Sabtu, 26 April 2014

Jalan Pena; Melihat ke dalam Diri


Jika kamu adalah seseorang yang memiliki masa kecil dengan pemandangan alam yang luas, memanjat pohon, mencari capung, bermain di sungai atau pinggir pantai, dan kegiatan-kegiatan berbau alam lainnya -yang belakangan kau rindukan setelah masa dewasa menempatkanmu pada kota-kota besar, maka kau beruntung. Ya, beruntung. Sebab tidak semua anak memiliki pengalaman seindah itu. Percayalah. 

Entah sejak kelas berapa SD saya jarang main ke luar rumah. Entah sejak kapan pula saya punya hobi mengumpulkan uang jajan untuk membeli kertas HVS. 'Sungai atau pinggir pantai' saya saat itu adalah sebuah kios tempat fotokopi sekaligus penjual ATK yang tak jauh dari rumah. Dari sanalah saya membeli kertas HVS sambil melirik-lirik model pensil atau pulpen yang lucu. Kertas itu adalah modal untuk menjadi tempat saya 'berkarya'. 

'Handmade' Storybook - For Rent!

Saya pernah menangis di hadapan sejumlah orang kerabat yang kala itu mengunjungi rumah saya. Apa pasal? Sebuah buku cerita yang saya buat sendiri (dengan kertas HVS yang dibentuk serupa buku, lalu digaris-garis dengan manual, ditulisi cerita lengkap dengan gambar ilustrasinya), ketahuan oleh salah seorang tante saya. Kejadian 'ketahuan' itu kemudian menyibakkan rahasia saya yang lain, bahwa buku cerita itu saya buat dengan tujuan untuk disewakan pada teman sekelas, dari sana saya dapat tambahan uang jajan -yang berikutnya diputar kembali untuk modal beli kertas, modal untuk melanjutkan cerita seri berikutnya. Saya menangis untuk alasan yang entah. Apakah saya malu sebab menjadi seorang penyewa buku di usia segitu? Entahlah, saya lupa. Yang jelas saya menangis di depan banyak orang, menyambar buku itu, lari ke kamar dan menguncinya lalu melanjutkan kembali tangisan itu sendirian.

Saya tidur di perpustakaan bapak. Butuh waktu beberapa tahun untuk mengubah kebiasaan orang rumah untuk menyebut ruangan itu sebagai kamar saya, dan bukan lagi ruang baca. Saya pun masih SD saat itu. Dan ruangan kecil itu berisi dua rak buku kayu besar yang menutupi lebih dari separuh tembok kamar. 

Cikal bakal blog Sajak yang Berhamburan (puisi-arrifaah.blogspot.com)

Di masa SMP, saya mencoba membuat puisi dan cerpen. Juga beralih dari membeli komik ke buku-buku kumpulan cerpen atau novel karya penulis FLP. Dari sana, saya 'berkenalan' dengan Asma Nadia, HTR, Leyla Imtichanah, Pipiet Senja, Afifah Afra, Zaenal Radar T, dan Adzimattinur Siregar. Bapak saya berlangganan majalah Sabili dan Suara Hidayatullah yang ikut saya lahap bersama langganan majalah Annida dan majalah Ummi. Saya pun membeli buku tulis dan menulis lebih dari sepuluh cerpen yang terinspirasi dari kejadian-kejadian di kelas saat itu. 

Di masa SMA, arus novel-novel teenlit datang bak air bah. Hingar bingarnya menggemparkan Gramedia. Seiring dengan itu, agaknya fiksi Islami mulai berkurang. Anggota rak buku saya pun mulai 'disusupi' oleh teenlit-teenlit itu. Saya membacanya, meski seringkali mendapati bahwa cerita-ceritanya tidak begitu sejalan dengan apa yang kemarin-kemarin saya baca sebelumnya. Saya masih ingat saat membaca salah satu teenlit yang bahkan sampai diangkat ke layar TV dalam bentuk serial remaja. Di salah satu bagiannya, ceritanya menggambarkan tentang seorang siswi SMA yang dikesankan cupu dan tersisihkan dalam pergaulan karena dia punya hobi membaca dan menulis puisi. Sontak, saya langsung berpikiran, "Lho, berarti saya selama ini...". Hehehe..

Jenius'03 dan Al Iqra'03

Sementara di sekolah saat itu, saya bergabung dengan Majalah Sekolah bernama Jenius'03 dan kelompok anak SMA yang mencoba-coba membuat karya ilmiah; KIR'03. Saya pun masuk rohis dan saat ditanya akan masuk di departemen apa, saya hanya menunjukkan buletin terbitan rohis yang saya dapatkan dari senior dan mengatakan dengan songongnya, "Saya mau masuk di departemen yang membuat buletin ini...". Dan ternyata saya pun jadinya masuk departemen dakwah yang selain membuat buletin juga harus mengisi kultum senin-kamis dan mengurus kajian Jum'at. O-la-la...

Hingga masa-masa indah sekolah berakhir, dan saya tetap berjibaku dengan dunia kata-kata. Hingga masa kuliah pun terlewat dan saya telah dua kali mengikuti wisuda, ternyata saya masih berada di jalan yang sama; jalan pena. Dalam pada ini, saya mendapati diri saya telah menemukan arah yang tepat untuk menggoreskan tinta, dakwah bil qalam, namanya. Belakangan, saya baru sadar, bahwa di jalan dakwah pun, saya seperti 'terlalu' terarah untuk menggarap amanah yang senada, tidak pernah jauh-jauh dari dunia kata. 

Saya sering menulis hal yang remeh temeh juga, apalagi sejak punya blog sejak bertemu dengan seseorang bernama Pradizza (hey, dimana kamu sekarang?). Saya menemuinya dalam presentasi akhir lomba karya tulis lingkungan hidup saat kelas 2 SMA. Saat saya mengansurkan notebook untuk ia tulisi nama dan no hp-nya, ia pun menuliskan alamat blognya. Darinya, saya belajar membuat blogspot saya yang pertama. 

Hal-hal remeh yang saya tulis juga mungkin yang membuat identitas saya banyak terkuak *halah*. Kadang saya bertemu dengan orang yang membuat saya heran karena ternyata mengetahui cukup banyak hal tentang saya. 

"Saya baca di blog mu...", terangnya kemudian. 

Atau, orang-orang yang menganggap saya akan menuliskan semua hal yang saya alami dan saya saksikan. 

"Hei, kejadian yang tadi itu jangan ditulis di blog mu yah..."

Atau, orang-orang yang mengira saya bisa membuat tulisan apapun dengan cara seksama dengan tempo yang sesingkat-singkatnya. 

"Ah, saya berikan tema sekarang pun pasti langsung bisa kamu tuliskan, khan... Masa diberi waktu satu malam tapi tidak bisa..."

Hufft... Jika yang diminta adalah tulisan suka-suka seperti yang saya buat sekarang ini, mungkin memang bisa saya buat dengan lebih ringan. Tapi jika tulisannya berat, apalagi dengan tujuan tertentu, atau sebaliknya, dengan arahan yang tidak begitu jelas seperti...

"Buatkan tulisan untuk saya dong... Tentang apa saja boleh.. Tentang saya juga boleh..."

Ayolah kawan, kukatakan padamu, tidak semudah itu... Jika saya harus membuat tulisan yang baik, maka saya harus bertanggung jawab atas itu, dan bukankah kualitas selalu membutuhkan waktu?

Apakah ini keluhan? Maafkan saya yang mungkin memang tidak sepositif Pak Mario Teguh. Jika kamu mulai bosan dengan tulisan ini, silakan tinggalkan saja, sebab saya memang sedang ingin menceracau. 

Apakah tulisan ini seperti sedang membuka diri saya terlampau terang-terangan? Terserahlah kalian ingin menganggapnya apa. Hanya saja, tetap tidak baik untuk membahas tentang seseorang atau tentang tulisan seseorang yang bagi kalian tidak pantas dituliskan, apalagi dalam sebuah kelompok-kelompok terbuka atau kelompok rahasia, lalu memberikan komentar-komentar yang tidak menyenangkan tentang hal itu. Saya rasa, itu namanya gosip. Dan, tidak ada manusia yang senang di gosipi. Terlebih lagi, jika kalian bukan berasal kelompok gender yang secara fitrawi memang senang menggunakan mulut dan perasaannya. If you know what i mean... Berhentilah menjudge seseorang dari tulisannya saja jika kamu tidak mengenalnya secara personal. Termasuk, berhentilah berekspektasi yang macam-macam sebelum mengetahui pribadi seseorang. Dan itu, tidak akan kamu dapatkan hanya dengan membaca blognya. Percayalah. 

Ok. 

Pada titik ini, sebenarnya saya hanya ingin berkontemplasi. Memikirkan kembali perihal eksistensi saya di jalan pena. Khususnya, jalur dakwah bil qalam. 

Saya menyenangi menulis, membaca, dan dunia kata-kata. Mendapatkan amanah yang sejalan dengan itu merupakan sebuah kesyukuran yang besar. Tapi juga sekaligus membuat saya jadi sulit membedakan, apakah saya menjalani ini memang karena benar-benar ingin berdakwah, atau hanya karena saya menyenanginya saja? 

Jika saja saya punya kesempatan untuk menuliskan kata-kata indah, namun dengan maksud kemunkaran, apakah saya tetap akan melakukannya karena sebab alasan cinta pada dunia tulisan? Atau sebaliknya, jika amanah ini bukan lagi tentang tulis-menulis, apakah saya akan tetap menjalaninya dengan riang gembira seperti sekarang? Memperjuangkannya meski terkadang saya merasa sendirian? Saya mulai mencoba menakar itu, dan melihat ke dalam diri saya sendiri. 

Belum lagi bahwa, berdakwah lewat media ini sungguh sangat banyak rintangannya. Sulit menjadi orang yang menyembunyikan amalan sebab salah satu jalannya adalah publikasi. Orang-orang mengenal namamu, mengetahui tulisannya, mungkin membahasnya dengan orang lain tanpa kau tahu. Bahkan, diantara mereka ada orang yang belum pernah kau temui sama sekali. Apakah itu menyenangkan? Ya, di satu sisi mungkin itu bisa menambah jalur-jalur silaturahim, namun di sisi lain juga ada lubang besar yang menganga, yang kapan pun bisa menangkap dan memakanmu kapan saja. Siapa yang peduli dengan popularitas jika nyatanya di hadapan Allah kau bukan siapa-siapa? Dan saat kau terbuai dengan semuanya, apalagi jika sudah disusupi dengan iming-iming harta, maka kau akan kesulitan untuk menemukan makna keikhlasan. Dan dakwah, tidak pernah memerlukan orang-orang yang tak ikhlas.

Di jalan pena ini, saya masih harus bertanya dan melihat ke dalam diri saya sendiri. Saya hanya takut, jangan sampai pahala yang saya harapkan darinya ternyata hanya angan-angan saya belaka. Ternyata hanya bagaikan debu yang akan hilang berterbangan hanya dengan satu kali tiupan angin yang paling sepoi sekalipun.


Saya takut, ternyata ekspektasi saya-lah yang salah. Ekspektasi perihal sesuatu yang saya pikir amalan jariyah namun ternyata bukan. Dan yang salah, tentu saja bukan dakwah bil qalam. Yang salah sudah pasti dia; seseorang yang saat saya berada di depan cermin, dapat dengan mudah saya pandang wajahnya. 

Makassar, 26 April 2014


Kamis, 24 April 2014

Membebaskan Pengekangan

Banyak orang yang beranggapan, bahwa hari ini kita hidup di masa kebebasan. Semuanya ingin bebas. Pikiran. Perbuatan. Tulisan. Karya seni. Media. Pokoknya, segala hal tidak ingin lagi diatur-atur dalam kekangan yang dianggap saklek dan hanya menghambat laju perkembangan zaman. Bagaikan seekor burung, setiap orang ingin lepas dari kandanganya masing-masing. Tidak ada yang ingin ditawan oleh siapa-siapa, bahkan oleh dirinya sendiri. Menahan kebebasan dianggap sama saja dengan menahan langkah dan menahan kehidupan. Tapi, benarkah?

Apa hal lain yang lahir dari kebebasan ini? Adalah standar yang bermacam-macam. Setiap orang dianggap berhak untuk membuat standarnya sendiri dan tidak ada yang boleh protes akan hal itu. Jika ada yang menganggap suatu hal mengganggu, maka itu belum tentu berlaku umum. Jika masih ada orang yang merasa aman-aman saja, maka bukan berarti hal itu benar-benar salah, bahkan meski kesalahannya sudah teramat sangat nyata. Bahkan, orang yang menganggapnya salah dianggap sebagai manusia yang terlalu mengekang. Dianggap punya pikiran sempit nan saklek yang hanya akan menebarkan kebencian dan anti perdamaian. Orang-orang seperti itu dicap sebagai kaum terbelakang yang terlalu konservatif. Akhirnya, mereka dikucilkan. Diasingkan. Terasing dalam keramaian. Lalu dicitrakan sebagai kaum yang memang pantas untuk memeroleh akibat tersebut. 

Orang-orang yang sedang memperjuangkan kebebasannya mungkin lupa, meski mereka selalu merasa sedang berjuang untuk melawan lupa. Bahwa saat mereka mengekspresikan sesuatu yang mereka anggap sebagai kebebasan, di saat yang bersamaan, sejatinya mereka sedang mengebiri kebebasan orang lain. Tanpa sadar mereka sedang menjilat ludah mereka sendiri dan justru sedang melakukan sesuatu yang saklek dengan menuhankan kebebasan yang mereka usung. Mereka mengekang orang lain, dalam kebebasan mereka. 

Mereka menganggap orang-orang tertentu hanya bersifat taklid buta terhadap apa yang mereka anggap benar. Mereka menganggap orang-orang tertentu tidak bersedia menerima pendapat lain, padahal pada waktu tersebut, mereka pun sejatinya sedang menutup pintu untuk menerima pendapat siapapun, kecuali menerima apa yang mereka sebut sebagai kebebasan. Mereka mengekang orang lain, dalam kebebasan mereka. 

Dengan atau tanpa sadar, mereka sedang membebaskan pengekangan terjadi oleh ulah mereka sendiri.

The Power of Me Time

Apa yang kamu pikirkan akhir-akhir ini?

Ah, pertanyaan itu. Mengapa ia muncul di saat yang terlalu tepat? 

Kepala saya mencoba mencari-cari jawabannya. Lalu lisan saya dengan cepat menyebutkan beberapa diantaranya.

Ya, hanya beberapa. Sebab sejatinya, belakangan ini saya memikirkan begitu banyak hal. Entahlah. Rasanya ini mengarah kepada over-thinking. Saat saya tiba-tiba bisa merasa kepala saya akan pecah sendiri saking terlalu banyaknya hal yang terputar-putar di dalamnya.

Tiba-tiba saya memikirkan tentang masa lalu; mengapa dulu tidak begini dan tidak begitu. Tentang masa kini; mengapa hari terlewati dan saya tidak melakukan sesuatu yang berarti. Tentang masa depan; apa nanti yang akan saya hadapi, bagaimana caranya, dan akan bagaimana akhirnya. Juga tentang banyak hal-hal remeh temeh yang ditangkap oleh kornea. Saat saya melihat botol sabun atau shampo, saya akan membaca tulisan-tulisan di labelnya dan seketika memikirkannya sambil menatap benda itu lamat-lamat. Saya melihat hal-hal lain dan kemudian memikirkannya dengan lebih dalam dan lebih dalam lagi. Ya, separah itu.

 Juga perihal tentang buku baru yang seharusnya telah rampung, atau bahkan telah terkirim ke penerbit apapun yang setidaknya berkenan untuk me-review-nya. Kepastian macam apa yang sedang saya tunggu jika saya bahkan belum menyelesaikan apa-apa. ‘Masalah’ kapan buku berikutnya itu akan nongol, menjadi tranding-question yang hanya bersaingan dengan pertanyaan kapan menikah. Oh, betapa!

Saya pun mencoba mengusahakannya. Menangkap burung-burung ide. Menyaderanya di atas kertas dalam bentuk bulatan-bulatan yang terhubung dengan garis-garis menuju bulatan-bulatan lainnya. Hingga beberapa topik seperti itu. Lalu kemudian saya memikirkan lagi tentang langkah setelah langkah setelah langkah. Hingga akhirnya meninggalkan perangkap-perangkap burung ide itu begitu saja lalu malah membuat outline lainnya dan memulainya kembali dari awal. Begitu terus menerus.

Terkadang di pertengahan jalan saya malah sibuk berpikir-pikir lagi tentang warna apa yang sebaiknya muncul di cover majalah dua bulanan kecintaan kami. Apa hal baru yang perlu kamoi bahas lagi? Belum lagi bertemu dengan warna atau tema pembahasan yang tepat, pikiran ini malah meloncat lagi pada apa yang sebaiknya dilakukan agar distribusinya dapat merambah pada lebih banyak lagi pembaca. Saat telah stuck dengan itu, saya malah teralihkan untuk mengingat kembali kapan sebaiknya saya mengeksekusi outline buku berikutnya yang tengah berhamburan. Atau bagaimana bisa menyerap sebanyak-banyaknya ilmu kepeunulisan untuk kemudian menyiarkannya kembali kepada lebih banyak orang yang akhir-akhir ini terlihat membutuhkannya dan meminta kepada saya tanpa merasa perlu bertanya apakah saya punya cukup banyak hal untuk diberikan kepada mereka. Dan saat semua pikiran itu tidak jua selesai, saya masuk ke kamar mandi, melihat botol shampo, lalu teralihkan pada tulisan-tulisan di labelnya.

Lalu waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Saya harus segera tidur. Untuk besok bangun awal dan kembali melakukan rutinitas. Hingga malam tiba kembali dan saya bisa bertemu lagi dengan diri saya sendiri; komplit dengan semua pikiran-pikiran menggelayut yang tidak jelas juntrungannya dan tidak jelas penyelesaiannya itu. Saya telah teramat lelah seharian dengan pekerjaan dan juga dengan pikiran itu, lalu pada akhirnya memilih untuk membaca buku hingga tertidur. Tertidur dan tidak satu pun dari semua itu yang selesai.  

You need a break...”

Ya. Sepertinya begitu. Saya butuh waktu yang lebih panjang untuk bertemu dengan diri saya sendiri. Bukan lagi dalam keadaan tenaga yang sudah terkuras habis dan di saat seharusnya saya sudah tidur kembali.

Berjalan-jalanlah ke tempat yang kau suka. Seorang diri akan lebih baik...”

Ya. Sepertinya begitu. Saya butuh pandangan yang lebih luas. Saya butuh berada di dalam akuarium saya sendiri, sambil melihat orang-orang di sekeliling yang berada di luar dunia saya. Tidak harus sepi. Tidak harus benar-benar sendiri. Bisa jadi saya berada di tengah keramaian. Tapi saya tetap berada dalam akuarium, dalam dunia saya sendiri. Tanpa ada yang memanggil. Tanpa ada yang menganggu. Tanpa ada kekhawatiran bahwa orang-orang itu akan berpikir saya ini seperti ini atau seperti itu.

Konon, di dunia ini ada dua tipe manusia. Tipe ekstrovert dan yang introvert. Izinkan saya menyebutkan tipe yang pertama sebagai jenis ‘orang kebanyakan’. Sedangkan saya, jelas-jelas adalah tipe yang kedua. Saya membaca beberapa artikel tentang jenis kepribadian ini juga mitos-mitos yang dianggap oleh ‘orang kebanyakan’ tentang mereka; tentang kami.

Kami sering dianggap orang-orang yang kaku, bahkan sombong. Dan itu benar. Ya, benar bahwa banyak orang yang menganggap begitu, meski hal itu adalah sesuatu yang bisa jadi salah. Kami hanya butuh waktu yang lebih panjang untuk berusaha agar dapat akrab, terutama dengan orang-orang yang baru kami temui, atau jarang kami temui. Percayalah, kami selalu berusaha untuk bisa terlihat supel seperti ‘orang kebanyakan’, meski itu tak mudah. Seperti yang saya katakan sebelumnya, kami butuh waktu yang lebih panjang. Sayangnya, tidak semua orang betah untuk menunggu. Dan nyatanya, lebih banyak orang yang lebih senang sesegera mungkin menempelkan cap itu pada kami; kaku dan sombong. Sekali lagi, tanpa berkenan memberi kami waktu. Dan itu, kukatakan padamu, sungguh tidak adil.

Manusia adalah makhluk sosial. Dan fakta bahwa kami tidak begitu piawai untuk bersosial ria bukanlah alasan untuk menganggap kami antisosial. Kami bahkan punya beberapa teman dekat, kami bercerita banyak hal pada mereka; bahkan yang remeh temeh, dalam waktu panjang, dengan cara yang sangat normal, bahkan dengan terlihat begitu cerewet. Ya, itu yang kami lakukan pada orang-orang yang sudah dekat dan sudah akrab dan sudah kami rasa nyaman untuk berkomunikasi dengannya. Mereka adalah orang-orang kebanyakan, namun mungkin punya kesabaran yang lebih besar untuk ‘menunggu’ kami untuk mencair, meski perlahan-lahan, bahkan mungkin sangat perlahan.

Kami cepat kehabisan energi di tengah keriuhan yang mengharuskan kami terlibat. Tidak seperti orang kebanyakan yang justru menyerap kekuatan dari kegiatan bergaulnya, kami tidak. Kami butuh charger bernama kesendirian. Saat kami hanya bersama diri kami sendiri. Bersama pikiran kami sendiri. Tanpa ketakutan untuk disebut kaku, disebut sombong, atau disebut antisosial; apalagi disebut televisi rusak. Kami sebenarnya manusia, sama seperti orang kebanyakan.  Dan menyebut kami seolah tidak jauh beda dengan benda mati adalah tindakan yang justru tidak manusiawi.

Dan saya pada titik ini, mulai merasa memerlukan me time itu. Berjalan sendiri. Pergi ke suatu tempat bukan untuk bertemu dengan siapa-siapa. Memesan makanan dan minuman kesukaan saya. Menikmatinya sambil  membaca sesuatu tanpa harus mengobrol dengan siapapun. Menghabiskan perjalanan dengan menatap keluar jendela sambil menatap langit atau memerhatikan jalanan yang sibuk tanpa harus menyapa atau berusaha mencari-cari topik perbincangan dengan siapapun. Menyusuri jalan seorang diri ditengah lalu lalang orang-orang tanpa perlu khawatir bertemu dengan seseorang atau ditatap oleh orang-orang yang akan bertanya-tanya di dalam hati, “Mengapa kau berjalan sendirian?”

Lalu, kembali ke rumah dengan tenaga penuh. Lalu, kembali ke rumah untuk menuliskan ini.

Bagaimana? Kau sudah lebih lega?

Sepertinya begitu.
Saya menatap botol shampo di kamar mandi. Tidak lagi berusaha untuk membaca tulisan di labelnya. 

Makassar, 24 April 2014

Sabtu, 19 April 2014

Lelaki Pertama

Biasanya, saya hanya punya satu alasan saat kemudian menangis sesunggukan sebelum tidur; karena ibu yang sakit. Tapi kali itu berbeda, saya menangis sebelum tidur saat memikirkannya. Memikirkan lelaki pertama.

Saya di masa kanak-kanak melihatnya sebagai seseorang yang tahu segalanya. Ia bisa menjawab dengan benar saat saya menanyakan perihal pe-er matematika. Atau saat saya bertanya tentang IPS atau IPA. Apalagi jika menyangkut pelajaran pendidikan agama Islam.

Dia yang merekam suara cadel saya yang bernyanyi-nyayi dan menceracau tidak jelas dan diselingi dengan hapalan surah-surah pendek dan bacaan-bacaan shalat.

Saya masih mengingat, saat ia ikut tidak tidur waktu saya sakit cacar di masa SD, hanya demi mengusap-usap penggung saya yang gatal.

Saya masih merasakan nyeri di hati, serta penyesalan yang dalam, waktu saya menolak menemaninya pergi ke dokter saat saya berusia SMP, hanya karena alasan 'malas'. Baru setelah saya menatap punggungnya yang pergi menjauh meninggalkan rumah, saya menangis sejadi-jadinya karena tersadar telah melakukan hal yang sangat buruk. Dan lebih buruknya lagi, dimasa-masa setelah itu saya kerap kali mengulangi kesalahan-kesalahan lain padanya. Kesalahan yang baru belakangan membuat saya menyesal setengah mati.

Tapi, seburuk apapun saya, lelaki itu tetap saja tidak beranjak. Meski mungkin raganya pergi ke sana kemari. Meski terkadang percakapan antara kami menjadi sedemikian beku dan semakin jarang seiring dengan kesibukan saya dan kesibukannya.

Kini, saya yang dulu harus memandang wajahnya sambil melongok ke atas, dapat melihat pancaran matanya tanpa harus mendongak seperti itu lagi. Pada titik itu saya sadar, bahwa saya terus bertumbuh, sementara ia tetap seperti itu. Saya mendaki kurva kehidupan, sementara ia menuruninya.

Mungkin, lelaki itu bukanlah manusia yang sempurna. Ia pun melakukan kesalahan dan kekhilafan di dalam hidupnya. Dia pun punya kekurangan dan mungkin nampak tidak perfect di mata orang lain.

Tapi saya tidak peduli dengan itu.
Dia tetap adalah nama yang selalu akan ada dalam doa saya.
Perjalanan ini telah mengajarkan bahwa saya tidak bisa tidak mencintai dan menyayanginya.

Lelaki pertama yang darahnya mengalir pada darah saya. Yang wajahnya ada pada wajah saya.

Bapak, terima kasih untuk selalu ada. 

Makassar, 19 April 2014
Bapak, maafkan anakmu ini...

Selasa, 08 April 2014

Yang Dirindukan, Yang Merindukan

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un...”, demikian ucap lelaki itu.
 
Ia bukan sedang menghadapi sebuah musibah, atau baru saja mendengar kabar duka dari seseorang. Ucapan tadi, ia lirihkan justru saat ia resmi diangkat menjadi seorang pemimpin. Dinasti Umayyah kala itu, serta merta menjadi berada di bawah kekuasaannya. Namun, mengapa kalimat tersebut yang meluncur dari lisannya?

Kelak, namanya akan dikenal dalam sejarah, terpatri dengan tinta emas. Keadilannya tidak perlu dipertanyakan. Kemakmuran yang bertubi-tubi datang juga tidak usah diceritakan, bahkan hingga serigala pun enggan memangsa domba. Kezaliman ia hapuskan. Serta berderet cerita-cerita manis lainnya yang nyata pernah terjadi di atas bumi Allah. Ia, seorang pemimpin yang begitu memahami arti dari sebuah tanggung jawab. Ia tahu bahwa amanah begitu besar tengah dititipkan pada dirinya. Ia tentu sadar bahwa segala hal itu kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Kita mengenang namanya dengan penuh haru dan rindu, Umar bin Abdul ‘Aziz. 

Mari melintas pada generasi sebelumnya. Maka kita akan dapati seorang lelaki lainnya, dengan nama yang sama. Terkenal dengan fisik yang tegap dan kepribadian yang keras. Namun, kita juga menjumpai riwayat perihal garis hitam di pipinya yang timbul akibat banyaknya ia menangis karena rasa takutnya kepada Allah. Ia pun seorang pemimpin yang hadir dalam sejarah Islam dalam kisah yang juga tak kalah gemilang. 

Dia adalah pemimpin kaum muslimin dengan 12 tambalan pada bajunya. Ia membuat heran orang yang mendapatinya membawa tempat air di atas pundaknya, lalu ia menjelaskan, “Aku terlalu kagum terhadap diriku sendiri oleh karena itu aku menghinakannya”. Kisah lainnya direkam oleh Ibnu Katsir juga dalam al Bidayah Wannihayah, saat musim paceklik tiba dan kulit sang Amirul Mukminin ini menghitam tersebab tak makan kecuali dengan roti dan minyak saja, tiada keluh dari lisannya. Bahkan ia berkata, “Akulah sejelek-jelek penguasa apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan...”. Kita mengenang namanya dengan penuh haru dan rindu, Umar bin Khattab.

Hari ini, kita tentu merindukan sosok-sosok seperti keduanya. Ah, bahkan yang mendekati sedikit pun rasanya sudah cukup membuat kita akan begitu mensyukurinya. Kita rindu pada pemimpin yang ingin turut menangis bersama kita, yang menyadari sepenuhnya bahwa jabatan bukan kebanggaan, tapi ujian. Kita rindu pada pemimpin yang menegakkan kebenaran serta menjaga kita tetap dalam ketakwaan, bukan malah memporak-porandakan barisan. Kita rindu pada pemimpin yang lurus tauhidnya, yang tidak menganggap Islam sebagai baju yang kekecilan baginya. Yang tidak perlu risih menyebut kebijakannya adalah bentuk interpretasi atas nilai-nilai Islam. Yang tak perlu sibuk mencitrakan dirinya toleran, tapi nyatanya justru diskriminatif pada hakekat yang sebenarnya. 

Kita mengenang dengan sepenuh haru dan rindu, sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, pemimpin terbaik sepanjang masa. Dia, yang paling indah wajahnya, dan paling baik akhlaknya. Dia yang telah terluka untuk memperjuangkan kebenaran yang kini telah sampai kepada kita. Dia yang senang duduk bersama kaum yang papa, yang meneladankan sebaik-baik teladan. Ia yang begitu murah hatinya, sangat lemah lembut, dan sangat besar cintanya kepada orang-orang beriman. 

Pemimpin yang kita rindukan itu, semoga kelak bisa hadir di tengah-tengah kita. Dan kita, perlu selalu menatap diri kita untuk dipantaskan mendapatkan pemimpin yang kita rindukan. Adakah telah lurus aqidah kita? Adakah telah benar ibadah kita? Adakah telah indah akhlak kita? Adakah telah lembut hati kita? Adakah telah sepenuh ikhtiar kita mengumpulkan ilmu syar’i seperti berpeluh-peluhnya kita untuk ilmu duniawi? Adakah kita memang telah memandang barisan Islam ini sebagai satu kesatuan yang padu, tanpa harus melihat di bawah bendera apa kita bernaung dan jalan perjuangan apa yang kita pilih? Jangan-jangan, sebenarnya justru kita ini yang tidak siap untuk dipimpin oleh pemimpin shalih dengan sistem yang sesuai syari’at Allah? 

Sebab setiap kita akan bertanggung jawab atas pilihan kita masing-masing. Saat kita memilih untuk maju, atau untuk berdiam diri, atau bahkan untuk mengutuk dan mencela, ataukah kita membuka hati dan menelisik jalan yang akan kita tempuh, pada akhirnya semua kembali kepada diri kita masing-masing. Pada akhirnya Allah jua yang akan menilai apa yang ada di dalam hati dan apa yang tengah kita usahakan. 

Kita rindu, pada sosok-sosok yang mengingat kita dalam doanya, dan kita pun mendoakan atasnya. Mungkin, pemimpin yang kita rindukan itu, pun sedang merindukan kita. Wallahu a’lam.

Makassar, 8 April 2013

Mari mendoakan negeri kita, pemimpin kita, dan diri-diri kita..
Juga kaum muslimin di seluruh permukaan bumi Allah

Jumat, 04 April 2014

Dari Seorang Adik


Ada yang ingin kutanyakan kepadamu, duhai lelaki yang hadir ke dunia dua tahun sebelum diriku. Tapi sebelumnya, mari kita dinginkan kepala kita sejenak, agar kata-kata yang keluar dari lisan pun menjadi lebih tertata. Bukan lagi menjadi seperti suara-suara bernada tinggi yang kebanyakannya minim makna; pesannya belum tentu sampai, tapi lebih nyata menorehkan luka. 

Kita bukan lagi kanak-kanak yang mempersoalkan perihal siapa yang memakai kamar mandi lebih dahulu. Kau bukan lagi bocah lelaki yang senang mengoleksi beragam mainan dari pelastik yang berbentuk tokoh kartun favoritmu. Aku juga bukan lagi gadis kecil yang saban hari mengikutimu bermain dengan sepeda roda tiga, berupaya agar tak ketahuan, agar kau tak usir pulang, sebab teman mainmu tentu lelaki semua. Aku bukan lagi si bodoh yang kau buat berhari-hari demam gara-gara ketakutan saat kau kagetkan dengan boneka bayi berwajah ngeri yang membuatku hingga kini menjadi phobia dengan jenis mainan macam itu. Ya, kita bukan anak-anak lagi. Usia kita sudah dua digit dengan angka dua di digit pertama. Seharusnya, kita telah bisa berpikir dewasa. 

Dan kau tahu, menjadi dewasa itu tidak mudah. Semakin banyak hal yang kita hadapi, dan semakin banyak pula tanggung jawab yang harus kita emban. Kita harus lebih sering bertanya pada diri kita sendiri; apa yang sebenarnya kita cari? Kita harus sudah bisa menentukan; apa yang seharusnya kita tuju? Kita pun mestinya mampu memutuskan; peran apa yang sedang berusaha kita lakonkan? Dan itu semua memang bukan hanya tentang diri kita sendiri. Kita, sebagai bagian dari masyarakat yang begitu luas, umat yang begitu besar, mau tidak mau akan selalu bersinggungan dengan orang lain yang ada di sekeliling kita. Banyak dari mereka yang akan memberikan manfaat kepada kita, bahkan akan sangat kita butuhkan kehadirannya. Tapi, tidak sedikit pula yang mungkin akan membuat kita sedikit tersentak, terkaget, bahkan terganggu. Tak mengapa, bukankah itu adalah konsekuensi menjadi manusia? 

Memasuki masa-masa seperti sekarang, memang ada beberapa hal yang memiliki persentasi lebih besar untuk dibicarakan. Ada beberapa pertanyaan yang lebih sering muncul dan menjadi begitu krusial untuk segera ditemukan jawabannya. Hei, lihatlah! Aku menghabiskan tiga paragraf untuk menuju poin utama yang sebenarnya ingin kutanyakan padamu! Err.., ini perihal masa depan. Tentang rencanamu dan mimpimu. Tentang dengan siapa kau ingin menghabiskan masa tuamu. Ah, aku sebenarnya hanya ingin menanyakan, pertanyaan yang mungkin telah satu juta kali ditanyakan orang-orang kepadamu –baik yang serius, maupun yang bercanda; kapan kau (berencana) akan menikah? Atau mari kubuat pertanyaan itu menjadi lebih berbobot dan lebih kompleks lagi; keluarga seperti apa yang hendak kau bangun kelak? 

Ya, sebab dapat kutebak bahwa telah banyak orang yang merasa heran denganmu. Kehidupanmu, jika dinilai dari nominal gaji yang kau terima setiap bulan, tentu sudah sangat mencukupi. Apalagi jika ditinjau dari segi usiamu yang sudah ideal, bahkan sudah matang sekali. Ditambah lagi dengan deadline tidak tertulis yang dikumandangkan oleh bapak dan mama perihal keinginan mereka untuk segera menimang cucu. Ah, berat sekali ya! Aku bahkan bisa turut merasakannya –anggap saja ini semacam solidaritas, hehe.. 

Aku sebenarnya ingin menanyakan langsung ini kepadamu. Bukan, bukan untuk membuatmu menjadi lebih terbebani. Tapi lebih kepada keinginan untuk mengetahui sebuah sudut pandang baru yang mungkin memang belum kumengerti. Ingin kutanyakan pula kepada bapak, tapi kau tahu, bapak terlalu pendiam dan aku pun terlalu pemalu untuk itu. 

Maka biar kucoba mengidentifikasinya sendiri. Bahwa perihal kemapanan memang tidak selalu berbanding lurus dengan kesiapan. Masalah meminang anak gadis orang memang bukan perkara sederhana seperti membalikkan telapak tangan atau membeli es jeruk di pinggir jalan, meski ia juga bukan hal yang terlalu kompleks sehingga menjadi mustahil untuk dilakukan. Jadi mungkin kau punya pertimbangan-pertimbangan lain yang luput dariku. Sesuatu yang mungkin menjadi bahan pikiranmu selain gaji dan persetujuan bapak dan mama. Sepertinya bukan pula tentang siapa-dan-bagaimana, sebab sepertinya kau belum melakukan ikhtiar apapun untuk menuju ke arah sana –maafkan jika kesimpulanku begitu menjengkelkan, salahmu sendiri kenapa tak pernah bercerita kepadaku tentang hal ini. 

Kau tahu, pikiranku tentangmu ini justru membuat semacam keinsyafan lain pada diriku pribadi; aku menjadi kian tersadar; betapa beruntungnya aku berada di pihak perempuan. Di salah satu sisi, nampaknya kaum kalian memiliki tugas yang lebih berat daripada kami. Ikhtiar kami sebagai wanita, terbatas pada menyiapkan diri, agar dipantaskan olehNya agar bisa bersama dengan lelaki yang shalih. Sementara kaummu, tidak boleh sepasif itu. Kalian harus memutuskan sebuah keputusan yang berat. Lebih dari itu, mempersiapkan kepercayaan diri yang besar, dan terakhir –dan ini yang sungguh sangat penting; perkara nyali. 

Yah, sebab percumalah segala macam kriteria yang terpenuhi jika tidak punya nyali. Langkah akan terhenti, lalu mundur, balik kanan, dan kabur. Kuharap kau bukan tipe yang ini. Sebab bagi kami, kaum wanita, yang seperti itu sungguh sama sekali tidak bisa diharapkan. Maksudku, entah dari siapa aku mendengar ini; bahwa pembeda antara lelaki dan perempuan adalah keberaniannya. Kaum kalian harus memiliki keberanian dalam kadar yang lebih tinggi dari kami. Sebab kalian adalah nahkhoda yang harus menentukan kemana arah batera akan berlayar. Dan menentukan segala keputusan itu, tentu membutuhkan keberanian yang besar. Nah, jika di awal saja keberanian itu tak ada, lalu mau jadi seperti apa perjalanan selanjutnya? Perjalanan yang tentu akan berhadapan dengan begitu banyak hal yang membutuhkan nyali yang jauh lebih ekstra. Maka mereka yang tidak bernyali memang sudah tepat jika undur diri, sebab memang mereka nampaknya belum benar-benar siap untuk memulai perjalanan ini. 

Kau bukan bagian dari mereka, bukan?

Kuharap alasanmu jauh lebih keren dan bernas dibandingkan yang terakhir kubicarakan di atas. Yah, sebab nyali akan menghindarkanmu dari perbuatan yang tidak bertanggung jawab semisal memberikan pengharapan yang nyatanya tidak bisa kau tunaikan. Lebih baik kau tetap seperti itu. Kau tetaplah diam sambil mengenyahkan semua penghalang-penghalang yang membuatmu belum dapat menjalani ibadah seumur hidup itu. Lalu setelah kau siap, jadilah laki-laki sejati yang siap memilkul tanggung jawab di pundakmu. Yang memuliakan wanita yang akan mendampingimu hingga tua. Menyejahterakan anak-anakmu dan mendidik mereka menjadi generasi yang akan membanggakan umat ini. Sini kuberi tahu, meyakinkan hati perempuan memang tidak mudah, tapi kau tidak akan bisa menakar seberapa sulitnya jika kau tidak pernah mencoba. Kau tidak perlu kesal karena perempuan terlihat begitu teliti jika berbicara mengenai perkara ini, sebab menentukan lelaki yang akan hidup bersamanya bukanlah perkara sederhana. Sebab, saat ia telah menyetejui satu sosok sebagai pendamping hidup, maka kepada lelaki itulah ia akan mencurahkan segenap ketaatan sepanjang usia yang ia punya. Ia akan memberikan stir kehidupannya untuk dikendalikan oleh lelaki itu, selama itu bukan maksiat kepada Allah. Ia akan mendampinginya dan memberikan yang terbaik untuknya. Tahukah kau? Perempuan hanya bisa menyimpan satu nama di dalam hatinya. 

Maka jika kau memang belum siap, tetaplah diam, jangan menebar janji pada siapa-siapa, tapi teruslah mempersiapkan diri. Aku di sini akan membantumu menyabarkan mama dan bapak agar tidak mendesakmu. Aku mencoba memahami bahwa kau butuh proses, dan proses butuh waktu. Maka kami tidak akan memaksamu. Suatu waktu penyair favoritku berkata; pemaksaan adalah sikap para penjajah, dan aku benci penjajah. 

Dan setelah dua halaman ini habis kugunakan untuk menulis sejumlah kata yang mungkin tidak akan pernah kau baca, sebenarnya, intinya, hanya satu hal ini yang ingin kukatakan kepadamu, duhai yang lahir dari rahim yang sama denganku; Kak, jadilah lelaki yang shalih, maka insya Allah, Allah akan mempertemukanmu dengan wanita shalilah; bukankah itulah sebaik-baik perhiasan dunia? Dan syukur dalam bahagiamu, serta sabar dalam ujianmu, akan kau mulai dari dirinya. Percayalah. 

Makassar, di penghujung senja, di penghujung Maret 2014.