Selasa, 08 April 2014

Yang Dirindukan, Yang Merindukan

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un...”, demikian ucap lelaki itu.
 
Ia bukan sedang menghadapi sebuah musibah, atau baru saja mendengar kabar duka dari seseorang. Ucapan tadi, ia lirihkan justru saat ia resmi diangkat menjadi seorang pemimpin. Dinasti Umayyah kala itu, serta merta menjadi berada di bawah kekuasaannya. Namun, mengapa kalimat tersebut yang meluncur dari lisannya?

Kelak, namanya akan dikenal dalam sejarah, terpatri dengan tinta emas. Keadilannya tidak perlu dipertanyakan. Kemakmuran yang bertubi-tubi datang juga tidak usah diceritakan, bahkan hingga serigala pun enggan memangsa domba. Kezaliman ia hapuskan. Serta berderet cerita-cerita manis lainnya yang nyata pernah terjadi di atas bumi Allah. Ia, seorang pemimpin yang begitu memahami arti dari sebuah tanggung jawab. Ia tahu bahwa amanah begitu besar tengah dititipkan pada dirinya. Ia tentu sadar bahwa segala hal itu kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Kita mengenang namanya dengan penuh haru dan rindu, Umar bin Abdul ‘Aziz. 

Mari melintas pada generasi sebelumnya. Maka kita akan dapati seorang lelaki lainnya, dengan nama yang sama. Terkenal dengan fisik yang tegap dan kepribadian yang keras. Namun, kita juga menjumpai riwayat perihal garis hitam di pipinya yang timbul akibat banyaknya ia menangis karena rasa takutnya kepada Allah. Ia pun seorang pemimpin yang hadir dalam sejarah Islam dalam kisah yang juga tak kalah gemilang. 

Dia adalah pemimpin kaum muslimin dengan 12 tambalan pada bajunya. Ia membuat heran orang yang mendapatinya membawa tempat air di atas pundaknya, lalu ia menjelaskan, “Aku terlalu kagum terhadap diriku sendiri oleh karena itu aku menghinakannya”. Kisah lainnya direkam oleh Ibnu Katsir juga dalam al Bidayah Wannihayah, saat musim paceklik tiba dan kulit sang Amirul Mukminin ini menghitam tersebab tak makan kecuali dengan roti dan minyak saja, tiada keluh dari lisannya. Bahkan ia berkata, “Akulah sejelek-jelek penguasa apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan...”. Kita mengenang namanya dengan penuh haru dan rindu, Umar bin Khattab.

Hari ini, kita tentu merindukan sosok-sosok seperti keduanya. Ah, bahkan yang mendekati sedikit pun rasanya sudah cukup membuat kita akan begitu mensyukurinya. Kita rindu pada pemimpin yang ingin turut menangis bersama kita, yang menyadari sepenuhnya bahwa jabatan bukan kebanggaan, tapi ujian. Kita rindu pada pemimpin yang menegakkan kebenaran serta menjaga kita tetap dalam ketakwaan, bukan malah memporak-porandakan barisan. Kita rindu pada pemimpin yang lurus tauhidnya, yang tidak menganggap Islam sebagai baju yang kekecilan baginya. Yang tidak perlu risih menyebut kebijakannya adalah bentuk interpretasi atas nilai-nilai Islam. Yang tak perlu sibuk mencitrakan dirinya toleran, tapi nyatanya justru diskriminatif pada hakekat yang sebenarnya. 

Kita mengenang dengan sepenuh haru dan rindu, sosok Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, pemimpin terbaik sepanjang masa. Dia, yang paling indah wajahnya, dan paling baik akhlaknya. Dia yang telah terluka untuk memperjuangkan kebenaran yang kini telah sampai kepada kita. Dia yang senang duduk bersama kaum yang papa, yang meneladankan sebaik-baik teladan. Ia yang begitu murah hatinya, sangat lemah lembut, dan sangat besar cintanya kepada orang-orang beriman. 

Pemimpin yang kita rindukan itu, semoga kelak bisa hadir di tengah-tengah kita. Dan kita, perlu selalu menatap diri kita untuk dipantaskan mendapatkan pemimpin yang kita rindukan. Adakah telah lurus aqidah kita? Adakah telah benar ibadah kita? Adakah telah indah akhlak kita? Adakah telah lembut hati kita? Adakah telah sepenuh ikhtiar kita mengumpulkan ilmu syar’i seperti berpeluh-peluhnya kita untuk ilmu duniawi? Adakah kita memang telah memandang barisan Islam ini sebagai satu kesatuan yang padu, tanpa harus melihat di bawah bendera apa kita bernaung dan jalan perjuangan apa yang kita pilih? Jangan-jangan, sebenarnya justru kita ini yang tidak siap untuk dipimpin oleh pemimpin shalih dengan sistem yang sesuai syari’at Allah? 

Sebab setiap kita akan bertanggung jawab atas pilihan kita masing-masing. Saat kita memilih untuk maju, atau untuk berdiam diri, atau bahkan untuk mengutuk dan mencela, ataukah kita membuka hati dan menelisik jalan yang akan kita tempuh, pada akhirnya semua kembali kepada diri kita masing-masing. Pada akhirnya Allah jua yang akan menilai apa yang ada di dalam hati dan apa yang tengah kita usahakan. 

Kita rindu, pada sosok-sosok yang mengingat kita dalam doanya, dan kita pun mendoakan atasnya. Mungkin, pemimpin yang kita rindukan itu, pun sedang merindukan kita. Wallahu a’lam.

Makassar, 8 April 2013

Mari mendoakan negeri kita, pemimpin kita, dan diri-diri kita..
Juga kaum muslimin di seluruh permukaan bumi Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)