Selasa, 24 November 2015

Kaukah Itu?

“Tidak pake bedak, ya?” tanyanya kepada saya. Mungkin sambil memperhatikan wajah saya yang nampak polos-polos saja. Padahal saya sudah berganti pakaian, dan barang-barang yang akan kami bawa pun telah siap.

“Nanti di sana akan di tutup juga, kan?” jawab saya, selewat. Padahal itu hanya satu alasan. Alasan lainnya, akan terjawab kemudian. Bedak tidak akan berarti untuk wajah yang akan diguyur air mata, bukan?

Hingga waktunya pun tiba. Semua barang yang sudah kami packing sejak beberapa hari yang lalu itu, sudah berdesak-desakan di bagasi mobil yang akan membawa kami ke bandara. Bapak juga sudah siap mengantar. Om yang akan mengemudikan mobil juga baru saja tiba. Waktunya akan datang. Perpisahan.

Mama nampak hanya berbaring di tempat tidur. Memandang lurus ke arah yang entah apa dengan tatapan yang sulit saya artikan. Meski hari itu saya sudah tertawa-tawa dengan kedatangan Pyfor Rangers –para sahabat sejak zaman SMP, yang tadi pagi nongol di rumah untuk say-goodbye, tapi saya tahu bahwa hari ini akan tetap terasa berat.

Saya ingin meraih telapak tangan Mama untuk berpamitan. Tapi Mama bergeming, tidak pula mengatakan apa-apa. Sejurus kemudian saya tidak tahu harus mengatakan apa pada perempuan yang sangat saya cintai itu kecuali memeluknya dan menangis dalam pelukannya. Dari semua hal tentang ini, bagian inilah yang paling saya takutkan. Meninggalkan Mama.

Keputusan ini pun bukanlah sebuah hal yang saya ambil dengan mudah. Orang-orang terdekat saya sangat tahu tentang hal itu. Entah sudah berapa malam saya lalui dengan bantal yang basah oleh air mata tiap kali membayangkan bahwa suatu hari kejadian ini akan terjadi. Saya bahkan masih sangat ingat, suatu malam saat saya shalat dan menangis sesunggukan di dalam sujud, berdoa agar Allah jangan menakdirkan kejadian tersebut jika saya memang tidak sanggup untuk menghadapinya. Maka saat berpamitan dengan beberapa orang di hari-hari kemarin pun, saya tahu, bahwa tidak sedikit dari mereka yang mempertanyakan keputusan ini. Ah, andai mereka tahu...

Namun, di antara berbagai macam respon atas pamitan-pamitan saya itu, salah seorang saudari saya yang jauh di mata namun dekat di hati, memberikan sebuah doa yang teramat indah dan teramat menenangkan saat saya mengabarinya bahwa saya akan ikut suami dan meninggalkan kota kelahiran saya sendiri.

“Semoga Allah memberkahi dan memberikan kepada ukhti kemudahan di tempat yang ukhti tuju. Dan semoga Allah menjaga apa-apa yang ukhti tinggalkan...” . Dan seperti seorang musafir  yang sedang berjalan di padang yang tandus, pesan itu bagaikan oase di pelupuk mata. Jazakillah khairan, ukhtifillah...

Saya masih menangis dalam pelukan Mama. Mama pun menangis memeluk saya. Saya membisikkan permintaan maaf yang sudah sepatutnya harus selalu diucapkan oleh seorang anak. Meski saya tahu bahwa terlalu banyak kesalahan saya pada perempuan ini. Suami saya pun ikut berpamitan kepada Mama. Seperti saya, ia pun tentu tak kalah beratnya menghadapi perpisahan itu.

Dalam perjalanan menuju bandara, saya masih sibuk menyeka air mata yang mengalir tanpa suara. Memandang jalanan yang padat oleh kendaraan. Membayangkan bahwa saya akan meninggalkan kota ini beberapa saat lagi, menuju tempat yang berisi semua hal yang pasti akan terasa asing.

Di bandara, kami dilepas pula oleh kedua mertua yang juga hadir di sana. Beberapa pesan telah Bapak dan Ibu mertua sampaikan, yang tentunya pula diiringi dengan doa-doa keselamatan. Dengan Bapak, saya hanya menangkap ada raut sedih di wajahnya, namun ia tetap mengejawantahkannya dengan cara yang biasa, membiarkan saya mengecup telapak tangannya, kemudian memeluk saya sesaat serta mencium pipi kanan dan kiri saya menjelang benar-benar melepas kami. Dalam pada itu, ingatan saya terbawa kepada beberapa hari sebelumnya, saat saya tengah sibuk di dapur menyiapkan makan siang, dan Bapak tiba-tiba ikut masuk dapur dan duduk di salah satu kursi di meja makan dapur.

“Suami kamu tanya sama Bapak, dia minta diberikan pesan-pesan sebelum berangkat...” ujar Bapak. Saya hanya menoleh sekilas sambil tetap mengaduk sayur di panci.

“Kamu mau dikasih pesan apa?” tanya Bapak sambil tersenyum

“Ya terserah Bapak lah...”, ditanya seperti itu, saya hanya bisa nyengir. Bapak pun nampak tersenyum saja.

Itu kamu masak sayur buat Bapak?” tanya Bapak kemudian

Saya menggeleng. Sayur ‘khusus’ buat Bapak sudah siap di meja makan. Sayur labu dengan kacang hitam yang tiap hari disantap Bapak tanpa bosan, dan selalu ia cari jika absen dari meja makan. Bapak tidak suka masakan yang masih panas. Maka sayur yang masih tersisa sejak pagi itu tidak saya panaskan untuk makan siang. Bapak tidak pernah mencela makanan dan menginginkan macam-macam. Dia akan memakan apapun yang dhidangkan di meja, dan tidak memakannya jika memang tidak suka, tanpa banyak bicara.

“Bukan, Pak. Sayur buat Bapak sudah ada di meja...

“Hmm...” Bapak memandang meja makan dapur, mungkin menatap bayangannya sendiri di kaca itu. “Gampang ya, makanannya Bapak...” ujarnya kemudian. Saya kembali menatap lelaki itu sambil tersenyum. “Memangnya di dunia ini ada suami seperti bapak?” tanya Bapak sambil memandang saya. Saya sungguh tidak tahu harus menjawab apa.

Kami pun melewati pintu keberangkatan. Barang-barang yang segambreng itu jelas-jelas akan overweight. Check in untuk pesawat yang akan membawa kami belum buka. Kami pun memutuskan untuk mencari tempat yang nyaman untuk menunggu. Suami meminta saya menunggu di salah satu tempat duduk sambil menjaga barang-barang kami yang sudah menumpuk ramai di atas dua trolley, sementara ia mencari alat untuk menimbang barang-barang itu.

Masih ada yang bergemuruh di dalam hati saya. Seumur hidup, saya tak pernah jauh dari orang tua. Breaking-record saya hanya terjadi semasa KKN selama 2 bulan di daerah yang berjarak sekitar lima jam perjalanan darat dari kota kami. Itupun dijeda dengan kepulangan saya beberapa hari pada akhir bulan pertama. Selain itu, hingga sudah dewasa sekalipun, saya adalah anak yang sangat jarang memudahkan diri untuk bermalam di tempat lain selain di rumah sendiri, bahkan untuk di rumah kerabat sekalipun. Ada perasaan takut, khawatir, bercampur sedih, yang masih terasa menyelimuti. “Di sana nanti, setelah Allah, saya tidak punya siapa-siapa selain Kakak..” saya kembali mengingat pesan singkat yang saya kirimkan kepada suami beberapa hari sebelum keberangkatan kami.

“Jangan sedih begitu dong..” saya bahkan tidak sadar bahwa dia sudah di hadapan saya. Menatap mata saya yang menatap matanya dengan berkaca-kaca. Huuft..., apapun yang terjadi, perjalanan harus tetap dilanjutkan...

Kami melewatkan waktu yang cukup lama dengan rupa-rupa prosedur sebelum akhirnya tiba di ruang tunggu menjelang boarding. Mungkin karena semalam harus begadang untuk menyelesaikan packing, ditambah rasa lelah karena bersedih-sedih tadi, saya merasa kepala saya sangat berat. Dan mumpung ada yang menawarkan bahu, saya pun memutuskan untuk bersandar padanya. Tidak lagi peduli pada penumpang lain di hadapan kami yang toh juga nampak sibuk dengan gadget-nya. Seorang laki-laki berperawakan tinggi yang nampaknya seorang mahasiswa juga.

Menjelang naik di pesawat, lelaki itu menyapa suami saya. Usut punya usut, ternyata dia betul-betul calon mahasiswa yang akan menempuh pendidikan magisternya di kampus yang sama dengan suami. Ia bertanya tentang banyak hal karena ini adalah pengalaman pertamanya ke negeri jiran, seorang diri pula. Katanya, nanti di sana ia akan dijemput oleh neneknya yang sudah berdomisili di Malaysia sejak lama.

Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Kenalan baru kami ini ternyata ditakdirkan untuk memudahkan urusan kami. Suami pun meminta tolong padanya untuk membawakan salah satu kardus yang seharusnya saya bawa naik ke kabin. Di pintu pemeriksaan sebelum ruang tunggu tadi, suami sudah ditegur oleh petugas karena membawa kedua kardus itu sendirian.

“Satu penumpang untuk satu potong bawaan, Pak. Barang yang satunya lagi mohon dibawa oleh istrinya saja. Tidak sedang hamil, kan?”. Saya menggeleng. Lalu meyakinkan pada suami bahwa saya bisa membawa barang itu nanti naik ke atas pesawat.

Tapi, karena dapat bantuan dari kenalan baru kami itu, saya pun jadinya bisa lenggang kangkung naik ke atas pesawat hanya dengan menenteng tas tangan saja, alhamdulillah...

Di satu sisi, saya pun jatuh kasihan pada lelaki itu. Tidak terbayangkan jika berada di posisinya. Pasti bingung betul menghadapi tempat baru dengan bandara Malaysia yang luasnya ampun-ampunan. Belum lagi bahwa ternyata neneknya itu tidak menjemputnya di bandara, tapi di KL Central.

Kalau mau ke sana, dari bandara nanti harus naik bus dulu. Ongkosnya sekitar 10 ringgit. Nanti saya perlihatkan tempat beli tiket busnya.” ujar suami menjelaskan. Lelaki itu mengangguk-angguk.

Kenalan baru kami itu benar-benar sangat membantu. Ia bahkan ikut mendorongkan trolley dan membantu mengangkatkan barang-barang yang sedianya saya yang harus mengcovernya. Di satu sisi dia pun sangat bersyukur karena dapat bantuan menyusuri tempat yang baru ia datangi. Berkali-kali ia berdecak-decak kelelahan saat kami tiba di KLIA II.

Buat apa bandara sebesar ini... Ckckckck...” ujarnya dengan logat bugis yang khas sambil terus mendorong trolley.

Dalam perkembangan selanjutnya, kami memutuskan untuk mengajak dia menumpang di mobil yang kami sewa. Mobil sewaan yang disetir oleh seorang teman suami itu sedikit dibelokkan rutenya agar melewati tempat di mana ‘nenek’nya menjanjikan untuk menjemputnya. Nanti, pembaca akan tahu mengapa saya menggunakan tanda petik di antara kata ‘nenek’ itu.

Meski sempat mengalami miskomunikasi dengan sang nenek, akhirnya kami pun berhasil berpapasan dengan mobil sedan yang menjemput lelaki itu. ‘Nenek’nya pun turun dari mobil untuk mengucapkan terima kasih karena kami sudah membantu cucunya. Awalnya, kami membayangkan seorang perempuan tua, mungkin 50-an usianya, yang menyetir mobil di malam hari sambil mengenakan jaket tebal dan berbau minyak kayu putih. Namun ternyata kami salah besar. Yang turun dari mobil justru seorang perempuan cantik berambut panjang berwarna burgundy, dengan postur tubuh tinggi semampai nan langsing. Mengenakan celana jeans dengan cardigan berwarna putih yang stylish. Saya ternganga melihat wujud dari nenek lelaki bernama Beno itu. Suami saya, serta kawannya yang berada di balik kemudi juga cuma bisa menahan senyum , kami sama-sama tertipu. Hehehe... Di hari-hari berikutnya, candaan tentang ‘nenek Beno’ itu masih sering kami jadikan bahan untuk cekikan.

Hingga tulisan ini dibuat, entah mengapa suami tidak pernah mendapati Beno di kampus. Kadang ia hanya berseloroh bercanda sambil berkata, “Mungkin Beno lagi sibuk sama Neneknya...”. Lalu kami pun tertawa lagi, mengingat kejadian malam itu.

Kami tiba di rumah yang nyaris masih kosong melompong, saat tak beberapa lama lagi lewat tengah malam. Perjalanan dari bandara tadi sangat macet dan mungkin membuat waktu tempuh menjadi dua kali lipat. Seorang kawan suami berbaik hati meminjamkan karpet untuk kami gunakan tidur malam itu. Kepala saya sudah sangat berat, rasanya tidur di mana saja pun jadi.

Besoknya, suami memutuskan untuk berjalan kaki mencari warung makan sebab kawan yang ia tunggu akan datang membawakan motornya, tidak kunjung muncul. Saya menanti di rumah sambil berusaha membuka koper yang masih terlilit plastic-wrap. Sesekali saya memandang sekeliling. Berusaha menyadarkan diri, bahwa mulai hari ini, kehidupan yang benar-benar baru akan kami mulai.

Entah berapa lama saya menunggu hingga akhirnya suami muncul di ambang pintu dengan bercucuran peluh dan dengan dua bungkus nasi goreng dalam bungkusan yang ia bawa. Raut wajahnya menampakkan ekspresi khawatir, mungkin ia ingat bahwa semalam saya terlambat makan, pagi ini pun demikian, dan ia tahu saya punya riwayat penyakit maag. Kami pun makan berdua dengan tenang setelah saya meyakinkan padanya bahwa saya baik-baik saja. Kami menyantap nasi goreng itu di antara kardus-kardus barang yang belum terbuka dan koper-koper yang setengah menganga.

Karena motor itu tak kunjung datang, sorenya kami memutuskan untuk ke kampus dengan bus. Motor itu jelas-jelas ada di parkiran asrama kampus dan nampaknya kami harus menjemputnya sendiri. Konsekuensinya, kami harus berjalan kaki menuju halte. Jalanannya menurun dan menanjak. Saya jadi tahu kenapa tadi pagi suami saya sampai berkeringat begitu mencari warung nasi goreng.

Setibanya di halte bus, kami menunggu beberapa saat sambil melihat-lihat jalanan yang cukup lengang dan tak nampak satu bus pun yang memunculkan batang hidungnya. Saat sedang mengobrol sambil menanti bus itu, kami mendengar suara klakson mobil dan teriakan salam. Alhamdulillah, rejeki lagi. Ternyata itu adalah kawan suami yang juga akan ke kampus. Jadilah kami menumpang mobil kancil itu tanpa harus lebih lama menunggu bus.

Waktu shalat ashar sudah masuk saat kami menginjakkan kaki di kampus yang cantik itu. Luasnya juga luar biasa. Berada di areal yang tidak rata, menambah keindahan yang dipercantik dengan arsitekturnya. Di sana-sini lalu lalang mahasiswa dari berbagai suku bangsa. Di sini, baru terasa luar negerinya... Hehehe...

Lepas shalat ashar di masjid kampus berkubah biru itu, saya pun segera keluar dan menunggu suami di titik yang sudah kami sepakati. Waktu itu masa perkuliahan belum di mulai. Kampus masih cukup lengang, namun beberapa mahasiswa sudah nampak hilir mudik di sekitar masjid, nampaknya lepas shalat ashar pula. Kebanyakan yang saya lihat adalah laki-laki. Beberapa bertampang melayu, selebihnya ada juga yang bermuka arab, juga yang berpostur afrika. Saya mulai berdecak sambil menunggu karena mulai merasa tidak nyaman dengan lalu lalangnya lelaki-lelaki itu. Suami saya mana nih...

Beberapa saat kemudian, ia pun muncul dari pintu masjid bagian laki-laki.  Dari jauh sudah nampak nyengir kepada saya. Sepertinya dia kebablasan ngobrol lagi dengan temannya. Saya membalas cengirannya dengan menggeleng-geleng.

Tadi ketemu sama Pak Salman.. trus ngobrol sebentar...” ucapnya menjelaskan. Nah kan... betul dugaan saya..

Pak Salman akan balik ke Indonesia beberapa hari lagi, studinya sudah selesai.” Suami melanjutkan cerita sambil menggandeng tangan saya berjalan meninggalkan masjid. “Nah, Pak Salman menawarkan kita beberapa barang yang tidak akan dia bawa pulang. Kita boleh pilih, mau tabung gas atau ricecooker!” ujarnya bersemangat.

Kedongkolan karena menunggu cukup lama tadi rasanya menguap seketika. Alhamdulillah... rejeki lainnya datang lagi. Kali ini datang dari seorang kenalan suami yang cek per cek ternyata kenal juga dengan Mama. “Oooh kamu akan menikah dengan anaknya Ibu Fatamorgana...” suatu hari suami bercerita saat ia memberitahukan Pak Salman tentang rencana pernikahan kami sebelum ia kembali ke tanah air waktu itu.

Di hari berikutnya, ternyata Pak Salman tidak memberikan kami pilihan. Kami mendapatkan bukan hanya tabung gas atau ricecooker saja, tapi kami diberi dua-duanya, plus banyak perabot-perabot lainnya. Mulai dari piring dan gelas keramik, hingga sandal jepit. Ada pula rupa-rupa peralatan masak tambahan hingga ember-ember dan keranjang piring. Suami terengah-engah bolak-balik mengangkut barang-barang itu dengan motor. Belum lagi sebab harus mengangkutnya seorang diri melewati tangga.

Kami memang menyewa rumah di lantai dua. Di sini, para pemilik rumah membangun rumah dua lantai, mereka tinggal di lantai dasar, dan menyewakan lantai duanya untuk para pendatang, yang kebanyakannya adalah mahasiswa. Tangga menuju lantai dua berada di bagian luar, sehingga kami tak perlu melewati lantai 1 untuk menuju lantai 2. Pemilik rumah yang kami sewa sendiri kami sapa dengan sebutan ‘Abang Masludin’. Lelaki yang pekerja keras itu sebenarnya berdarah Sumatera, namun telah lebih dari 20 tahun tinggal di Malaysia.

Saya menatap deretan barang-barang yang lebih nampak seperti telah kami ‘jarah’ dari Pak Salman, saking banyaknya. Di antara napasnya yang masih ngos-ngosan, dan keringat yang berjejalan di dahinya, suami bersandar di dinding di atas karpet, duduk di samping saya.

Ini namanya rejeki pengantin baru, Dek...” ujarnya sambil nyengir lagi.

Saya ikut nyegir dan mengangkat alis padanya. “Alhamdulillah... “. Bahagia itu, terasa begitu sederhana. Di hari-hari berikutnya, kebaikan hati Pak Salman kepada kami itu membuat kami tidak bisa lepas menyebut-nyebut namanya dalam perbincangan-perbincangan kami, apalagi saat kami menggunakan barang-barang yang ia hibahkan.

Begitulah keutamaannya orang yang membantu orang lain...” ucap suami tentang hal itu.

Beberapa hari melewati kehidupan di tempat baru, alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar. Meski, rasa rindu pada tanah air kadang-kadang masih seringkali muncul. Sesekali saya ikut pula ke kampus, terkadang duduk-duduk di masjid, menikmati suasana tenang sambil ber-skype ria dengan keluarga di tanah air. Wifi-nya kencang, kaka... hihihi...

Dalam pada itu, saya seringkali merasakan hal yang ‘aneh’. Saya sudah terbiasa berjalan cepat, mungkin terbawa dengan kebiasan mengejar waktu semasa kuliah farmasi dulu. Namun entah mengapa, sejak tiba di sini, rasanya kehidupan saya lebih slow-motion. Jika cepat-cepat, rasanya gampang lelah. Tidak jarang saya menegur langkah suami yang saya rasa terlalu cepat.

Jika tidak ikut ke kampus, maka tinggallah saya di rumah seorang diri. Mencoba membereskan ini itu, atau sekedar menclok di dekat jendela untuk mencari sinyal internetan yang sayangnya seringkali begitu menguji kesabaran, atau sekadar teronggok di atas kasur sambil menonton apa saja dari laptop suami.
Seperti pagi itu, suami sudah meninggalkan rumah saat hari masih cukup pagi. Ada yang harus ia sibuki berkaitan dengan urusan perpanjangan visanya dan pengurusan visa saya. Kami sudah bersepakat membagi tugas rumah, dan ia mengambil tanggung jawab untuk bertugas mencuci baju dengan mesin cuci yang kami pilih di antara yang termurah di antara yang termurah. Namun hari itu, sebab saya hanya bisa bengong sendiri di rumah, saya memutuskan untuk mengangkut keranjang baju kotor dan memprosesnya di mesin cuci, sambil memanaskan air untuk membuat segelas Milo. Kegiatan cuci-mencuci itu kemudian menjadi kali terakhir saya lakoni sebab suami saya protes karena saya mengambil alih tugasnya.

Baru bolak-balik seperti itu, tapi saya sudah merasa terangah-engah. Napas tersengal, dan lelah. Ya ampun, kenapa jadi lemah begini... Pakaian kotor sudah teraduk-aduk dalam mesin cuci saat Milo hangat saya telah siap. Sudah lebih dari sepekan kami tinggal berdua seperti ini. Saya mengambil sebuah bangku kecil –hibah dari Pak Salman juga, dan duduk di dekat mesin cuci sambil membawa mug berisi Milo, kemudian menyesapnya sesekali. Sinar matahari pagi masih nampak menerobos kisi-kisi ventilasi. Dari kejauhan, suara kanak-kanak yang bermain sambil berlarian terdengar sayup-sayup, dengan dialek khas Upin-Ipin. Saya masih merasakan napas yang tersengal saat tiba-tiba mengingat artikel tentang tanda-tanda kehamilan; mudah merasa lelah.

Ada tulisan nama saya dan suami di mug yang saya gunakan untuk minum itu, hadiah dari seorang ukhti yang turut kami bawa hingga ke sini. Saya menghabiskan teguk terakhir dari Milo yang tak lagi hangat itu. Sambil tangan kiri saya mencoba mengusap-usap perut dan memandangnya sambil bertanya-tanya dalam hening; Kaukah itu, Nak?

*mengingati kembali kejadian di akhir Agustus hingga September itu. Teriring terima kasih kepada semua yang telah menjadi perantara bagi rupa-rupa ‘rejeki pengantin baru’ kami.  :-)

Minggu, 22 November 2015

Hujan yang Dirindukan

dimuat di rubrik Mimbar Kita, Harian Amanah, 3 November 2015



Terik seperti belum juga ingin beranjak. Bahkan meski matahari telah terbenam, ia masih saja menyisakan hawa gerah yang membuat lisan-lisan kita menjadi begitu mudah mengeluhkan peluh yang tidak juga mau berhenti menetes. Kita pun mulai membandingkan antara daerah kita dengan daerah lainnya; yang mana yang terasa lebih panas? Selebihnya, mungkin masih ada yang merasa lebih patut bersyukur atas kondisinya, saat kemudian menengok pada bagian Sumatera dan Kalimantan Indonesia yang bukan hanya disengat panas, namun juga dikepung oleh kabut asap yang membuat kita seolah baru sadar; betapa berharganya tiap hirup oksigen yang selama ini diberikan Allah secara cuma-cuma. 

Manusia dengan segala kesempurnaan penciptaannya juga tidak lepas dari fitrahnya yang seringkali salah dan lupa. Seberapa cerdasnya kita, terkadang justru kecerdasan itulah yang membuat kita terlena. Membuat kita merasa mampu melakukan apa saja. Hitung-hitungan pada keuntungan duniawi yang bisa didapatkan membuat beberapa orang terkadang menjadi mudah untuk khilaf demi memenuhi pundi-pundinya sendiri. Maka terjadilah, kerusakan di langit dan di bumi akibat ulah tangan manusia sendiri. 

Lalu saat alam ini tidak lagi menganggap kita sebagai sahabat yang baik, kita baru sadar; sejatinya, kita bukan siapa-siapa, kita bukan apa-apa. Buktinya, hanya untuk mengharapkan hujan saja, kita tahu bahwa kita butuh teknologi yang rumit dengan budget yang tidak sedikit untuk merekayasanya. Hanya demi memadamkan api, para orang relawan yang baik hatinya itu yang harus meninggalkan keluarganya dan mengerahkan segenap kekuatan yang ia punya. Demi menuntaskan gerah, kita tak tahu lagi harus meminta hujan kepada siapa, selain hanya padaNya saja. 

Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan)” (QS. Al A’raf:57)

Hujan yang kita rindukan itu, adalah rahmat yang diturunkan Allah. Sebuah bentuk kasih sayang Allah atas hamba-hambaNya. Tapi, jika nanti ia telah datang dan membuat kita basah, setidaknya berjanjilah, jangan membuat keluhan yang baru, ya?

Curah Rasa di Sosial Media

[dimuat di rubrik Opini, Harian Amanah, 28 Oktober 2015]



Kabar duka nampak berseliweran di beranda salah satu sosial media hari itu. Luasnya jejaring yang sanggup dicakup oleh dunia maya memang kadangkala membuat kita mendapatkan kabar dari orang-orang yang mungkin tidak begitu kita kenal. Sama halnya dengan kasus tersebut, saat seorang muslimah dikabarkan meninggal dalam sebuah kecelakaan, dan beritanya menjadi masif disiarkan oleh banyak media. Satu hal yang menarik untuk diperhatikan adalah, beberapa orang kemudian memberikan fokus kepada ‘jejak’ yang ditinggalkan muslimah tersebut di sosial media yang ia punya, sebelum ia kemudian ditakdirkan untuk meninggal dunia. 

Capture status terakhirnya tersebar di mana-mana. Tidak sedikit orang yang memberikan tanggapan positif dengan nada haru pada deretan kata penuh manfaat dan hikmah dalam status tersebut. Hal ini kemudian dikaitkan dengan pribadi pemilik status yang semasa hidupnya memang dikenal sebagai seseorang yang sangat baik. Lihatlah, betapa kemajuan teknologi saat ini bahkan turut memberikan warna pada cara kita menilai seseorang sepeninggal dirinya. 

Ada pepatah yang mengatakan, “Mulutmu, harimaumu.”. Nah, di zaman di mana sosial media seolah telah menjadi bukti eksistensi seseorang seperti saat ini, tidak berlebihan rasanya jika kita meng-‘qiyas’-kan pepatah ini menjadi, “Statusmu, harimaumu”. Ya, sebab telah banyak kasus yang kita saksikan, di mana ternyata selentingan kalimat yang di-upload di media sosial, yang notabene mungkin hanya dibuat dalam tempo yang begitu singkat, dan dengan tenaga yang tidak banyak, ternyata bisa memberikan dampak yang besar kepada pemiliknya, baik itu dalam arti positif, maupun dalam nuansa yang negatif. 

Contoh yang diangkat di awal tadi, mungkin adalah bukti bagaimana status-status positif dapat memberikan imej positif pula bagi seseorang. Contoh negatifnya? Ternyata tak kalah banyak. Sudah berapa banyak kasus yang kita saksikan, di mana seseorang mendapatkan sanksi, mulai dari tahap sanksi sosial hingga bahkan yang sudah menyentuh ranah hukum, hanya karena postingan yang ia buat di sosial media. Parahnya lagi, terkadang orang-orang ini awalnya hanya bermaksud iseng dan tidak menyangka bahwa apa yang ia unggah itu ternyata bisa menjadi viral dan menuai hujatan secara massal di tengah masyarakat. Biasanya hal ini terjadi karena adanya ketidaktahuan, atau mungkin tidak adanya keinginan untuk peduli alias menganggap enteng perkara kata-kata atau hal-hal yang ia lemparkan ke masyarakat via sosial media yang ia punya. Maksud hati hanya ingin mencurahkan perasaan atau sekadar iseng memperlihatkan aktivitas, namun ternyata hasilnya malah memberikan dampak yang tidak sederhana. 

Sama halnya dengan orang-orang yang kemudian menuliskan hal-hal yang tidak benar-benar ia pahami di sosial media yang ia punya. Kemudahan akses dan adanya perasaan ‘terlalu memiliki’ terhadap akun sosial medianya membuat seseorang terkadang bersikap ‘semau gue’ dalam mengunggah sesuatu. Dampaknya bisa fatal, apalagi jika kemudian ia termasuk orang-orang yang memang banyak diperhatikan oleh khalayak di sekitarnya, sehingga apapun yang ia tuliskan memberikan pengaruh. Maka, sedikit saja ia tergelincir, akan begitu banyak orang lain yang turut tergelincir bersamanya. Hal yang sama juga berlaku untuk kasus komentar-komentar yang terkadang tidak didasari dengan ilmu. Jika hal macam ini sudah terjadi, tidak heran jika kemudian pemikiran-pemikiran aneh yang tidak berdasar menjadi dengan mudah merebak di masyarakat. Dan semua itu bisa saja hanya bermula dari sepenggal atau dua penggal kalimat yang mengudara lewat sosial media. Nah, ini baru kita lihat dari sudut pandang hubungan antar sesama manusia. 

Sementara itu, bagaimana sebenarnya agama kita mengatur tentang hal ini? Mari kita simak ayat berikut: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra:36). 

Ibnu Katsir menjelaskan kepada kita, bahwa ayat di atas mengandung larangan untuk berkata-kata tanpa ilmu. Ya, sebab segala hal akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan mengucapkan sesuatu tanpa didasari dengan ilmu memang akan mengundang mudharat yang beruntun, yang bukan hanya akan menyulitkan diri pribadi, namun juga orang lain. Bukan hanya memberi dampak di dunia, namun akan pula kita hadapi pertanggungjawabannya di akhirat kelak! 

Terlebih lagi saat kemudian untaian kata-kata itu ‘mengabadi’ dalam bentuk tulisan yang bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan akan terus nangkring di dunia maya bahkan mungkin melebihi usia kita sendiri! Maka efek yang akan timbul tentu akan lebih besar lagi, dan otomatis akan semakin besar pula pertanggungjawabannya di akhirat.

Mari kita seksamai pula sebuah nasihat yang indah dari seorang ulama yang tentu tidak kita pertanyakan lagi kadar keilmuannya. Seorang imam mahdzab yang senantiasa kita sebut namanya dan begitu sering muncul dalam perjalanan kita menuntut ilmu agama. Beliaulah Imam Syafi’i, yang meski begitu dalam ilmunya, namun begitu berhati-hati dalam berkata-kata. Beliau telah menasihatkan; “Jika engkau hendak berkata, maka berpikirlah terlebih dahulu. Jika yang nampak adalah kebaikan maka ucapkanlah perkataan tersebut, namun jika yang nampak adalah keburukan atau bahkan engkau ragu-ragu, maka tahanlah dirimu (dari mengucapkan perkataan tersebut).” (Asy Syahrul Kabir ‘alal Arba’in An Nawawiyah).

 Maka mari kita perhatikan ke mana arah jemari kita bergerak menyusun kata-kata. Sebab bisa jadi, penggalan kata-kata yang kita curahkan lewat sosial media kita hari ini, menjadi cara orang-orang sepeninggal kita mengenali dan menilai diri kita, serta menjadi satu catatan perbuatan yang kelak harus kita pertanggungjawabkan di hadapanNya. Pertanyaannya; sebagai sosok seperti apa kita ingin dikenang, dan telah siapkah kita dengan hujjah di hadapan Allah?