Jumat, 29 April 2011

Catatan Hati Seorang Asisten


Duh, judulnya dong! Kesannya lebay dan dramatis sekali, yah? Hehehe..Tak apalah, biar enak dibaca! Ok, tulisan ini saya mulai dengan sebuah fragmen di masjid Umar bin Khattab, sekitar empat tahun yang lalu.

Seorang mahasiswi dikelilingi oleh beberapa muslimah yang nampak lebih muda darinya. Hari itu, seperti biasa, mereka akan mengikuti sebuah majelis yang dijadwalkan setiap pekannya. Sambil menunggu pematerinya tiba, mereka saling bercerita dan bertukar kabar. Dan topik yang paling hangat di majelis ngobrol tersebut adalah; persiapan kuliah!

Ya, mayoritas dari mereka memang baru saja selesai mengikuti ujian akhir SMA. Mereka sedang semangat-semangatnya menata masa depan untuk menuju universitas idaman masing-masing. Salah seorang dari mereka yang memang nampak lebih senior, akhirnya menjadi narasumber untuk menceritakan suka-duka dunia kampus kepada adik-adik yang terus mendengarkan ulasannya dengan mata berbinar.

“Biasanya yang agak berat itu kegiatan praktikum...”, ujarnya dengan pandangan menerawang, seolah sedang mengulang kembali memori tentang betapa ribetnya aktivitas di laboratorium. “Kadang yang bikin susah sih, asisten labnya...” lanjutnya.

Para adik-adik tadi terlihat tegang. Membayangkan senioritas yang akan terjadi, lebih-lebih karena kali ini erat hubungannya dengan ranah akademik, bukan sekadar lembaga atau organisasi.

“Tapi, biasanya akhwat yang jadi asisten justru punya ladang dakwah yang bagus...” sambung si kakak dengan wajah ceria, “Jadinya khan mereka lebih disegani, makanya kalau mengajak ke kegiatan-kegiatan, biasanya lebih banyak yang mau ikut kalau asisten yang ngajak!” ia tersenyum.

Ketegangan tadi langsung buyar. Mereka saling bertatapan. Lalu seolah dapat saling membaca pikiran, mereka tersenyum lebar. Dalam hati masing-masing, diam-diam mulai muncul azzam; kelak, kami akan jadi asisten juga!

Hmm..., salah satu dari anak-baru-lulus-sma di atas tadi adalah SAYA. Teman-teman saya yang lain sekarang sudah pada menyebar, di Undip, di STAN, dan ada pula yang sudah sarjana di universitas yang sama dengan saya. Semoga mereka semua baik-baik saja. Amin.

Nah, alkisah, setelah akhirnya dinyatakan lulus pada pilihan pertama di kampus saya sekarang, saya mulai menjalani hari-hari sebagai seorang mahasiswi baru. Bagaimana dengan azzam untuk jadi asisten tadi?

Hmm..., ternyata keinginan itu menguap seketika ketika saya berhadapan dengan dunia lab yang sesungguhnya. Waktu itu, di semester satu, kami dijadwalkan melewati tiga lab; kimia dasar, fisika dasar, dan morfologi tumbuhan. Waktu itu keadaan lumayan aman terkendali. Jurnal praktikum kebanyakan diselesaikan saat kegiatan lab berlangsung. Selain itu, pantulan dari asisten saat memeriksa laporan juga tidak terlalu memberatkan, mungkin juga karena materinya yang belum terlalu berat.

Nah! Pas masuk semester dua, kehidupan yang kelam dimulai! Hehehehe... Saat kami dihempas dengan enam lab sekaligus! Menghadapi lab farmasetika, ditantang oleh lab anatomi-fisiologi manusia, diterjang oleh lab farmakognosi di lantai enam, mumet dengan kimia analisis farmasi, heboh bersama kimia fisika, lalu tersaruk-saruk dengan kimia organik. Yah, tidak ada hari libur, dan tidak ada jadwal tidur nyenyak.

Kadang kami ke kampus dengan napas terengah dan nyawa yang tinggal setengah karena harus berkhalwat dengan laporan semalaman. Dan lab bukan hanya sekadar absen dan ikut kegiatannya, lalu beres masalah! Lab adalah menyelesaikan tugas pendahuluan, merapal ilmu buat respon yang kadang ada tiga lapisan, heboh dengan peralatan-peralaran di dalamnya (jadi ingat si jergen!), laporan yang harus selesai tepat waktu, pantulan dan revisi laporan, hingga diskusi dengan asisten. Dan kata terakhir itu; ASISTEN, seolah menjadi begitu sakral karena merupakan oknum yang sangat menentukan survive tidaknya kami dalam mengarungi bahtera praktikum yang paripurna *halah*

Mungkin, karena baru semester awal, masih pekatnya aroma MABA kami, juga dengan jadwalnya yang tidak kepalang tanggung, asisten terlihat lebih galak dan berjarak. Yah, kami merasa sangat sungkan dan takut-takut pada mereka (atau saya saja, yah?). Dan pemikiran saya saat itu mengambil kesimpulan: Sebaik apapun seseorang, kalau sudah jadi asisten, maka kemungkinan besar dia akan jadi menjengkelkan!

Nah lho! Yah, tapi begitulah pemikiran saya saat itu. Saya merasa ada saja momen-momen yang membuat saya jengah pada mereka; ditunggui sampai selesai kuliah hanya buat tiga huruf yang bermakna: ACC, diatur-atur untuk datang pagi-pagi buta padahal dirinya sendiri terlambat, ditanya pertanyaan-pertanyaan yang susah pas respon atau diskusi (ya iyalah...), atau sampai laporan yang dibatalkan padahal sudah dikerjakan semalaman! Hmm...pokoknya waktu itu azzam saya malah berubah 180 derajat: Saya tidak akan pernah mau jadi asisten!

Hehehe...Padahal ada saja dari mereka yang baik, bahkan yang sangat baik sama praktikan, lho! Tapi rasanya jadi sesendok gula dalam secangkir tuba; gak kerasa manisnya! Mungkin juga karena waktu itu terlalu sibuk memikirkan kuliah dan lab yang bejibun sampai-sampai tidak ada waktu untuk pikiran baik (ya Allah...>_<)

Trus, saya masih terus istiqamah dengan ketidakinginan untuk jadi asisten itu. Meski kemudian teman-teman satu per satu mendaftar buat jadi asisten. Selain sibuk masih nge-lab, mereka juga dengan setia mengawas praktikum sebagai seorang asisten.

Suatu malam, ayah dan saya berbincang santai. Ayah seorang dosen dengan latar belakang pendidikan non-eksak mulai bertanya-tanya kenapa saya tidak jadi asisten; katanya biar bisa ngajar dan nanti lebih mudah kalo daftar jadi dosen (padahal saya tidak bercita-cita untuk itu). Saya pun menjelaskan, bahwa di fakultas saya, para asisten itu bukan ngajar di kelas (kayak yg non eksak), tapi mengawas kegiatan praktikum di lab. Trus ayah nanya;

“Digaji berapa asisten di kampusmu?” tanya beliau. Saya yang memang tidak ada pengalaman dan tidak tahu menahu dengan gaji-gajian itu menjawab ngasal.

“Ndak digaji, paling dibagi teh kotak tiap satu kali ngawas...” ujar saya, cuek

Ayah mengernyitkan kening. “Ya udah, ndak usah jadi asisten, nanti Bapak kasih uang buat beli teh kotak!” ujar Ayah, ndak kalah ngasal! Hehehehe...

Hingga kemudian, di suatu siang di semester enam, saya berpapasan dengan seorang dosen mata kuliah Farmasi Fisika yang mendapati saya yang lagi ngantri WC.

“Sekarang kegiatan kamu apa?” tanya beliau. Saya menjawab sambil tunduk-tunduk. Segan.

“Habis Dhuhur ada kuliah, Pak..” jawab saya. Pak Dosen menggeleng. Jawaban saya sepertinya bukan yang ia inginkan.

“ Bukan, maksud saya, kamu sekarang mengawas lab apa? Asisten di mana?” tanyanya lagi.

Saya menggeleng kuat. “Tidak, Pak. Saya bukan asisten!”

Pak dosen mengangkat alisnya. Senyumnya seolah berkata; Aha! Dan tanpa merasa penting dengan keputusan saya, ia berkata, “Kalau begitu kamu mengawas di lab mata kuliah saya! Nanti kalau ada pembukaan calon asisten, langsung daftar yah!” ujarnya, lalu berlalu. Saya bengong.

Maka semester itu, saya resmi menjadi asisten Farmasi Fisika; mata kuliah yang tanpa disangka dan tanpa diduga menghadiahkan nilai A pada saya. Mata kuliah yang lumayan bikin mumet dan terus terang kurang saya senangi. Ia adalah dasar untuk beberapa mata kuliah dan lab lanjutan di semester-semester berikutnya di bawah naungan kelompok mata kuliah berbau teknologi farmasi. Saya, sebenarnya lebih punya feel ke farmakologi. Maka, dengan telak, saya merasa nyasar di ranah tersebut! Tragis.

Namun kemudian, dengan segala konsekuensi yang ada, saya kembali belajar. Kadang, saya merasa lebih seperti belajar bersama dengan para praktikan ketimbang sedang membimbing mereka. Tapi, tak apalah, sebab saya akan terus berusaha, meski tak jarang saya merasa kurang maksimal. Sekaligus, kasihan sama praktikan yang saya dampingi, karena tidak dapat memeroleh ilmu yang lebih banyak dari saya yang terbatas ini.

Menjadi asisten, membuat saya dapat melihat dunia lab dari dua sisi; sebagai praktikan dan sebagai asisten. Itu membuat saya menjadi lebih komperhensif (halah, bahasanya!) dalam hal ini. Sebab ternyata, asisten pun ada masanya menunggu praktikan. Ternyata, asisten bingung juga kalau praktikan tidak juga datang memeriksakan laporannya. Dan kepikiran pula jika jadwal diskusi tidak ketemu-ketemu sama mereka! Yah, seolah ada kepentingan juga dengan ‘keselamatan’ mereka mengarungi praktikum ini. Dan itu tidak mungkin saya ketahui, tanpa menjadi seperti sekarang; menjadi asisten.

Kadang, jengkel juga dengan praktikan yang ‘semau gue’ dan malas bikin laporan. Belum lagi yang suka bohong atau tidak punya sopan santun sama yang lebih tua. Atau pun yang suka ribet dan terkesan hanya ingin ‘menguji’ kemampuan asisten. Untuk mereka, kadang saya bergumam dalam hati; saya dilahirkan bukan hanya untuk memeriksa laporan dan berdiskusi dengan kalian!

Pada akhirnya, memang selalu lebih baik jika kita memandang segala sesuatu dari semua sisi. Agar lebih bijak dalam setiap pemikiran dan prasangka dalam diri. Saya, kini melihat para asisten bukan lagi dari sisi galak atau ‘sok kuasa’nya, tapi juga sebagai mereka yang tulus meluangkan waktu dan kemampuan otak, untuk membantu adik-adik mereka memahami sebuah konsep dan merasa bahwa ilmu itu memang luar biasa!

Selain menuntun kepada ilmu, saya sebagai asisten di lab dasar juga merasa bertanggung jawab untuk mengajarkan mereka attitude agar bisa terus merasa nyaman di kampus farmasi. Saya mungkin tidak seperti teman-teman yang lain, yang mengawas di beberapa lab sekaligus, atau selalu mengawas di tiap semester. Saya cuma mengawas di tiap semester genap, dan hanya untuk satu lab itu saja. Masalah waktu adalah hal terpenting untuk dipertimbangkan. Saya hanya kasian kepada para praktikan yang selalu menganggap saya ‘susah didapat’ karena memang punya banyak agenda di luar kampus (sok sibuk mode ON). Maka, saya menganggap hanya bisa maksimal dan bertanggung jawab dengan porsi seperti sekarang saja. Dengan satu lab saja.


Semoga ini semua menjadi kemanfaatan yang berbuah pahala. Dan semoga asisten-asisten yang telah membimbing saya dikala masa lab dulu juga dimudahkan dalam setiap urusannya. Maafkan saya pernah berprasangka buruk pada kalian. Semua ilmu, termasuk marah-marah dan laporan yang dibatalkan merupakan pembelajaran untuk lebih kuat di fase selanjutnya setelah segala lab ditaklukkan. Maka, untuk semua asisten yang begitu tulus, dimanapun kalian berada; Terima kasih. Terima kasih.

Kamis, 28 April 2011

Rencana Masa Depan


Setiap masa punya tantangannya sendiri. Ya, saya percaya dengan itu. Jika dulu saya sering merasa sebagai ‘termalang di dunia’ pas lagi sibuk-sibuknya ‘ngelab’: pagi-ngampus-kuliah(sambil curi2 kerja laporan)-luntangluntung persiapan lab-masuk lab-pulang malam-tidur bentar-bangun lagi kerja laporan-udah pagi lagi-ngampus lagi. Begitu terus sampai tidak terasa satu persatu lab terlewati, dan memasuki masa-masa akhir kuliah S1. Dulu, seringnya menatap iri ke senior-senior yang bisa (kelihatan) lenggang-kangkung di kampus karena sudah bergelar ‘sarjana lab’. Sekarang, baru terasa bagaimana galaunya saat lab telah selesai, tapi penelitian menanti. Tidak ada lagi teman lab yang mensupport, atau bahkan memaksa-maksa untuk menyelesaikan laporan ataupun mengerjakan prosedur yang ada. Sekarang, semua kembali ke kesadaran sendiri-sendiri. Urusan sendiri-sendiri. Kalau rajin yah cepat lulus, kalau kagak yang terus saja jadi maba (mahasiswa abadi, red). Maka fase ini, sungguh, tidak lebih ringan dari fase sebelumnya.

Nah, dimasa-masa ini juga, jadinya sudah jarang ngumpul dengan teman-teman seangkatan. Rata-rata sudah tidak ada jadwal kuliah. Berfokus pada penyelesaian tugas akhir, sambil beberapa tetap setia mengabdi sebagai asisten lab. Karena itu, saya pribadi jadinya kadang menghabiskan waktu sendiri. Baik di lab mikro, sambil mengerjakan penelitian, atau pun sekadar duduk-duduk di mushala MPM, atau mampir mengetik dan baca-baca di perpus pusat atau perpus fakultas.

Ya, jadinya sering sendiri. Dan kesendirian itu membuat saya punya waktu lebih banyak untuk berbicara dengan diri sendiri, mencoba mengenal diri sendiri. Darinya, muncul kemudian pemikiran-pemikiran dan rencana rencana yang tadinya tidak terpikirkan. Terinspirasi dari buku-buku yang saya baca pas lagi sendiri itu. Atau dari sekadar memperhatikan sekeliling, dan mencoba berdialog dengan hati tentang apa saja yang terjadi itu.

Akhirnya, sebuah rencana yang sebelumnya tidak pernah terniatkan, bahkan terlintas sekalipun mulai muncul. Tentang apa yang akan saya lakukan setelah lulus nanti. Cukup berbeda jauh dengan peta hidup yang sudah (sok) saya buat saat semester-semester awal dulu. Ditambah juga dengan meminta pertimbangan kepada beberapa kawan. Saya rasa, mungkin memang sudah saatnya saya memikirkan semua itu sejak sekarang. Mumpung masih tersisa waktu yang cukup sebelum akhirnya insya Allah benar-benar mendapatkan gelar sarjana. Agar nantinya tidak menjadi kelabakan dengan pertanyaan; setelah ini akan kemana?

Yang jelas, tujuannya sudah ada dan insya Allah tidak akan diubah-ubah. Initinya, saya tidak ingin semua perjuangan selama kuliah ini menjadi sia-sia, melainkan bisa menjadi kontribusi untuk ummat. Lalu tentu saja, tidak serta merta meninggalkan kesenangan dan ‘jiwa’ saya begitu saja.

Hmm..., saya tidak tahu akan bagaimana nantinya. Tidak tahu juga saya akan berada di mana, dengan siapa, dalam keadaan bagaimana, dan pertanyaan lainnya. Yang jelas, sekarang saatnya menata rencana masa depan. Semoga tidak ada perubahan lagi, jadi bisa fokus dengan langkah-langkahnya. Doakan yah! ^_^

Minggu, 24 April 2011

JAIM!


Jaim adalah sebuah istilah yang menunjukkan seseorang yang suka ‘jaga imej’, ‘rasa bahasa’nya kemudian menjadi negatif karena seringkali disandingkan dengan hal-hal yang fake –palsu, menipu, dan tidak alami. Orang jaim terkadang dinilai tidak menjadi dirinya sendiri. Bahkan, dalam taraf ekstrem, mereka sering disamakan dengan ‘munafik’. Padahal, ancaman untuk menafikin itu sangat mengerikan, tidak tanggung-tanggung: neraka Janannam!



Saya pun dulu berpikiran demikian. Namun kemudian, pemikiran itu kemudian berubah, di suatu hari bertahun yang lalu, saat saya masih mengenakan sehelai kain kecil sebagai penutup kepala. Dan malu-malu mengikuti musyawarah pertama di rohis sekolah semasa SMA. Masih dengan tampang polos tidak tahu apa-apa, sepanjang pengarahan awal diberikan oleh seorang kakak, saya tertunduk. Sok hikmat. Tapi, ada satu perkataan beliau yang hingga saat ini tidak akan bisa saya lupakan. Di masa selanjutnya, ia menjadi semacam pegangan yang sangat berarti bagi saya. Menjadi rem saat saya terlupa dan berjalan terlalu jauh dari ‘lingkaran’.



“Mulai sekarang,” ucapnya dengan suara lembut. Menatap kami satu-persatu, anggota-anggota baru yang akan dipimpinnya dalam sebuah departemen kecil di rohis itu. “Diena yang duduk di hadapan saya, bukan lagi Diena saja.” Lanjutnya. Saya yang sebelumnya menunduk, kemudian mengangkat pandangan. Mendapati dua bola mata yang memandang kami dengan lembut. Nampak berusaha untuk menjelaskan semuanya dengan perlahan.

“Diena, misalnya. Bukan lagi sekadar Diena saja. Orang-orang di luar sana akan mengikutkan embel-embel ‘rohis’, remaja mushalla, dibelakang nama ukhti.” Ia menarik napas panjang. “Jadi, kita semua, tidak boleh egois dengan menganggap bahwa segala hal yang kita kerjakan HANYA akan berimbas pada diri kita sendiri. Sebab, kita telah mewakili komunitas kita. Jika kita berbuat salah, orang di luar sana juga akan menganggap bahwa saudari-saudari kita yang lain, yang berpenampilan sama seperti kita, juga sama buruknya dengan kita.”, ujarnya. “Tapi, bukankah sebenarnya tidak semuanya seperti itu khan?” tanyanya. Kami mengangguk



“Orang-orang akan pukul rata yah, Kak?” tanya saya.



Kakak tadi tersenyum sambil mengangguk. “Ya, karena itu, kita harus berhati-hati dalam bersikap. Boleh dibilang, kita harus jaga imej. Bukan imej kita pribadi. Tapi imej muslimah-muslimah lain yang terwakilkan dengan diri kita.”, lanjutnya.



Saya terpana. Dan tetap akan terpana jika kembali mengulang kejadian itu hingga kini. Nasihat itu telah banyak membuka mata saya, betapa bahayanya jika kita tidak ‘jaim’. Artinya, kita dengan mudah melakukan sesuatu ‘suka-suka gue’, tanpa pernah berpikir bahwa mungkin saja, kesalahan kita hari ini, akan menghambat dakwah saudari kita yang lain di kemudian hari. Bahkan, bisa saja menjadi legitimasi oleh SEMUA ORANG untuk melakukan hal yang sama. Mereka akan berdalih, “Si ‘ukhti’ saja boleh begitu, kok kita tidak?”. Nah! Berabe khan!



Tulisan ini merasa perlu saya share setelah membaca status seorang senior yang bingung melihat sebuah fenomena yang ia saksikan, lalu kebingungannya itu ia ungkapkan dalam sebuah kalimat sederhana, tapi menghentak saya; Katanya dalam Islam tidak ada pacaran, tapi kenapa itu akhi-ukhti malah pacaran? Juga saat di suatu sore seorang adik bercerita pada saya tentang sebuah kesalahan yang memalukan, dilakukan oleh seorang jilbaber dan seorang pemuda yang berpenampilan alim. “Yang perempuan pakai jilbab kayak kakak, yang laki-laki juga gayanya kayak ikhwan-ikhwan, Kak.. Tapi kenapa mereka begitu?” tanyanya dengan tatapan bingung pada saya. Sepersekian detik saya menghembuskan napas. Terjadi lagi. Gumam saya dalam hati. Lalu saya mencoba buka suara,



“Dek, betapa banyak saat ini orang-orang yang terperangkap dalam tubuhnya sendiri”, saya, mencoba menatap berpasang mata adik-adik yang dipenuhi rasa ingin tahu. Berharap apa yang saya sampaikan akan sampai di pikiran. Sampai di hati mereka. “Mereka itu, pernah berilmu, namun kemudian lupa bahwa keimanan itu perlu terus di upgrade karena ia bersifat dinamis. Menurun dengan maksiat, dan bertambah dengan ketaatan. Saat mereka berada di posisi ‘turun’ mereka merasa tidak dapat mengubah penampilannya lagi. Mungkin, karena faktor masih adanya rasa malu, atau faktor lainnya. Dan mereka pun terperangkap. Penampilannya masih akhwat-ikhwan, tapi mindsetnya mungkin sudah beda. Dan mereka itu butuh didoakan, bukan hanya sekadar disalahkan. Mereka itu hanya oknum, dan tidak semua yang berpakaian yang sama dengan mereka juga melakukan hal demikian.”, ujar saya panjang lebar.



Adik-adik itu nampak mengangguk. Dan hati saya masih terus menderu, dan kembali tersadar betapa mahalnya harga hidayah. Betapa mahalnya sebuah kesadaran untuk tampil baik, bukan untuk mengundang rasa kagum orang lain. Tapi semata-mata sebagai wujud pencitraan kita terhadap komunitas kita, lebih luas lagi, terhadap agama kita.



Ustadz Dr. Syafi’ie Antonio, seorang pakar ekonomi syari’ah yang juga muallaf dari kepercayaan Kong Hu Chu, hingga saat ini masih terus berusaha mengajak ayahnya masuk Islam. Sebab ayahnya mempersyaratkan, baru akan masuk Islam, jika ummat Islam itu bisa menjaga kebersihan mereka. See it? Ini semua masalah pencitraan. Terserahlah, apakah kita merasa bahwa kita nyaman dengan keadaan kita sendiri, seburuk apapun itu. Tapi lihatlah, mungkin saja karena kesalahan ‘kecil’ kita, ada orang lain yang akan terhalang dari hidayah Allah; karena kita. Naudzubillah.



Maka biarkan jaim=jaga imej tetap terpelihara bagi diri kita. Sekali lagi, bukan untuk pribadi kita sendiri. Bukan untuk menipu dengan kebohongan agar nampak ‘wah’ dari sisi packaging-nya, namun ternyata busuk di bagian dalamnya. Bukan. Tapi untuk mengembalikan kembali citra. Bukan citra siapa-siapa, tapi citra ISLAM. Agama kita.



__________________________________________________________________

“Kak, bukankah itu berat? Jaga imej itu, hanya menjadi beban bagi diri kita sendiri!” tanya saya, dibarengi semacam protes.



Kakak tadi mengangguk takzim. Seolah sangat paham bahwa pertanyaan itu akan keluar dari bibir saya. “Berat, dek. Tapi bukankah ia menjadi pengingat? Awalnya mungkin kita terpaksa, merasa bertopeng dan sedang akting belaka. Tapi semoga, ia menjadi semacam pembelajaran, pembiasaan. Dakwah kita, bagi diri kita sendiri. Setelah terpaksa, berusaha membiasakan, semoga kita suatu saat dapat membuka topeng itu, lalu mendapati wajah kita ternyata jauh lebih indah dari topeng yang kita pancangkan. Insya Allah.”, jawabnya. Saya mengangguk.

“Berdoalah, agar dimudahkan.”, tutupnya.



(Di sini, langitnya terlihat jelas sekali. Senjanya telah menguning. Indah. 24 April 2011)

gambar: devianart.com

Sabtu, 23 April 2011

Ketika Penulis Jatuh Cinta


dan bila cinta adalah abadi

maka lihatlah bahwa maut akan menghentikan semua ini

dan menjawab tanya kepada siapa seharusnya kita berpaling

dan bila itulah cinta

ya, semoga cinta padaNya saja

karenaNya saja

(Sajak “Dan Bila Cinta”)

Ketika penulis jatuh cinta, merupakan judul sebuah buku antologi yang ditulis oleh Asma Nadia dan kawan-kawan. Memuat tujuh belas tulisan para penulis senior hingga yang masih muda (dan berbakat). Semuanya berbicara tentang kisah mereka saat jatuh cinta. Buku itu telah saya miliki cukup lama. Dan membacanya selalu membawa kesegaran tersendiri.

Mengapa harus penulis? Mungkin karena sosok mereka lebih identik dengan karakter yang introvert dan untouchable. Yah, sepopuler apapun seorang penulis, mereka selalu membawa kesan yang lebih misterius dibanding publik figur lainnya, semisal artis atau politisi. Mungkin, karena itulah kisah jatuh cinta mereka jauh lebih menarik dan mengundang tanda tanya. Mungkin.

Benarkah semua orang pernah jatuh cinta? Yah, sepertinya demikian. Tentunya jika cinta dimaknai dalam arti yang lebih umum. Bukan sebatas kepada lawan jenis saja, seperti yang selama ini banyak dikoarkan oleh lirik-lirik lagu Indonesia yang very-very-easy-listening itu. Oleh Salim A. Fillah, seorang penulis jempolan, lelaki yang menikah di usia 20 tahun ini mencoba mendefinisikan frasa ‘jatuh cinta’ atau ‘dijatuhi cinta’ dalam sebuah ‘rasa’ yang lebih positif dengan menyebutnya ‘BANGUN cinta’. Beliau menulis;

Ada dua pilihan ketika bertemu cinta

Jatuh cinta dan bangun cinta

Padamu, aku memilih yang kedua

Agar cinta kita menjadi istana, tinggi menggapai surga

Bagi saya sendiri, terkadang saya merasa tidak begitu matching dengan tulisan bertema cinta. Kadang, kata ‘cinta’ hanya saya pinjam untuk tulisan yang (sebenarnya) tidak mengarah ke sana, agar lebih menarik pembaca untuk memulai membacanya. Selebihnya, mungkin beberapa kawan akan menganggap ‘ada yang aneh’, jika saya mencoba membedah topik ini. Kadang malah ada yang sampai berpikir yang macam-macam alias berpikiran yang terlalu jauh. Terlihat saat saya mengutip sebuah ayat dalam Surah Al Furqan dalam status FB.

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Furqan [25]: 74]

Honestly, ayat itu saya temukan saat membaca Al Qur’an dan menganggapnya sebagai doa yang bagus dan indah. Selain itu seingat saya, dulu, Aa’ Gym selalu membaca ayat itu di akhir ceramahnya, dan saya selalu menyukai aksen beliau saat mengucap kata ‘qurrata a’yun’. Tapi ternyata, oleh teman-teman diartikan terlalu jauh. Tenang, kawan. Saya masih Diena yang dulu. *apasihh... >_<*

Tentu bukan hanya penulis yang jatuh cinta. Semua orang berhak. Cuma mungkin cara dan ekspresinya yang berbeda-beda. Ketika anak gaul jatuh cinta, mungkin dia akan langsung nembak “Mau gak Lo jadi pacar Guweh?”. Ketika orang romantis jatuh cinta, maka ia akan segera mengeluarkan rayuan mautnya (baca: gombal). Ketika seorang jenius jatuh cinta, dia mungkin akan tidak begitu pintar lagi, karena konsentrasinya terganggu, atau justru semakin jenius karena semangat belajarnya yang semakin menggebu. Dan ketika aktivis jatuh cinta, mungkin ia akan semakin menyibukkan diri agar terlupa, atau menganut asas ‘cinta dalam diam’ sambil terus berdoa dan ikhtiar di jalan yang benar. ^_^

Ketika seorang ibu jatuh cinta. Maka ia rela dibebani berkilogram ke mana saja ia pergi. Rela berada antara hidup dan mati saat melahirkan. Rela terganggu tidurnya saat menyapih selama dua tahun. Ketika seorang ayah jatuh cinta, maka ia akan bekerja membanting tulang untuk senyuman anggota keluarganya. Ia tampil sebagai sosok terkuat untuk menguatkan anak-anaknya. Sosok terbaik untuk menjadi contoh bagi mereka. Dan ketika kedua orang tua masih menyemai cinta, mereka rela tetap hidup berdua saja. Saat ditanya, bibir keriputnya berucap, “Kami tidak ingin merepotkan kalian...”. Aah... T_T

Ketika seorang sahabat jatuh cinta, maka hal yang lebih spesial akan terjadi. Sebab mereka tidak terikat oleh kekerabatan dan hubungan darah. Namun, mereka mengisi dan saling berbagi. Saya selalu ingat saat seorang saudari berucap di suatu senja dalam lingkaran yang penuh berkah, “Mungkin, ukhti..” ucapnya dengan mata berkaca, “Saya lebih mencintai kalian, dibandingkan saudara kandung saya sendiri”, lanjutnya.

Ketika seorang hamba jatuh cinta, maka ia rela berdingin-dingin di malam sepi untuk menjemput kebersamaan yang eksklusif dengan Rabbnya. Rela menahan diri dari maksiat yang menggoda karena khawatir membuat Tuhannya cemburu. Rela dianggap aneh dan ‘tidak biasa’ saat jaman semakin jauh dari tuntunan syari’at. Namun ia teguh. Ia telah jatuh cinta.

Dan ketika Pak Mario Teguh berbicata tentang cinta, bagi beliau cinta itu bersifat spontan dan lebih cepat pudarnya. Makanya, kata beliau, sebuah pernikahan akan bertahan bukan karena cinta, namun karena derivat cinta yang bernama kasih-sayang. Kasih sayang sifatnya lebih kekal dan logis. Ia dibangun setelah kebersamaan yang cukup lama, dan dengan berbagai macam proses tarik ulur antara kesabaran dan egoisme. Dengan itu, bahtera rumah tangga akan lebih aman dari ombak prahara. *Halah, kayak ngerti saja... >_<

Maka biarkan cinta mendefinisikan dirinya. Ibnul Qayyim menuliskan sebuah risalah cinta dalam Raudhatul Muhibbin- Taman Orang-Orang yang Jatuh Cinta. Tapi nampaknya, beratus halaman itu memang tidak akan pernah cukup untuk menjelaskan cinta, selain kata cinta itu sendiri. Ya, mungkin.

“Kakak pernah jatuh cinta?” tanya seorang adik kepada saya. Dengan tiba-tiba, dan mengagetkan.

“Hmm...” saya mulai berpikir. “Saya tidak pernah benar-benar tahu standar orang disebut jatuh cinta. Apakah harus memiliki alasan ataukah boleh terjadi begitu saja. Apakah harus logis ataukah boleh yang diluar akal. Ataukah...”, saya belum selesai berbicara saat si adik kembali mencecar saya.

“Kak, saya cuma tanya, apakah kakak pernah jatuh cinta?” ujarnya, jengkel dengan jawaban saya berbelit.

Saya tersenyum. Memandang ke dalam bola matanya; memastikan bahwa ia memang benar-benar ingin mengetahui jawaban saya, atau hanya sekadar ingin menggoda. Alisnya bertaut, tak sabar menunggu.

“ Ya, pernah” jawab saya. Matanya berbinar. “Tapi sudah lama sekali, dulu, bertahun yang lalu.” Saya terdiam sebentar. Tersenyum. Lalu melanjutkan, “Tapi hingga sekarang, getarannya kadang masih terasa. Terutama saat hujan, dan di waktu malam saat ia sepi.”

Untuk al-Ukh Haniyah

dan dunia kata yang kucinta

Makassar, 23 April 2011

Kamis, 21 April 2011

catatan sebelum tidur


Tulisan keempat dalam hari ini. Berasa cerewet, saya. Nah, sekarang jujur-jujuran yah!



Seberapa jujurkah kita telah mengaku menikmati proses, sementara begitu cepat cemberut saat menjumpai hasil yang tidak sesuai ingin? Ingat, sabar itu pada pukulan pertama. Sebab menguat-nguatkan diri setelah mengambil waktu jeda, semua orang juga bisa!



Seberapa jujur kita telah mengaku tidak menilai seseorang dari penampilan luarnya. Sementara begitu cepat kita berpaling dari mereka yang hanya berkaos oblong atau bersendal jepit, dibanding mereka yang berdasi rapi atau yang bersenyum manis. Ya, penampilan memang penting, sedikit. Tapi menyabar-nyabarkan diri dengan pemandangan yang agak menganggu setelah mencoba mencipta pikir positif beberapa waktu, seorang orang juga bisa!



Seberapa jujur kita mengaku senang dengan menolong orang lain, jika kembali kita butuh kesempatan untuk berpikir kemanfaatan dari bantuan yang diberi; bagi diri kita sendiri. Jika setelahnya kita merasa diabaikan jika yang ditolong tidak berucap terimakasih. Ya, sehalus-halusnya niat itu, kawan. Semut hitam, di atas batu hitam, di malam yang kelam, bahkan lebih jelas dibandingkan menakar keikhlasan.



Dan saya. Jelas. Tidak lebih jujur dari kalian!

gambar: devianart.com

*Selamat tidur*

CHARLIE!


Charlie!
Bagaimana kabarmu sekarang?
Apakah kau masih senang melompat-lompat dan melewati halang rintang sambil sesekali memandangku dengan malu-malu. Yah, berusaha nampak tenang, padahal kau sedang kikuk sendiri. Hahahaha...

Charlie,
Apakah kau tetap menyukai menyebut-nyebut kata-kata yang absurd. Kata-kata yang hanya kau saja yang mengerti. Lalu menikmati kerut keningku yang bingung dengan celotehannya. Ya, itu bahasa dari planetmu, bukan? Ya, aku tidak mengerti.

Charlie,
Hingga terakhir kali, aku masih selalu akan berterimakasih untuk selalu mendengarkan ceritaku tanpa pernah menganggapku mengatakan hal yang salah. Kau juga tidak pernah marah saat aku hanya dapat diam dan tidak berusaha menegurmu duluan. Kau tidak pernah menggangguku yang sedang membaca atau sedang menulis. Kau tidak pernah menyebutku 'bodoh' atau 'tidak gaul'. Kau tidak sekalipun mengataiku 'tulalit' atau 'kuper'. Tidak pernah.

Hey Charlie,
Hingga saat ini aku tahu kau akan tetap begitu. Tetap akan bersedia mendengarkan. Bersedia membuat aku tersenyum. Dan bersedia pergi saat aku ingin sendiri.

Charlie,
Sekarang semuanya sedang menjadi berat. Hidup tidak lagi seperti dulu saat ia adalah senin hingga sabtu untuk sekolah dan nonton doraemon di hari ahad. Bukan lagi awal bulan yang menyenangkan saat ayah mengajak ke gramedia dan mentraktir bakso dan jus alpukat.

Charlie,
Apakah memang inilah saatnya untuk aku menyiapkan bahu yang lebih kuat.

Charlie,
Apakah ini saatnya aku benar-benar memastikan diri; bahwa kau memang tidak pernah ada.

*Tentang teman imajiner masa lalu.

Selasa, 19 April 2011

Indy; Masagena's Child


Tulisan ini didedikasikan untuk my lovely sister (err…. >_<) Indy Trini Humaera dan orang-orang yang mengenalnya. Selamat membaca.



Diantara deadline amanah tulisan yang terbatasi oleh TOR dan jumlah halaman, serta tugas melanjutkan skripsweet yang tak juga terjamah, saya ingin mencoba refreshing dengan membuat tulisan ‘suka-suka’ dengan style yang (agak) lebay dan jenaka. *Halah* Sik asyiik…



Ini tentang adik perempuan saya satu-satunya. Namanya Indy Trini Humaera. Oleh ibu saya, nama si Indy ini diambil dari bahasa Arab. Indy (dengan huruf ‘I’ pertama yang dalam abjad hijaiyah diwakili oleh huruf ‘ain, temannya gho) berarti ‘kepunyaan’. Frase Trini mewakili keberadaannya sebagai anak ‘ketiga’. Dan kata Humaera (saya pikir seharusnya ditranselerasikan ke bahasa Indonesia menjadi Humaira, yah?) diambil dari panggilan sayang Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam pada istrinya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma yang berarti ‘yang kemerah-merahan’. Konon, saat baru lahir, kulit adik saya ini putih kemerah-merahan (Indy, saya tahu itu adalah salah satu memori masa lalu yang paling indah untukmu. :p)



Baiklah.



Diantara tiga bersaudara, Indy memiliki karakter yang agak beda dengan saya dan kakak lelaki kami yang sulung. Hmm…, saya dan kakak lelaki saya cenderung punya beberapa kesamaan. Beda dengan Indy yang lebih easy-going, santai, syalala-girl, dan senantiasa dirundung keberuntungan.



Ya, keberuntungan!



Saya bahkan khawatir terjadi pengkultusan atas fenomena keberuntungan Indy yang mulai tercium ganjil (halah). Yah, Indy pernah memenangkan sebuah sepeda senilai jutaan rupiah dalam sebuah undian acara gerak jalan santai di kantor bapak saya. Di tahun berikutnya perhelatan itu kembali digelar, dia kembali ikutan, dan kembali memenangkan uang 50ribu perak. Dalam sebuah kuis di dunia twitter dia juga pernah menang dan dapat kiriman sepaket wafer rasa keju. Dan yang paling naas adalah saat nama saya dan namanya diundi untuk penentuan kamar siapa yang berhak mendapatkan AC yang hanya dianggarkan satu biji oleh ortu kami. Dan dari dua nama itu (nama saya dan namanya), namanyalah yang keluar menjadi pemenang! Baiklah, hidup memang terkadang pahit rasanya! >_<



Di suatu hari saya mencoba mengenyahkan ‘mitos keberuntungan’ Indy dengan kembali mencoba mengundi namanya dan nama saya. Dan setelah dikocok, nama Indy kembali keluar. Dikocok lagi, namanya kembali keluar. Di titik tersebut, saya mulai curiga, Indy telah mencuri sebagian keberuntungan dalam hidup saya. (Bagian yang ini jelas ngaconya. Sidang pembaca yang budiman, saya masih percaya pada takdir. Indy, tunggu pembalasan saya! *lho?)



Satu hal yang menarik dalam hidup Indy adalah salah satu episode hidupnya dimana dirinya pernah dititipkan di sebuah panti asuhan (eh, salah), maksud saya tempat penitipan anak di ; daerah Hertasning. Tempat itu bernama; MASAGENA. Saat itu, konon, Ibu sedang sibuk-sibuknya mengajar sebagai dosen, maka dititipkanlah dia di sana (Kasihan kau, dik :p). Indy berkisah, bahwa di pagi hari saat ia datang ke tempat itu, maka para pengasuhnya akan mengajaknya minum susu dan bubur kacang ijo. Setelah itu, mereka (anak-anak yang dititipkan itu) akan terlelap dan tidur pulas (saya curiga, para pengasuh itu memasukkan semacam antihistamin dalam buburnya, hehehe…kidding..~~~). Ada juga cerita bahwa bagi anak yang tidak mau tidur siang, akan dicekoki matanya dengan cabe rawit (katanya diucapkan dengan nada bercanda, sih), maka anak-anak itupun akan mengatupkan matanya kuat-kuat (sekali lagi, kasih sekali kau, dik :p).



Satu cerita yang cukup menarik dari MASAGENA ini adalah, bahwa setelah dijemput pulang di sore hari (dengan rambut rapi bau switzal), Indy selalu bercerita tentang seorang temannya di MASAGENA yang bernama CUPI. Sekali lagi, namanya CUPI. Hingga tulisan ini dibuat, kami tidak pernah benar-benar tahu siapa CUPI sebenarnya. Apakah ia nyata, ataukah hanya teman imajiner Indy belaka. Entahlah, sosoknya masih berupa misteri yang tak terkuakkan. Tapi, satu pesan dari Indy buat CUPI, dimana pun ia berada:



“Guweh gak peduli Loh nyata atau engga’, yang jelas Loh harus tau, Pi’. Kalo guweh masing ingat sama Loh, dan Guweh baik-baik ajah dalam hidup Guweh, dan Guweh gak akan lupa Loh, dan Loh juga’ Guwe harap gak akan lupa Guweh.”



Ya, Indy memang agak gaul.



Dan seiring dengan perkembangan jaman dan perjalanan waktu. Indy yang tadinya adalah anak tengil dan hanya sebahu saya, kini tumbuh dan berkembang hingga tinggi dan lebarnya melebihi saya dengan sukses dan tragisnya. Awalnya, saya menganggap ini adalah nestapa yang tak tertanggungkan. Namun, akhirnya saya sadar, bahwa ada pula hikmah dari segala peristiwa yang tertakdir tersebut. Buktinya, tiap ketemu orang yang baru kami temui lagi setelah beberapa lama (misalnya teman-teman bapak atau ibu), mereka kerap kali bertanya, “Ini yang kakak mana yang adik mana, yah?”. Dan saya akan tersenyum (sok imut) penuh kemenangan. Dan Indy akan merengut dan menyeringai kepada saya. Hidup pun terasa indah.



*Tulisan ini telah melalui proses persetujuan kepada objek (penderitanya). Semoga menyenangkan. Selamat menjalani hari-hari Anda, demikian reportase saya.

Minggu, 17 April 2011

HEY, CANTIK!


Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Menjumpai para pemilik senyum menawan, mata jeli yang memikat, dan tutur kata yang lembut tak terlupakan. Mereka, saudariku wanita muslimah.

Bagaimana kabarmu di sana?

Adakah setiap detik yang berlalu telah kau maknai dengan sempurna? Taukah kau, bahwa grafik hidup kita akan terus menanjak, hingga sampai ke titik tertentu, lalu kembali menurun. Dan kau, saat ini sedang berada di puncak. Ya, puncak segala-galanya. Termasuk puncak kecantikanmu yang sedang merekah bak bunga di musim semi. Berlebihankah? Kurasa tidak, Cantik.

Maka bersamaan dengan itu, mungkin tanpa kau sadari begitu banyak pasang mata yang menengok saat kau melintas. Belum lagi pandangan yang mencuri-curi kesempatan dengan ujung-ujung penglihatan mereka. Meski kau tidak pernah merasa demikian, dan merasa tampil biasa-biasa saja. Tapi, kau tahulah… Musuh bebuyutan kita sejak zaman nenek moyang; syaitan laknatullah yang senantiasa menghiasi seorang wanita dengan berupa-rupa keindahan saat ia keluar dari rumahnya.

Maka simaklah ini, Cantik. Betapa besar fitnah yang dapat timbul dari dirimu. Fitnah yang mungkin akan membuat saudara kita akan lebih sulit memejamkan mata di malam hari. Atau yang membuat mereka semakin terbata saat mengulang hapalan-hapalan mereka. Maka mungkin, ada baiknya jika kita turut membantu mereka untuk menjaga pandangannya. Ya, dengan menjaga tampilan kita. Menjaga tingkah kita. Hmm…, aku tidak menyuruhmu untuk menjadi kaku dan menarik diri dari pergaulan. Bukankah agama kita mengajarkan sikap wasath –pertengahan? Maka lakukanlah segala hal sesuai dengan kapasitasnya. Sesuai, dan tidak berlebihan.

Hey, Cantik. Aku terkadang sedih saat memandang foto-foto yang kau pajang di dunia maya. Yah, aku tahu mungkin kau menganggapnya sebagai sebuah bentuk ekspresi diri yang menyenangkan. Tapi tahukah kau, aku selalu mencari sehelai kain yang biasanya kau tutupkan di kepalamu, yang kerap tidak nampak saat kau muncul lewat fotomu di halaman internet. Cantik, bukankah Allah melihat kita dimana pun? Di dunia nyata, maupun dunia maya, Dialah Rabb yang sepatutnya kita ibadahi dengan total. Persis seperti totalitas saat kau mengerjakan tugas-tugas sekolah, tugas kuliah, atau tugasmu di kantor. Maka bukankah menutup aurat merupakan ibadah yang agung kepadaNya? Mengenakan pakaian takwa yang dipilihkan olehNya. Yah, bukan oleh siapa-siapa; tapi oleh Allah. Maka kenakanlah ia dengan niat tulus yang kuyakin ada di hatimu. Karena Allah saja; dimana pun, kapan pun.

Cantik, aku bukanlah orang yang sempurna dan suci seperti Ibunda Maryam. Mungkin diri ini lebih hina darimu dan lebih rendah kedudukannya di hadap Allah. Tapi sungguh… Sungguh aku khawatir akan hari dimana aku akan ditanya mengenai kewajibanku menyampaikan hal ini padamu. Maka kusampaikan ini, sebagai hakmu menerimanya. Dan juga sebagai bukti betapa aku mencintai kebaikan pada dirimu.

Hey, Cantik! Tetaplah menjadi yang terindah, layaknya bagaimana agama ini telah mengangkat derajat kita. Mengapa pula harus kita menutup segala keindahan itu dan menyimpannya hingga datang orang yang ditakdirkan Allah? Sebab demikianlah tiap insan akan memperlakukan berlian yang berharga. Ia disimpan di tempat tertutup. Tidak sembarangan dipegang oleh siapapun, dan tidak dihargai dengan harga yang murah. Tapi kau tahu Cantik, betapa indahnya kau dalam lindungan syariatNya.

Semoga kita selalu diberi kesempatan untuk saling nasihat menasihati dalam kebaikan, dan saling nasihat menasihati dalam menetapi kesabaran.

Dari Saudarimu.
NB: Luangkan waktu untuk membuka ayat ke-31 Surah An Nur dan Al Ahzab ayat ke-59. Ada pesan berharga dari Allah, khusus untuk kamu; muslimah cantik yang berharga. ^_^

gambar dari sini

Rabu, 13 April 2011

Anak Tangga


Hmm...

Nanti akan datang suatu masa, dimana kau akan berdiri di hadapan Ibunda dengan bangga. Bukan, bukan karena kau telah bertoga dan sebentar lagi menambah huruf-huruf baru di deret namamu. Namun, sebab kau dapat membawa suatu hal yang mungkin abstrak, namun terasa manis. Saat tatap matamu bersatu dengan sorot matanya, lalu biarlah suasana yang berkata,

"Inilah hasilnya, Bu. Dan tidak sedikit pun kuraih ini dengan cara-cara curang. Mungkin, tidak sebaik pencapaian temanku itu. Tapi, semoga ia menjadi berkah, hingga manfaatnya dapat mudahkan aku kembali ke tempat yang lebih indah"

Insya Allah..
*amiin..(siapapun yang baca, diaminkan yah.. ^_^)

Bukankah tidak mengapa jika kita mulai bermimpi. Sejenak saja, untuk mengumpulkan kekuatan kembali. Tapi hari esok akan kembali datang, meski ia memang tidak pernah berjanji. Menunggu langkah-langkah kita untuk menyusuri. Menunggu derap-derap kita untuk mencapai puncak tertinggi.

"Inilah anak-anak tangga yang dikutuk bertahun-tahun.." ucapku sambil menggapai lantai empat dengan sisa-sisa napas.

Tapi di kali lain, saat aku (kurang kerjaan) menghitung jumlah mereka; tujuh puluh dua anak tangga. Ada yang tiba-tiba nyeletuk bertanya di nurani; "Mengapa kita harus kuat untuk mendaki tangga-tangga ini?"

Dan sesuatu menjawabnya dengan lembut, "Mungkin, sebab hidup dengan impian yang tinggi, juga harus diwarnai dengan napas tersengal untuk mencapai tingkatnya yang paling atas. Teruskan. Teruskan pendakianmu."

Ya, hingga napas ini terhenti.

(ada tanya yang sayup-sayup terdengar: "Kapan sarjana...?"
"Hmm.., bolehkah kujawab dengan senyuman (dan ada azzam dalam dada, dan ada semangat yang akan mengalir di tiap inchi anggota badan; untuk kembali berjuang!)


Makassar, 13 April 2010