“Tidak pake bedak, ya?” tanyanya kepada saya. Mungkin sambil memperhatikan wajah saya yang nampak
polos-polos saja. Padahal saya sudah berganti pakaian, dan barang-barang yang
akan kami bawa pun telah siap.
“Nanti di sana akan di tutup juga, kan?” jawab saya, selewat. Padahal itu hanya satu
alasan. Alasan lainnya, akan terjawab kemudian. Bedak tidak akan berarti untuk
wajah yang akan diguyur air mata, bukan?
Hingga waktunya pun tiba.
Semua barang yang sudah kami packing
sejak beberapa hari yang lalu itu, sudah berdesak-desakan di bagasi mobil yang
akan membawa kami ke bandara. Bapak juga sudah siap mengantar. Om yang akan
mengemudikan mobil juga baru saja tiba. Waktunya akan datang. Perpisahan.
Mama nampak hanya berbaring
di tempat tidur. Memandang lurus ke arah yang entah apa dengan tatapan yang
sulit saya artikan. Meski hari itu saya sudah tertawa-tawa dengan kedatangan Pyfor Rangers –para sahabat sejak zaman
SMP, yang tadi pagi nongol di rumah untuk say-goodbye,
tapi saya tahu bahwa hari ini akan tetap terasa berat.
Saya ingin meraih telapak
tangan Mama untuk berpamitan. Tapi Mama bergeming, tidak pula mengatakan
apa-apa. Sejurus kemudian saya tidak tahu harus mengatakan apa pada perempuan
yang sangat saya cintai itu kecuali memeluknya dan menangis dalam pelukannya.
Dari semua hal tentang ini, bagian inilah yang paling saya takutkan.
Meninggalkan Mama.
Keputusan ini pun bukanlah
sebuah hal yang saya ambil dengan mudah. Orang-orang terdekat saya sangat tahu
tentang hal itu. Entah sudah berapa malam saya lalui dengan bantal yang basah
oleh air mata tiap kali membayangkan bahwa suatu hari kejadian ini akan
terjadi. Saya bahkan masih sangat ingat, suatu malam saat saya shalat dan
menangis sesunggukan di dalam sujud, berdoa agar Allah jangan menakdirkan
kejadian tersebut jika saya memang tidak sanggup untuk menghadapinya. Maka saat
berpamitan dengan beberapa orang di hari-hari kemarin pun, saya tahu, bahwa
tidak sedikit dari mereka yang mempertanyakan keputusan ini. Ah, andai mereka tahu...
Namun, di antara berbagai
macam respon atas pamitan-pamitan saya itu, salah seorang saudari saya yang
jauh di mata namun dekat di hati, memberikan sebuah doa yang teramat indah dan
teramat menenangkan saat saya mengabarinya bahwa saya akan ikut suami dan
meninggalkan kota kelahiran saya sendiri.
“Semoga Allah memberkahi dan memberikan kepada ukhti kemudahan di tempat
yang ukhti tuju. Dan semoga Allah menjaga apa-apa yang ukhti tinggalkan...” . Dan seperti seorang musafir yang sedang berjalan di padang yang tandus,
pesan itu bagaikan oase di pelupuk mata. Jazakillah
khairan, ukhtifillah...
Saya masih menangis dalam
pelukan Mama. Mama pun menangis memeluk saya. Saya membisikkan permintaan maaf
yang sudah sepatutnya harus selalu diucapkan oleh seorang anak. Meski saya tahu
bahwa terlalu banyak kesalahan saya pada perempuan ini. Suami saya pun ikut
berpamitan kepada Mama. Seperti saya, ia pun tentu tak kalah beratnya
menghadapi perpisahan itu.
Dalam perjalanan menuju
bandara, saya masih sibuk menyeka air mata yang mengalir tanpa suara. Memandang
jalanan yang padat oleh kendaraan. Membayangkan bahwa saya akan meninggalkan
kota ini beberapa saat lagi, menuju tempat yang berisi semua hal yang pasti
akan terasa asing.
Di bandara, kami dilepas
pula oleh kedua mertua yang juga hadir di sana. Beberapa pesan telah Bapak dan
Ibu mertua sampaikan, yang tentunya pula diiringi dengan doa-doa keselamatan.
Dengan Bapak, saya hanya menangkap ada raut sedih di wajahnya, namun ia tetap
mengejawantahkannya dengan cara yang biasa, membiarkan saya mengecup telapak
tangannya, kemudian memeluk saya sesaat serta mencium pipi kanan dan kiri saya
menjelang benar-benar melepas kami. Dalam pada itu, ingatan saya terbawa kepada
beberapa hari sebelumnya, saat saya tengah sibuk di dapur menyiapkan makan
siang, dan Bapak tiba-tiba ikut masuk dapur dan duduk di salah satu kursi di
meja makan dapur.
“Suami kamu tanya sama Bapak, dia minta diberikan pesan-pesan sebelum berangkat...” ujar Bapak. Saya hanya menoleh sekilas
sambil tetap mengaduk sayur di panci.
“Kamu mau dikasih pesan apa?” tanya Bapak sambil tersenyum
“Ya terserah Bapak lah...”, ditanya seperti itu, saya hanya bisa nyengir. Bapak pun nampak tersenyum
saja.
“Itu kamu masak sayur buat Bapak?” tanya Bapak kemudian
Saya menggeleng. Sayur
‘khusus’ buat Bapak sudah siap di meja makan. Sayur labu dengan kacang hitam
yang tiap hari disantap Bapak tanpa bosan, dan selalu ia cari jika absen dari
meja makan. Bapak tidak suka masakan yang masih panas. Maka sayur yang masih tersisa
sejak pagi itu tidak saya panaskan untuk makan siang. Bapak tidak pernah
mencela makanan dan menginginkan macam-macam. Dia akan memakan apapun yang
dhidangkan di meja, dan tidak memakannya jika memang tidak suka, tanpa banyak
bicara.
“Bukan, Pak. Sayur buat Bapak sudah ada di meja...”
“Hmm...” Bapak
memandang meja makan dapur, mungkin menatap bayangannya sendiri di kaca itu. “Gampang ya, makanannya Bapak...”
ujarnya kemudian. Saya kembali menatap lelaki itu sambil tersenyum. “Memangnya di dunia ini ada suami seperti
bapak?” tanya Bapak sambil memandang saya. Saya sungguh tidak tahu harus
menjawab apa.
Kami pun melewati pintu
keberangkatan. Barang-barang yang segambreng itu jelas-jelas akan overweight. Check in untuk pesawat yang
akan membawa kami belum buka. Kami pun memutuskan untuk mencari tempat yang
nyaman untuk menunggu. Suami meminta saya menunggu di salah satu tempat duduk
sambil menjaga barang-barang kami yang sudah menumpuk ramai di atas dua
trolley, sementara ia mencari alat untuk menimbang barang-barang itu.
Masih ada yang bergemuruh
di dalam hati saya. Seumur hidup, saya tak pernah jauh dari orang tua. Breaking-record saya hanya terjadi
semasa KKN selama 2 bulan di daerah yang berjarak sekitar lima jam perjalanan
darat dari kota kami. Itupun dijeda dengan kepulangan saya beberapa hari pada
akhir bulan pertama. Selain itu, hingga sudah dewasa sekalipun, saya adalah
anak yang sangat jarang memudahkan diri untuk bermalam di tempat lain selain di
rumah sendiri, bahkan untuk di rumah kerabat sekalipun. Ada perasaan takut,
khawatir, bercampur sedih, yang masih terasa menyelimuti. “Di sana nanti, setelah Allah, saya tidak punya siapa-siapa selain
Kakak..” saya kembali mengingat pesan singkat yang saya kirimkan kepada
suami beberapa hari sebelum keberangkatan kami.
“Jangan sedih begitu dong..” saya bahkan tidak sadar bahwa dia sudah di hadapan saya. Menatap mata saya
yang menatap matanya dengan berkaca-kaca. Huuft...,
apapun yang terjadi, perjalanan harus tetap dilanjutkan...
Kami melewatkan waktu yang
cukup lama dengan rupa-rupa prosedur sebelum akhirnya tiba di ruang tunggu
menjelang boarding. Mungkin karena
semalam harus begadang untuk menyelesaikan packing,
ditambah rasa lelah karena bersedih-sedih tadi, saya merasa kepala saya sangat
berat. Dan mumpung ada yang menawarkan bahu, saya pun memutuskan untuk
bersandar padanya. Tidak lagi peduli pada penumpang lain di hadapan kami yang
toh juga nampak sibuk dengan gadget-nya.
Seorang laki-laki berperawakan tinggi yang nampaknya seorang mahasiswa juga.
Menjelang naik di pesawat,
lelaki itu menyapa suami saya. Usut punya usut, ternyata dia betul-betul calon
mahasiswa yang akan menempuh pendidikan magisternya di kampus yang sama dengan
suami. Ia bertanya tentang banyak hal karena ini adalah pengalaman pertamanya
ke negeri jiran, seorang diri pula. Katanya, nanti di sana ia akan dijemput
oleh neneknya yang sudah berdomisili di Malaysia sejak lama.
Pucuk di cinta, ulam pun
tiba. Kenalan baru kami ini ternyata ditakdirkan untuk memudahkan urusan kami.
Suami pun meminta tolong padanya untuk membawakan salah satu kardus yang
seharusnya saya bawa naik ke kabin. Di pintu pemeriksaan sebelum ruang tunggu
tadi, suami sudah ditegur oleh petugas karena membawa kedua kardus itu
sendirian.
“Satu penumpang untuk satu potong bawaan, Pak. Barang yang satunya lagi
mohon dibawa oleh istrinya saja. Tidak sedang hamil, kan?”. Saya menggeleng. Lalu meyakinkan pada
suami bahwa saya bisa membawa barang itu nanti naik ke atas pesawat.
Tapi, karena dapat bantuan
dari kenalan baru kami itu, saya pun jadinya bisa lenggang kangkung naik ke
atas pesawat hanya dengan menenteng tas tangan saja, alhamdulillah...
Di satu sisi, saya pun
jatuh kasihan pada lelaki itu. Tidak terbayangkan jika berada di posisinya.
Pasti bingung betul menghadapi tempat baru dengan bandara Malaysia yang luasnya
ampun-ampunan. Belum lagi bahwa ternyata neneknya itu tidak menjemputnya di
bandara, tapi di KL Central.
“Kalau mau ke sana, dari bandara nanti harus naik bus dulu. Ongkosnya
sekitar 10 ringgit. Nanti saya perlihatkan tempat beli tiket busnya.” ujar
suami menjelaskan. Lelaki itu mengangguk-angguk.
Kenalan baru kami itu
benar-benar sangat membantu. Ia bahkan ikut mendorongkan trolley dan membantu mengangkatkan barang-barang yang sedianya saya
yang harus mengcovernya. Di satu sisi dia pun sangat bersyukur karena dapat
bantuan menyusuri tempat yang baru ia datangi. Berkali-kali ia berdecak-decak
kelelahan saat kami tiba di KLIA II.
“Buat apa bandara sebesar ini... Ckckckck...” ujarnya dengan logat
bugis yang khas sambil terus mendorong trolley.
Dalam perkembangan
selanjutnya, kami memutuskan untuk mengajak dia menumpang di mobil yang kami
sewa. Mobil sewaan yang disetir oleh seorang teman suami itu sedikit dibelokkan
rutenya agar melewati tempat di mana ‘nenek’nya menjanjikan untuk menjemputnya.
Nanti, pembaca akan tahu mengapa saya menggunakan tanda petik di antara kata
‘nenek’ itu.
Meski sempat mengalami
miskomunikasi dengan sang nenek, akhirnya kami pun berhasil berpapasan dengan
mobil sedan yang menjemput lelaki itu. ‘Nenek’nya pun turun dari mobil untuk
mengucapkan terima kasih karena kami sudah membantu cucunya. Awalnya, kami
membayangkan seorang perempuan tua, mungkin 50-an usianya, yang menyetir mobil
di malam hari sambil mengenakan jaket tebal dan berbau minyak kayu putih. Namun
ternyata kami salah besar. Yang turun dari mobil justru seorang perempuan
cantik berambut panjang berwarna burgundy,
dengan postur tubuh tinggi semampai nan langsing. Mengenakan celana jeans
dengan cardigan berwarna putih yang stylish.
Saya ternganga melihat wujud dari nenek lelaki bernama Beno itu. Suami saya,
serta kawannya yang berada di balik kemudi juga cuma bisa menahan senyum , kami
sama-sama tertipu. Hehehe... Di hari-hari berikutnya, candaan tentang ‘nenek
Beno’ itu masih sering kami jadikan bahan untuk cekikan.
Hingga tulisan ini dibuat,
entah mengapa suami tidak pernah mendapati Beno di kampus. Kadang ia hanya
berseloroh bercanda sambil berkata, “Mungkin
Beno lagi sibuk sama Neneknya...”. Lalu kami pun tertawa lagi, mengingat
kejadian malam itu.
Kami tiba di rumah yang nyaris
masih kosong melompong, saat tak beberapa lama lagi lewat tengah malam.
Perjalanan dari bandara tadi sangat macet dan mungkin membuat waktu tempuh
menjadi dua kali lipat. Seorang kawan suami berbaik hati meminjamkan karpet
untuk kami gunakan tidur malam itu. Kepala saya sudah sangat berat, rasanya
tidur di mana saja pun jadi.
Besoknya, suami memutuskan
untuk berjalan kaki mencari warung makan sebab kawan yang ia tunggu akan datang
membawakan motornya, tidak kunjung muncul. Saya menanti di rumah sambil
berusaha membuka koper yang masih terlilit plastic-wrap.
Sesekali saya memandang sekeliling. Berusaha menyadarkan diri, bahwa mulai hari
ini, kehidupan yang benar-benar baru akan kami mulai.
Entah berapa lama saya
menunggu hingga akhirnya suami muncul di ambang pintu dengan bercucuran peluh
dan dengan dua bungkus nasi goreng dalam bungkusan yang ia bawa. Raut wajahnya
menampakkan ekspresi khawatir, mungkin ia ingat bahwa semalam saya terlambat
makan, pagi ini pun demikian, dan ia tahu saya punya riwayat penyakit maag.
Kami pun makan berdua dengan tenang setelah saya meyakinkan padanya bahwa saya
baik-baik saja. Kami menyantap nasi goreng itu di antara kardus-kardus barang
yang belum terbuka dan koper-koper yang setengah menganga.
Karena motor itu tak
kunjung datang, sorenya kami memutuskan untuk ke kampus dengan bus. Motor itu
jelas-jelas ada di parkiran asrama kampus dan nampaknya kami harus menjemputnya
sendiri. Konsekuensinya, kami harus berjalan kaki menuju halte. Jalanannya
menurun dan menanjak. Saya jadi tahu kenapa tadi pagi suami saya sampai
berkeringat begitu mencari warung nasi goreng.
Setibanya di halte bus,
kami menunggu beberapa saat sambil melihat-lihat jalanan yang cukup lengang dan
tak nampak satu bus pun yang memunculkan batang hidungnya. Saat sedang
mengobrol sambil menanti bus itu, kami mendengar suara klakson mobil dan
teriakan salam. Alhamdulillah, rejeki lagi. Ternyata itu adalah kawan suami
yang juga akan ke kampus. Jadilah kami menumpang mobil kancil itu tanpa harus
lebih lama menunggu bus.
Waktu shalat ashar sudah
masuk saat kami menginjakkan kaki di kampus yang cantik itu. Luasnya juga luar
biasa. Berada di areal yang tidak rata, menambah keindahan yang dipercantik
dengan arsitekturnya. Di sana-sini lalu lalang mahasiswa dari berbagai suku
bangsa. Di sini, baru terasa luar negerinya... Hehehe...
Lepas shalat ashar di
masjid kampus berkubah biru itu, saya pun segera keluar dan menunggu suami di
titik yang sudah kami sepakati. Waktu itu masa perkuliahan belum di mulai.
Kampus masih cukup lengang, namun beberapa mahasiswa sudah nampak hilir mudik
di sekitar masjid, nampaknya lepas shalat ashar pula. Kebanyakan yang saya
lihat adalah laki-laki. Beberapa bertampang melayu, selebihnya ada juga yang
bermuka arab, juga yang berpostur afrika. Saya mulai berdecak sambil menunggu
karena mulai merasa tidak nyaman dengan lalu lalangnya lelaki-lelaki itu. Suami saya mana nih...
Beberapa saat kemudian, ia
pun muncul dari pintu masjid bagian laki-laki.
Dari jauh sudah nampak nyengir kepada saya. Sepertinya dia kebablasan
ngobrol lagi dengan temannya. Saya membalas cengirannya dengan
menggeleng-geleng.
“Tadi ketemu sama Pak Salman.. trus ngobrol sebentar...” ucapnya
menjelaskan. Nah kan... betul dugaan saya..
“Pak Salman akan balik ke Indonesia beberapa hari lagi, studinya sudah
selesai.” Suami melanjutkan cerita sambil menggandeng tangan saya berjalan meninggalkan
masjid. “Nah, Pak Salman menawarkan kita
beberapa barang yang tidak akan dia bawa pulang. Kita boleh pilih, mau tabung
gas atau ricecooker!” ujarnya bersemangat.
Kedongkolan karena menunggu
cukup lama tadi rasanya menguap seketika. Alhamdulillah... rejeki lainnya
datang lagi. Kali ini datang dari seorang kenalan suami yang cek per cek ternyata
kenal juga dengan Mama. “Oooh kamu akan
menikah dengan anaknya Ibu Fatamorgana...” suatu hari suami bercerita saat
ia memberitahukan Pak Salman tentang rencana pernikahan kami sebelum ia kembali
ke tanah air waktu itu.
Di hari berikutnya,
ternyata Pak Salman tidak memberikan kami pilihan. Kami mendapatkan bukan hanya
tabung gas atau ricecooker saja, tapi
kami diberi dua-duanya, plus banyak perabot-perabot lainnya. Mulai dari piring
dan gelas keramik, hingga sandal jepit. Ada pula rupa-rupa peralatan masak
tambahan hingga ember-ember dan keranjang piring. Suami terengah-engah
bolak-balik mengangkut barang-barang itu dengan motor. Belum lagi sebab harus
mengangkutnya seorang diri melewati tangga.
Kami memang menyewa rumah
di lantai dua. Di sini, para pemilik rumah membangun rumah dua lantai, mereka
tinggal di lantai dasar, dan menyewakan lantai duanya untuk para pendatang,
yang kebanyakannya adalah mahasiswa. Tangga menuju lantai dua berada di bagian
luar, sehingga kami tak perlu melewati lantai 1 untuk menuju lantai 2. Pemilik
rumah yang kami sewa sendiri kami sapa dengan sebutan ‘Abang Masludin’. Lelaki
yang pekerja keras itu sebenarnya berdarah Sumatera, namun telah lebih dari 20
tahun tinggal di Malaysia.
Saya menatap deretan
barang-barang yang lebih nampak seperti telah kami ‘jarah’ dari Pak Salman,
saking banyaknya. Di antara napasnya yang masih ngos-ngosan, dan keringat yang
berjejalan di dahinya, suami bersandar di dinding di atas karpet, duduk di
samping saya.
“Ini namanya rejeki pengantin baru, Dek...” ujarnya sambil nyengir
lagi.
Saya ikut nyegir dan
mengangkat alis padanya. “Alhamdulillah...
“. Bahagia itu, terasa begitu sederhana. Di hari-hari berikutnya, kebaikan hati
Pak Salman kepada kami itu membuat kami tidak bisa lepas menyebut-nyebut
namanya dalam perbincangan-perbincangan kami, apalagi saat kami menggunakan
barang-barang yang ia hibahkan.
“Begitulah keutamaannya orang yang membantu orang lain...” ucap
suami tentang hal itu.
Beberapa hari melewati
kehidupan di tempat baru, alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar. Meski,
rasa rindu pada tanah air kadang-kadang masih seringkali muncul. Sesekali saya
ikut pula ke kampus, terkadang duduk-duduk di masjid, menikmati suasana tenang
sambil ber-skype ria dengan keluarga di tanah air. Wifi-nya kencang, kaka...
hihihi...
Dalam pada itu, saya
seringkali merasakan hal yang ‘aneh’. Saya sudah terbiasa berjalan cepat,
mungkin terbawa dengan kebiasan mengejar waktu semasa kuliah farmasi dulu.
Namun entah mengapa, sejak tiba di sini, rasanya kehidupan saya lebih slow-motion. Jika cepat-cepat, rasanya
gampang lelah. Tidak jarang saya menegur langkah suami yang saya rasa terlalu
cepat.
Jika tidak ikut ke kampus,
maka tinggallah saya di rumah seorang diri. Mencoba membereskan ini itu, atau
sekedar menclok di dekat jendela untuk mencari sinyal internetan yang sayangnya
seringkali begitu menguji kesabaran, atau sekadar teronggok di atas kasur
sambil menonton apa saja dari laptop suami.
Seperti pagi itu, suami
sudah meninggalkan rumah saat hari masih cukup pagi. Ada yang harus ia sibuki
berkaitan dengan urusan perpanjangan visanya dan pengurusan visa saya. Kami
sudah bersepakat membagi tugas rumah, dan ia mengambil tanggung jawab untuk
bertugas mencuci baju dengan mesin cuci yang kami pilih di antara yang termurah
di antara yang termurah. Namun hari itu, sebab saya hanya bisa bengong sendiri
di rumah, saya memutuskan untuk mengangkut keranjang baju kotor dan
memprosesnya di mesin cuci, sambil memanaskan air untuk membuat segelas Milo.
Kegiatan cuci-mencuci itu kemudian menjadi kali terakhir saya lakoni sebab
suami saya protes karena saya mengambil alih tugasnya.
Baru bolak-balik seperti
itu, tapi saya sudah merasa terangah-engah. Napas tersengal, dan lelah. Ya ampun, kenapa jadi lemah begini...
Pakaian kotor sudah teraduk-aduk dalam mesin cuci saat Milo hangat saya telah
siap. Sudah lebih dari sepekan kami tinggal berdua seperti ini. Saya mengambil
sebuah bangku kecil –hibah dari Pak Salman juga, dan duduk di dekat mesin cuci
sambil membawa mug berisi Milo, kemudian menyesapnya sesekali. Sinar matahari
pagi masih nampak menerobos kisi-kisi ventilasi. Dari kejauhan, suara
kanak-kanak yang bermain sambil berlarian terdengar sayup-sayup, dengan dialek
khas Upin-Ipin. Saya masih merasakan napas yang tersengal saat tiba-tiba
mengingat artikel tentang tanda-tanda kehamilan; mudah merasa lelah.
Ada tulisan nama saya dan
suami di mug yang saya gunakan untuk minum itu, hadiah dari seorang ukhti yang
turut kami bawa hingga ke sini. Saya menghabiskan teguk terakhir dari Milo yang
tak lagi hangat itu. Sambil tangan kiri saya mencoba mengusap-usap perut dan
memandangnya sambil bertanya-tanya dalam hening; Kaukah itu, Nak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)