“Jadi, analoginya seperti antara
astronom dan astronot...”
Saya tidak ingat betul, apa yang awalnya mengantarkan dosen berkacamata itu
membahas analogi astronom-astronot di kelas farmakokinetik siang itu. Terlebih
lagi, sebab kemudian kedua hal itu dikaitkan ke ranah yang selalu asyik untuk
diperbincangkan, terutama oleh para lajang; tentang pernikahan.
“Astronom itu belajar
tentang ilmu perbintangan, lewat teori, dari jauh, meski mereka tidak pernah ke
luar angkasa. Sedangkan astronot, mereka langsung ke sana! Ke bulan..
menjelajah di antara bintang... Ini ibarat seseorang yang belum menikah dan
yang sudah menikah.”
ujarnya dengan senyum mengembang. Setahu saya, saat itu dia pun masih berada
dalam kategori yang kedua.
Baiklah Pak Dosen, sepertinya kita akan meninggalkan sejenak pembahasan
tentang absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat...
Seluruh kelas semakin bersemangat menyimak perkataan pak dosen. Beberapa
kawan nampak memperbaiki letak duduknya. “Jadi,
orang yang belum menikah itu layaknya astronom. Mereka melihat dunia pernikahan
itu hanya dari jauh, hanya dari luarnya saja. Bahkan meskipun mereka belajar
tentang segala hal terkait pernikahan, toh mereka belum merasakannya sendiri. Hanya
sebatas teori! Kapan bisa jadi astronot? Nah, kalau sudah menikah. Baru bisa
merasakan sendiri. Melihat luar angkasa, mendarat di planet lain, sampai ke
bulan...” ujarnya.
Di kemudian hari, perbincangan tentang analogi yang menarik ini pun saya
bahas bersama seorang ukhti dalam sebuah kesempatan chit-chat. Saat itu, kami berdua masih berstatus singel (and happy, actually.. *ehem). Saya melemparkan konsep
astronom-astronot itu padanya. Ternyata, ia mengingatnya hingga kemudian ia
lebih dahulu menikah. Selepas merasakan masa-masa pernikahan itu, suatu waktu
pesan singkatnya yang selalu bernada manis, mendarat di ponsel saya.
“Diena-chan, saya sudah
sampai di bulan!”
Cerita-ceritanya tentang kehidupan pasca-menikah kemudian membuat saya
tersenyum sekaligus sadar; betapa sudut pandang bisa berubah, seiring dengan
pengalaman yang kita punya.
Benar sekali apa yang dikatakan oleh dosen saya tadi, bahwa sebanyak apapun
seorang lajang belajar tentang teori pernikahan, pada akhirnya pasti akan tetap
berbeda dengan mereka yang benar-benar sudah menikah. Saya sendiri, honestly, sudah mulai membaca buku-buku
tentang pernikahan bahkan sebelum berpikir ke arah sana *uhuk! Sebenarnya, salah satu faktornya hanya karena ingin
melengkapi koleksi buku karya penulis yang saya gemari tulisannya sih..
#ngelesmodeON. Ah, bukankah kita harus berilmu sebelum berkata dan beramal, yes?
Dan, semakin saya belajar, semakin saya sadar bahwa memang harus banyak
sekali yang dipelajari sebelum memasuki pintu gerbang pernikahan tersebut.
Tapi.... setelah benar-benar memasukinya, pemahaman baru kemudian muncul;
ternyata, jauuuuh lebih banyak yang harus dipelajari setelah ‘nyebur’ ke
dalamnya. Sebagai seorang astronot, meski kaki sudah menapak pada bulan,
nyatanya kita tidak boleh berhenti belajar. Belakangan saya semakin sadar, saat
kemudian kerap kali mendapat masukan bahwa sebagai seorang istri, seharusnya saya begini... seharusnya saya
begitu. Saya jadi sadar: wah, belajar yang kemarin ternyata memang sama
sekali tidak cukup! Lebih dari itu, teori yang nyempil di antar kerutan-kerutan
otak ini, ternyata memang jauh lebih mudah dibaca daripada diamalkan. *ya iyalah...
Apa yang bikin segalanya jadi tidak lagi sederhana? Menurut saya sih, karena kita tidak sendiri lagi. Seperti yang sudah
saya tulis sebelum-sebelumnya, bahwa menikah akan mengubah banyak hal. Kita,
-mau tak mau, akan berubah dan menemui serta mendapatkan hal-hal yang baru.
Berubah status, itu pasti. Tidak lagi sendiri, juga tentu saja. Plus, ada dua
orang tua baru yang kepadanya kita pun harus berbakti. Ada kakak dan adik baru,
serta sanak keluarga baru, yang lingkarannya akan semakin besar sebab sejatinya
kita bukan hanya ‘menikah’ dengan satu orang saja, tapi dengan satu keluarga
–dengan semua kompleksitas yang ada di dalamnya.
Saya teringat kejadian saat malam itu kedua orang tua pihak laki-laki, yang
kini menjadi bapak dan ibu mertua saya, secara resmi datang menemui Bapak dan
Mama. Setelah malam itu berlalu, sebelum kembali ke kamar, dan sebelum Bapak
merebahkan diri di pembaringan, Bapak menatap mata saya, kemudian berujar
dengan serius...
“Nanti, berbaktilah kepada
mereka berdua sebagaimana kamu berbakti kepada kami...”. Saya tidak punya kata-kata apapun selain
merespon Bapak dengan anggukan.
Kemudian, dengan seseorang yang selanjutnya menjadi kawan perjalanan itu,
ternyata meski hanya seorang saja, hal yang perlu dipelajari tidak kalah
kompleksnya. Saya selalu mencoba untuk mengerti bahwa di dunia ini tidak ada
seorang pun yang sama. Setiap orang punya masa lalu masing-masing, dan dengan
itulah ia terbentuk. Setiap orang, punya usaha, kerja keras, pemahaman, dan
jalan pikiran mereka masing-masing, dan dengan itulah mereka menjalani
kehidupannya hingga sampai pada titik di mana ia diperjumpakan dengan kita.
Maka, membaca teori yang default
terkadang memang tidak selalu harus membuat kita melihat segalanya dengan hitam
putih. Pada tataran praktis, akan ada saja faktor-x yang membuat sebuah teori
kadang tidak lagi cocok untuk satu keadaan. Sebab itu tadi, tiap orang berbeda,
sehingga harus pula dihadapi dengan cara yang berbeda.
Sebelum menikah dulu, satu hal yang menjadi bahan pikiran saya, dan
pertanyaan yang menari-nari dalam pikiran saya adalah; Dien, apakah kamu sudah selesai dengan dirimu sendiri?
Ya, penting bagi saya untuk kemudian memastikan bahwa saya sudah ‘menyelesaikan Diena Rifa’ah’ dalam diri
saya. Sebab setelah ini, tidak dapat dipungkiri, bahwa akan banyak sekali hal
yang berubah, kehidupan pada umumnya, cara kita menentukan pilihan-pilihan
hidup, serta pertimbangan-pertimbangan yang akan kita ambil.
Sebab, akan ada orang yang masuk melampaui batas-batas tembok kamar yang
selama ini kita tutup rapat dari siapapun. Akan ada orang yang akan turut
menyaksikan, untuk kemudian membantu menyeka air mata yang selama ini kita
sembunyikan –yang mungkin membuat orang di luar sana menyangka kita sedemikian tegar?
Akan ada orang yang akan membagi seluruh hari-harinya bersama kita, yang akan
membuat kita tertawa bersama, yang akan mengajak kita menjalani kesabaran
dengannya, dan menyusuri jalan-jalan kesyukuran dengan bergandeng tangan
dengannya –yang jemarinya akan menutup celah di antara jemari kita, dan
demikian pula sebaliknya. Akan datang orang, yang akan membuat kita bukan lagi
kita yang dulu. Sebab akhirnya kita menemukannya sebagai pakaian kita, dan kita
pun akan menjadi pakaian bagi dirinya. Saling melengkapi, saling melingkupi.
Memahami bahwa tidak ada orang yang sama, juga berarti menyinsafi bahwa tidak
ada orang yang sempurna. Kita akan tahu, bahwa sebagaimana kita bukan buku yang
berjalan, maka pasangan kita pun demikian adanya.
*Tiba-tiba saya mengingat anekdot tentang seseorang yang menetapkan standar yang begitu tinggi untuk bakal calon pasangannya. Saking idealnya standarnya, malah dikomentari sama yang lainnya: Antum mau nikah sama manusia atau mau nikah sama catatan tarbiyah? Sempurna amat...
Ya, kita sama-sama manusia, yang telah dipastikan punya kemungkinan untuk
terjatuh pada salah dan lupa. Kita buka program komputer yang What You See is What You Get. Sebanyak
apapun teori yang kita tau, buku yang kita baca, nasihat yang kita dengarkan
(bahkan mungkin yang kita ucapkan), nyatanya –meminjam perkataan Ust. Syafiq
Riza Basalamah; istrimu bukan bidadari, dan kau pun bukan malaikat. We are human being. Maka meletakkan
harapan yang terlalu tinggi pada sosok bernama manusia, adalah satu jalan untuk
terperosok pada kemungkinan kekecewaan yang mendalam. Termasuk kepada pasangan.
And trust me, segala deskripsi diri,
juga informasi-informasi dari orang lain, tidak akan pernah cukup untuk
menggambarkan seseorang secara utuh, kecuali setelah kita benar-benar telah
hidup bersama dengannya. Bahkan seorang senior pernah berseloroh kepada saya, “Proses saling mengenal itu akan terus berjalan,
hingga sepuluh tahun setelah pernikahan....” . Nah lho... So, just prepare your self. Toh, kita
punya mekanisme-nasihat dalam kebenaran, dalam kesabaran, dan dalam kasih
sayang, sekiranya salah satu dari kita terjatuh
pada kesalahan. Intinya sih, jangan hanya mengharapkan yang indah-indah
saja, tapi jangan pula putus asa, apalagi paranoid pada semua orang. Masih
banyak manusia baik kok di dunia ini. Yang penting seberapa besarnya hati kita
untuk menerima, dan kembali yakin bahwa takdir Allah –yang telah menakdirkan
kita berjumpa dengan si dia, tidak pernah salah. Hanya saja, mungkin kita belum
melihat saja rahasia di baliknya.
Lalu, dalam menjalani hari-hari, cara menyikapi sesuatu juga menjadi satu
perkara yang penting untuk kita tengok kembali. Bagaimana kita menyusun
prioritas, apa yang harus kita lakukan, jalan apa yang harus kita tempuh, atau
mungkin apa yang sebaiknya kita tahan untuk sesaat, atau bahkan sama sekali
kita tinggalkan. Dari Bapak saya belajar, bukan lewat nasihatnya secara verbal,
bukan pula lewat ceramahnya saat di mimbar, ataupun dari tulisan yang ia buat.
Tapi, dari apa yang Bapak tunjukkan dalam tahun-tahun pernikahannya dengan
Mama, sepanjang yang saya saksikan sebagai anaknya. Bahwa, jangankan keinginan, bahkan kebutuhan sekalipun, terkadang tidak
semuanya harus kita penuhi. Karena itulah, manusia diberikan kemampuan
untuk bersabar. Dan bukankah, sabar itu balasannya surga?
Meski kita tahu bahwa manusia itu bisa saja khilaf, namun menjadikan hal
itu sebagai pembenaran untuk melakukan kesalahan, juga tentu tidak dapat
dibenarkan. Sebab kita melihat, bahwa beberapa orang memutuskan untuk lepas dari standar manusiawi
yang kadang menjadi pembenaran untuk berbuat salah atau menjadi lemah. Mereka
melakukan hal-hal luar biasa dan keputusan-keputusan yang berat yang membuat
kita takjub dan bertanya-tanya; dari apa hati mereka diciptakan? Mengapa mereka
bisa seteguh, setabah, dan sebaik itu? Mereka, membuat kita percaya, bahwa
terkadang manusia memang bisa menjadi lebih baik dari malaikat. Dan dalam
perjalanan pernikahan kita, semoga kita cukup menjadikan pemahaman tentang
konsep-manusiawi itu sebagai cara kita untuk selalu berusaha memaafkan ia yang
telah Allah takdirkan menjadi kawan seperjalanan kita, untuk kemudian memberi
nasihat terbaik agar ia kembali ke jalan yang seharusnya, bukan justru sebagai
alasan untuk menorehkan luka di hati pasangan, kemudian dengan santainya
berujar; “Aku kan cuma manusia biasa....”
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah: doa. Doa yang bukan hanya kita
panjatkan dalam masa penantian menunggu datangnya pendamping hidup. Namun
nyatanya lebih-lebih lagi kita hajatkan setelah memasuki gerbang pernikahan
itu. Lah wong kita mah apa atuh... Hanya manusia yang tiada daya dan upaya...
Jika Allah tak bantu kita, maka sulit bagi kita untuk mengarungi samudera luas
kehidupan yang tidak selalu mulus-mulus saja ini. Hati kita berbolak-balik, pun
dengan hati pasangan kita. Ada kalanya kita menjadi begitu ridho dengan hidup,
namun ada juga saatnya kita menggerutu sendiri, meski mungkin hanya dalam hati.
Ada saat di mana kita bisa sedemikian sabar, namun kerap kali pun kita harus
ngos-ngosan menahan ego dan amarah dalam diri. Maka minta tolonglah kepada
Allah. Juga mintalah untuk didoakan oleh hamba-hamba Allah shalih lainnya. Dan,
bukankah sangat romantis saat dua orang yang telah berada dalam ikatan suci,
mengucap doa-doa yang terbaik untuk pasangannya? *uhuk!*
Dalam sujud, saat kita berada pada momentum yang paling dekat dengan Rabb
kita, saat kita melungsurkan segala ke-aku-an yang kita punya dan menempelkan
kening kepada permukaan bumi Allah, berdoalah! Sebab di antara waktu shalat
yang satu, dengan waktu shalat lainnya, selalu ada celah-celah syaitan yang
akan sangat bangga jika berhasil mencipta jarak antara dua orang hamba yang
saling mencintai karena Allah. Maka berdoalah, minta tolonglah hanya padaNya.
Kepada Allah yang telah menautkan hati-hati kita.
Hmm... dan sebab saya pun masih newbie
di dunia yang rasanya ‘a whole new world’
banget ini, anggap saja tulisan ini sebagai sebuah PR yang kemudian saya
angsurkan kepada pembaca yang jauh lebih berilmu dan berpengalaman, untuk
kemudian semakin dilengkapi dan dikoreksi. Saya hanya sekadar mencoba membagi
semacam laporan pandangan mata, dari apa yang sudah terjalani sependek
pengalaman ‘menapak pada rembulan’ ini. Besok-besok, jika ada yang bisa kita
bincangkan bersama lagi, semoga Allah berkenan menjadikan ruang ini sebagai
sarana bagi kita untuk saling membagikan semangat, meraih berkah dalam
menyempurnakan separuh agama.
Jadi, kapan nih nyusul saya ke bulan? *kemudian
ngacir*
Penghujung September yang
berhujan dan berkabut, 2015.
Teruntuk orang-orang penting
dalam kehidupan saya, yang satu per satu datang kabar bahagianya. Meski jasad tak
langsung berjumpa, lewat tulisan ini, anggap saja kita sedang berbincang.
Selamat menanti hari cahaya dalam husnudzan dan tawakkal. *hug*
dmn q skg tinggal dien na berhujan sm berkabut???
BalasHapussejak akhir September di Malaysia sudah berhujan dan dapat kiriman kabut asap dari Indonesia, kak.
HapusMaasyaaAllah....inspiring sekali
BalasHapussemoga bermanfaat, Kak
Hapussaya baru mau berajar jadi astronom kak--"
BalasHapusmari terus belajar, Dek... :)
Hapus