Minggu, 18 Maret 2012

Ketika Penulis Jatuh Cinta (part3)


“Menurutmu, apa kisah cinta yang paling romantis?” tanyanya suatu kali, “Romeo dan Juliet? Fahri dan Aisha? Cinderella dan Pangeran? Atau apa?”

Saya tersenyum mendengarkan pilihan jawabannya. Entah pula mengapa ia tiba-tiba melayangkan pertanyaan itu. Bahwa saya memang kadang membuat puisi romantis sebagai hadiah saudari-saudari di hari pernikahannya, memang iya. Namun, tidak selalu berarti bahwa saya penikmat kisah romantis ataupun orang yang romantis juga, khan? Tapi, tak mengapa. Saya ladeni saja pertanyaan itu.

“Mau tahu, kisah yang menurut saya paling romantis?” ucap saya sambil memandang bola matanya yang kini berbinar.


Takdir Allah mengantarkannya keduanya untuk berjumpa. Ya, perjumpaan yang semula sama sekali tidak terlalu berpotensi untuk menimbulkan celah kekaguman itu. Terlebih lagi, sebab yang wanita adalah seorang saudagar kaya nan cerdas dan jelita. Sedangkan sang pemuda didaulat menjadi salah satu pekerja bawahannya. Namun, segala hal bisa saja terjadi jika Allah telah menggariskan demikian. Lewat pribadinya yang terpercaya dan sejak awal memang memesona, mudah saja bagi Allah untuk menyisipkan perasaan itu ke hati sang wanita. Seorang wanita matang yang sebenarnya telah banyak diinginkan oleh para lelaki-lelaki kaya dan gagah, namun ditolaknya mentah-mentah.

Maka, perjumpaan dengan pemuda itu telah mengalihkan perhatiannya. Ditambah lagi dengan cerita dari Maysarah, pembantu yang ikut dalam tugas perdagangan yang diamanahkan kepada sang pemuda. Maka bergulirlah kisah tentang kecerdikannya, kejujurannya, dan begitu banyak sifat baik yang melekat pada sang pemuda. Dan perasaan itu pun, menemukan labuhannya. Wanita ini segera menemukan jalan lewat kawannya, Nafisah yang menjadi penyampai perasaan yang selama ini ia pendam.

Gayung bersambut. Pemuda ini juga ternyata memendam hal yang sama. Maka lewat jalur-jalur yang telah ditentukan, keduanya mengikatkan diri dalam sebuah pernikahan dengan mahar dua puluh ekor unta muda itu.

Hidup bahagia selamanya memang hanya ada di dongeng-dongeng picisan belaka. Sebab sejatinya, berbagai macam lika-liku hidup baru bermunculan justru setelah dua hati telah terpautkan. Demikian pula dengan pasangan ini. Pasangan yang ternyata diberikan tugas yang begitu berat dari Rabbnya. Sebuah tugas yang muncul pertamakali gaungnya dalam sebuah perjumpaan lelaki itu dengan malaikat penyampai wahyu di dalam sebuah gua. Gua Hira, namanya.

Ada rasa takut yang mencekam pada diri lelaki itu. Maka, ia tahu kemana ia harus pergi. Dengan tubuh yang menggigil tersebab kaget bercampur takut itu, ia segera menuju rumah dimana sang istri telah setia menanti. Mendapati sang suami dalam kondisi yang begitu membingungkan, wanita ini paham betul, bukan saatnya ia bertanya macam-macam. Ya, ia memilih untuk tetap tenang dan melakukan apa yang dipinta oleh lelaki itu. Menyelimutinya. Bibirnya tidak cerewet dengan berbagai macam kata-kata yang mungkin saja akan semakin mengusik ketenangan lelakinya. Mungkin, itulah tautan hati yang membuat keduanya menjadi saling memahami. Tautan hati itu pula yang membuatnya mengucap kata-kata yang memberi ketenangan luar biasa pada diri sang suami.

“Tidak, demi Allah. Allah tidak akan menghinakanmu selamanya. Engkau suka menyambung tali persaudaraan, ikut meringankan beban orang lain, memberi makan orang yang miskin, menjamu tamu, dan menolong orang yang menegakkan kebenaran.”

Ucapan penuh cinta itu menjadi sejarah manis yang mewarnai kisah keduanya. Maka hari itu, sang lelaki; Muhammad bin Abdulullah menerima tugas berat dari Allah sebagai Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam. Dan sang wanita, adalah Khadijah binti Khuwailid, ummul mukminin pertama, ibunda kita semua, yang selanjutnya mengajarkan kita begitu banyak hikmah.

Maka tahun kesepuluh nubuwah merupakan tahun dengan duka yang datang bertumpuk-tumpuk. Setelah kepergian paman Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam, paman yang telah melindunginya dengan perlindungan yang begitu luar biasa, namun pada akhirnya berpulang dalam keadaan tidak memperoleh cahaya hidayah, kesedihan jelaslah datang menimpa diri sang Rasul. Kira-kira dua atau tiga bulan selepas kejadian tersebut, wanita yang paling dicintainya itu pun turut meninggalkannya.

Kepergian Khadijah Radhiyallahu ‘anhuma menjadi sebuah kedukaan yang mendalam di sisi beliau. Wanita yang telah mendampingi masa-masa beratnya itu, tidak dapat lagi turut berada dalam perjalanan selanjutnya yang tidak kalah beratnya. Dengan hati duka dan diserbu rindu, dikenangnya sosok perempuan yang agung itu,

“Dia beriman kepadaku saat semua orang mengingkariku, membenarkan aku selagi semua orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang menahannya. Dan Allah menganugrahkanku anak darinya selagi wanita selainnya tidak memberikannya kepadaku”.

MasyaAllah... Demikianlah kisah penuh romantika itu membentang sebagai sejarah yang tidak terbantahkan. Dilakonkan oleh tokoh-tokoh nyata, yang nyata pula keteladanannya. Tahun-tahun keduanya lalui dengan saling mendukung dan menjaga. Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam tidak menikah lagi selama Khadijah masih hidup. Sebuah hal yang tidak dilakukannya kepada istri-istri setelahnya.

Dan perihal pernikahan sang Rasul selanjutnya tersebut, kini sering menjadi buah bibir yang agaknya cukup sepat untuk para kaum wanita. Namun, seorang guru menasihatkan, bahwa apapun yang seorang muslimah rasakan terhadap syariat tersebut, maka tanggapilah sebagaimana seorang yang beriman menanggapinya.

Bahwa seorang wanita memang senantiasa mengedepankan perasaannya, memang merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri. Namun, bukankah perasaan pun sudah seharusnya tunduk pada perintah Allah? Maka jika memang sepat itu masih dominan terasa, maka lebih baik diamlah saja. Tidak perlu berpanjang kata atas apa yang mungkin tidak begitu dalam kita ilmui. Tentang hukumnya, apakah ia adalah sunnah, atau sebatas mubah, atau justru menikah hanya dengan satu wanita adalah sebuah bentuk rukhshah (keringanan) dari Allah. Agaknya setiap kita tidak boleh tergesa-gesa dalam menanggapinya, apalagi dengan ilmu yang dangkal, bahkan mungkin tidak ada.

Maka, meski mungkin belum layak untuk disebut sebagai penulis, ijinkan saya menjudulkan tulisan ini dengan judul di atas. Untuk sebuah kisah cinta yang paling romantis bagi saya.


“Apakah kamu sedang jatuh cinta?” lanjutnya bertanya.

“Ya, sepertinya.” Ujar saya, tersenyum. “Saya jatuh cinta pada kisah cinta Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam dengan kekasihnya, cinta sejatinya, istri yang selalu dikenangnya; Khadijah Radhiyallahu ‘anhuma”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)