Jumat, 04 April 2014

Kebenaran yang Mengancam, Kebenaran yang Terancam


Sosok itu memang tidak biasa. Ada beberapa keunikan yang berkumpul pada dirinya. Ia bukan seorang yang lahir dalam keadaan Islam. Ia bahkan menerima Islam dan menjadikannya sebagai jalan hidup, saat sudah melewati usia baligh. Selain itu, ia pun berasal dari etnis yang tergolong minoritas. Ditambah lagi, mayoritas etnisnya itu bukanlah seorang muslim. 
Tapi, fakta tersebut tidak membuatnya menjadi penganut Islam KTP. Islam merasuk pada dirinya. Lelaki itu, benar-benar menerima Islam sebagai identitasnya. Seutuhnya. Ia kagum pada salah satu sosok pejuang Islam yang namanya mengharu biru dalam sejarah. Mujahid yang ia kagumi itu adalah seorang tokoh yang gilang gemilang karena berhasil melakukan penaklukan yang fenomenal. Seorang panglima yang lihai. Sedangkan lelaki itu, mungkin memang tidak meneladaninya dengan jalan pedang. Namun, ia memiliki pena yang tajam. 
Setiap kata-katanya tersusun rapi dan mewujud menjadi karya. Ia membawakan kebenaran dengan jalan yang ringan dan indah, dan banyak yang menyukainya. Ia benar-benar mewakafkan dirinya sebagai penyampai kebajikan, yang nyatanya berhasil memikat berbagai pasang mata untuk menyimak perkataannya. Ia bukan hanya menyeru pada kebaikan, namun juga lantang untuk menyampaikan upaya mencegah dari hal-hal yang munkar. Bahkan meski kemunkaran itu sudah dianggap sesuatu yang biasa, atau meski kemungkaran itu bahkan dibenarkan oleh orang-orang yang mengaku punya ilmu agama pula. Dan fakta bahwa ia adalah seorang mualaf dari etnis minoritas adalah sebuah keunikan yang membuatnya piawai untuk berbicara tentang perbedaan, untuk menunjukkan bahwa apa yang dianggap tidak mungkin, bisa menjadi mungkin dengan keimanan. 

Tapi, cobalah mengetik namanya dengan mesin pencari di dunia maya. Maka, kita akan menemukan bahwa bukan hanya ‘pengikut’-nya yang banyak, tapi ternyata ada pula yang tidak menyenangi langkahnya. Yang tidak menyenangi itu bukan melulu berasal dari mereka yang memang sejak awal membenci Islam. Tapi, justru ada pula dari kalangan yang juga mengaku tengah berada di jalan Islam yang sama, namun memiliki pemikiran yang berseberangan dengannya. 

Namun, ia tetap terus berjalan. Seperti al-Fatih yang mengobsesikan takluknya Konstatinopel, lelaki itu memimpikan hal yang sama; tegaknya kalimat Allah di bawah bendera khilafah. Sebuah mimpi yang seharusnya berada di dalam dada setiap kaum muslimin. Sebuah mimpi yang dieksekusi dengan kadar yang berbeda, pun dengan cara yang berbeda oleh banyak orang. Keunikan dan fakta bahwa ia diterima oleh banyak kalangan membuat para pembencinya juga bermunculan. Entahlah, mungkin bagi mereka, lelaki itu adalah kebenaran yang mengancam

Di satu sisi, hari ini banyak sekali individu maupun pihak-pihak tertentu yang juga sedang memperjuangkan kebenaran, lewat cara-cara yang mereka yakini efektif. Cara itu mungkin akan terlihat tidak sama, bahkan ada pula yang nampak bertentangan. Namun sejatinya, itu semua bermuara pada satu tujuan yang serupa, yakni kemenangan Islam. 

Tegaknya syariat Islam sudah seharusnya tidak menjadi phobia bagi siapapun. Toh dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menegakkan agama ini sambil hidup berdampingan dengan damai dengan para penganut agama yang lain. Selama mereka taat pada pemerintahan Islam, maka mereka aman, bahkan memiliki hak-hak yang harus ditunaikan dengan sangat adil. Maka menjadi pertanyaan yang teramat aneh, saat ternyata kaum muslimin sendiri yang merasa takut dengan penegakan Islam. Ini jelas-jelas sebab mereka belum benar-benar menegerti, bagaimana manfaat dan kebaikan yang akan dibawa dengan diterapkannya aturan Allah. Seperti seorang bocah yang enggan makan sayur hanya karena belum mencobanya saja. Ia sudah terlanjur senang makan permen dan kue-kue manis padahal dikemudian hari, makanan itulah yang membuat giginya berlubang dan batuk datang.

Sebagian umat hari ini, memandang syariat sebagai sebuah jalan yang sulit, bahkan menganggapnya akan mengekang apa yang mereka sebut sebagai hak asasi. Mereka terus melakukan hal-hal yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai Islam, tanpa menyadari bahwa itu semua hanya membawa pada kehancuran, baik di dunia, terlebih lagi di akhirat kelak. Jelas saja, sebab nyatanya hari ini kita berada dalam keterasingan yang kedua. Ghurbatuts tsaani, saat kebenaran, penegakan al Qur’an dan as Sunnah itu dianggap sesuatu yang aneh dan tidak up to date. Persis seperti yang dialami oleh kaum kafir Quraisy yang kala itu sudah teramat jauh dari ajaran Nabi Ibrahim. Mereka sudah terlalu lama tidak mendengarkan ajaran yang shahih sebab terjadi masa dimana terputusnya para utusan, nabi dan rasul. Akhirnya, saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam muncul di tengah-tengah mereka, membawa ajaran dengan inti yang sama persis dengan apa yang dulu didakwahkan oleh pendahulu mereka, Nabi Ibrahim dan Ismail, para kafir Quraisy itu, tidak bisa lagi menerimanya. Cahaya yang terang benderang itu mereka abaikan dan mereka anggap sebagai dongeng orang terdahulu belaka. Penyembahan berhala mereka sucikan dan mereka kira merupakan jalan untuk menyembah Tuhan. Khamr dan zina mereka lazimkan dan mereka anggap sebagai hal yang biasa. Saat ajaran Islam datang, mereka melongo, mereka terkaget. Mereka menertawakannya dan menganggapnya layaknya lelucon yang hanya akan diterima oleh para budak dan orang tertindas saja. 

Saat ini, masa dimana kebenaran juga tengah berada di jarak yang nampak begitu jauh. Maksiat menjadi leluasa menunjukkan diri. Sementara umat menjadi bingung dengan munculnya penyeru-penyeru dengan tampilan surban dan gamis, namun memelintir ayat; mengatakan yang bathil sebagai haq, dan mengatakan yang haq sebagai bathil. Mengatakan jilbab tidak wajib, dan menganggap pilihan membuka jilbab adalah hak asasi yang tidak sepatutnya dipertanyakan dan dipermasalahkan. Inilah zaman dimana bidang ilmu lain hanya akan didengarkan jika dibicarakan oleh pakarnya, kecuali tentang agama. Saat berbicara tentang agama, seolah-olah semua orang berhak, bahkan yang tidak berilmu sekalipun. Sungguh tidak adilnya... 

Saat itulah, kebenaran menjadi terancam. Mereka yang berupaya menegakkan al Qur’an dan as Sunnah dianggap berlebih-lebihan. Seolah surga begitu murah dan jadwal kematian bisa diatur kapan saja. Seolah hanya ampunan saja yang Allah punya, padahal adzab-Nya pun amat pedih. Seolah saat kita mati, kita akan berakhir seperti tanah yang tidak akan dimintai tanggung jawab atas tiap amalnya. Berbagai label disematkan kepada mereka yang membawa kebenaran. Para penyeru kebaikan dianggap patut diwaspadai karena dapat mengancam persatuan. Mereka lupa, bahwa Islam pernah menyatukan dua per tiga belahan bumi dalam tempo yang sama sekali tidak pernah bisa ditandingi oleh peradaban apapun. 

Kebenaran itu terancam, namun ia tidak akan pernah beranjak. Ia akan selalu ada. Dijaga oleh orang-orang yang bening hatinya. Mereka yang terpilih untuk terus berpendar meski kegelapan sudah begitu kelam. Mereka yang tidak akan pernah goyah dan meyakini bahwa Allah akan menolong orang-orang yang menolong agamaNya, serta menegakkan kedudukannya di muka bumi ini. Mereka tidak lelah. Mereka tidak putus asa. Mereka tetap berjuang, meski dalam hening, meski lelah, meski harus meneteskan peluh bahkan darah. Mereka mengorbankan dirinya, mengorbankan dunianya, tersebab begitu yakin, bahwa akan ada hari dimana kita tersadar bahwa dunia ini hanya sekejap saja. Hanya serupa satu jenak masa di suatu pagi atau senja, jika dibandingkan dengan tempat akhir kelak, akhir yang tiada lagi akhirnya. Mereka itu para penjaga. Para penyala lentera. Adakah kita masuk di dalamnya?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)