Assalamu alaikum warahmatullahi
wabaraktuh
Teriring salam keselamatan,
rahmat, dan keberkahan untukmu.
Ibu Pertiwi, kutuliskan surat ini
untukmu, meski sebenarnya aku pun tidak benar-benar tahu siapa yang dimaksud
dengan kau. Tapi, sebab tidak lagi aku tahu kepada siapa surat ini harus
kulayangkan, maka kutulis saja ia untukmu. Beberapa tempo yang lalu, telah pula
kutuliskan sepucuk surat untuk Ayahanda Presiden. Tapi sepertinya ia belum
membacanya. Bersama suratku, telah terbukukan pula surat dari saudara-saudaraku
yang lain, mereka membicarakan tentang banyak hal. Kupikir, seharusnya Ayahanda
membaca semua surat-surat itu.
Wahai Ibu,
Entah mengapa, kini anak-anakmu
seolah sudah tidak lagi saling mengenal. Mereka saling melempar batu,
menyemprotkan gas air mata, menembaki, dan memukuli. Mereka rusuh dan saling
menghujat. Mereka saling menghalangi jalan dan berbagai macam ketidakdamaian
yang tidak pernah Engkau ajarkan. Semua itu terjadi beberapa hari belakangan
ini, pasca pemimpin kami mengumumkan bahwa harga BBM akan dinaikkan.
Ibu, mereka di atas sana kadang
berkata, bahwa subsidi BBM itu hanya akan dinikmati oleh orang-orang kaya. Ya,
kupikir juga demikian. Tapi ternyata, jika harga BBM naik, semua harga-harga
lain pun ikut meroket, sehingga semua orang pun terkena dampaknya, Pukul rata,
Ibu. Maka aku akhirnya menjadi bingung, pun dengan bantuan langsung yang
dibayarkan kepada rakyat miskin, yang nampak sangat rentan untuk dikorupsi dan
diselewengkan itu.
Para orang-orang cerdas itu
muncul dan berbicara di televisi. Mereka menguraikan pendapat dan alasan mereka
masing-masing, plus dengan hitung-hitungan harga minyak dan berbagai macam
hitungan lain. Aku berusaha memahaminya, Ibu. Aku berusaha mengerti apa yang
mereka perbincangkan dan apa yang mereka hitung. Bukankah pemahaman akan
memberikan kita cara yang lebih bijak untuk memandang sesuatu? Tapi pada
akhirnya, aku tetap tidak dapat memahami; mengapa mereka saling berdebat dan
membuat segalanya menjadi nampak begitu rumit? Mengapa mereka tidak dapat
bersepakat dan membuat kebenaran hanya satu saja? Ah, aku tetap tidak mengerti.
Ibu, nampaknya segala resah yang
berujung pada rusuh ini, bukan hanya tentang harga BBM itu. Kupikir, ini adalah
akumulasi dari kekecewaan bertumpuk-tumpuk; rasa lelah menyaksikan para pejabat
dengan hidup mewah, dengan korupsinya, dengan pajak yang diselewengkan, dengan
saling sikut mengejar jabatan.
Zaman ini mungkin memang terpaut
jauh dengan masa itu; saat orang-orang gemetar ketakutan saat akan diangkat
menjadi pemimpin. Tapi, justru itu lebih masuk dengan logikaku. Aku justru
heran, dengan masa kini dimana mereka berlomba-lomba untuk menjadi ‘kepala apa
saja’. Apa mereka lupa bahwa di akhirat kelak akan berhadapan dengan ratusan
bahkan jutaan jiwa yang mereka pimpin semasa di dunia? Bukankah itu mengerikan,
Ibu?
Sementara carut marut terjadi di
setiap sudut, tapi Ayahanda Presiden tidak jua menunjukkan dirinya. Kupikir, ia
perlu untuk muncul menenangkan rakyatnya. Toh, konon dulu dia dipilih oleh
rakyat kebanyakan, bukan? Apakah dia sudah terlampau sibuk dengan urusan
lainnya? Entahlah... Kawan-kawan Ayah justru semalam suntuk berdiskusi panjang
dan akhirnya memutuskan bahwa harga BBM akan ditangguhkan kenaikannya. Hmm...,
rupanya perjuangan masih akan sangat panjang.
Ibu, bumi Allah ini memang
sangatlah luas. Namun kami akhirnya harus sadar, bahwa Indonesia-lah yang telah
ditakdirkanNya untuk kami semua. Maka kini, setelah kami lelah meminta kepada
penguasa, agar memimpin kami dengan kebijakan-kebijakan yang lebih mendamaikan
jiwa dan memudahkan hidup, rupanya, pada akhirnya kami harus kembali tersungkur
dan sujud berdoa kepadaNya; sebaik-baik Pendengar. Agar kami, diberikan
kekuatan untuk menjalani kehidupan di atas bumi Indonesia, meski mungkin dengan
berat terasa.
Makassar, 31 Maret 2012
Anakmu,
Diena Rifa’ah Amaliah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)