kerutan-kerutan otak ini, ternyata memang jauh lebih mudah dibaca daripada diamalkan. *ya iyalah...

Apa yang bikin segalanya jadi tidak lagi sederhana? Menurut saya sih, karena kita tidak sendiri lagi. Seperti yang sudah saya tulis sebelum-sebelumnya, bahwa menikah akan mengubah banyak hal. Kita, -mau tak mau, akan berubah dan menemui serta mendapatkan hal-hal yang baru. Berubah status, itu pasti. Tidak lagi sendiri, juga tentu saja. Plus, ada dua orang tua baru yang kepadanya kita pun harus berbakti. Ada kakak dan adik baru, serta sanak keluarga baru, yang lingkarannya akan semakin besar sebab sejatinya kita bukan hanya ‘menikah’ dengan satu orang saja, tapi dengan satu keluarga –dengan semua kompleksitas yang ada di dalamnya.

Saya teringat kejadian saat malam itu kedua orang tua pihak laki-laki, yang kini menjadi bapak dan ibu mertua saya, secara resmi datang menemui Bapak dan Mama. Setelah malam itu berlalu, sebelum kembali ke kamar, dan sebelum Bapak merebahkan diri di pembaringan, Bapak menatap mata saya, kemudian berujar dengan serius...

“Nanti, berbaktilah kepada mereka berdua sebagaimana kamu berbakti kepada kami...”. Saya tidak punya kata-kata apapun selain merespon Bapak dengan anggukan.

Kemudian, dengan seseorang yang selanjutnya menjadi kawan perjalanan itu, ternyata meski hanya seorang saja, hal yang perlu dipelajari tidak kalah kompleksnya. Saya selalu mencoba untuk mengerti bahwa di dunia ini tidak ada seorang pun yang sama. Setiap orang punya masa lalu masing-masing, dan dengan itulah ia terbentuk. Setiap orang, punya usaha, kerja keras, pemahaman, dan jalan pikiran mereka masing-masing, dan dengan itulah mereka menjalani kehidupannya hingga sampai pada titik di mana ia diperjumpakan dengan kita. Maka, membaca teori yang default terkadang memang tidak selalu harus membuat kita melihat segalanya dengan hitam putih. Pada tataran praktis, akan ada saja faktor-x yang membuat sebuah teori kadang tidak lagi cocok untuk satu keadaan. Sebab itu tadi, tiap orang berbeda, sehingga harus pula dihadapi dengan cara yang berbeda.

Sebelum menikah dulu, satu hal yang menjadi bahan pikiran saya, dan pertanyaan yang menari-nari dalam pikiran saya adalah; Dien, apakah kamu sudah selesai dengan dirimu sendiri?

Ya, penting bagi saya untuk kemudian memastikan bahwa saya sudah ‘menyelesaikan Diena Rifa’ah’ dalam diri saya. Sebab setelah ini, tidak dapat dipungkiri, bahwa akan banyak sekali hal yang berubah, kehidupan pada umumnya, cara kita menentukan pilihan-pilihan hidup, serta pertimbangan-pertimbangan yang akan kita ambil.

Sebab, akan ada orang yang masuk melampaui batas-batas tembok kamar yang selama ini kita tutup rapat dari siapapun. Akan ada orang yang akan turut menyaksikan, untuk kemudian membantu menyeka air mata yang selama ini kita sembunyikan –yang mungkin membuat orang di luar sana menyangka kita sedemikian tegar? Akan ada orang yang akan membagi seluruh hari-harinya bersama kita, yang akan membuat kita tertawa bersama, yang akan mengajak kita menjalani kesabaran dengannya, dan menyusuri jalan-jalan kesyukuran dengan bergandeng tangan dengannya –yang jemarinya akan menutup celah di antara jemari kita, dan demikian pula sebaliknya. Akan datang orang, yang akan membuat kita bukan lagi kita yang dulu. Sebab akhirnya kita menemukannya sebagai pakaian kita, dan kita pun akan menjadi pakaian bagi dirinya. Saling melengkapi, saling melingkupi. 

Memahami bahwa tidak ada orang yang sama, juga berarti menyinsafi bahwa tidak ada orang yang sempurna. Kita akan tahu, bahwa sebagaimana kita bukan buku yang berjalan, maka pasangan kita pun demikian adanya. 

*Tiba-tiba saya mengingat anekdot tentang seseorang yang menetapkan standar yang begitu tinggi untuk bakal calon pasangannya. Saking idealnya standarnya, malah dikomentari sama yang lainnya: Antum mau nikah sama manusia atau mau nikah sama catatan tarbiyah? Sempurna amat...
Ya, kita sama-sama manusia, yang telah dipastikan punya kemungkinan untuk terjatuh pada salah dan lupa. Kita buka program komputer yang What You See is What You Get. Sebanyak apapun teori yang kita tau, buku yang kita baca, nasihat yang kita dengarkan (bahkan mungkin yang kita ucapkan), nyatanya –meminjam perkataan Ust. Syafiq Riza Basalamah; istrimu bukan bidadari, dan kau pun bukan malaikat. We are human being. Maka meletakkan harapan yang terlalu tinggi pada sosok bernama manusia, adalah satu jalan untuk terperosok pada kemungkinan kekecewaan yang mendalam. Termasuk kepada pasangan. And trust me, segala deskripsi diri, juga informasi-informasi dari orang lain, tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan seseorang secara utuh, kecuali setelah kita benar-benar telah hidup bersama dengannya. Bahkan seorang senior pernah berseloroh kepada saya, “Proses saling mengenal itu akan terus berjalan, hingga sepuluh tahun setelah pernikahan....” . Nah lho... So, just prepare your self. Toh, kita punya mekanisme-nasihat dalam kebenaran, dalam kesabaran, dan dalam kasih sayang, sekiranya salah satu dari kita terjatuh  pada kesalahan. Intinya sih, jangan hanya mengharapkan yang indah-indah saja, tapi jangan pula putus asa, apalagi paranoid pada semua orang. Masih banyak manusia baik kok di dunia ini. Yang penting seberapa besarnya hati kita untuk menerima, dan kembali yakin bahwa takdir Allah –yang telah menakdirkan kita berjumpa dengan si dia, tidak pernah salah. Hanya saja, mungkin kita belum melihat saja rahasia di baliknya. 

Lalu, dalam menjalani hari-hari, cara menyikapi sesuatu juga menjadi satu perkara yang penting untuk kita tengok kembali. Bagaimana kita menyusun prioritas, apa yang harus kita lakukan, jalan apa yang harus kita tempuh, atau mungkin apa yang sebaiknya kita tahan untuk sesaat, atau bahkan sama sekali kita tinggalkan. Dari Bapak saya belajar, bukan lewat nasihatnya secara verbal, bukan pula lewat ceramahnya saat di mimbar, ataupun dari tulisan yang ia buat. Tapi, dari apa yang Bapak tunjukkan dalam tahun-tahun pernikahannya dengan Mama, sepanjang yang saya saksikan sebagai anaknya. Bahwa, jangankan keinginan, bahkan kebutuhan sekalipun, terkadang tidak semuanya harus kita penuhi. Karena itulah, manusia diberikan kemampuan untuk bersabar. Dan bukankah, sabar itu balasannya surga? 

Meski kita tahu bahwa manusia itu bisa saja khilaf, namun menjadikan hal itu sebagai pembenaran untuk melakukan kesalahan, juga tentu tidak dapat dibenarkan. Sebab kita melihat, bahwa beberapa orang  memutuskan untuk lepas dari standar manusiawi yang kadang menjadi pembenaran untuk berbuat salah atau menjadi lemah. Mereka melakukan hal-hal luar biasa dan keputusan-keputusan yang berat yang membuat kita takjub dan bertanya-tanya; dari apa hati mereka diciptakan? Mengapa mereka bisa seteguh, setabah, dan sebaik itu? Mereka, membuat kita percaya, bahwa terkadang manusia memang bisa menjadi lebih baik dari malaikat. Dan dalam perjalanan pernikahan kita, semoga kita cukup menjadikan pemahaman tentang konsep-manusiawi itu sebagai cara kita untuk selalu berusaha memaafkan ia yang telah Allah takdirkan menjadi kawan seperjalanan kita, untuk kemudian memberi nasihat terbaik agar ia kembali ke jalan yang seharusnya, bukan justru sebagai alasan untuk menorehkan luka di hati pasangan, kemudian dengan santainya berujar; “Aku kan cuma manusia biasa....” 

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah: doa. Doa yang bukan hanya kita panjatkan dalam masa penantian menunggu datangnya pendamping hidup. Namun nyatanya lebih-lebih lagi kita hajatkan setelah memasuki gerbang pernikahan itu. Lah wong kita mah apa atuh... Hanya manusia yang tiada daya dan upaya... Jika Allah tak bantu kita, maka sulit bagi kita untuk mengarungi samudera luas kehidupan yang tidak selalu mulus-mulus saja ini. Hati kita berbolak-balik, pun dengan hati pasangan kita. Ada kalanya kita menjadi begitu ridho dengan hidup, namun ada juga saatnya kita menggerutu sendiri, meski mungkin hanya dalam hati. Ada saat di mana kita bisa sedemikian sabar, namun kerap kali pun kita harus ngos-ngosan menahan ego dan amarah dalam diri. Maka minta tolonglah kepada Allah. Juga mintalah untuk didoakan oleh hamba-hamba Allah shalih lainnya. Dan, bukankah sangat romantis saat dua orang yang telah berada dalam ikatan suci, mengucap doa-doa yang terbaik untuk pasangannya? *uhuk!*
 
Dalam sujud, saat kita berada pada momentum yang paling dekat dengan Rabb kita, saat kita melungsurkan segala ke-aku-an yang kita punya dan menempelkan kening kepada permukaan bumi Allah, berdoalah! Sebab di antara waktu shalat yang satu, dengan waktu shalat lainnya, selalu ada celah-celah syaitan yang akan sangat bangga jika berhasil mencipta jarak antara dua orang hamba yang saling mencintai karena Allah. Maka berdoalah, minta tolonglah hanya padaNya. Kepada Allah yang telah menautkan hati-hati kita. 

Hmm... dan sebab saya pun masih newbie di dunia yang rasanya ‘a whole new world’ banget ini, anggap saja tulisan ini sebagai sebuah PR yang kemudian saya angsurkan kepada pembaca yang jauh lebih berilmu dan berpengalaman, untuk kemudian semakin dilengkapi dan dikoreksi. Saya hanya sekadar mencoba membagi semacam laporan pandangan mata, dari apa yang sudah terjalani sependek pengalaman ‘menapak pada rembulan’ ini. Besok-besok, jika ada yang bisa kita bincangkan bersama lagi, semoga Allah berkenan menjadikan ruang ini sebagai sarana bagi kita untuk saling membagikan semangat, meraih berkah dalam menyempurnakan separuh agama. 

Jadi, kapan nih nyusul saya ke bulan? *kemudian ngacir*

Penghujung September yang berhujan dan berkabut, 2015.
Teruntuk orang-orang penting dalam kehidupan saya, yang satu per satu datang kabar bahagianya. Meski jasad tak langsung berjumpa, lewat tulisan ini, anggap saja kita sedang berbincang. Selamat menanti hari cahaya dalam husnudzan dan tawakkal. *hug*