Selasa, 17 Maret 2015

You Can Go Whenever You Want II

Ada saat di mana kau memandang langkah orang lain dengan keinginan yang sama. Namun, kau pendam saja, sebab sadar akan keadaan dan kenyataan. Tapi bukankah kita telah yakin bahwa Dia Maha Mendengar? Dan Dia menjadikan nyata bisik kecil hati yang bahkan tidak sempat kita lisankan. Lalu, mengapa masih ragu pada pengabulan mimpi yang kita ucap lirih dalam doa-doa?

Wajah-wajah asing nampak hilir mudik. Tempat ini sungguh sangat memungkinkan untuk membuat seseorang tersesat. Namun, harusnya di negara yang canggih tersebut telah ada mekanisme untuk mencegah hal itu terjadi. Siapa pula yang tidak khawatir jika harus kehilangan arah di tempat yang asing itu, apalagi jika tengah bersendirian dan bersiap untuk sebuah perjalanan panjang, atau  dengan rencana untuk pulang?




“Orang-orang berlomba-lomba menunjukkan syiarnya masing-masing, salah satunya yah dengan itu...” ucap lelaki di belakang kemudi itu sambil menunjuk sebuah stiker kaligrafi di depan bus yang melaju di hadapan kendaraannya. “Dan saya juga tidak mau kalah...” ia nyengir, menampakkan taringnya yang gingsul. Saya menengok ke kaca belakang mobilnya yang juga nampak menempelkan stiker yang serupa.

“Hati-hati dengan area jalan yang dipasangi CCTV. Kamera itu bisa dengan sigap memotret plat kendaraan kita. Jadi jangan merasa tenang karena merasa berhasil melaju melebihi aturan kecepatan...,” wajahnya nampak gusar membayangkan hal yang selanjutnya ia katakan, “Jika melanggar, siap-siap saja menerima denda yang muncul di tagihan bulan depan!”.

Negara yang nampak teratur. Setidaknya terlihat di ibukota negara mereka. Wajah-wajah melayu yang khas, berbaur dengan hitam manis paras India, nampak pula beberapa turis bule yang nampak sibuk melancong dengan busana minim mereka. Setidaknya, di bandara Internasional tadi semuanya nampak tumpek-blek di sana.

Sore hari masih berada di negeri sendiri, malamnya sudah dijamu di tanah tetangga, lalu siangnya sudah siap untuk membelah langit lagi menuju destinasi selanjutnya. Namun, setiap perjalanan sudah seharusnya selalu meninggalkan bekas, bukan?

“Orang-orang awal yang membangun tempat ini adalah nama-nama yang tidak asing di kampung kita...”, lelaki bertubuh gempal itu terus melanjutkan berbicara. Mengitari sebuah kampus yang menampakkan senioritasnya lewat bangunan-bangunan tua yang masih nampak kokoh dan terawat itu. “Mungkin orang-orang di negeri ini memang pembelajar ulung. Buktinya, mereka sekarang bisa nampak lebih hebat dari kita. Murid yang dahulu, kini melahirkan generasi pelanjut yang menjadi guru! Dan generasi para guru yang dulu, kini datang kembali ke tempat nenek moyangnya mengajar, sebagai seorang murid!” tandasnya sambil tetap memperhatikan laju kendaraannya.

“Tak mengapa, kita tetap belajar saja... Mana tahu nanti akan tiba masa, keadaan kembali berbalik lagi?”, gumam saya, dalam hati. Sambil menatap kubah masjid yang nampak mewah dengan warna emasnya itu. Ah, betapa indahnya masjid kampus ini... 


Lalu perjalanan selanjutnya membawa sedikit degup-degup di dada. Terbiasa dengan suasana sebagai mayoritas, mau tidak mau melahirkan kekhawatiran saat harus menapak tempat di mana kita akan menjadi minoritas. Tapi, semoga mereka sudah cukup cuek untuk tidak terlalu peduli pada lambaian jilbab panjang ini. Ah, rupanya saya hanya tak tahu, dan tak sadar bahwa ada bagian dari negeri itu yang selanjutnya akan membawa pada satu pengalaman religius yang tidak ingin saya lupakan. Dan sama seperti sebelumnya, saya mencoba mereguk cerita-cerita cahaya untuk di bawa pulang, meski hanya tiba saat petang menjelang, dan kembali harus mengucapkan selamat tinggal pada tempat itu pada siang hari esoknya. 

Burung besi ini mendarat dengan mulus tanpa ada halangan yang berarti. Lalu kami kembali lagi harus melewati antrian panjang hanya untuk pemeriksaan passport dan sejenak menatapkan wajah pada kamera berbentuk bulat di hadapan petugasnya.

“Pattani...” ucap saya singkat, kepada perempuan berseragam yang membantu menuliskan beberapa huruf di kolom-kolom yang ternyata belum saya isi dengan lengkap itu.

Dan seperti di tempat tujuan pertama tadi, di tempat kedua ini, kami kembali di sambut oleh wajah-wajah asing namun ramah, para tuan rumah yang mengamalkan sunnah memuliakan tamu itu.  Lelaki melayu yang tengah menempuh studi di tempat ini itu mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan membawakan tas tangan yang saya tenteng sambil tergesa menuju mushala yang tadi ia tunjukkan.

Di perjalanan menuju tempat beristirahat, saya bahkan sempat mendengarkan satu sesi full video ceramah di Youtube; perjalanan panjang. Melewati berbagai jalanan yang mengingatkan saya pada jalan menuju perkampungan. Banyak tanah kosong.  Banyak pepohonan. Saya bersyukur karena terlalu lelah sehingga tidak merasakan mabuk darat seperti biasanya. Tapi, ke mana orang-orang ini akan membawa kami? Saya tersenyum geli sendiri saat berkutat dengan pikiran iseng, saking lelahnya berharap bisa mendarat di kasur empuk. Saya merasa lucu membayangkan ada istana megah di tengah-tengah tempat dengan tanah merah dan pepohonan rimbun. 




Tapi rupanya bayangan yang saya anggap lucu itu justru menjadi persangkaan baik yang menjadi nyata. Saat ternyata perjalanan jauh itu justru semakin memperlihatkan tujuannya. Wajah kota semakin nampak dan semakin nampak. Pelan tapi pasti membuat saya lupa pada pengalaman perjalanan sebelumnya. Dan ‘istana megah’ itu ternyata benar-benar nyata! Haha! Alhamdulillah...

Seorang lelaki berusia senja dengan wajah teduh nampak hilir mudik di bagian berandanya. Peci putih menutupi rambutnya yang beruban. Selaras dengan gamis berwarna senada yang terlihat begitu licin dan rapi, menjuntai tanpa menutupi mata kaki. Jas berwarna kalem juga ia kenakan, menambah wibawanya. Ia menjabat tangan Bapak setelah mengucap salam, lalu tersenyum pada saya –membuat saya memaksakan pula senyuman tulus meski lelah, dengan sebuah anggukan kecil kepadanya. Selanjutnya ia akan ditemani oleh seorang lelaki yang nampak sedikit lebih muda darinya. Lelaki itu pernah tinggal di kampung halaman kita untuk menempuh studi, lalu kemudian kembali mengembara untuk mencari ilmu di negeri lainnya, lalu kembali ke tanah kelahirannya, berkhidmat. Tak saya pungkiri bahwa wajah mereka memang nampak enak untuk dipandang. Belum lagi dengan jamuan mereka yang sungguh sangat membuat kami nyaman. Namun saya sadar, bahwa perasaan segan dan hormat itu bukan datang sebab saya melihat fisik atau kualitas jamuan mereka, namun lebih kepada apa yang ada pada pembawaan akhlak mereka, cerminan dari kedalaman ilmu yang terlihat betul dari apa yang keluar dari lisan keduanya. 



“Meski ini bukan negara Islam, namun kami justru merasa wajib menunjukkan keislaman kami. Laki-laki muslim akan mengenakan pecinya. Perempuan pasti menutup auratnya! Menjadi minoritas justru membuat kami semakin perlu memperlihatkan identitas agama kami.”

Ada rasa hangat yang tiba-tiba muncul di hati saya saat mendengarkan penjelasan itu. Seperti mencoba mengorek ingatan tentang kisah saat seorang lelaki kekar bergelar al Faruq yang dengan bangga mendeklamasikan keimanannya, dan tanpa takut memperlihatkan hijrahnya. Siapa yang ingin istrinya menjadi janda atau anaknya menjadi yatim, dipersilakan menghalanginya! Betapa kuatnya keyakinan itu menancap. Tiada rasa minder, tiada rasa takut!

Dan semangat dari Darussalam itu saya bawa-bawa di dalam dada. Membuat saya menjadi lebih ringan menjalani tujuan berikutnya. Membuat saya lebih santai melangkahkan kaki meski berjalan beriringan dengan wanita-wanita yang mengenakan pakaian yang kekurangan kain. Saya bangga, dengan pakaian yang dipilihkan Allah, lalu kamu mau apa?

Di tempat itu pula saya merasa betapa mereka begitu berusaha untuk memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini, meski harus nampak berbeda, meski tetap saja tidak menang dari sisi jumlah. Sementara kita, kadang menjadi tidak lagi berarti dengan jumlah yang besar karena justru terlalu sibuk mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan.

Lalu masih di negeri yang sama, namun dengan suasana yang jauh berbeda, terjeda kembali dengan perjalanan senja melintasi udara. Sebuah penginapan di tengah kota yang menjadi destinasi wisata dari seluruh dunia itu, nampak menyelip di antara bangunan-bangunan pencakar langit lainnya. Di sana saya merebahkan badan, beristirahat. Masih cukup puyeng dengan sisa-sisa kelelahan perjalanan. Juga dengan suara-suara percakapan bahasa entah dari televisi yang dihidupkan Bapak. 



Dan di tempat ini, saya belajar tentang keteraturan. Setidaknya, ada waktu setengah hari untuk menjelajah sebelum sorenya kembali harus menuju bandar udara untuk melayang ke tujuan akhir kami. Saya menyaksikan transportasi publik yang tertata rapi, sambil berimajinasi dan sesekali berhitung-hitung, kira-kira di negeri sendiri, kapan hal-hal seperti ini juga akan terealisasi? Saya juga berkesempatan menyusuri jalan-jalan dengan perahu berhias. Melihat-lihat pemandangan bermacam-macam, juga memandang dari jauh patung-patung emas dengan pose tiduran. Benda-benda mati yang diagungkan dengan cara yang salah. Lalu menginsyafi betapa keimanan dalam dada memang adalah hal yang paling patut kita syukuri, yang menghindarkan kita dari kebodohan dan kesalahan dalam penyembahan dan peribadatan. 



Dan akhirnya, tiba di tujuan terakhir, tempat selanjutnya kami akan bertolak untuk pulang. Tapi setidaknya ada cukup banyak waktu di tempat ini. Cukup untuk tiba di tempat di mana saya menjadi sadar bahwa faktor manusia adalah penentu kita merasa asing atau tidak, sejauh apapun kita telah pergi dari tanah kelahiran.

Kurs mata uangnya yang rendah membuat banyak orang Melayu yang datang berbelanja di sini. Sepanjang jalan ini rata-rata adalah restoran halal yang siap menjamu mereka,” demikian penjelasannya. Saya mengangguk-angguk saat melihat bahwa ternyata masih bisa mendapati pemandangan perempuan berjilbab di antara para pemilik mata sipit dan kulit bening itu.
Dan waktu kami di tempat ini juga cukup untuk melancong ke tempat yang merawat dengan baik masa lalunya. Adalah sebuah medan perang yang mengabsahkan konsep bahwa strategi bisa melampaui kecanggihan atau badan-badan besar. Apa yang bisa diharapkan oleh para tentara bule itu saat ternyata lubang persembunyian musuhnya didesain sedemikian rupa dengan ukuran mini, sehingga mereka tidak mungkin bisa mengaksesnya. Belum lagi jebakan-jebakan mematikan yang akhirnya melumpuhkan mereka dan membuat mereka harus mengibarkan bendera putih. Kemenangan gilang gemilang akan selalu dikenang dengan bangga oleh bangsa dengan bendera merah bergambar bintang itu. 



Lalu setelah dari tempat itu, saya kembali menginsyafi makna kemenangan yang sebenarnya. Saat sejatinya, panggilan menuju kemenangan itu selalu ada lima kali sehari dari menara masjid. Dan tempat sejauh apapun selalu menjadi terasa rumah saat kita berjumpa dengan wajah-wajah yang menyambut dengan hangat. Perempuan tua yang mengenakan kerudung itu nampak sedang bersiap untuk shalat, saya tidak tahu harus mengucapkan kata-kata apa untuk berkomunikasi dengannya agar ia mengerti. Namun saya tahu, kami punya salam keselamatan yang akan seketika membuat kami merasa saling mengenal. Ya, mengenal sebagai sesama muslim. 



“Assalamu alaikum...”, kami saling berjabat dan melempar senyuman. Ia seketika bangkit meraih sebuah sajadah dan memberikannya pada saya sambil terus tersenyum.

Sujud-sujud itu menginsyafi kembali bahwa di bentangan bumi Allah ini, di bawah kolong langit Allah ini, tidak akan pernah sepi dari mereka yang meninggikan kalimatNya, menyembah hanya padaNya saja. Lalu perasaan hangat di dalam dada itu kembali hadir dalam suasana senja, saat saya mendapati cahaya bersinar dalam sebuah majelis yang dihadiri kanak-kanak berwajah khas negeri itu. Tak banyak jumlahnya, namun terasa semangatnya. Sayap-sayap malaikat menaungi mereka, tak terlihat oleh mata, tapi dengan iman. 



Dan demikianlah, setiap perjalanan akan membawa kita pada berbagai pelajaran. Kadang ia bukan hanya tentang ke mana kita akan pergi. Namun bisa jadi juga justru menyimpan banyak makna dari rangkaian hal-hal yang harus kita lewati untuk menujunya. Saat kita menjadi seseorang yang baru, dengan meninggalkan dan menanggalkan hal-hal yang semestinya kita lupakan dan hapuskan. Serta membawa pulang hal-hal positif yang patut untuk kita miliki. Juga mungkin, menjadi jenak yang hening untuk merenung, menemui diri kita sendiri. 



Makassar, 18 Maret 2015
Mengisi pagi dengan mengingat-ingat kembali cerita di akhir tahun yang lalu.