Sabtu, 23 April 2011

Ketika Penulis Jatuh Cinta


dan bila cinta adalah abadi

maka lihatlah bahwa maut akan menghentikan semua ini

dan menjawab tanya kepada siapa seharusnya kita berpaling

dan bila itulah cinta

ya, semoga cinta padaNya saja

karenaNya saja

(Sajak “Dan Bila Cinta”)

Ketika penulis jatuh cinta, merupakan judul sebuah buku antologi yang ditulis oleh Asma Nadia dan kawan-kawan. Memuat tujuh belas tulisan para penulis senior hingga yang masih muda (dan berbakat). Semuanya berbicara tentang kisah mereka saat jatuh cinta. Buku itu telah saya miliki cukup lama. Dan membacanya selalu membawa kesegaran tersendiri.

Mengapa harus penulis? Mungkin karena sosok mereka lebih identik dengan karakter yang introvert dan untouchable. Yah, sepopuler apapun seorang penulis, mereka selalu membawa kesan yang lebih misterius dibanding publik figur lainnya, semisal artis atau politisi. Mungkin, karena itulah kisah jatuh cinta mereka jauh lebih menarik dan mengundang tanda tanya. Mungkin.

Benarkah semua orang pernah jatuh cinta? Yah, sepertinya demikian. Tentunya jika cinta dimaknai dalam arti yang lebih umum. Bukan sebatas kepada lawan jenis saja, seperti yang selama ini banyak dikoarkan oleh lirik-lirik lagu Indonesia yang very-very-easy-listening itu. Oleh Salim A. Fillah, seorang penulis jempolan, lelaki yang menikah di usia 20 tahun ini mencoba mendefinisikan frasa ‘jatuh cinta’ atau ‘dijatuhi cinta’ dalam sebuah ‘rasa’ yang lebih positif dengan menyebutnya ‘BANGUN cinta’. Beliau menulis;

Ada dua pilihan ketika bertemu cinta

Jatuh cinta dan bangun cinta

Padamu, aku memilih yang kedua

Agar cinta kita menjadi istana, tinggi menggapai surga

Bagi saya sendiri, terkadang saya merasa tidak begitu matching dengan tulisan bertema cinta. Kadang, kata ‘cinta’ hanya saya pinjam untuk tulisan yang (sebenarnya) tidak mengarah ke sana, agar lebih menarik pembaca untuk memulai membacanya. Selebihnya, mungkin beberapa kawan akan menganggap ‘ada yang aneh’, jika saya mencoba membedah topik ini. Kadang malah ada yang sampai berpikir yang macam-macam alias berpikiran yang terlalu jauh. Terlihat saat saya mengutip sebuah ayat dalam Surah Al Furqan dalam status FB.

Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Furqan [25]: 74]

Honestly, ayat itu saya temukan saat membaca Al Qur’an dan menganggapnya sebagai doa yang bagus dan indah. Selain itu seingat saya, dulu, Aa’ Gym selalu membaca ayat itu di akhir ceramahnya, dan saya selalu menyukai aksen beliau saat mengucap kata ‘qurrata a’yun’. Tapi ternyata, oleh teman-teman diartikan terlalu jauh. Tenang, kawan. Saya masih Diena yang dulu. *apasihh... >_<*

Tentu bukan hanya penulis yang jatuh cinta. Semua orang berhak. Cuma mungkin cara dan ekspresinya yang berbeda-beda. Ketika anak gaul jatuh cinta, mungkin dia akan langsung nembak “Mau gak Lo jadi pacar Guweh?”. Ketika orang romantis jatuh cinta, maka ia akan segera mengeluarkan rayuan mautnya (baca: gombal). Ketika seorang jenius jatuh cinta, dia mungkin akan tidak begitu pintar lagi, karena konsentrasinya terganggu, atau justru semakin jenius karena semangat belajarnya yang semakin menggebu. Dan ketika aktivis jatuh cinta, mungkin ia akan semakin menyibukkan diri agar terlupa, atau menganut asas ‘cinta dalam diam’ sambil terus berdoa dan ikhtiar di jalan yang benar. ^_^

Ketika seorang ibu jatuh cinta. Maka ia rela dibebani berkilogram ke mana saja ia pergi. Rela berada antara hidup dan mati saat melahirkan. Rela terganggu tidurnya saat menyapih selama dua tahun. Ketika seorang ayah jatuh cinta, maka ia akan bekerja membanting tulang untuk senyuman anggota keluarganya. Ia tampil sebagai sosok terkuat untuk menguatkan anak-anaknya. Sosok terbaik untuk menjadi contoh bagi mereka. Dan ketika kedua orang tua masih menyemai cinta, mereka rela tetap hidup berdua saja. Saat ditanya, bibir keriputnya berucap, “Kami tidak ingin merepotkan kalian...”. Aah... T_T

Ketika seorang sahabat jatuh cinta, maka hal yang lebih spesial akan terjadi. Sebab mereka tidak terikat oleh kekerabatan dan hubungan darah. Namun, mereka mengisi dan saling berbagi. Saya selalu ingat saat seorang saudari berucap di suatu senja dalam lingkaran yang penuh berkah, “Mungkin, ukhti..” ucapnya dengan mata berkaca, “Saya lebih mencintai kalian, dibandingkan saudara kandung saya sendiri”, lanjutnya.

Ketika seorang hamba jatuh cinta, maka ia rela berdingin-dingin di malam sepi untuk menjemput kebersamaan yang eksklusif dengan Rabbnya. Rela menahan diri dari maksiat yang menggoda karena khawatir membuat Tuhannya cemburu. Rela dianggap aneh dan ‘tidak biasa’ saat jaman semakin jauh dari tuntunan syari’at. Namun ia teguh. Ia telah jatuh cinta.

Dan ketika Pak Mario Teguh berbicata tentang cinta, bagi beliau cinta itu bersifat spontan dan lebih cepat pudarnya. Makanya, kata beliau, sebuah pernikahan akan bertahan bukan karena cinta, namun karena derivat cinta yang bernama kasih-sayang. Kasih sayang sifatnya lebih kekal dan logis. Ia dibangun setelah kebersamaan yang cukup lama, dan dengan berbagai macam proses tarik ulur antara kesabaran dan egoisme. Dengan itu, bahtera rumah tangga akan lebih aman dari ombak prahara. *Halah, kayak ngerti saja... >_<

Maka biarkan cinta mendefinisikan dirinya. Ibnul Qayyim menuliskan sebuah risalah cinta dalam Raudhatul Muhibbin- Taman Orang-Orang yang Jatuh Cinta. Tapi nampaknya, beratus halaman itu memang tidak akan pernah cukup untuk menjelaskan cinta, selain kata cinta itu sendiri. Ya, mungkin.

“Kakak pernah jatuh cinta?” tanya seorang adik kepada saya. Dengan tiba-tiba, dan mengagetkan.

“Hmm...” saya mulai berpikir. “Saya tidak pernah benar-benar tahu standar orang disebut jatuh cinta. Apakah harus memiliki alasan ataukah boleh terjadi begitu saja. Apakah harus logis ataukah boleh yang diluar akal. Ataukah...”, saya belum selesai berbicara saat si adik kembali mencecar saya.

“Kak, saya cuma tanya, apakah kakak pernah jatuh cinta?” ujarnya, jengkel dengan jawaban saya berbelit.

Saya tersenyum. Memandang ke dalam bola matanya; memastikan bahwa ia memang benar-benar ingin mengetahui jawaban saya, atau hanya sekadar ingin menggoda. Alisnya bertaut, tak sabar menunggu.

“ Ya, pernah” jawab saya. Matanya berbinar. “Tapi sudah lama sekali, dulu, bertahun yang lalu.” Saya terdiam sebentar. Tersenyum. Lalu melanjutkan, “Tapi hingga sekarang, getarannya kadang masih terasa. Terutama saat hujan, dan di waktu malam saat ia sepi.”

Untuk al-Ukh Haniyah

dan dunia kata yang kucinta

Makassar, 23 April 2011

3 komentar:

  1. nice post Dienaaa :) misterius sekali paragraf terakhirnya....aku masih mencerna sampai detik ini apa artinya... hmmm

    BalasHapus
  2. @Dea: Makasih, Dea :D
    Kalo baca tulisannya sampai titik terakhir pasti ngerti, deh!

    BalasHapus
  3. wow, keren sekali tulisannya..! harus membaca dengan hati setiap paragraf2nya. hehe..

    keep posting. :)

    salam. kunjungan perdana.!

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)