Jumat, 30 Maret 2012

Surat kepada Ibu Pertiwi

Assalamu alaikum warahmatullahi wabaraktuh
Teriring salam keselamatan, rahmat, dan keberkahan untukmu.

Ibu Pertiwi, kutuliskan surat ini untukmu, meski sebenarnya aku pun tidak benar-benar tahu siapa yang dimaksud dengan kau. Tapi, sebab tidak lagi aku tahu kepada siapa surat ini harus kulayangkan, maka kutulis saja ia untukmu. Beberapa tempo yang lalu, telah pula kutuliskan sepucuk surat untuk Ayahanda Presiden. Tapi sepertinya ia belum membacanya. Bersama suratku, telah terbukukan pula surat dari saudara-saudaraku yang lain, mereka membicarakan tentang banyak hal. Kupikir, seharusnya Ayahanda membaca semua surat-surat itu.

Wahai Ibu,
Entah mengapa, kini anak-anakmu seolah sudah tidak lagi saling mengenal. Mereka saling melempar batu, menyemprotkan gas air mata, menembaki, dan memukuli. Mereka rusuh dan saling menghujat. Mereka saling menghalangi jalan dan berbagai macam ketidakdamaian yang tidak pernah Engkau ajarkan. Semua itu terjadi beberapa hari belakangan ini, pasca pemimpin kami mengumumkan bahwa harga BBM akan dinaikkan.

Ibu, mereka di atas sana kadang berkata, bahwa subsidi BBM itu hanya akan dinikmati oleh orang-orang kaya. Ya, kupikir juga demikian. Tapi ternyata, jika harga BBM naik, semua harga-harga lain pun ikut meroket, sehingga semua orang pun terkena dampaknya, Pukul rata, Ibu. Maka aku akhirnya menjadi bingung, pun dengan bantuan langsung yang dibayarkan kepada rakyat miskin, yang nampak sangat rentan untuk dikorupsi dan diselewengkan itu.

Para orang-orang cerdas itu muncul dan berbicara di televisi. Mereka menguraikan pendapat dan alasan mereka masing-masing, plus dengan hitung-hitungan harga minyak dan berbagai macam hitungan lain. Aku berusaha memahaminya, Ibu. Aku berusaha mengerti apa yang mereka perbincangkan dan apa yang mereka hitung. Bukankah pemahaman akan memberikan kita cara yang lebih bijak untuk memandang sesuatu? Tapi pada akhirnya, aku tetap tidak dapat memahami; mengapa mereka saling berdebat dan membuat segalanya menjadi nampak begitu rumit? Mengapa mereka tidak dapat bersepakat dan membuat kebenaran hanya satu saja? Ah, aku tetap tidak mengerti.

Ibu, nampaknya segala resah yang berujung pada rusuh ini, bukan hanya tentang harga BBM itu. Kupikir, ini adalah akumulasi dari kekecewaan bertumpuk-tumpuk; rasa lelah menyaksikan para pejabat dengan hidup mewah, dengan korupsinya, dengan pajak yang diselewengkan, dengan saling sikut mengejar jabatan.
Zaman ini mungkin memang terpaut jauh dengan masa itu; saat orang-orang gemetar ketakutan saat akan diangkat menjadi pemimpin. Tapi, justru itu lebih masuk dengan logikaku. Aku justru heran, dengan masa kini dimana mereka berlomba-lomba untuk menjadi ‘kepala apa saja’. Apa mereka lupa bahwa di akhirat kelak akan berhadapan dengan ratusan bahkan jutaan jiwa yang mereka pimpin semasa di dunia? Bukankah itu mengerikan, Ibu?

Sementara carut marut terjadi di setiap sudut, tapi Ayahanda Presiden tidak jua menunjukkan dirinya. Kupikir, ia perlu untuk muncul menenangkan rakyatnya. Toh, konon dulu dia dipilih oleh rakyat kebanyakan, bukan? Apakah dia sudah terlampau sibuk dengan urusan lainnya? Entahlah... Kawan-kawan Ayah justru semalam suntuk berdiskusi panjang dan akhirnya memutuskan bahwa harga BBM akan ditangguhkan kenaikannya. Hmm..., rupanya perjuangan masih akan sangat panjang.

Ibu, bumi Allah ini memang sangatlah luas. Namun kami akhirnya harus sadar, bahwa Indonesia-lah yang telah ditakdirkanNya untuk kami semua. Maka kini, setelah kami lelah meminta kepada penguasa, agar memimpin kami dengan kebijakan-kebijakan yang lebih mendamaikan jiwa dan memudahkan hidup, rupanya, pada akhirnya kami harus kembali tersungkur dan sujud berdoa kepadaNya; sebaik-baik Pendengar. Agar kami, diberikan kekuatan untuk menjalani kehidupan di atas bumi Indonesia, meski mungkin dengan berat terasa.
Makassar, 31 Maret 2012
            Anakmu,
Diena Rifa’ah Amaliah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)