Jumat, 30 Maret 2012

Surat kepada Ibu Pertiwi

Assalamu alaikum warahmatullahi wabaraktuh
Teriring salam keselamatan, rahmat, dan keberkahan untukmu.

Ibu Pertiwi, kutuliskan surat ini untukmu, meski sebenarnya aku pun tidak benar-benar tahu siapa yang dimaksud dengan kau. Tapi, sebab tidak lagi aku tahu kepada siapa surat ini harus kulayangkan, maka kutulis saja ia untukmu. Beberapa tempo yang lalu, telah pula kutuliskan sepucuk surat untuk Ayahanda Presiden. Tapi sepertinya ia belum membacanya. Bersama suratku, telah terbukukan pula surat dari saudara-saudaraku yang lain, mereka membicarakan tentang banyak hal. Kupikir, seharusnya Ayahanda membaca semua surat-surat itu.

Wahai Ibu,
Entah mengapa, kini anak-anakmu seolah sudah tidak lagi saling mengenal. Mereka saling melempar batu, menyemprotkan gas air mata, menembaki, dan memukuli. Mereka rusuh dan saling menghujat. Mereka saling menghalangi jalan dan berbagai macam ketidakdamaian yang tidak pernah Engkau ajarkan. Semua itu terjadi beberapa hari belakangan ini, pasca pemimpin kami mengumumkan bahwa harga BBM akan dinaikkan.

Ibu, mereka di atas sana kadang berkata, bahwa subsidi BBM itu hanya akan dinikmati oleh orang-orang kaya. Ya, kupikir juga demikian. Tapi ternyata, jika harga BBM naik, semua harga-harga lain pun ikut meroket, sehingga semua orang pun terkena dampaknya, Pukul rata, Ibu. Maka aku akhirnya menjadi bingung, pun dengan bantuan langsung yang dibayarkan kepada rakyat miskin, yang nampak sangat rentan untuk dikorupsi dan diselewengkan itu.

Para orang-orang cerdas itu muncul dan berbicara di televisi. Mereka menguraikan pendapat dan alasan mereka masing-masing, plus dengan hitung-hitungan harga minyak dan berbagai macam hitungan lain. Aku berusaha memahaminya, Ibu. Aku berusaha mengerti apa yang mereka perbincangkan dan apa yang mereka hitung. Bukankah pemahaman akan memberikan kita cara yang lebih bijak untuk memandang sesuatu? Tapi pada akhirnya, aku tetap tidak dapat memahami; mengapa mereka saling berdebat dan membuat segalanya menjadi nampak begitu rumit? Mengapa mereka tidak dapat bersepakat dan membuat kebenaran hanya satu saja? Ah, aku tetap tidak mengerti.

Ibu, nampaknya segala resah yang berujung pada rusuh ini, bukan hanya tentang harga BBM itu. Kupikir, ini adalah akumulasi dari kekecewaan bertumpuk-tumpuk; rasa lelah menyaksikan para pejabat dengan hidup mewah, dengan korupsinya, dengan pajak yang diselewengkan, dengan saling sikut mengejar jabatan.
Zaman ini mungkin memang terpaut jauh dengan masa itu; saat orang-orang gemetar ketakutan saat akan diangkat menjadi pemimpin. Tapi, justru itu lebih masuk dengan logikaku. Aku justru heran, dengan masa kini dimana mereka berlomba-lomba untuk menjadi ‘kepala apa saja’. Apa mereka lupa bahwa di akhirat kelak akan berhadapan dengan ratusan bahkan jutaan jiwa yang mereka pimpin semasa di dunia? Bukankah itu mengerikan, Ibu?

Sementara carut marut terjadi di setiap sudut, tapi Ayahanda Presiden tidak jua menunjukkan dirinya. Kupikir, ia perlu untuk muncul menenangkan rakyatnya. Toh, konon dulu dia dipilih oleh rakyat kebanyakan, bukan? Apakah dia sudah terlampau sibuk dengan urusan lainnya? Entahlah... Kawan-kawan Ayah justru semalam suntuk berdiskusi panjang dan akhirnya memutuskan bahwa harga BBM akan ditangguhkan kenaikannya. Hmm..., rupanya perjuangan masih akan sangat panjang.

Ibu, bumi Allah ini memang sangatlah luas. Namun kami akhirnya harus sadar, bahwa Indonesia-lah yang telah ditakdirkanNya untuk kami semua. Maka kini, setelah kami lelah meminta kepada penguasa, agar memimpin kami dengan kebijakan-kebijakan yang lebih mendamaikan jiwa dan memudahkan hidup, rupanya, pada akhirnya kami harus kembali tersungkur dan sujud berdoa kepadaNya; sebaik-baik Pendengar. Agar kami, diberikan kekuatan untuk menjalani kehidupan di atas bumi Indonesia, meski mungkin dengan berat terasa.
Makassar, 31 Maret 2012
            Anakmu,
Diena Rifa’ah Amaliah

Jumat, 23 Maret 2012

Sebuah Jalan: Aku di Sini, Kau di Seberang


Tulisan sambil menatap rintik hujan dan mengumpulkan niat untuk mengerjakan tugas yang menumpuk, hehehe...
Sebuah Jalan; Aku di Sini, Kau di Seberang

Boleh dibilang, saya pertama kali mengecap hidayah di bangku SMA. Saat itu, saya merasa telah menemukan apa yang sebelumnya saya cari. Saya menemukan banyak hal yang baru tentang agama saya saat berada dalam fase ‘menemukan hidayah’ itu. Saat itu, semuanya nampak sederhana saja. Kami, para remaja yang mencari jati diri itu, berusaha menghadiri tiap pertemuan pekanan yang selalu menyisa ketenangan. Kami belajar bagaimana wudhu dan shalat yang dicontohkan Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam, kami diajak untuk memperbaiki bacaan Al Qur’an yang belepotan, kami disemangati untuk sedikit-demi-sedikit berupaya menghapalkan beberapa ayat. Pikiran kami dibuka, untuk lebih peduli kepada ummat, dan untuk berusaha menjadi seorang muslim yang kaffah.

Namun, di akhir tahun kedua, menjelang naik kelas tiga, sebuah kejadian kemudian membuka pikiran kami, bahwa di luar sana, ternyata ada begitu banyak ‘warna’. Bahwa pergerakan Islam di Indonesia ternyata diisi bukan oleh satu pergerakan saja. Terlebih lagi saat memasuki dunia kampus, maka disanalah saya dapat melihat dengan jelas bagaimana bentuk jilbab yang beraneka rupa, kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan dengan ciri yang berbeda-beda, ada yang celananya di atas mata kaki, ada pula yang dibawahnya. Dan berbagai macam keberagaman yang memang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. 

kita telah bersama meniti
hingga takdir mengantarkan waktu pada sebuah jalan tempat kita mendaki sekarang
mulanya, pada sebuah jalan dengan sinar di ujungnya itulah kita menancapkan langkah
dan berharap kita raih cahayanya bersama
namun kini, di jalan itu
aku di sini dan kau diseberang
saling menatap dalam langkah yang sama
saling memandang saat melakukan yang tak berbeda
namun, tetap tak berubah
aku disini, dan kau di seberang
sesekali kau memicingkan mata pada langkahku
dan terkadang akupun memandang heran ke arah jejakmu
terasa sama, namun tetap berbeda
aku di sini dan kau diseberang
hanya saling memandang.
(Sajak ‘Sebuah Jalan: Aku di Sini, Kau di Seberang; 2008)

Puisi di atas saya buat saat dilanda galau dan risau *halah* setelah mendapati fenomena ‘warna-warni’ itu. Jalan dakwah ini, saya analogikan sebagai sebuah perjalanan panjang, berliku, sepi, penuh hambatan dan rintangan, namun berujung pada sebuah titik yang dijanjikan; cahaya jannah. Namun, jalan tersebut ternyata memiliki beberapa sisi yang kemudian diisi oleh berbagai macam warna tadi. Maka saya berada di salah satu sisinya, dan mungkin saudara saya yang lain berada di sisi seberangnya. Maka dalam perjalanan itu, kadang sesekali kami akan saling memandang, namun sayangnya, terkadang pula saling memicingkan mata, sinis. 

Entahlah. Namun, ada saja kita dapati fakta dimana antar kelompok yang sama-sama mengaku ahlussunnah, tapi kemudian sibuk saling mencela. Saling menggugat dengan gugatan yang caranya tidak begitu ahsan. Seolah itu semuanya bisa menunjukkan kepiawaian kelompoknya masing-masing. Miris rasanya. Padahal, dalam waktu yang sama, orang-orang diluar sana sedang sibuk memborbardir Islam; percaya diri dengan ahmadiyah, begitu bangga mengaku Syi’ah, terang-terangan berpemikiran liberal dan sekular, belum lagi dengan kaum kafir yang memang telah nyata azzamnya untuk menenggelamkan ummat ini. 

Ngeri rasanya membayangkan, bahwa saat para penuntut ilmu sibuk saling mencaci dan mencari kesalahan ‘kelompok lain’, pada saat itu pula tentara zionis sedang menembaki kepala bocah Palestina, ada pula yang semangat mendakwahkan nikah mut’ah, ada yang heboh mempertanyakan dalil yang telah jelas tafsirnya, dan para penggiat dunia hiburan tengah sumringah menghitung hasil penjualan tiket Lady Gaga. Aih...

Jujur, saya juga sempat, dan mungkin tanpa sadar terkadang bertingkah berlebihan dalam menanggapi masalah perbedaan ini. Namun, tanpa bermaksud membenarkan bahwa perbedaan adalah rahmat (setau saya hadits ini tidak kuat landasannya), tapi bukankah selama kita masih disatukan dengan kalimat tauhid, maka saat itu pula saudara kita itu berhak dijaga nyawa, harta, dan kehormatannya. Pun mereka tetap memiliki hak untuk mendapatkan nasihat dengan cara yang hikmah jikapun mereka berada pada jalur yang salah. Pada beberapa hal-hal yang mungkin telah menjadi prinsip, maka memang tidak dapat buru-buru untuk kita paksakan titik temunya. Namun selebihnya, ada ukhuwah islamiyah yang mempersatukan kita. Ada kesamaan aqidah yang dahulu juga menjadi dakwah sejak zaman nabi Adam. Ada syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Shallalahu ‘alahi wasallam yang bersama-sama berusaha kita ejawantahkan dalam kehidupan. 

Bahwa selalu ada upaya untuk ‘mendekatkan’ tiap kelompok melalui diskusi ilmiah dan metode-metode lainnya, saya rasa itu pun akan terus diupayakan oleh para mereka yang berkompetan di dalamnya. Selebihnya, saya pribadi yang miskin ilmu ini merasa; akan lebih indah untuk memandang hal ini dari persamaan yang ada saja, apalagi jika perbedaan itu pun belum kita ilmui secara paripurna.

Kita belajar dan menemukan keindahan Islam dalam lingkaran kita masing-masing. Jika dalam perjalanan itu ada manfaat yang besar bagi kehidupan akhirat kita, maka kita berharap dapat berlomba untuk memperolehnya. Jika pun kemudian kita menemukan bahwa ternyata ada kesalahan fatal dari apa yang selama ini kita jalani, maka kita berharap bisa menjadi orang pertama yang berusaha untuk memperbaikinya, kembali kepada kebenaran dengan sebaik-baiknya cara.
 
Maka tulisan ini dibuat bukan justru untuk melemahkan langkah kita yang telah memilih pada satu sisi jalan dakwah. Justru, semoga membuat kita semakin fokus dalam melihat apa yang sebenarnya sedang kita hadapi. Menyusun prioritas atas apa yang seharusnya kita tanggapi. Tidak lagi sibuk membuang-buang waktu dengan sesuatu yang tidak kita mengerti. Dan terpenting, untuk meluruskan keikhlasan atas keberadaan kita di jalan ini. 

Maka pertanyaan retoris dari seorang kakak seketika terdengar kembali; “Setelah langkah yang begitu jauh, masih pantaskah kita meragu?” 

Request by Kak Betrin. Cuma ini yang bisa saya tulis, kak..
Makassar, 23 Maret 2012 

Rabu, 21 Maret 2012

Pemimpin Itu Akan Datang

Pemimpin Itu (InsyaAllah) Akan Datang

Baru-baru ini, media kita dihebohkan dengan berita seputar seorang menteri yang ngamuk di pintu tol. Saat melihat judul beritanya, pikiran negative saya mulai bertanya-tanya, tingkah apa lagi yang sedang dilakukan oleh elit politik bangsa ini? Apakah mereka ngamuk karena tidak mendapatkan layanan VVIP? Ataukah sebab-sebab lain yang membuat mereka tidak nyaman sebagai seorang pejabat? Ternyata saya salah. Sebab, Pak Dahlan Iskan, menteri BUMN yang ngamuk itu justru melakukan hal tersebut sebab ia mendapati pelayanan publik yang amburadul! Lalu solusinya tidak tanggung-tanggung; melewatkan berderet-deret mobil secara gratis di pintu tol itu dan baru pergi dari lokasi saat tempat itu telah cukup sepi. Wah!

Oleh media massa, peristiwa langka ini kemudian menjadi booming dan dibicarakan dimana-mana. Banyak orang yang kemudian, seperti saya, salut dengan apa yang dilakukan oleh Pak Dahlan. Jujur, saya bahkan berkaca-kaca saat membaca berita tersebut. Namun, ada saja pihak yang menganggap hal ini sebagai ‘bisa-bisanya’ beliau untuk mencuri simpati publik. Ah, jikapun benar, apa yang salah dari itu? Bukankah bangsa kita memang telah lama rindu pada sosok pemimpin yang punya keinginan untuk langsung turun ‘menjenguk’ rakyatnya?

Sepak terjang Dahlan Iskan memang bukan hanya dimulai dari peristiwa pintu tol kemarin. Trade record beliau telah menunjukkan prestasi gemilang sejak menyelamatkan Jawa Pos, kemudian PLN, dan kini menjadi menteri. Kita pun akhirnya seolah mendapatkan angin segar, dan mulai bertanya-tanya, bahwa bisa saja ada Dahlan Iskan-Dahlan Iskan lainnya disekitar kita, hanya saja mereka tidak diakses oleh publikasi media. Krisis kepercayaan yang sudah kronik kepada pejabat-pejabat bangsa ini, memang membuat kita seringkali menutup mata dari adanya kemungkinan munculnya sosok pemimpin yang kita rindukan itu.

Ditengah hiruk-pikuk isu kenaikan harga BBM yang menimbulkan gejolak di setiap sudut negeri ini, kita tentu miris dengan dua belah pihak yang nampak sibuk dengan pendapatnya masing-masing, tanpa memberikan edukasi yang jelas tentang argumen mereka. Mengapa harus naik? Mengapa tidak boleh naik? Bagaimana hitung-hitungannya? Apa dampak baik dan buruknya? Dan yang paling penting: apa yang harus kita persiapkan untuk menghadapi itu semua?

Para mahasiswa turun ke jalan berteriak dengan orasinya masing-masing. Mereka nampak garang dan percaya diri sebab merasa telah memperjuangkan aspirasi rakyat. Tapi, jika demo itu kemudian berakhir rusuh dan justru membawa malapetaka baru sebelum malapetaka sebenarnya muncul, kita tentu sangat menyayangkannya. Kita tentu malu. Kita tentu bertanya, sekiranya saja semua aksi itu adalah atas nama rakyat, maka saya membayangkan; saat mereka berkoar-koar di jalan, para masyarakat akan memandang mereka dengan mata sembab sebab terharu telah diperjuangkan. Beberapa mungkin akan ikut berseru mengikuti yel-yel mereka, bahkan ada yang singgah untuk sekadar memberikan minuman dingin agar tenggorokan para pendemo tidak kering. Selebihnya, turut mendoakan keselamatan para pendemo dan berharap aspirasi mereka didengarkan oleh para pemegang kekuasaan itu. Tapi kenyataannya? Ah, jauh panggang dari api!

Maka dengan membuka kembali lembar-lembar sejarah, di masa lalu, kita dengan mudah menemukan sosok pemimpin yang tiduran di bawah pohon kurma tanpa pengawalan sedikitpun. Pemimpin yang ikut berbaur di tengah rakyatnya, dengan penampilan yang serupa pula dengan mereka yang ia pimpin. Pemimpin yang memanggul sendiri karung-karung berisi makanan untuk wanita miskin yang merebus kerikil untuk anaknya yang kelaparan. Kita bermimpi, kita merindu, suatu hari kelak, ada sosok yang minimal mendekati itu, yang bersedia untuk maju dan membawa bangsa ini menjadi lebih baik.

Apakah takdir Allah yang menyelamatkan nyawa Pak Dahlan Iskan pada 2008 lalu lewat cangkok hati merupakan sebuah jalan agar kelak beliau muncul sebagai pemimpin yang kita rindukan itu? Entahlah. Namun, sebab Indonesia telah menjadi takdir kita, maka agaknya menjadi lebih damai jika kita; orang-orang yang terpimpin ini pun ikut terus berusaha memperbaiki diri dan hal-hal kecil di sekitar kita saat ini. Bukankah, kita pun harus memantaskan diri agar kelak pemimpin yang baik itu sudi untuk melangkah maju? Wallahu a’lam.

Makassar, 22 Maret 2012

Minggu, 18 Maret 2012

Ketika Penulis Jatuh Cinta (part3)


“Menurutmu, apa kisah cinta yang paling romantis?” tanyanya suatu kali, “Romeo dan Juliet? Fahri dan Aisha? Cinderella dan Pangeran? Atau apa?”

Saya tersenyum mendengarkan pilihan jawabannya. Entah pula mengapa ia tiba-tiba melayangkan pertanyaan itu. Bahwa saya memang kadang membuat puisi romantis sebagai hadiah saudari-saudari di hari pernikahannya, memang iya. Namun, tidak selalu berarti bahwa saya penikmat kisah romantis ataupun orang yang romantis juga, khan? Tapi, tak mengapa. Saya ladeni saja pertanyaan itu.

“Mau tahu, kisah yang menurut saya paling romantis?” ucap saya sambil memandang bola matanya yang kini berbinar.


Takdir Allah mengantarkannya keduanya untuk berjumpa. Ya, perjumpaan yang semula sama sekali tidak terlalu berpotensi untuk menimbulkan celah kekaguman itu. Terlebih lagi, sebab yang wanita adalah seorang saudagar kaya nan cerdas dan jelita. Sedangkan sang pemuda didaulat menjadi salah satu pekerja bawahannya. Namun, segala hal bisa saja terjadi jika Allah telah menggariskan demikian. Lewat pribadinya yang terpercaya dan sejak awal memang memesona, mudah saja bagi Allah untuk menyisipkan perasaan itu ke hati sang wanita. Seorang wanita matang yang sebenarnya telah banyak diinginkan oleh para lelaki-lelaki kaya dan gagah, namun ditolaknya mentah-mentah.

Maka, perjumpaan dengan pemuda itu telah mengalihkan perhatiannya. Ditambah lagi dengan cerita dari Maysarah, pembantu yang ikut dalam tugas perdagangan yang diamanahkan kepada sang pemuda. Maka bergulirlah kisah tentang kecerdikannya, kejujurannya, dan begitu banyak sifat baik yang melekat pada sang pemuda. Dan perasaan itu pun, menemukan labuhannya. Wanita ini segera menemukan jalan lewat kawannya, Nafisah yang menjadi penyampai perasaan yang selama ini ia pendam.

Gayung bersambut. Pemuda ini juga ternyata memendam hal yang sama. Maka lewat jalur-jalur yang telah ditentukan, keduanya mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan dengan mahar dua puluh ekor unta muda itu.

Hidup bahagia selamanya memang hanya ada di dongeng-dongeng picisan belaka. Sebab sejatinya, berbagai macam lika-liku hidup baru bermunculan justru setelah dua hati telah terpautkan. Demikian pula dengan pasangan ini. Pasangan yang ternyata diberikan tugas yang begitu berat dari Rabbnya. Sebuah tugas yang muncul pertamakali gaungnya dalam sebuah perjumpaan lelaki itu dengan malaikat penyampai wahyu di dalam sebuah gua. Gua Hira, namanya.

Ada rasa takut yang mencekam pada diri lelaki itu. Maka, ia tahu kemana ia harus pergi. Dengan tubuh yang menggigil tersebab kaget bercampur takut itu, ia segera menuju rumah dimana sang istri telah setia menanti. Mendapati sang suami dalam kondisi yang begitu membingungkan, wanita ini paham betul, bukan saatnya ia bertanya macam-macam. Ya, ia memilih untuk tetap tenang dan melakukan apa yang dipinta oleh lelaki itu. Menyelimutinya. Bibirnya tidak cerewet dengan berbagai macam kata-kata yang mungkin saja akan semakin mengusik ketenangan lelakinya. Mungkin, itulah tautan hati yang membuat keduanya menjadi saling memahami. Tautan hati itu pula yang membuatnya mengucap kata-kata yang memberi ketenangan luar biasa pada diri sang suami.

“Tidak, demi Allah. Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Engkau suka menyambung tali persaudaraan, ikut meringankan beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu, dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.”

Ucapan penuh cinta itu menjadi sejarah manis yang mewarnai kisah keduanya. Maka hari itu, sang lelaki; Muhammad bin Abdulullah menerima tugas berat dari Allah sebagai Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam. Dan sang wanita, adalah Khadijah binti Khuwailid, ummul mukminin pertama, ibunda kita semua, yang selanjutnya mengajarkan kita begitu banyak hikmah.

Maka tahun kesepuluh nubuwah merupakan tahun dengan duka yang datang bertumpuk-tumpuk. Setelah kepergian paman Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam, paman yang telah melindunginya dengan perlindungan yang begitu luar biasa, namun pada akhirnya berpulang dalam keadaan tidak memperoleh cahaya hidayah, kesedihan jelaslah datang menimpa diri sang Rasul. Kira-kira dua atau tiga bulan selepas kejadian tersebut, wanita yang paling dicintainya itu pun turut meninggalkannya.

Kepergian Khadijah Radhiyallahu ‘anhuma menjadi sebuah kedukaan yang mendalam di sisi beliau. Wanita yang telah mendampingi masa-masa beratnya itu, tidak dapat lagi turut berada dalam perjalanan selanjutnya yang tidak kalah beratnya. Dengan hati duka dan diserbu rindu, dikenangnya sosok perempuan yang agung itu,

“Dia beriman kepadaku saat semua orang mengingkariku, membenarkan aku selagi semua orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang menahannya. Dan Allah menganugrahkanku anak darinya selagi wanita selainnya tidak memberikannya kepadaku”.

MasyaAllah... Demikianlah kisah penuh romantika itu membentang sebagai sejarah yang tidak terbantahkan. Dilakonkan oleh tokoh-tokoh nyata, yang nyata pula keteladanannya. Tahun-tahun keduanya lalui dengan saling mendukung dan menjaga. Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam tidak menikah lagi selama Khadijah masih hidup. Sebuah hal yang tidak dilakukannya kepada istri-istri setelahnya.

Dan perihal pernikahan sang Rasul selanjutnya tersebut, kini sering menjadi buah bibir yang agaknya cukup sepat untuk para kaum wanita. Namun, seorang guru menasihatkan, bahwa apapun yang seorang muslimah rasakan terhadap syariat tersebut, maka tanggapilah sebagaimana seorang yang beriman menanggapinya.

Bahwa seorang wanita memang senantiasa mengedepankan perasaannya, memang merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri. Namun, bukankah perasaan pun sudah seharusnya tunduk pada perintah Allah? Maka jika memang sepat itu masih dominan terasa, maka lebih baik diamlah saja. Tidak perlu berpanjang kata atas apa yang mungkin tidak begitu dalam kita ilmui. Tentang hukumnya, apakah ia adalah sunnah, atau sebatas mubah, atau justru menikah hanya dengan satu wanita adalah sebuah bentuk rukhshah (keringanan) dari Allah. Agaknya setiap kita tidak boleh tergesa-gesa dalam menanggapinya, apalagi dengan ilmu yang dangkal, bahkan mungkin tidak ada.

Maka, meski mungkin belum layak untuk disebut sebagai penulis, ijinkan saya menjudulkan tulisan ini dengan judul di atas. Untuk sebuah kisah cinta yang paling romantis bagi saya.


“Apakah kamu sedang jatuh cinta?” lanjutnya bertanya.

“Ya, sepertinya.” Ujar saya, tersenyum. “Saya jatuh cinta pada kisah cinta Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam dengan kekasihnya, cinta sejatinya, istri yang selalu dikenangnya; Khadijah Radhiyallahu ‘anhuma”.

Maka Kita Sederhanakan Saja, Katamu


Pergantian malam dan siang. Siang yang terik ataupun tetes hujan yang turun. Angin yang berhembus pelan maupun yang membentuk puting beliung. Proses bertemunya serbuk sari ke kepala putik hingga terjadi pembuahan. Bernapasnya tiap sel pada setiap jengkal tubuh kita. Lalu, masih banyak lagi hal-hal lainnya yang terjadi di sekitar kita, di dekat kita, bahkan di dalam tubuh kita. Kejadian yang jika kita cermati lebih seksama, maka akan kita dapati sebagai sesuatu yang sama sekali tidak sederhana. Rumit tidak terkira!

Maka kita sederhanakan saja hidup yang tidak sederhana ini. Kita bisa saja menarik garis sepanjang mungkin, namun kita harus sadar bahwa akan ada sebuah garis lain yang akan memotongnya. Maka sepanjang apapun kita telah merencanakannya, tetap saja kita punya limit masing-masing. Batas yang tidak bisa kita undur, pun kita majukan.

Kita bangun di pagi hari. Tersenyum ke arah langit. Memulai langkah pertama, lalu menyelesaikannya di penghujung malanm, sederhanakan saja! Kita bertemu dengan banyak orang, sebagiannya kita bersamai dalam tempo yang lama. Selebihnya mungkin akan berpisah dengan segera. Ada yang kita ingat terus pada detik-detik waktu yang membuat kita rindu. Tapi ada pula yang seketika kita lupakan, lalu menyisakan satu tempat kosong pada memori kita. Pada hati kita.

Maka kita sederhanakan saja hal-hal yang tidak sederhana itu. Kita anggap saja itu semua sebagai sebuah nikmat yang harus terus tersyukuri, ataukah suatu ketidaknyamanan yang patut disabari. Seperti keinginan yang tidak semuanya bisa kita raih. Seperti kebersamaan yang tidak selalu benar-benar terjadi. Kadang, sederhana saja, saat kita memang benar-benar beriman kepada takdir, maka apa yang memang telah menjadi rejeki; akan kita dapatkan. Lalu segala hal yang memang tidak pernah tertakdirkan, tidak akan pernah kita temukan dalam rangkai hidup kita.

Maka kita sederhanakan saja, katamu. Mengamini untai langkah yang akan kita tuju.

Jumat, 16 Maret 2012

*catatan di sela waktu tidur*


Jika kemarin saya membuat puisi sebelum tidur *kebiasaan yang aneh*, maka kali ini saya ingin menulis (lagi) diantara waktu tidur. Ya, setelah terlelap tadi, lalu terbangun karena perut yang meminta haknya, saya kemudian kembali ke pembaringan sambil mengaktifkan fitur operamini di ponsel. Berselancar via mobile, berharap dapat menuai kantuk berikutnya dari sana *sekali lagi, kebiasaan aneh, kebiasaan buruk*. Ternyata, saya malah makin tidak ngantuk. Saya malah menyalakan laptop yang tadi sudah hibernate, melanjutkan download-an video kisah-kisah manusia terdahulu, kemudian nanti menyaksikan dan mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca. Hati ini gerimis berpadu rindu...



Sambil melakukan itu, saya menuliskan note ini. Tadi, sewaktu ngenet lewat hape, saya mencoba melakukan apa yang saya namakan dengan 'note-walking'; semacam kegiatan membaca-baca note kawan-kawan di FB. Mengobrak-abrik koleksi tulisan mereka. Takjub. Haru. Bahagia. Galau. Risau. *jiah..* semua bercampur aduk menjadi satu demi membaca note-note yang beraneka rupa tersebut. Menyenangkan. Ya, menyenangkan rasanya dapat menyelami pikiran seseorang lewat apa yang dituliskannya. Menemukan sudut pandang baru dari apa yang selama ini kita lihat dari satu sisi saja. Semacam proses transfer nilai yang hening; tanpa suara-suara yang mengganggu, tanpa mimik wajah yang mengintervensi, dan tanpa sorot mata yang mungkin membuat keki *jiah lagi...*



"Don't judge people from his/her note"

Itu yang selalu saya ingatkan pada diri sendiri setiap membaca tulisan orang lain. Bahwa tulisan bisa menjadi transformasi dari seseorang; ya, mungkin itu benar. Jika mata adalah jendela jiwa, tulisan mungkin bisa kita sebut sebagai ventilasinya, atau cerobong asapnya, atau kisi-kisi lubanga anginnya, atau bahkan pintunya? Entahlah, tapi memang tidak menjadi adil untuk menilai seseorang dari satu sisi saja. Apalagi dari tulisannya saja. Beberapa orang yang menyukai tulisan saya *'beberapa' bukan berarti banyak, yah...hiks..* mungkin tidak akan menjadi otomatis menjadi nyaman untuk bersosialisasi dengan saya di dunia nyata. Ya, sebab tulisan memang hanyalah satu sisi dari begitu banyak bagian dalam diri seseorang. Umar bin Khattab Radhiyallahu 'Anhu mengajarkan kepada kita untuk mengenal seseorang setelah pernah berbisnis dengannya, bersafar (berpergian jauh) dengannya, dan menginap bersama dengannya.



Tapi, saya selalu senang membaca tulisan orang lain. Apalagi yang terpampang dengan ikhlas (baca: gratis) di dunia maya. Tanpa tendensi apapun, sederhana, namun mengikat makna. Apalagi, jika tulisan itu sarat akan manfaat. Baru-baru ini beredar reminder di dunia FB tentang bagaimana 'nasib' akun FB kita selepas kita meninggal dunia. Jika di sana kita meninggalkan banyak kesalahan, semisal pajangan foto tanpa penutup aurat yang benar, maka bisa jadi ia menjadi suatu sumber yang membuat kita celaka di 'sana'. Tapi saya pikir sebaliknya, jika yang kita tinggalkan di akun kita adalah hal-hal penuh manfaat, yang dapat diakses oleh semua orang bahkan saat kita tiada, semoga ia bisa terhitung sebagai ilmu yang bermanfaat; satu dari tiga amalan yang tetap mengalir pahalanya, meski kita tidak lagi hidup di dunia.



Tiba-tiba pikiran saya bertanya;

Kawan, apakah selepas saya tiada, kalian akan merindukan tulisan-tulisan saya? Hehehe... Tetaplah berkunjung sesekali, yah. Ambillah manfaat dari apa-apa yang bisa mendatangkan kebaikan. Semoga dengannya, kelak, jalan kita akan dimudahkan. :D

pic by Rifa'ah; lilin elektronik yg dibelikan bapak dalam sebuah perjalanan. katanya, bisa padam dengan tepukan tangan, ternyata tidak. *eh,malahcurhat.. -__-"

Selasa, 13 Maret 2012

tiba-tiba disergap tanya:


"Bagaimana jika dia nanti ternyata suka makan durian?"

orginal pic by aquarius-galuxy on devianart.com

Sabtu, 10 Maret 2012

Khabbab, Sumayyah, dan Suriah

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan mendengarkan penuturan kisah tentang Khabbab bin Arats. Beliau adalah seorang pandai besi di masa lampau, namun termahsyur namanya hingga kini sebab kisah perjalanan hidupnya yang luar biasa. Peri kehidupan itu adalah sebuah bentuk cinta yang tidak usah lagi ditanya, cinta kepada Rabbnya.

Saat Khabbab lebih rela dipanggang di tengah gurun, dengan besi panas yang diletakkan di atas tubuhnya. Besi yang memerah itu bahkan menjadi padam oleh cairan tubuh Khabbab yang keluar sebagai nanah dari luka-luka bakar tersebut. Apa yang sedang dipertaruhkan Khabbab dengan nyawanya itu? Sebuah kalimat saja, Kawan. Laa ilaha illallah...

Telah sampaikah padamu tentang kisah Sumayyah? Ya, dialah yang kini kita kenang dengan hati takjub bercampur haru. Seorang muslimah pertama yang merengkuh syahidnya dengan berbagai macam siksaan yang pedih. Tidak berbeda dengan Khabbab, ia pun sedang memperjuangkan kalimat yang sama; Laa ilaha illallah...

Kita mungkin mudah saja berkata; Ah, itu khan cerita jaman dahulu, mereka keimanannya memang sangat tebal! Wajar saja mereka mampu bertahan!

Ya, saya pun kadang berpikir demikian. Namun, mendengarkan banyak hal yang terjadi pada dunia Islam kala ini, membuat saya sadar, hal yang sama sedang terjadi di masa kita. Di masa yang konon menjunjung tinggi kebebasan dan kemerdekaan ini. Di dunia yang katanya berperadaban dan damai bagi siapa saja ini.

Bumi yang indah permai itu adalah bumi yang sama dimana di salah satu belahannya telah terjadi peristiwa yang seharusnya menjadikan kita malu sebagai seorang manusia, jika tidak bergidik ngeri saat mengetahuinya.

Tersebutnya negeri Syams. Negeri dengan bentangan sayap malaikat. Demikian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutnya dalam riwayat At Tirmidzi. Negeri ini telah melahirkan begitu banyak ulama besar yang kita kenang namanya hingga saat ini: Imam Nawawi, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan Ibnu Katsir.

Salah satu bagian dari Negeri Syams kala itu, kini kita kenal dengan nama Suriah. Suriah, tempat saudara-saudara seaqidah kita, yang kita akui sebagai satu tubuh itu, kini sedang berusaha memperjuangkan apa yang dahulu Khabbab dan Sumayyah lakukan. Mempertahankan aqidah dan kalimat tauhid mereka. Mempertahankan Laa ilaha illallah di lisan, di hati, dan di setiap jengkal tubuhnya.

Kawan, jangan katakan bahwa belum sampai kabar ini padamu! Kabar tentang pemimpin dzalim yang kini tengah menyuruh saudara-saudara kita di sana untuk mengakui dirinya sebagai tuhan! Fir’aun berdasi itu menyuruh mereka untuk bersujud di atas fotonya. Menyuruh mereka untuk menanggalkan keimanannya! Lalu apa yang ditukarkan dengan keteguhan itu? Hantaman pada kepala dengan sepatu-sepatu tentaranya yang keras. Siksaan dengan sengatan listrik, bahkan sembelih di leher seorang bocah tepat di hadapan mata kepala kedua orang tuanya. Mereka bahkan menyerang masjid-masjid dan meneror dengan berbagai macam ketakutan. Lebih dari itu, ketakutan akan terancamnya aqidah.

Ah, mungkin bersamaan dengan siksaan yang saudara kita rasakan di sana, kita sedang menikmati kedamaian di negeri kita, mendengar sayup-sayup suara adzan dari menara, namun masih saja lengah dan menunda untuk menegakkan shalat. Mungkin, kala para bocah Suriah sedang menangis ketakutan, kita malah berleha-leha dengan segala santai dan membuang waktu yang kiranya lebih manfaat jika kita gunakan untuk ibadah. Hari ini, kita dapat dengan mudah mengucap syahadat, bahkan mungkin dengan aman bisa meneriakkannya. Namun, kita tentu bertanya; adakah kita bisa tetap melakukan hal yang sama, sekiranya seuntai kalimat itu harus kita tukarkan dengan nyawa?

Oh, Allah...

Maafkan kami yang teramat sering lalai. Jangan Engkau cabut damai dari negeri kami. Teguhkan hati kami pada jalanMu yang haq. Lindungi saudara-saudara kami di Suriah, di Palestina, di Afganistan, dan di setiap jengkal bumiMu. Berikan pahala atas tiap tetes air mata, peluh, dan darah yang telah tertumpah untuk menegakkan kalimatMu. Syahidlah mereka.. syahidlah mereka... Allah, Engkaulah sebaik-baik pelindung, bagi kami yang lemah ini.

Jumat, 09 Maret 2012

Catatan Perjanalan


Potret Pagi

Bocah melambaikan tangan pada bunda, hendak ke sekolah. Tas punggungnya menyembul, berat, sebesar batang tubuhnya. Saat motor melaju, hembusan angin merayunya untuk kembali melanjutkan tidur. Maka terantuk-antuklah kepalanya pada punggung sang ayah. Matanya redup, sesekali mengerjap. Ah, bunda tadi m'bangunkan terlampau cepat. Kedua tangan gemuknya melingkar pada perut ayah. Saat lingkarannya mengendur, ayah menggoyangkan diri agar ia kembali terjaga. Dilewatinya polisi lalu lintas yg sibuk mengurai macet. 'Berpegang,nak! Jangan sampai jatuh dan celaka' seru pak polisi saat menyaksikannya

Para lelaki berdesakan di jalan dgn kendara. Entah sejak kapan mobil dan motor melahirkan layaknya kucing. Banyak sekali. Mencipta macet di ruas-ruas jalan. Para lelaki menyelip, melambung, mengebut. Diantaranya ada pula yg bersabar, mendahulukan m'beri jalan. Mungkin ia ingat, demikian agama mengajarkan.

Para wanita berdesak di angkutan kota. Ada yg memilih pojoknya, agar tidur dapat berlanjut dari jeda. Ada yg menelepon kawan di seberang, mungkin telah lama mereka tidak saling memandang. Ada yg menekuri buku, membaca. Siapa tahu dosen pagi ini kembali bertanya dalam kuis yg diambil nilainya. Ada pula yg setengah mati memekik 'KIRI PAK!',mungkin sebab suaranya terlalu lembut, hingga harus didukung koor seantero angkot. Ada yg sesekali melihat keluar jendela, lalu sesekali mengetik di hapenya. Bukan sms ria, ia sedang belajar membuat cerita.

15/2/12
dlm perjalanan rumah-kampus


Mari Pulang!

Pucuk malam ditingkahi rintik hujan yg awet sejak pagi tadi. Hujan awal hari yg tiba-tiba, mengagetkan para wanita yg tdk mengamalkan 'sedia payung sebelum hujan'. Saya pun akhirnya menjadikan jas krem apoteker sbg payung dadakan sebab payung saya ternyata hanya tahan semusim saja.


Dalam perjalanan ini, saya mengamati wajah2 lelah dlm angkot. Mencoba menebak pikiran mereka yg menatap kosong ke luar jendela. Entah mengapa saya tiba2 teringat bapak. Yah, lelaki pertama itu. Lelaki yg menceritakan kisah nabi musa dan khidir di masa kanak saya. Lelaki yg berinisiatif merekam hapalan shalat dan surah pendek yg saya rapal dikala 3 tahun.. Haha, selalu terkikik kami saat mendengarnya kembali. Bapak suatu waktu menemani begadang sambil mengelus lembut kulit saya yg bentol dan gatal akibat cacar , perih hingga tak mampu tertidur. Waktu itu jaman SD, dan waktu itu, bapak ada di sana.

Meski kini intensitas jumpa kami jarang, sebab sibuknya ia dan sibuknya saya, tapi diri ini selalu sadar; apapun khilaf yg ia torehkan, tetaplah tak mengubah fakta, lewat wasilah dirinya, saya ada.

Ah,bagaimana bisa diriku membencimu,bapak. Jika setiap memandang cermin, kudapati wajahmu pada wajahku.

9/3/12

*dalam perjalanan panjang pulang ke rumah.

Kamis, 08 Maret 2012

Kepada Seorang Kawan

aku menunggu, berjumpa lagi denganmu, Kawan

Assalamu alaikum warahamtullahi wabarakatuh, kawan.

Bagaimana kabarmu di sini? Alhamdulillah, aku di sini baik-baik saja. Langit juga masih selalu nampak indah. Ya, kau tahu bagaimana aku senang berlama-lama memandangnya sebab di sanalah terbentang warna favoritku, tanpa batas. Meski ia mendung, apalagi saat cerahnya. Bagaimana langitmu di sana?

Kawan, kau pun tahu, betapa aku selalu merasa tidak nyaman dengan perpisahan. Apalagi denganmu. Meski kala itu, tidak sempat kita saling melambaikan tangan, bahkan mengucapkan selamat tinggal. Padahal kemudian, baru kita sadar bahwa bentangan jarak ini agak susah untuk kembali diurai agar ia lebih dekat. Bahkan kita mungkin telah lupa, kapan terakhir kali berjumpa. Tapi senyummu itu.., ah, aku berjanji tidak akan pernah melupakannya. Pun dengan wajah sedihmu, saat kau berlinang air mata kala mengkhawatirkan saudari kita yang lainnya.

Kawan, telah kudengarkan kabar dari langit, bahwa di suatu hari yang entah, akan datang masa dimana para pencinta akan saling menyalahkan di hadapan Tuhannya. Bahwa mereka akan menyesal sebab telah salah memilih teman seperjalanan di kala hidupnya. Kuharap, kita tidak akan demikian kelak. Sebab telah pula kubaca sabda Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam, tentang naungan yang akan diberikan kepada seseorang, di saat tidak ada naungan lain selain naunganNya, salah satunya kepada mereka yang saling mencinta tersebab Allah.

Maka semoga, kita menjadi yang kedua. Semoga aku bagimu dan kau bagiku tidak layaknya payung semusim. Yah, payung yang hanya bertahan di satu kali musim hujan saja, lalu patah dan tidak bisa berguna lagi di musim selanjutnya. Aih, mungkin payung bukanlah analogi yang cukup indah. Tapi, layaknya sifatnya yang menaungi pula, maka semoga demikian pulalah kita. Memberikan perlindungan dari basah saat hujan datang, dan menghalangi dari terik saat musim terlampau cerah.

Kepadamu, yang ditakdirkan Allah hanya kulihat sisi indahnya saja. Semoga Allah selalu menjaga. Baik-baiklah di sana.


Selasa, 06 Maret 2012

~Apoteker Budiman~

senyum teman2 seangkatan waktu s1, mixtura'07. Kangen sekelas sama mereka lagi deh...


Diantara tugas menyusun makalah yang kian menumpuk, mari kita cerita-cerita dulu!

Baiklah. Fase hidup berikutnya kembali dimulai. Setelah empat tahun lebih berjibaku dengan dinamika dunia kuliah S1 yang tiap bagiannya memiliki tantangan masing-masing, sekarang saya tiba pada perjalanan menempuh kuliah pendidikan profesi apoteker. Masih di Universitas yang sama, meski dengan komposisi teman-teman sekelas yang kini berbeda. Ada tambahan teman-teman baru dari universitas lain, ada juga beberapa orang senior yang kini menjadi sekelas, sisanya adalah enam orang teman seangkatan di mixtura’07 yang sekarang kembali menjadi rekan seperjuangan di kelas B ini.

Honestly, banyak yang berbeda dari kuliah profesi ini. Rasanya memang cukup berat, dengan gempuran tugas yang sambung menyambung menjadi satu, kelas-kelas yang selalu ramai dengan diskusi, pertanyaan langsung dari dosen, dan beban ‘kan-sudah-sarjana’ yang terus saja menghantui. Tapi sejujurnya, sejauh ini saya masih dapat menikmati semua itu. Setidaknya, setelah cukup lama vakum ‘belajar-banyak-topik-dengan-serius’ sejak masa awal penelitian hingga wisuda dan libur, saya merasa lebih aman dengan waktu luang yang memang tidak lagi terlampau banyak. Sepertinya, itu lebih baik daripada godaan leyeh-leyeh yang selalu saja ada saat kita lowong. Menikmati tidur yang meski lumayan singkat (kadang ditingkahi dengan mimpi seputar situasi kuliah pula -__-“), tapi terasa lebih pulas sebab tubuh telah lelah dengan kuliah yang seharian.

Di bagian hidup yang ini pula, saya terus terang lebih berharap agar waktu berjalan lebih lambat. Ya, lebih lambat. Ah, mungkin memang kesannya saya ini sangat pengecut sekali. Tapi, saya harus jujur betapa saya mengkhawatirkan kehidupan yang akan saya jalani selepas satu tahun ini berlalu. Setelah masa pendidikan apoteker ini berakhir, maka dunia yang sebenarnya akan benar-benar muncul, khan? Dunia yang menuntut aplikasi ilmu yang telah dikumpulkan selama bertahun-tahun. Dunia yang menginginkan bukti nyata dari softskill yang konon diajarkan pula di bangku perkuliahan. Dunia yang akan semakian mencecar dengan pertanyaan; setelah ini mau kemana? Apalagi, bahwa ilmu farmasi yang saya tekuni saat ini memang bukan hal yang main-main (aih, mana ada pula ilmu yang main-main?). Ya, kelompok ilmu kesehatan memang banyak berhubungan dengan nyawa dan keselamatan manusia. Pada ranah inilah, kita bisa menjadi wasilah untuk menyelamatkan hidup atau justru menjadi biang kerok melayangnya nyawa! Wal iyyadzubillah...Hmm, saya merasa butuh waktu lebih dari setahun untuk menghadapi tuntutan yang semakin berat dari titel yang akan semakin panjang dan usia yang semakin bertambah.

Maka, lamat-lamat saya sering menangkap bagaimana dosen-dosen yang mengajar pun rasanya semakin terfokus dalam memberikan ilmunya, juga disertai dengan penanaman idealisme dan sikap-sikap yang harus dimiliki oleh seorang apoteker. Memang, pasca ‘dipaksa’ untuk menempuh pendidikan di farmasi, saya mencoba mencari sebuah alasan utama yang menjadi visi dan misi saya mempelajari disiplin ilmu ini, namun justru semakin saya mempelajarinya, saya sadar bahwa saya salah jalur. Yah, saya justru semakin ‘ngeh’ bahwa ternyata jawaban atas apa yang selama ini saya inginkan dan saya cari, bukan berada di farmasi. Namun, bukankah sebab semua ini telah terjadi, maka berarti inilah takdir? Maka saya beriman kepada takdir Allah, bahwa ada kebaikan yang Allah inginkan dari ini semua.

Saya dan farmasi kemudian seperti dua orang yang dipertemukan secara paksa. Seiring dengan berjalannya waktu, kami melangkah bersama meski kadang sulit dan sering ingin saling melepaskan. Namun selanjutnya, kami terus berusaha hingga agaknya mulai menyukai, satu sama lain.

Semoga kelak, ilmu ini bermanfaat. Dan saya, eh bukan saya saja... tapi kami semua, bisa menjadi apoteker budiman!