Ada saat di mana kau memandang langkah orang lain dengan keinginan yang
sama. Namun, kau pendam saja, sebab sadar akan keadaan dan kenyataan. Tapi
bukankah kita telah yakin bahwa Dia Maha Mendengar? Dan Dia menjadikan nyata
bisik kecil hati yang bahkan tidak sempat kita lisankan. Lalu, mengapa masih
ragu pada pengabulan mimpi yang kita ucap lirih dalam doa-doa?
Wajah-wajah asing nampak
hilir mudik. Tempat ini sungguh sangat memungkinkan untuk membuat seseorang
tersesat. Namun, harusnya di negara yang canggih tersebut telah ada mekanisme
untuk mencegah hal itu terjadi. Siapa pula yang tidak khawatir jika harus kehilangan
arah di tempat yang asing itu, apalagi jika tengah bersendirian dan bersiap
untuk sebuah perjalanan panjang, atau
dengan rencana untuk pulang?
“Orang-orang berlomba-lomba menunjukkan syiarnya masing-masing, salah
satunya yah dengan itu...” ucap lelaki di belakang kemudi itu sambil menunjuk sebuah stiker
kaligrafi di depan bus yang melaju di hadapan kendaraannya. “Dan saya juga tidak mau kalah...” ia nyengir, menampakkan taringnya yang
gingsul. Saya menengok ke kaca belakang mobilnya yang juga nampak menempelkan
stiker yang serupa.
“Hati-hati dengan area jalan yang dipasangi CCTV. Kamera itu bisa dengan
sigap memotret plat kendaraan kita. Jadi jangan merasa tenang karena merasa
berhasil melaju melebihi aturan kecepatan...,” wajahnya nampak gusar membayangkan hal yang
selanjutnya ia katakan, “Jika melanggar,
siap-siap saja menerima denda yang muncul di tagihan bulan depan!”.
Negara yang nampak teratur.
Setidaknya terlihat di ibukota negara mereka. Wajah-wajah melayu yang khas,
berbaur dengan hitam manis paras India, nampak pula beberapa turis bule yang
nampak sibuk melancong dengan busana minim mereka. Setidaknya, di bandara
Internasional tadi semuanya nampak tumpek-blek
di sana.
Sore hari masih berada di
negeri sendiri, malamnya sudah dijamu di tanah tetangga, lalu siangnya sudah
siap untuk membelah langit lagi menuju destinasi selanjutnya. Namun, setiap
perjalanan sudah seharusnya selalu meninggalkan bekas, bukan?
“Orang-orang awal yang membangun tempat ini adalah nama-nama yang tidak
asing di kampung kita...”,
lelaki bertubuh gempal itu terus melanjutkan berbicara. Mengitari sebuah kampus
yang menampakkan senioritasnya lewat bangunan-bangunan tua yang masih nampak
kokoh dan terawat itu. “Mungkin
orang-orang di negeri ini memang pembelajar ulung. Buktinya, mereka sekarang
bisa nampak lebih hebat dari kita. Murid yang dahulu, kini melahirkan generasi
pelanjut yang menjadi guru! Dan generasi para guru yang dulu, kini datang
kembali ke tempat nenek moyangnya mengajar, sebagai seorang murid!”
tandasnya sambil tetap memperhatikan laju kendaraannya.
“Tak mengapa, kita tetap belajar saja... Mana tahu nanti akan tiba masa,
keadaan kembali berbalik lagi?”, gumam saya, dalam hati. Sambil menatap kubah masjid yang nampak mewah
dengan warna emasnya itu. Ah, betapa indahnya masjid kampus ini...
Lalu perjalanan selanjutnya
membawa sedikit degup-degup di dada. Terbiasa dengan suasana sebagai mayoritas,
mau tidak mau melahirkan kekhawatiran saat harus menapak tempat di mana kita
akan menjadi minoritas. Tapi, semoga mereka sudah cukup cuek untuk tidak terlalu
peduli pada lambaian jilbab panjang ini. Ah, rupanya saya hanya tak tahu, dan
tak sadar bahwa ada bagian dari negeri itu yang selanjutnya akan membawa pada
satu pengalaman religius yang tidak ingin saya lupakan. Dan sama seperti sebelumnya,
saya mencoba mereguk cerita-cerita cahaya untuk di bawa pulang, meski hanya
tiba saat petang menjelang, dan kembali harus mengucapkan selamat tinggal pada
tempat itu pada siang hari esoknya.
Burung besi ini mendarat
dengan mulus tanpa ada halangan yang berarti. Lalu kami kembali lagi harus melewati
antrian panjang hanya untuk pemeriksaan passport dan sejenak menatapkan wajah
pada kamera berbentuk bulat di hadapan petugasnya.
“Pattani...” ucap
saya singkat, kepada perempuan berseragam yang membantu menuliskan beberapa
huruf di kolom-kolom yang ternyata belum saya isi dengan lengkap itu.
Dan seperti di tempat
tujuan pertama tadi, di tempat kedua ini, kami kembali di sambut oleh
wajah-wajah asing namun ramah, para tuan rumah yang mengamalkan sunnah
memuliakan tamu itu. Lelaki melayu yang
tengah menempuh studi di tempat ini itu mengulurkan tangannya, menawarkan
bantuan membawakan tas tangan yang saya tenteng sambil tergesa menuju mushala
yang tadi ia tunjukkan.
Di perjalanan menuju tempat
beristirahat, saya bahkan sempat mendengarkan satu sesi full video ceramah di
Youtube; perjalanan panjang. Melewati berbagai jalanan yang mengingatkan saya
pada jalan menuju perkampungan. Banyak tanah kosong. Banyak pepohonan. Saya bersyukur karena terlalu
lelah sehingga tidak merasakan mabuk darat seperti biasanya. Tapi, ke mana
orang-orang ini akan membawa kami? Saya tersenyum geli sendiri saat berkutat
dengan pikiran iseng, saking lelahnya berharap bisa mendarat di kasur empuk.
Saya merasa lucu membayangkan ada istana megah di tengah-tengah tempat dengan
tanah merah dan pepohonan rimbun.
Tapi rupanya bayangan yang
saya anggap lucu itu justru menjadi persangkaan baik yang menjadi nyata. Saat
ternyata perjalanan jauh itu justru semakin memperlihatkan tujuannya. Wajah
kota semakin nampak dan semakin nampak. Pelan tapi pasti membuat saya lupa pada
pengalaman perjalanan sebelumnya. Dan ‘istana megah’ itu ternyata benar-benar
nyata! Haha! Alhamdulillah...
Seorang lelaki berusia
senja dengan wajah teduh nampak hilir mudik di bagian berandanya. Peci putih
menutupi rambutnya yang beruban. Selaras dengan gamis berwarna senada yang
terlihat begitu licin dan rapi, menjuntai tanpa menutupi mata kaki. Jas
berwarna kalem juga ia kenakan, menambah wibawanya. Ia menjabat tangan Bapak
setelah mengucap salam, lalu tersenyum pada saya –membuat saya memaksakan pula
senyuman tulus meski lelah, dengan sebuah anggukan kecil kepadanya. Selanjutnya
ia akan ditemani oleh seorang lelaki yang nampak sedikit lebih muda darinya.
Lelaki itu pernah tinggal di kampung halaman kita untuk menempuh studi, lalu
kemudian kembali mengembara untuk mencari ilmu di negeri lainnya, lalu kembali
ke tanah kelahirannya, berkhidmat. Tak saya pungkiri bahwa wajah mereka memang
nampak enak untuk dipandang. Belum lagi dengan jamuan mereka yang sungguh
sangat membuat kami nyaman. Namun saya sadar, bahwa perasaan segan dan hormat
itu bukan datang sebab saya melihat fisik atau kualitas jamuan mereka, namun
lebih kepada apa yang ada pada pembawaan akhlak mereka, cerminan dari kedalaman
ilmu yang terlihat betul dari apa yang keluar dari lisan keduanya.
“Meski ini bukan negara Islam, namun kami justru merasa wajib menunjukkan
keislaman kami. Laki-laki muslim akan mengenakan pecinya. Perempuan pasti
menutup auratnya! Menjadi minoritas justru membuat kami semakin perlu
memperlihatkan identitas agama kami.”
Ada rasa hangat yang
tiba-tiba muncul di hati saya saat mendengarkan penjelasan itu. Seperti mencoba
mengorek ingatan tentang kisah saat seorang lelaki kekar bergelar al Faruq yang
dengan bangga mendeklamasikan keimanannya, dan tanpa takut memperlihatkan
hijrahnya. Siapa yang ingin istrinya menjadi janda atau anaknya menjadi yatim,
dipersilakan menghalanginya! Betapa kuatnya keyakinan itu menancap. Tiada rasa
minder, tiada rasa takut!
Dan semangat dari
Darussalam itu saya bawa-bawa di dalam dada. Membuat saya menjadi lebih ringan
menjalani tujuan berikutnya. Membuat saya lebih santai melangkahkan kaki meski
berjalan beriringan dengan wanita-wanita yang mengenakan pakaian yang
kekurangan kain. Saya bangga, dengan pakaian yang dipilihkan Allah, lalu kamu
mau apa?
Di tempat itu pula saya
merasa betapa mereka begitu berusaha untuk memperjuangkan kebenaran yang mereka
yakini, meski harus nampak berbeda, meski tetap saja tidak menang dari sisi
jumlah. Sementara kita, kadang menjadi tidak lagi berarti dengan jumlah yang
besar karena justru terlalu sibuk mempermasalahkan perbedaan-perbedaan yang
sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan.
Lalu masih di negeri yang
sama, namun dengan suasana yang jauh berbeda, terjeda kembali dengan perjalanan
senja melintasi udara. Sebuah penginapan di tengah kota yang menjadi destinasi
wisata dari seluruh dunia itu, nampak menyelip di antara bangunan-bangunan
pencakar langit lainnya. Di sana saya merebahkan badan, beristirahat. Masih
cukup puyeng dengan sisa-sisa kelelahan perjalanan. Juga dengan suara-suara
percakapan bahasa entah dari televisi yang dihidupkan Bapak.
Dan di tempat ini, saya
belajar tentang keteraturan. Setidaknya, ada waktu setengah hari untuk
menjelajah sebelum sorenya kembali harus menuju bandar udara untuk melayang ke
tujuan akhir kami. Saya menyaksikan transportasi publik yang tertata rapi,
sambil berimajinasi dan sesekali berhitung-hitung, kira-kira di negeri sendiri,
kapan hal-hal seperti ini juga akan terealisasi? Saya juga berkesempatan menyusuri
jalan-jalan dengan perahu berhias. Melihat-lihat pemandangan bermacam-macam,
juga memandang dari jauh patung-patung emas dengan pose tiduran. Benda-benda
mati yang diagungkan dengan cara yang salah. Lalu menginsyafi betapa keimanan
dalam dada memang adalah hal yang paling patut kita syukuri, yang menghindarkan
kita dari kebodohan dan kesalahan dalam penyembahan dan peribadatan.
Dan akhirnya, tiba di
tujuan terakhir, tempat selanjutnya kami akan bertolak untuk pulang. Tapi setidaknya
ada cukup banyak waktu di tempat ini. Cukup untuk tiba di tempat di mana saya
menjadi sadar bahwa faktor manusia adalah penentu kita merasa asing atau tidak,
sejauh apapun kita telah pergi dari tanah kelahiran.
“Kurs mata uangnya yang rendah membuat banyak orang Melayu yang datang
berbelanja di sini. Sepanjang jalan ini rata-rata adalah restoran halal yang
siap menjamu mereka,” demikian penjelasannya. Saya mengangguk-angguk saat
melihat bahwa ternyata masih bisa mendapati pemandangan perempuan berjilbab di
antara para pemilik mata sipit dan kulit bening itu.
Dan waktu kami di tempat
ini juga cukup untuk melancong ke tempat yang merawat dengan baik masa lalunya.
Adalah sebuah medan perang yang mengabsahkan konsep bahwa strategi bisa
melampaui kecanggihan atau badan-badan besar. Apa yang bisa diharapkan oleh para
tentara bule itu saat ternyata lubang persembunyian musuhnya didesain
sedemikian rupa dengan ukuran mini, sehingga mereka tidak mungkin bisa
mengaksesnya. Belum lagi jebakan-jebakan mematikan yang akhirnya melumpuhkan
mereka dan membuat mereka harus mengibarkan bendera putih. Kemenangan gilang
gemilang akan selalu dikenang dengan bangga oleh bangsa dengan bendera merah
bergambar bintang itu.
Lalu setelah dari tempat
itu, saya kembali menginsyafi makna kemenangan yang sebenarnya. Saat sejatinya,
panggilan menuju kemenangan itu selalu ada lima kali sehari dari menara masjid.
Dan tempat sejauh apapun selalu menjadi terasa rumah saat kita berjumpa dengan
wajah-wajah yang menyambut dengan hangat. Perempuan tua yang mengenakan
kerudung itu nampak sedang bersiap untuk shalat, saya tidak tahu harus
mengucapkan kata-kata apa untuk berkomunikasi dengannya agar ia mengerti. Namun
saya tahu, kami punya salam keselamatan yang akan seketika membuat kami merasa
saling mengenal. Ya, mengenal sebagai sesama muslim.
“Assalamu alaikum...”, kami saling berjabat dan melempar senyuman. Ia seketika bangkit meraih
sebuah sajadah dan memberikannya pada saya sambil terus tersenyum.
Sujud-sujud itu menginsyafi
kembali bahwa di bentangan bumi Allah ini, di bawah kolong langit Allah ini,
tidak akan pernah sepi dari mereka yang meninggikan kalimatNya, menyembah hanya
padaNya saja. Lalu perasaan hangat di dalam dada itu kembali hadir dalam
suasana senja, saat saya mendapati cahaya bersinar dalam sebuah majelis yang
dihadiri kanak-kanak berwajah khas negeri itu. Tak banyak jumlahnya, namun
terasa semangatnya. Sayap-sayap malaikat menaungi mereka, tak terlihat oleh
mata, tapi dengan iman.
Dan demikianlah, setiap
perjalanan akan membawa kita pada berbagai pelajaran. Kadang ia bukan hanya
tentang ke mana kita akan pergi. Namun bisa jadi juga justru menyimpan banyak
makna dari rangkaian hal-hal yang harus kita lewati untuk menujunya. Saat kita
menjadi seseorang yang baru, dengan meninggalkan dan menanggalkan hal-hal yang
semestinya kita lupakan dan hapuskan. Serta membawa pulang hal-hal positif yang
patut untuk kita miliki. Juga mungkin, menjadi jenak yang hening untuk
merenung, menemui diri kita sendiri.
Makassar, 18 Maret 2015
Mengisi pagi dengan mengingat-ingat kembali cerita di akhir tahun yang
lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)