Jumat, 23 Maret 2012

Sebuah Jalan: Aku di Sini, Kau di Seberang


Tulisan sambil menatap rintik hujan dan mengumpulkan niat untuk mengerjakan tugas yang menumpuk, hehehe...
Sebuah Jalan; Aku di Sini, Kau di Seberang

Boleh dibilang, saya pertama kali mengecap hidayah di bangku SMA. Saat itu, saya merasa telah menemukan apa yang sebelumnya saya cari. Saya menemukan banyak hal yang baru tentang agama saya saat berada dalam fase ‘menemukan hidayah’ itu. Saat itu, semuanya nampak sederhana saja. Kami, para remaja yang mencari jati diri itu, berusaha menghadiri tiap pertemuan pekanan yang selalu menyisa ketenangan. Kami belajar bagaimana wudhu dan shalat yang dicontohkan Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam, kami diajak untuk memperbaiki bacaan Al Qur’an yang belepotan, kami disemangati untuk sedikit-demi-sedikit berupaya menghapalkan beberapa ayat. Pikiran kami dibuka, untuk lebih peduli kepada ummat, dan untuk berusaha menjadi seorang muslim yang kaffah.

Namun, di akhir tahun kedua, menjelang naik kelas tiga, sebuah kejadian kemudian membuka pikiran kami, bahwa di luar sana, ternyata ada begitu banyak ‘warna’. Bahwa pergerakan Islam di Indonesia ternyata diisi bukan oleh satu pergerakan saja. Terlebih lagi saat memasuki dunia kampus, maka disanalah saya dapat melihat dengan jelas bagaimana bentuk jilbab yang beraneka rupa, kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan dengan ciri yang berbeda-beda, ada yang celananya di atas mata kaki, ada pula yang dibawahnya. Dan berbagai macam keberagaman yang memang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. 

kita telah bersama meniti
hingga takdir mengantarkan waktu pada sebuah jalan tempat kita mendaki sekarang
mulanya, pada sebuah jalan dengan sinar di ujungnya itulah kita menancapkan langkah
dan berharap kita raih cahayanya bersama
namun kini, di jalan itu
aku di sini dan kau diseberang
saling menatap dalam langkah yang sama
saling memandang saat melakukan yang tak berbeda
namun, tetap tak berubah
aku disini, dan kau di seberang
sesekali kau memicingkan mata pada langkahku
dan terkadang akupun memandang heran ke arah jejakmu
terasa sama, namun tetap berbeda
aku di sini dan kau diseberang
hanya saling memandang.
(Sajak ‘Sebuah Jalan: Aku di Sini, Kau di Seberang; 2008)

Puisi di atas saya buat saat dilanda galau dan risau *halah* setelah mendapati fenomena ‘warna-warni’ itu. Jalan dakwah ini, saya analogikan sebagai sebuah perjalanan panjang, berliku, sepi, penuh hambatan dan rintangan, namun berujung pada sebuah titik yang dijanjikan; cahaya jannah. Namun, jalan tersebut ternyata memiliki beberapa sisi yang kemudian diisi oleh berbagai macam warna tadi. Maka saya berada di salah satu sisinya, dan mungkin saudara saya yang lain berada di sisi seberangnya. Maka dalam perjalanan itu, kadang sesekali kami akan saling memandang, namun sayangnya, terkadang pula saling memicingkan mata, sinis. 

Entahlah. Namun, ada saja kita dapati fakta dimana antar kelompok yang sama-sama mengaku ahlussunnah, tapi kemudian sibuk saling mencela. Saling menggugat dengan gugatan yang caranya tidak begitu ahsan. Seolah itu semuanya bisa menunjukkan kepiawaian kelompoknya masing-masing. Miris rasanya. Padahal, dalam waktu yang sama, orang-orang diluar sana sedang sibuk memborbardir Islam; percaya diri dengan ahmadiyah, begitu bangga mengaku Syi’ah, terang-terangan berpemikiran liberal dan sekular, belum lagi dengan kaum kafir yang memang telah nyata azzamnya untuk menenggelamkan ummat ini. 

Ngeri rasanya membayangkan, bahwa saat para penuntut ilmu sibuk saling mencaci dan mencari kesalahan ‘kelompok lain’, pada saat itu pula tentara zionis sedang menembaki kepala bocah Palestina, ada pula yang semangat mendakwahkan nikah mut’ah, ada yang heboh mempertanyakan dalil yang telah jelas tafsirnya, dan para penggiat dunia hiburan tengah sumringah menghitung hasil penjualan tiket Lady Gaga. Aih...

Jujur, saya juga sempat, dan mungkin tanpa sadar terkadang bertingkah berlebihan dalam menanggapi masalah perbedaan ini. Namun, tanpa bermaksud membenarkan bahwa perbedaan adalah rahmat (setau saya hadits ini tidak kuat landasannya), tapi bukankah selama kita masih disatukan dengan kalimat tauhid, maka saat itu pula saudara kita itu berhak dijaga nyawa, harta, dan kehormatannya. Pun mereka tetap memiliki hak untuk mendapatkan nasihat dengan cara yang hikmah jikapun mereka berada pada jalur yang salah. Pada beberapa hal-hal yang mungkin telah menjadi prinsip, maka memang tidak dapat buru-buru untuk kita paksakan titik temunya. Namun selebihnya, ada ukhuwah islamiyah yang mempersatukan kita. Ada kesamaan aqidah yang dahulu juga menjadi dakwah sejak zaman nabi Adam. Ada syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Shallalahu ‘alahi wasallam yang bersama-sama berusaha kita ejawantahkan dalam kehidupan. 

Bahwa selalu ada upaya untuk ‘mendekatkan’ tiap kelompok melalui diskusi ilmiah dan metode-metode lainnya, saya rasa itu pun akan terus diupayakan oleh para mereka yang berkompetan di dalamnya. Selebihnya, saya pribadi yang miskin ilmu ini merasa; akan lebih indah untuk memandang hal ini dari persamaan yang ada saja, apalagi jika perbedaan itu pun belum kita ilmui secara paripurna.

Kita belajar dan menemukan keindahan Islam dalam lingkaran kita masing-masing. Jika dalam perjalanan itu ada manfaat yang besar bagi kehidupan akhirat kita, maka kita berharap dapat berlomba untuk memperolehnya. Jika pun kemudian kita menemukan bahwa ternyata ada kesalahan fatal dari apa yang selama ini kita jalani, maka kita berharap bisa menjadi orang pertama yang berusaha untuk memperbaikinya, kembali kepada kebenaran dengan sebaik-baiknya cara.
 
Maka tulisan ini dibuat bukan justru untuk melemahkan langkah kita yang telah memilih pada satu sisi jalan dakwah. Justru, semoga membuat kita semakin fokus dalam melihat apa yang sebenarnya sedang kita hadapi. Menyusun prioritas atas apa yang seharusnya kita tanggapi. Tidak lagi sibuk membuang-buang waktu dengan sesuatu yang tidak kita mengerti. Dan terpenting, untuk meluruskan keikhlasan atas keberadaan kita di jalan ini. 

Maka pertanyaan retoris dari seorang kakak seketika terdengar kembali; “Setelah langkah yang begitu jauh, masih pantaskah kita meragu?” 

Request by Kak Betrin. Cuma ini yang bisa saya tulis, kak..
Makassar, 23 Maret 2012 

6 komentar:

  1. Setuju dengan Diena. Syukurlah kalau Diena berpendapat : " ...akan lebih indah untuk memandang hal ini dari persamaan yang ada saja, apalagi jika perbedaan itu pun belum kita ilmui secara paripurna..."

    Sy sudah sering mendengar orang2 dalam - apa istilahnya - yang jelas mereka 'berbeda' berkeras bahwa tak ada jalan untuk duduk manis bersama, juga yang saling mencibir, padahal sekilas pakaian sama persis. Sy sering kecewa ...

    Satu lagi. Sy juga sering mendapati yang tak sungkan menilai orang lain, misalnya shalatnya atau ibadah2 lainnya. Krn merasa sudah sering ikut pengajian, sudah dalam jama'ah yang benar.

    Ada pula bbrp hal lain .. tapi bakal kepanjangan kalo ditulis semua ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kak. Semoga kita semua bisa menjadi orang-orang yang selalu lebih mengedepankan ukhuwah yah :)

      Hapus
  2. Masya Allah cepat sekali, request-an sy jadi...Maafkan jika sy meminta diantara tumpuk tugas..Tapi betul2 mengharukan,.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah...
      Begitulah kalau requestnya lagi sejalan dengan suasana hati, kak
      Sila dihamburkan ke twitterland :)

      Hapus
  3. setelah membaca tulisan ini, yang pertama muncul adalah "this represents a lot" lalu disusul "wah, cepat sekali respon ke requestannya!" :D
    barakallahu fiyk, Diena! sincerely, Niena. *halahMaksa* ;D

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)