Kamis, 24 April 2014

The Power of Me Time

Apa yang kamu pikirkan akhir-akhir ini?

Ah, pertanyaan itu. Mengapa ia muncul di saat yang terlalu tepat? 

Kepala saya mencoba mencari-cari jawabannya. Lalu lisan saya dengan cepat menyebutkan beberapa diantaranya.

Ya, hanya beberapa. Sebab sejatinya, belakangan ini saya memikirkan begitu banyak hal. Entahlah. Rasanya ini mengarah kepada over-thinking. Saat saya tiba-tiba bisa merasa kepala saya akan pecah sendiri saking terlalu banyaknya hal yang terputar-putar di dalamnya.

Tiba-tiba saya memikirkan tentang masa lalu; mengapa dulu tidak begini dan tidak begitu. Tentang masa kini; mengapa hari terlewati dan saya tidak melakukan sesuatu yang berarti. Tentang masa depan; apa nanti yang akan saya hadapi, bagaimana caranya, dan akan bagaimana akhirnya. Juga tentang banyak hal-hal remeh temeh yang ditangkap oleh kornea. Saat saya melihat botol sabun atau shampo, saya akan membaca tulisan-tulisan di labelnya dan seketika memikirkannya sambil menatap benda itu lamat-lamat. Saya melihat hal-hal lain dan kemudian memikirkannya dengan lebih dalam dan lebih dalam lagi. Ya, separah itu.

 Juga perihal tentang buku baru yang seharusnya telah rampung, atau bahkan telah terkirim ke penerbit apapun yang setidaknya berkenan untuk me-review-nya. Kepastian macam apa yang sedang saya tunggu jika saya bahkan belum menyelesaikan apa-apa. ‘Masalah’ kapan buku berikutnya itu akan nongol, menjadi tranding-question yang hanya bersaingan dengan pertanyaan kapan menikah. Oh, betapa!

Saya pun mencoba mengusahakannya. Menangkap burung-burung ide. Menyaderanya di atas kertas dalam bentuk bulatan-bulatan yang terhubung dengan garis-garis menuju bulatan-bulatan lainnya. Hingga beberapa topik seperti itu. Lalu kemudian saya memikirkan lagi tentang langkah setelah langkah setelah langkah. Hingga akhirnya meninggalkan perangkap-perangkap burung ide itu begitu saja lalu malah membuat outline lainnya dan memulainya kembali dari awal. Begitu terus menerus.

Terkadang di pertengahan jalan saya malah sibuk berpikir-pikir lagi tentang warna apa yang sebaiknya muncul di cover majalah dua bulanan kecintaan kami. Apa hal baru yang perlu kamoi bahas lagi? Belum lagi bertemu dengan warna atau tema pembahasan yang tepat, pikiran ini malah meloncat lagi pada apa yang sebaiknya dilakukan agar distribusinya dapat merambah pada lebih banyak lagi pembaca. Saat telah stuck dengan itu, saya malah teralihkan untuk mengingat kembali kapan sebaiknya saya mengeksekusi outline buku berikutnya yang tengah berhamburan. Atau bagaimana bisa menyerap sebanyak-banyaknya ilmu kepeunulisan untuk kemudian menyiarkannya kembali kepada lebih banyak orang yang akhir-akhir ini terlihat membutuhkannya dan meminta kepada saya tanpa merasa perlu bertanya apakah saya punya cukup banyak hal untuk diberikan kepada mereka. Dan saat semua pikiran itu tidak jua selesai, saya masuk ke kamar mandi, melihat botol shampo, lalu teralihkan pada tulisan-tulisan di labelnya.

Lalu waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Saya harus segera tidur. Untuk besok bangun awal dan kembali melakukan rutinitas. Hingga malam tiba kembali dan saya bisa bertemu lagi dengan diri saya sendiri; komplit dengan semua pikiran-pikiran menggelayut yang tidak jelas juntrungannya dan tidak jelas penyelesaiannya itu. Saya telah teramat lelah seharian dengan pekerjaan dan juga dengan pikiran itu, lalu pada akhirnya memilih untuk membaca buku hingga tertidur. Tertidur dan tidak satu pun dari semua itu yang selesai.  

You need a break...”

Ya. Sepertinya begitu. Saya butuh waktu yang lebih panjang untuk bertemu dengan diri saya sendiri. Bukan lagi dalam keadaan tenaga yang sudah terkuras habis dan di saat seharusnya saya sudah tidur kembali.

Berjalan-jalanlah ke tempat yang kau suka. Seorang diri akan lebih baik...”

Ya. Sepertinya begitu. Saya butuh pandangan yang lebih luas. Saya butuh berada di dalam akuarium saya sendiri, sambil melihat orang-orang di sekeliling yang berada di luar dunia saya. Tidak harus sepi. Tidak harus benar-benar sendiri. Bisa jadi saya berada di tengah keramaian. Tapi saya tetap berada dalam akuarium, dalam dunia saya sendiri. Tanpa ada yang memanggil. Tanpa ada yang menganggu. Tanpa ada kekhawatiran bahwa orang-orang itu akan berpikir saya ini seperti ini atau seperti itu.

Konon, di dunia ini ada dua tipe manusia. Tipe ekstrovert dan yang introvert. Izinkan saya menyebutkan tipe yang pertama sebagai jenis ‘orang kebanyakan’. Sedangkan saya, jelas-jelas adalah tipe yang kedua. Saya membaca beberapa artikel tentang jenis kepribadian ini juga mitos-mitos yang dianggap oleh ‘orang kebanyakan’ tentang mereka; tentang kami.

Kami sering dianggap orang-orang yang kaku, bahkan sombong. Dan itu benar. Ya, benar bahwa banyak orang yang menganggap begitu, meski hal itu adalah sesuatu yang bisa jadi salah. Kami hanya butuh waktu yang lebih panjang untuk berusaha agar dapat akrab, terutama dengan orang-orang yang baru kami temui, atau jarang kami temui. Percayalah, kami selalu berusaha untuk bisa terlihat supel seperti ‘orang kebanyakan’, meski itu tak mudah. Seperti yang saya katakan sebelumnya, kami butuh waktu yang lebih panjang. Sayangnya, tidak semua orang betah untuk menunggu. Dan nyatanya, lebih banyak orang yang lebih senang sesegera mungkin menempelkan cap itu pada kami; kaku dan sombong. Sekali lagi, tanpa berkenan memberi kami waktu. Dan itu, kukatakan padamu, sungguh tidak adil.

Manusia adalah makhluk sosial. Dan fakta bahwa kami tidak begitu piawai untuk bersosial ria bukanlah alasan untuk menganggap kami antisosial. Kami bahkan punya beberapa teman dekat, kami bercerita banyak hal pada mereka; bahkan yang remeh temeh, dalam waktu panjang, dengan cara yang sangat normal, bahkan dengan terlihat begitu cerewet. Ya, itu yang kami lakukan pada orang-orang yang sudah dekat dan sudah akrab dan sudah kami rasa nyaman untuk berkomunikasi dengannya. Mereka adalah orang-orang kebanyakan, namun mungkin punya kesabaran yang lebih besar untuk ‘menunggu’ kami untuk mencair, meski perlahan-lahan, bahkan mungkin sangat perlahan.

Kami cepat kehabisan energi di tengah keriuhan yang mengharuskan kami terlibat. Tidak seperti orang kebanyakan yang justru menyerap kekuatan dari kegiatan bergaulnya, kami tidak. Kami butuh charger bernama kesendirian. Saat kami hanya bersama diri kami sendiri. Bersama pikiran kami sendiri. Tanpa ketakutan untuk disebut kaku, disebut sombong, atau disebut antisosial; apalagi disebut televisi rusak. Kami sebenarnya manusia, sama seperti orang kebanyakan.  Dan menyebut kami seolah tidak jauh beda dengan benda mati adalah tindakan yang justru tidak manusiawi.

Dan saya pada titik ini, mulai merasa memerlukan me time itu. Berjalan sendiri. Pergi ke suatu tempat bukan untuk bertemu dengan siapa-siapa. Memesan makanan dan minuman kesukaan saya. Menikmatinya sambil  membaca sesuatu tanpa harus mengobrol dengan siapapun. Menghabiskan perjalanan dengan menatap keluar jendela sambil menatap langit atau memerhatikan jalanan yang sibuk tanpa harus menyapa atau berusaha mencari-cari topik perbincangan dengan siapapun. Menyusuri jalan seorang diri ditengah lalu lalang orang-orang tanpa perlu khawatir bertemu dengan seseorang atau ditatap oleh orang-orang yang akan bertanya-tanya di dalam hati, “Mengapa kau berjalan sendirian?”

Lalu, kembali ke rumah dengan tenaga penuh. Lalu, kembali ke rumah untuk menuliskan ini.

Bagaimana? Kau sudah lebih lega?

Sepertinya begitu.
Saya menatap botol shampo di kamar mandi. Tidak lagi berusaha untuk membaca tulisan di labelnya. 

Makassar, 24 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)