Terkadang, ada orang yang tidak bisa kita lupakan, bukan karena ia telah melakukan hal yang besar untuk kita. Namun, justru sebab bantuan-bantuan keclnya, pada saat kita benar-benar membutuhkannya.
“Bagaimana cara memberitahu ini pada Bapak tanpa ketahuan Mama?”
tanya saya setelah menerima sebuah pesan singkat, malam itu.
Adik saya hanya menatap
sesaat, memalingkan pandangannya dari buku yang sedari tadi ia baca. Lalu
menggeleng. No idea.
Saya hanya bisa menatap
layar ponsel. Malam semakin larut.
--------------------------------
Namanya Aminuddin Yasin,
salah seorang kakak kandung Bapak. Hanya beliau saja saudara laki-laki Bapak
yang masih hidup hingga kini. Mengingat tentangnya, adalah mengenang sebuah
perjalanan panjang perjuangan hidup, dan bagaimana ‘keajaiban’ dapat bekerja
mengalahkan hitung-hitungan manusia.
Lelaki yang selalu saya
sapa dengan panggilan ‘Om Aji’ itu telah melalui operasi ginjal pada tahun
1999. Setelah itu, ia divonis harus rutin menjalani hemodialisa. Di masyarakat
pada umumnya, keharusan untuk hemodialisa biasanya adalah sebuah pertanda
buruk. Tidak banyak yang bisa bertahan lama melebihi dua hingga tiga tahun
saja. Namun, jika Allah menghendaki hal lain, maka tidak ada yang tidak
mungkin. Buktinya, Om Aji terus bertahan hingga tahun kelima belas menjalani
cuci darah secara rutin. Ya, sebuah angka yang tidak banyak untuk satuan tahun
yang menandai perjalanan untuk tetap hidup dengan normal. Telah ratusan
kawannya sesama pasien yang menjalani hemodialisa yang sudah meninggal lebih
dahulu.
Beliau adalah sosok paman
yang humoris. Kelakarnya selalu dapat membuat saya tertawa terkekeh-kekeh.
Selain itu, background pendidikannya
yang merupakan seorang perawat senior juga membuat saya selalu merasa lebih
nyambung saat berbincang dengannya.
“Muka kamu pucat...”,
Bapak suatu hari mengisahkan ceritanya tentang kakak lelakinya itu, ia meniru
apa yang diucapkan oleh Om Aji kepadanya kala itu. Bertahun yang lalu, saat
Bapak adalah pemuda yang datang merantau ke kota. Mahasiswa dengan uang bulanan
pas-pasan yang seringnya justru tidak pas untuk bertahan hidup selama sebulan.
Dan Om Aji telah menorehkan kenangan itu pada ingatan jangka panjang Bapak.
Perihal dirinya yang kerap kali menegur wajah pucat Bapak. Dan teguran itu
bukan hanya sampai di sana. Selalunya, ia lanjutkan dengan memberikan butir-butir
vitamin kepada Bapak, yang alih-alih berpikir untuk membeli kapsul suplemen
seperti itu, makan saja susah! Maka perhatian kecil itu menjadi satu hal yang
selalu Bapak ingat tentang Om Aji. Sebagaimana beliau memang selalu bercerita
tentang budi-budi baik orang-orang yang pernah menolongnya di masa yang lalu.
Mengajarkan kepada kami untuk berusaha melakukan hal yang sama dalam mengisi
hidup.
“Orang yang kamu tolong saat ini, mungkin seumur hidup tidak akan pernah
membalas pertolonganmu itu. Tapi, Allah bisa dengan mudah mengaturkan orang
lain untuk membantumu, saat kau membutuhkan pertolongan suatu waktu.
Demikianlah takdir bekerja.”
Maka setelah masa yang
panjang itu, beberapa bulan ini saya selalu mendengar kabar perihal kesehatan
Om Aji yang semakin drop. Tiga bulan
ia tidak bisa tidur dalam posisi berbaring. Penyakitnya berbaur menjadi satu,
sesuatu yang kadang kita sebut sebagai; komplikasi, yang menggerogoti tiap
organ dalamnya. Saya masih sempat berbincang padanya saat datang menjenguknya
sehabis maghrib, di suatu malam. Seperti biasa, ia tetap selalu paling awal
menanyakan kabar ibu, sebelum memperbincangkan yang lain.
Hingga sebelas hari yang
lalu, kondisi beliau semakin memburuk. Om Aji ditempatkan di ruang perawatan
khusus dengan begitu banyak selang dan alat-alat yang terkoneksi pada monitor
di samping tempat tidurnya. Pada sebuah maghrib, saya mendapat kabar yang
membuat saya dan bapak segera meluncur ke rumah sakit untuk melihat keadaan beliau.
“Saya... mohon.. dimaafkan...,” ucap Om Aji dengan napas yang berusaha ia kuat-kuatkan.
Ada selapis bening yang
tiba-tiba terbit di mata saya. Ada getaran kecil di dalam dada. Ya Allah...
betapa dekatnya maut dari kita.
Saya berlutut di samping
tempat tidurnya. Memegang telapak tangannya saat matanya yang sendu mengarah
pada saya. Sepupu saya, anak Om Aji yang selalu menjaganya memberitahunya bahwa
saya datang malam itu. Om Aji berusaha menyebut nama saya, memberi respon bahwa
ia sadar bahwa saya datang. Saya tersenyum lebar. Sebuah senyum yang pasti
terlihat sangat aneh; kombinasi antara menahan sedih dengan perasaan bahagia
karena Om Aji masih dapat mengenali saya.
Malam itu, kami meninggalkan
Om Aji saat ia terlihat lebih stabil dan masih dapat merespon dengan baik saat
kami pamitan.
Esok malanya, kami kembali
datang. Keadaan beliau memburuk. Nampak begitu kesulitan mengatur napas, dengan
masker oksigen yang terus terpasang. Di ruangan yang sama, nampak dua tempat
tidur pasien lainnya yang juga sudah dikelilingi oleh keluarga masing-masing.
Suara tangis tertahan bersahut-sahutan dengan suara mesin-mesin kesehatan di
ruangan itu. Ah, betapa setiap nyawa akan merasakan mati...
Setelah malam itu, saat
seluruh anak-anak Om Aji sudah berkumpul, keadaan beliau membaik. Bahkan ia
sempat berbicara panjang dan mengobrol dengan anak-anaknya. Hingga dua dari
empat anaknya akhirnya memutuskan untuk kembali ke kota rantau masing-masing,
tanpa pernah tahu bahwa itu adalah perbincangan terakhirnya dengan ayahnya.
Malam sabtu, pesan singkat
itu mendarat ke ponsel saya.
“Dek, tolong tetap aktifkan hp malam ini, ya...” itu SMS dari Kak Ita, salah seorang anak Om Aji
yang terus menjaganya.
Deg.
Waktu sudah menunjukkan
pukul sepuluh malam. Kamar Bapak dan Mama sudah gelap. Jika ada kabar duka yang
datang malam ini, saya tidak tahu bagaimana memberi tahu pada Bapak tanpa harus
mengganggu tidur Mama –yang tidak bisa mendengar berita buruk yang akan semakin
memperparah kondisinya.
Sambil menaikkan volume
ponsel agar bisa tetap terdengar walaupun saya sudah tidur, saya hanya dapat
berdoa semoga kalaupun kabar duka itu datang, saya dapat menemukan cara tepat
untuk menyampaikannya pada Bapak.
Dan benar. Saya masih
berada antara alam mimpi dan sadar saat saya meraih ponsel yang menunjukkan
bahwa beberapa menit lalu Kak Ita menghubungi saya. Ah, sebegitu pulasnyakah
tidur ini hingga suara panggilan tadi tidak terdengar? Buru-buru saya
menghubungi Kak Ita dengan degup jantung yang semakin terpacu. Suara adzan
subuh sayup-sayup mengalun dari menara masjid.
“Aji sudah tidak ada, Dek. Sampaikan ke Bapak...” ujar Kak Ita di seberang sana. Saya tertegun
sesaat. Sekelebat wajah Om Aji muncul di benak saya. Saya hanya dapat
mengiyakan kata-kata Kak Ita setelah mengucap kalimat istirja’. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un...
Maka hari ini, saya kembali
menyaksikan bagaimana kesedihan dapat membumbung di langit-langit rumah duka.
Bahwa perasaan kehilangan itu bisa menular dalam bentuk air mata, dari satu
netra ke netra lainnya. Nampak oleh saya para pelayat yang datang mendoakan Om
Aji dengan mata berkaca. Duduk sebentar, kemudian kembali berkaca-kaca lagi,
entah tengah mengenang apa.
Betapa tidak berdayanya
kita pada akhirnya. Hanya dapat terbujur kaku, tanpa nyawa. Saat kita kembali
butuh bantuan orang lain untuk sekadar memandikan dan memakaikan ‘pakaian
terakhir’ kita. Saat kita mendengarkan empat kali takbir saat dishalatkan. Lalu
dimasukkan ke liang lahat yang sunyi dan sepi, gelap bersama hewan-hewan tanah,
tanpa membawa apapun juga, kecuali amal-amal kita. Tiada yang tahu sepanjang
apa masa penantian itu, hingga datangnya hari kiamat. Mungkin puluhan tahun,
atau bahkan ratusan tahun, atau lebih dari itu. Lalu setelah telah ditetapkan
tempat kita di akhirat, maka maut pun disembelih, dan tiada lagi kematian. Yang
ada hanyalah kehidupan yang panjang, yang sejatinya adalah tujuan kita yang
sebenarnya. Maka memang hanya pagi atau petang saja! Ya, hanya seolah sejenak
pagi atau petang saja kita di dunia ini! Betapa singkatnya jika dibanding
kehidupan akhirat!
Dan setiap perpisahan
memang selalu membawa pesan bahwa tidak ada kebersamaan yang abadi di dunia.
Kemungkinannya hanya dua, kita meninggalkan, atau kita ditinggalkan. Mati,
satu-satunya kepastian di dalam hidup yang penuh dengan ketidakpastian ini.
Saya menatap Bapak dan
saudara-saudaranya yang lain. Mereka tidak lagi seperti dulu, saat saya masih
kanak-kanak. Berbagai penyakit telah datang, membuat tubuh-tubuh tegap itu
tidak lagi setegap yang dulu. Nyeri di persendian, permasalahan dengan kadar
ini-itu, dan berbagai gangguan penyakit lainnya yang datang menandai
bertambahnya umur mereka di setiap bilangan waktu.
Kita, terkadang begitu
sibuk untuk tumbuh dan berkembang dengan mimpi-mimpi kita. Mengejar ini dan
itu, meski kita tahu betul semua itu tidak akan ada habisnya. Namun, kita
menjadi begitu mudah lupa, perihal orang-orang yang kita cintai yang juga
semakin menua. Mereka yang dulu telapak tangannya kita genggam kuat saat kita
berusaha memulai langkah pertama saat belajar berjalan, kini telapak yang sama
itu telah penuh keriput, dan mungkin menjadi sering memerlukan pertolongan dari
kita. Mereka yang dulu menopang semangat dan hari-hari kita, kini mungkin
semakin sering menopangkan dirinya agar setidaknya tidak terlampau tertatih
saat berjalan bersama kita. Ah, betapa banyaknya jasa mereka, dan betapa
sedikitnya kita mampu membalasnya.
Pada setiap perpisahan,
kita akan mengenang kembali senyuman orang-orang yang meninggalkan kita itu,
mengenang budi baik mereka, sambil bertanya dalam harap-harap cemas; seperti
apa nantinya kita akan dikenang?
Makassar, 14 Februari 2015
Di hari terakhir perjumpaan dengan Om Aji Aminuddin Yasin. Innalillahi wa
inna ilaihi raji’un. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)