Jumat, 29 April 2011

Catatan Hati Seorang Asisten


Duh, judulnya dong! Kesannya lebay dan dramatis sekali, yah? Hehehe..Tak apalah, biar enak dibaca! Ok, tulisan ini saya mulai dengan sebuah fragmen di masjid Umar bin Khattab, sekitar empat tahun yang lalu.

Seorang mahasiswi dikelilingi oleh beberapa muslimah yang nampak lebih muda darinya. Hari itu, seperti biasa, mereka akan mengikuti sebuah majelis yang dijadwalkan setiap pekannya. Sambil menunggu pematerinya tiba, mereka saling bercerita dan bertukar kabar. Dan topik yang paling hangat di majelis ngobrol tersebut adalah; persiapan kuliah!

Ya, mayoritas dari mereka memang baru saja selesai mengikuti ujian akhir SMA. Mereka sedang semangat-semangatnya menata masa depan untuk menuju universitas idaman masing-masing. Salah seorang dari mereka yang memang nampak lebih senior, akhirnya menjadi narasumber untuk menceritakan suka-duka dunia kampus kepada adik-adik yang terus mendengarkan ulasannya dengan mata berbinar.

“Biasanya yang agak berat itu kegiatan praktikum...”, ujarnya dengan pandangan menerawang, seolah sedang mengulang kembali memori tentang betapa ribetnya aktivitas di laboratorium. “Kadang yang bikin susah sih, asisten labnya...” lanjutnya.

Para adik-adik tadi terlihat tegang. Membayangkan senioritas yang akan terjadi, lebih-lebih karena kali ini erat hubungannya dengan ranah akademik, bukan sekadar lembaga atau organisasi.

“Tapi, biasanya akhwat yang jadi asisten justru punya ladang dakwah yang bagus...” sambung si kakak dengan wajah ceria, “Jadinya khan mereka lebih disegani, makanya kalau mengajak ke kegiatan-kegiatan, biasanya lebih banyak yang mau ikut kalau asisten yang ngajak!” ia tersenyum.

Ketegangan tadi langsung buyar. Mereka saling bertatapan. Lalu seolah dapat saling membaca pikiran, mereka tersenyum lebar. Dalam hati masing-masing, diam-diam mulai muncul azzam; kelak, kami akan jadi asisten juga!

Hmm..., salah satu dari anak-baru-lulus-sma di atas tadi adalah SAYA. Teman-teman saya yang lain sekarang sudah pada menyebar, di Undip, di STAN, dan ada pula yang sudah sarjana di universitas yang sama dengan saya. Semoga mereka semua baik-baik saja. Amin.

Nah, alkisah, setelah akhirnya dinyatakan lulus pada pilihan pertama di kampus saya sekarang, saya mulai menjalani hari-hari sebagai seorang mahasiswi baru. Bagaimana dengan azzam untuk jadi asisten tadi?

Hmm..., ternyata keinginan itu menguap seketika ketika saya berhadapan dengan dunia lab yang sesungguhnya. Waktu itu, di semester satu, kami dijadwalkan melewati tiga lab; kimia dasar, fisika dasar, dan morfologi tumbuhan. Waktu itu keadaan lumayan aman terkendali. Jurnal praktikum kebanyakan diselesaikan saat kegiatan lab berlangsung. Selain itu, pantulan dari asisten saat memeriksa laporan juga tidak terlalu memberatkan, mungkin juga karena materinya yang belum terlalu berat.

Nah! Pas masuk semester dua, kehidupan yang kelam dimulai! Hehehehe... Saat kami dihempas dengan enam lab sekaligus! Menghadapi lab farmasetika, ditantang oleh lab anatomi-fisiologi manusia, diterjang oleh lab farmakognosi di lantai enam, mumet dengan kimia analisis farmasi, heboh bersama kimia fisika, lalu tersaruk-saruk dengan kimia organik. Yah, tidak ada hari libur, dan tidak ada jadwal tidur nyenyak.

Kadang kami ke kampus dengan napas terengah dan nyawa yang tinggal setengah karena harus berkhalwat dengan laporan semalaman. Dan lab bukan hanya sekadar absen dan ikut kegiatannya, lalu beres masalah! Lab adalah menyelesaikan tugas pendahuluan, merapal ilmu buat respon yang kadang ada tiga lapisan, heboh dengan peralatan-peralaran di dalamnya (jadi ingat si jergen!), laporan yang harus selesai tepat waktu, pantulan dan revisi laporan, hingga diskusi dengan asisten. Dan kata terakhir itu; ASISTEN, seolah menjadi begitu sakral karena merupakan oknum yang sangat menentukan survive tidaknya kami dalam mengarungi bahtera praktikum yang paripurna *halah*

Mungkin, karena baru semester awal, masih pekatnya aroma MABA kami, juga dengan jadwalnya yang tidak kepalang tanggung, asisten terlihat lebih galak dan berjarak. Yah, kami merasa sangat sungkan dan takut-takut pada mereka (atau saya saja, yah?). Dan pemikiran saya saat itu mengambil kesimpulan: Sebaik apapun seseorang, kalau sudah jadi asisten, maka kemungkinan besar dia akan jadi menjengkelkan!

Nah lho! Yah, tapi begitulah pemikiran saya saat itu. Saya merasa ada saja momen-momen yang membuat saya jengah pada mereka; ditunggui sampai selesai kuliah hanya buat tiga huruf yang bermakna: ACC, diatur-atur untuk datang pagi-pagi buta padahal dirinya sendiri terlambat, ditanya pertanyaan-pertanyaan yang susah pas respon atau diskusi (ya iyalah...), atau sampai laporan yang dibatalkan padahal sudah dikerjakan semalaman! Hmm...pokoknya waktu itu azzam saya malah berubah 180 derajat: Saya tidak akan pernah mau jadi asisten!

Hehehe...Padahal ada saja dari mereka yang baik, bahkan yang sangat baik sama praktikan, lho! Tapi rasanya jadi sesendok gula dalam secangkir tuba; gak kerasa manisnya! Mungkin juga karena waktu itu terlalu sibuk memikirkan kuliah dan lab yang bejibun sampai-sampai tidak ada waktu untuk pikiran baik (ya Allah...>_<)

Trus, saya masih terus istiqamah dengan ketidakinginan untuk jadi asisten itu. Meski kemudian teman-teman satu per satu mendaftar buat jadi asisten. Selain sibuk masih nge-lab, mereka juga dengan setia mengawas praktikum sebagai seorang asisten.

Suatu malam, ayah dan saya berbincang santai. Ayah seorang dosen dengan latar belakang pendidikan non-eksak mulai bertanya-tanya kenapa saya tidak jadi asisten; katanya biar bisa ngajar dan nanti lebih mudah kalo daftar jadi dosen (padahal saya tidak bercita-cita untuk itu). Saya pun menjelaskan, bahwa di fakultas saya, para asisten itu bukan ngajar di kelas (kayak yg non eksak), tapi mengawas kegiatan praktikum di lab. Trus ayah nanya;

“Digaji berapa asisten di kampusmu?” tanya beliau. Saya yang memang tidak ada pengalaman dan tidak tahu menahu dengan gaji-gajian itu menjawab ngasal.

“Ndak digaji, paling dibagi teh kotak tiap satu kali ngawas...” ujar saya, cuek

Ayah mengernyitkan kening. “Ya udah, ndak usah jadi asisten, nanti Bapak kasih uang buat beli teh kotak!” ujar Ayah, ndak kalah ngasal! Hehehehe...

Hingga kemudian, di suatu siang di semester enam, saya berpapasan dengan seorang dosen mata kuliah Farmasi Fisika yang mendapati saya yang lagi ngantri WC.

“Sekarang kegiatan kamu apa?” tanya beliau. Saya menjawab sambil tunduk-tunduk. Segan.

“Habis Dhuhur ada kuliah, Pak..” jawab saya. Pak Dosen menggeleng. Jawaban saya sepertinya bukan yang ia inginkan.

“ Bukan, maksud saya, kamu sekarang mengawas lab apa? Asisten di mana?” tanyanya lagi.

Saya menggeleng kuat. “Tidak, Pak. Saya bukan asisten!”

Pak dosen mengangkat alisnya. Senyumnya seolah berkata; Aha! Dan tanpa merasa penting dengan keputusan saya, ia berkata, “Kalau begitu kamu mengawas di lab mata kuliah saya! Nanti kalau ada pembukaan calon asisten, langsung daftar yah!” ujarnya, lalu berlalu. Saya bengong.

Maka semester itu, saya resmi menjadi asisten Farmasi Fisika; mata kuliah yang tanpa disangka dan tanpa diduga menghadiahkan nilai A pada saya. Mata kuliah yang lumayan bikin mumet dan terus terang kurang saya senangi. Ia adalah dasar untuk beberapa mata kuliah dan lab lanjutan di semester-semester berikutnya di bawah naungan kelompok mata kuliah berbau teknologi farmasi. Saya, sebenarnya lebih punya feel ke farmakologi. Maka, dengan telak, saya merasa nyasar di ranah tersebut! Tragis.

Namun kemudian, dengan segala konsekuensi yang ada, saya kembali belajar. Kadang, saya merasa lebih seperti belajar bersama dengan para praktikan ketimbang sedang membimbing mereka. Tapi, tak apalah, sebab saya akan terus berusaha, meski tak jarang saya merasa kurang maksimal. Sekaligus, kasihan sama praktikan yang saya dampingi, karena tidak dapat memeroleh ilmu yang lebih banyak dari saya yang terbatas ini.

Menjadi asisten, membuat saya dapat melihat dunia lab dari dua sisi; sebagai praktikan dan sebagai asisten. Itu membuat saya menjadi lebih komperhensif (halah, bahasanya!) dalam hal ini. Sebab ternyata, asisten pun ada masanya menunggu praktikan. Ternyata, asisten bingung juga kalau praktikan tidak juga datang memeriksakan laporannya. Dan kepikiran pula jika jadwal diskusi tidak ketemu-ketemu sama mereka! Yah, seolah ada kepentingan juga dengan ‘keselamatan’ mereka mengarungi praktikum ini. Dan itu tidak mungkin saya ketahui, tanpa menjadi seperti sekarang; menjadi asisten.

Kadang, jengkel juga dengan praktikan yang ‘semau gue’ dan malas bikin laporan. Belum lagi yang suka bohong atau tidak punya sopan santun sama yang lebih tua. Atau pun yang suka ribet dan terkesan hanya ingin ‘menguji’ kemampuan asisten. Untuk mereka, kadang saya bergumam dalam hati; saya dilahirkan bukan hanya untuk memeriksa laporan dan berdiskusi dengan kalian!

Pada akhirnya, memang selalu lebih baik jika kita memandang segala sesuatu dari semua sisi. Agar lebih bijak dalam setiap pemikiran dan prasangka dalam diri. Saya, kini melihat para asisten bukan lagi dari sisi galak atau ‘sok kuasa’nya, tapi juga sebagai mereka yang tulus meluangkan waktu dan kemampuan otak, untuk membantu adik-adik mereka memahami sebuah konsep dan merasa bahwa ilmu itu memang luar biasa!

Selain menuntun kepada ilmu, saya sebagai asisten di lab dasar juga merasa bertanggung jawab untuk mengajarkan mereka attitude agar bisa terus merasa nyaman di kampus farmasi. Saya mungkin tidak seperti teman-teman yang lain, yang mengawas di beberapa lab sekaligus, atau selalu mengawas di tiap semester. Saya cuma mengawas di tiap semester genap, dan hanya untuk satu lab itu saja. Masalah waktu adalah hal terpenting untuk dipertimbangkan. Saya hanya kasian kepada para praktikan yang selalu menganggap saya ‘susah didapat’ karena memang punya banyak agenda di luar kampus (sok sibuk mode ON). Maka, saya menganggap hanya bisa maksimal dan bertanggung jawab dengan porsi seperti sekarang saja. Dengan satu lab saja.


Semoga ini semua menjadi kemanfaatan yang berbuah pahala. Dan semoga asisten-asisten yang telah membimbing saya dikala masa lab dulu juga dimudahkan dalam setiap urusannya. Maafkan saya pernah berprasangka buruk pada kalian. Semua ilmu, termasuk marah-marah dan laporan yang dibatalkan merupakan pembelajaran untuk lebih kuat di fase selanjutnya setelah segala lab ditaklukkan. Maka, untuk semua asisten yang begitu tulus, dimanapun kalian berada; Terima kasih. Terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)