Minggu, 19 Januari 2020

[Resensi] Rasulullah Pendidik Sukses

Tidak diragukan lagi bahwa pendidikan memegang pengaruh yang sangat penting dalam kemajuan sebuah bangsa, bahkan kemajuan sebuah peradaban. Islam, sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh juga menempatkan posisi pendidikan dan ilmu pada tempat yang sangat penting dan mulia. Berbagai isyarat ditunjukkan mengenai hal ini, di antaranya bahwa ayat yang pertama kali turun adalah tentang perintah untuk membaca juga bagaimana seorang ulama ditempatkan pada posisi yang begitu terhormat dalam agama ini. 

Pendidikan dalam hal ini tentunya bukan hanya menyangkut pada aspek ilmu pengetahuan secara umum, namun tentunya disertai dengan pemahaman agama yang mumpuni sebagai aspek yang sangat menentukan dalam proses filterisasi ilmu yang diterima oleh seorang muslim. 

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sebagai uswah dan qudwah terbaik tentunya juga menjadi sumber inspirasi utama dalam proses pendidikan itu sendiri. Bagaimana beliau shalalllahu alaihi wasallam sebagai seorang rasul juga tentunya merupakan sebaik-baik pendidik yang telah menghasilkan generasi terbaik yang pernah hidup di muka bumi ini. Generasi para shahabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in adalah contoh nyata dari keberhasilan proses pendidikan yang dijalankan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. 

Berangkat dari perhatian yang besar tentang masalah ini, Prof.Dr. Fadhl Ilahi menulis sebuah buku dengan judul Rasulullah Pendidik Sukses (Meneladani Rasulullah dalam mencetak generasi sukses dunia). Buku ini akan mengupas secara tuntas tentang bagaimana teladan yang dicontohkan oleh pendidik terbaik sepanjang masa, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam menjalankan proses pendidikan itu sendiri sehingga sukses mengantarkan para shahabat bukan hanya unggul dari sisi ilmu, namun juga menjadi pribadi-pribadi terbaik secara utuh. Akan dibahas empat puluh lima masalah yang diambil sebagai faidah dari sirah Nabi Shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang guru dengan menjadikan al Qur’an dan hadits Nabi yang mulia sebagai referensi utama, di mana faidah dari ayat atau hadits yang dibahas diambil dari keterangan para ahli tafsir dan hadits. Kelebihan lain dari buku ini adalah, pembahasannya yang ringkas dan padat, namun di bagian-bagian tertentu juga mengisyaratkan faidah-faidah lain yang berkaitan dengan topik pembahasan yang sedang dipaparkan. Selain itu, juga terdapat keterangan tentang kata-kata asing yang digunakan, untuk menyempurnakan dari penjelasan-penjelasan faidah yang dibahas. Serta dicantumkan pula referensi dan sumber dari daftarnya sehingga mempermudah pembaca yang ingin melakukan penelusuran lebih lanjut.

Pada empat pembahasan pertama dalam buku ini, digambarkan bagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sangat memberikan perhatian pada masalah teknis yang berhubungan dengan penyampaian ilmu dan proses pendidikan itu sendiri. Hal ini terkadang menjadi sesuatu yang sederhana namun luput dari perhatian, dan seringkali dianggap tidak begitu penting. Diletakkannya pembahasan ini pada bagian awal juga merupakan satu isyarat bahwa terkadang permasalahan teknis yang terkesan sepele justru bisa jadi membawa pengaruh yang besar dalam proses pendidikan. Digambarkan bagaimana Rasululllah Shallallahu alaihi wasallam senantiasa memilih ta’lim-nya pada waktu yang sesuai. Pemilihan waktu ini tentu menjadi bervariasi tergantung dari kondisi yang beliau hadapi kala itu. Misalnya pemilihan waktu selepas shalat Isya, mendekati pertengahan malam, setelah bangun tidur di malam hari, dan setelah berlalu dua per tiga malam. Hal ini bisa menjadi referensi bagi seorang pendidik untuk memperhatikan masalah pemilihan waktu ini sehingga mampu mendapatkan hasil yang efektif dan efisien dalam proses mentrasnfer ilmu. 

Selain pemilihan waktu, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga memilih tempat yang tepat dalam melakukan proses pendidikan. Masjid, rumah untuk mengajar kaum wanita, kota Mina, dan ketika safar, merupakan contoh tempat-tempat yang dipilih oleh sang Rasul. Selain tempat dan waktu, objek dakwah juga menjadi satu concern tersendiri yang diperhatikan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Keluarga terdekat, kaum kerabat, para shahabat dekat, pemuda, anak-anak, kaum wanita, suku Arab Badui, dan para muallaf adalah kelompok-kelompok tertentu yang menerima pendidikan langsung dari Rasulullah yang masing-masing memiliki karakteristik khusus, sehingga berbeda pula dalam metode pendidikannya. Syaikh menguraikan kesemuanya itu dengan untaian sirah yang penuh dengan faidah sehingga kita seolah diajak untuk menelusuri betapa jeniusnya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam menghadapi objek dakwahnya. 

Berbagai kesempatan-kesempatan khusus juga tidak luput dari perhatian Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam untuk mengambil kesempatan dalam menjalankan proses pendidikan. Bulan purnama, gerhana bulan, momentum saat para shahabat menyaksikan kasih sayang seorang ibu kepada bayinya, bahkan saat seorang shahabat cemburu kepada istrinya, menjadi momen-momen yang tidak dilewatkan oleh beliau dalam memberikan pengajaran kepada anak didiknya. Hikmah dan ilmu menjadi sesuatu yang seolah sangat mudah untuk dipetik pada kondisi-kondisi tertentu sehingga dapat tertancap di dalam hati para shahabat kala itu, bahkan dari hal-hal yang sederhana sekalipun. 

Kemudian pada tujuh bagian selanjutnya, digambarkan bagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengikat hati pada anak didiknya, sehingga proses penyampaian ilmu dan pendidikan tersebut dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang guru yang mulia, tidak kemudian menciptakan jarak dengan anak didiknya, namun justru mereduksi jarak tersebut, sehingga terciptalah kelekatan. 

Beliau mencontohkan bagaimana senantiasa menyambut gembira kedatangan seorang penuntut ilmu, mendekat secara fisik kepada orang yang ia ajak bicara, memposisikan duduknya sehingga menghadap ke arah pendengar, dan pendengarnya pun menghadap ke arahnya, menggunakan panggilan yang mengakrabkan dengan lawan bicara, menyentuh anggota badan murid untuk menunjukkan kasih sayang, perhatian, dan memberikan pengaruh yang besar dalam proses pendidikan, serta menepuk murid untuk memberi peringatan dan menunjukkan keramahan. 

Lalu memasuki bagian-bagian selanjutnya, kita akan disuguhkan dengan pengalaman dalam membersamai majelis Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Akan dibahas tentang bagaimana cara beliau dalam menyampaikan ilmu . Tentang bagaimana jelas dan tenangnya beliau dalam berbicara, bagaimana Rasulullah mengulangi ucapannya demi memberikan penekanan akan suatu maksud yang penting, terkadang pula beliau menggunakan isyarat, atau memanfaatkan alat berupa garis dan gambar untuk menjelaskan sesuatu. Tak jarang pula kita menemui Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam menggunakan perumpamaan-perumpamaan. Dan tentunya, beliau sebagai uswah dan qudwah terbaik juga senantiasa mengajarkan sesuatu bukan hanya dengan lisannya, namun langsung dengan mencontohkan dalam perbuatannya. 

Kemudian ada momen-momen tertentu di mana sang Rasul menggunakan metode perbandingan, kadang pula dengan metode pertanyaan, tak jarang juga dengan melontarkan soal-soal. Penyampaiannya pun sistematis, sehingga para shahabat mudah untuk memahami konsep besar dari sebuah ilmu, dengan cara menjelaskan sesuatu terlebih dahulu secara umum, baru kemudian merincinya dalam poin-poin yang khusus. Hal-hal tertentu yang terkadang juga sensitif untuk dibahas, tidak luput dari pengajaran beliau, dan beliau tidak malu untuk menyampaikannya. 

Dalam menanggapi pertanyaan dari muridnya, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah sosok yang sangat toleran. Beliau tidak segan untuk memuji pertanyaan yang bagus, serta terkadang menjawab dengan sesuatu yang lebih dari yang ditanyakan. Namun, kita kembali belajar tentang bagaimana adab dan akhlak beliau yang mulia, yakni bagaimana sekelas nabi shalallahu alaihi wasallam saja, bahkan memilih untuk diam terhadap hal-hal yang belum beliau ketahui dengan pasti. Serta bersikap lapang dada ketika diingatkan, bahkan beliau sendiri yang menganjurkan para shahabat untuk membetulkan bacaan beliau ketika shalat. Sebuah bentuk ketawadhuan yang luar biasa dari seorang guru terbaik sepanjang masa, di saat hari ini kita terkadang mendapati orang-orang berilmu yang ilmunya membuatnya tak lagi mampu menerima masukan dari manusia lainnya, bahkan meski hal tersebut adalah sebuah kebenaran. Naudzubillah...

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam dalam berinteraksi dengan para muridnya juga menggunakan metode dua arah di mana bukan  beliau melulu yang ‘mendominasi’ sebuah majelis. Dalam beberapa riwayat, digambarkan bagaimana beliau memberi kesempatan kepada muridnya untuk bercerita di hadapannya. Juga memberi kesempatan untuk mengulang pelajaran kepada beliau sehingga ilmu yang diajarkan benar-benar melekat dengan kuat dalam hati anak didiknya. 

Dibalik sikap lemah lembut Rasulullah sebagai seorang pendidik yang tidak diragukan lagi, ternyata sejarah juga mencatat bahwa ada sisi ketegasan yang tidak juga ditinggalkan secara penuh. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam juga pernah marah dalam beberapa kesempatan ketika para shahabat kurang memahami sesuatu yang telah beliau ajarkan. Seperti saat beliau mendapati adanya dahak di dalam masjid, atau tatkala shalat diperpanjang tanpa memperhatikan kondisi orang-orang yang menjadi makmumnya. Hal ini menunjukkan bahwa memadukan kelembutan dengan ketegasan dalam proses pendidikan bukanlah sesuatu yang mustahil. Dan bahwa ada hal-hal tertentu yang memang memerlukan sikap lebih ‘keras’ agar menjadi perhatian bagi anak didik.

Selain itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam juga mencontohkan sikap untuk tidak membedakan murid-muridnya terutama dari sisi strata sosial. Bahkan, beberapa riwayat menunjukkan bagaimana beliau justru lebih mengutamakan murid-muridnya yang tergolong berkekurangan dari sisi harta. Rasul juga merupakan seorang guru yang sangat memperhatikan keadaan anak didiknya sekaligus senantiasa memuliakan shahabat-shahabat yang utama. Sisi evalusia dari seorang guru juga ditunjukkan oleh Rasul tatkala beliau senantiasa memperhatikan pengaruh ucapan dan perbuatannya terhadap para shahabat. Perhatian yang besar juga tercermin manakala beliau menghapal satu per satu murid-muridnya dengan merasa kehilangan manakala ada seorang murid saja yang tidak beliau jumpai dalam satu waktu. Ditengah keilmuan beliau yang tidak tertandingi, Rasul merupakan sosok pengajar yang selalu memberi kemudahan pada murid-muridnya serta menganjurkan untuk mempelajari hal-hal yang mudah dan dimampui oleh anak didiknya masing-masing. 

Pada akhirnya, membersamai sejarah bagaiamana Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang pendidik yang sukses dalam rentang empat ratusan halaman dalam buku ini, akan senantiasa membawa kita kepada kerinduan yang mendalam atas sosok beliau. Telah diutus Rasulullah Muhammad bin Abdullah Shalallahu alaihi wasallam sebagai guru sejati yang hingga kini pengajarannya telah diabadikan di dalam hadits-hadits yang mulia. Maka tentu telah menjadi kewajiban atas kita semua untuk senantiasa mengambil pelajaran dari kehidupan beliau secara umum, maupun dari sosok pendidik yang ditampakkannya secara khusus sehingga kita mampu untuk membangun kembali generasi terbaik, mengembalikan dengannya kejayaan Islam dan kaum muslimin, biidznillah. Allahumma shalli ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad.... 


Jumat, 17 Januari 2020

Momentum

Begitu banyak hal yang terjadi dalam satu dekade ke belakang ini. Mungkin karena itulah di akhir tahun kemarin, saya terkesan sangat 'niat' untuk melakukan throwback. Mohon maaf jika terkesan turut merayakan pergantian tahun, meski bagi saya, sama sekali bukan tentang itu. 

Hanya saja, sebab penanggalan kita memang masih secara umum menggunakan kalender masehi, sehingga berbagai momentum tersebut terekam dalam almanak matahari, hingga dengan itulah pulalah ia kemudian terkenang. 

Tahun 2010 hingga 2019 memang bukanlah tahun-tahun yang biasa. Ia bukan lagi diisi dengan rutinitas sebagai pelajar sebagaimana dekade sebelumnya dalam hidup saya. Bagi perempuan yang sepantaran dengan saya, rentang masa itu adalah tentang usia dua puluh hingga tiga puluh. Fase quarter life crisis yang berisi berbagai macam kejadian-kejadian besar. 

Pada saya, usia itu adalah saat di mana saya menuai ketekunan di bidang kepenulisan, dengan memulai debut pertama karya yang diikuti dengan 'adik-adiknya' selanjutnya. Pada masa itu pula pendidikan formal saya berada di penghujungnya, menjadi sarjana dengan berbagai mimpi tentang karir (yang kemudian harus saya kubur sebelum ia hidup), melanjutkan studi profesi, menikah, punya anak, punya anak lagi, juga di saat yang sama salah satu orang tua saya tutup usia. 

Mengenang dekade itu adalah merasakan bagaimana saya menyaksikan kelahiran, kematian, menggapai, melepaskan, masuk ke kehidupan baru, dan melepaskan kehidupan lama. Di fase itu saya pernah merasa berada di puncak bahagia, pun juga puncak kesedihan. Pada kurun sepuluh tahun itu sungguh betapa banyak hal yang terjadi. Yang telah saya rencanakan, maupun yang tak pernah saya bayangkan. Semua itu pada akhirnya, membentuk saya menjadi saya yang sekarang. 

Di tahun-tahun itu pula, saya merenung dengan renungan yang dalam. Memutuskan untuk melepaskan lingkaran homogen yang selama ini adalah zona nyaman saya. Memiliki sebentuk pemikiran baru yang kemudian secara otomatis menjadi filter tentang siapa saja yang bersinggungan dengan saya sekarang. 

Saya benar-benar menjadi 'no one'. Tidak terikat dengan apapun dan siapapun kecuali dengan ring pertama dalam lingkaran saya: suami, anak-anak, ibu, dan adik. Saya menjadi tidak punya 'urusan' apapun di luar sana. Sehingga akhirnya, mereka yang tetap terkoneksi dengan saya hanyalah benar-benar mereka yang 'cukup peduli' tanpa memiliki kepentingan apapun. Tidak ada lagi salam sapa basa-basi yang diikuti dengan pembicaraan tentang sebuah urusan. 

Saya kemudian menjadi lebih mampu untuk memahami hal-hal yang bersifat subtansi. Lebih mengerti tentang apa sebenarnya makna perjuangan sejati. Lebih tahu bahwa kehidupan setiap orang akan punya medan juang yang tak sama. Berusaha untuk terus menyamakannya hanya akan membuat kita terkungkung pada tempurung yang kita cipta dari pikiran kita sendiri. Parahnya, ternyata selama ini tanpa sadar saya memiliki standar kemuliaan dan kebajikan yang nampaknya hanya berkiblat pada hal-hal yang artifisial. Sesuatu, yang mungkin tidak akan pernah saya pahami kecuali jika saya berada di titik yang sekarang saya pilih. 

Dulu, sering sekali saya bertanya kepada mereka yang 'pergi'; apakah bagi mereka semua ini menjadi lebih baik? Saat kemudian tanpa sadar saya ikut bersepakat menilai mereka mengalami 'kemunduran', dengan standar yang sejatinya dicipta dari ukuran manusia. Namun saya masih terus menyimpan tanya, bahwa jika jalan kebenaran itu adalah candu, dan seharusnya mereka akan merasa rindu, tapi mengapa nyatanya mereka tak pernah kembali lagi? 

Hingga kemudian saya berada di titik yang sama dan tersadar bahwa semuanya memang tidak seburuk itu. Bahwa ternyata akan selalu ada jalan juang yang berbeda, meski mungkin kita menuju satu titik tujuan yang sama. Dan semua itu sejatinya, boleh-boleh saja. 

Dekade berikutnya kemudian tengah berjalan. Kita tidak tahu seberapa lama jatah umur yang Allah beri. Namun kita selalu punya harapan untuk menjadi lebih baik lagi. Jika ada seseorang yang kepadanya saya ingin berterima kasih, maka ia adalah diri saya sendiri. 

Din, terima kasih telah melalui dekade kemarin dengan caramu. Tidak mudah, tapi kamu telah menjalaninya. Teruslah berjalan, hingga Allah yang memanggil untuk pulang. Teruslah berjuang pada apa yang Allah takdirkan. SurgaNya luas, dan terkadang jalan ke sana sejatinya dekat saja. 

Jumat, 10 Januari 2020

Seorang Isteri yang Menangis di Restoran

“Pasti pengantin baru...” bisik saya kepada Abu Fayyadh yang sedang sibuk dengan ayam goreng pesanannya.

“Tuh cincinnya...”, Abu Fayyadh menengok sekejap pada pasangan yang tengah bergandengan tangan memasuki restoran di mana kami berempat juga sedang menikmati hidangan.

Pasangan suami istri yang nampaknya berusia lebih muda dari kami itu sedang sibuk mencari meja yang kosong. Selanjutnya, keduanya kemudian duduk di posisi tepat pada jarak pandang saya. Membuat saya dengan leluasa dapat memerhatikan mereka sambil menyuapi dua bocah yang sedang sibuk menikmati nasi gorengnya.

“Tapi kok diam-diaman ya, Ba?” saya kembali berbisik pada Abu Fayyadh sambil melirik pada pasangan itu. Insting kepo saya sungguh sedang bekerja dengan baik. Abu Fayyadh mengangkat kedua bahunya. “Eh, ini sambalnya enak...” ujarnya kemudian. Tidak nyambung.

Ya, pasangan muda itu nampak saling diam. Tidak juga sibuk dengan gadgetnya. Keduanya duduk berhadap-hadapan, tapi dengan pandangan mata yang tidak saling memandang. Justru melihat ke arah lain dengan tatapan kosong. Lebih tepatnya, seolah sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.

Perhatian saya kembali teralihkan kepada Fawwaz yang menggeleng saat saya suapi, dan Fayyadh yang menjerit ingin minum, saat kemudian ekor mata saya mendapati sang pria mengusap-usap pundak wanitanya, seolah sedang menenangkan istrinya itu.

“Ba.., kayaknya mereka lagi ada masalah deh...” ujar saya lagi kepada Abu Fayyadh

“Auuu....” ujar Abu Fayyadh dengan ekspresi yang (seolah-olah) peduli.

Sejurus kemudian, sang wanita nampak meraih tissue di hadapannya, lalu mengusap air matanya dengan punggung yang bergetar. Perempuan itu, menangis.

“Istrinya nangis, Ba...” ucap saya lagi. Abu Fayyadh menempelkan telunjuk pada bibirnya. Nampaknya mulai tidak tahan dengan kekepoan saya, ia kini sibuk menyuapi Fayyadh dengan cincau dari gelas es telernya.

Pemandangan itu, membuat saya menghembuskan napas. Saya tidak kenal sama mereka. Saya bahkan tidak benar-benar tahu apakah tebakan saya bahwa mereka adalah pasangan pengantin baru itu benar atau tidak. Tapi, sekiranya memang benar, maka sungguh saya merasa sama sekali tidak heran.

Ya, tentu tidak mengherankan saat kita mendapati bahwa ada pasangan muda yang tengah bermasalah dengan rumah tangganya. Iya, sebab nyatanya membangun rumah tangga yang terus menerus stabil tanpa masalah, nyaris merupakan sebuah kemustahilan.

Rumah tangga yang terdiri dari seorang lelaki dan seorang wanita yang konon berasal dari ‘planet’ yang berbeda, bukanlah tempat yang melulu hanya berisi kebahagiaan saja. Akan ada ujian. Ada masalah. Ada benturan, cekcok, dan perselisihan yang bisa jadi akan menghinggapinya. Perbedaan karakter dan fitrah dasar antara lelaki dan perempuan bisa menjadi alasan yang sangat logis dalam hal ini.

Saat masalah datang, maka kita akan dihadapkan dengan suami yang ingin segera mencari solusi, sementara istri yang terkadang hanya perlu untuk menemukan ruang curahan hati terlebih dahulu. Jika keduanya tidak bisa menurunkan ego untuk berada pada titik tengah, maka suami akan mendapati istrinya sebagai makhluk yang lemah nan suka mengeluh, sementara si istri akan menganggap suaminya sebagai manusia tanpa kepekaan dan tidak bisa menjadi pendengar yang baik. Saat itu terjadi, maka: BOOOM! Benturan, tidak lagi terelakkan.

Belum lagi, saat kita mendapati bahwa ada pihak ketiga, yang merupakan musuh sejatinya manusia, yang mana ia bernama setan, yang sungguhlah berbangga jika berhasil memisahkan antara istri dan suaminya dari ikatan suci mahligai rumah tangga.

Dalah periwayatan Imam Muslim, lewat penuturan Jabir Radhiyallahu ‘anhu, kita akan mendapati bahwa Iblis teramat sangat membanggakan anak buahnya, yakni setan yang berkata; “Aku tidak meninggalkannya (untuk digoda) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan istrinya.”

Maka ya, sebab pernikahan adalah ibadah, karena itulah setan akan merasa sangat bangga jika berhasil membuat kita gagal dalam ibadah yang teramat panjang ini. Naudzubillahi min zalik...

Sebab pernikahan adalah ibadah, maka dengannyalah kita bisa meraih surga. Dengan taat pada suaminya, seorang wanita yang menjaga shalat dan puasanya, serta menjaga kehormatannya, dapat masuk surga lewat pintu yang manapun juga. Dengan memberi nafkah kepada anak istrinya, seorang lelaki dapat mengumpulkan pundi-pundi amalan baik yang dapat mendatangkan ridha dan rahmat Allah.

Tapi, apakah semudah itu? Sayangnya, tidak selalu seperti itu, qaqa...

Saya, baru benar-benar mengerti, mengapa suatu hari dalam sebuah daurah sakinah yang saya ikuti semasa gadis dulu, sang ustadzah berkisah, bahwa kalimat pertama yang ia ucapkan kepada sang suami setelah akad adalah; bantulah saya untuk taat kepadamu....

Sebab nyatanya, ada ego yang harus ditekan, ada kepentingan diri yang harus disingkirkan, dan ada keyakinan kuat yang harus ditancapkan, saat kita dituntut untuk senantiasa taat, bahkan atas perkara yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan kita.

Saya, baru benar-benar menyadari, mengapa memberi nafkah kepada keluarga itu menjadi hal yang begitu penting, saat ternyata, mendampingi suami dari titik nol itu bukanlah perkara yang ringan. Saat pada posisi sebagai anak dulu, kita tidak pernah benar-benar menyadari betapa ayah kita sesungguhnya mengorbankan banyak hal hingga sampai pada titik yang kemudian kita nikmati bersama. Dan, menyaksikan suami harus menyingkirkan segala gengsi, membanting tulang ke sana kemari, termasuk membangun optimisme saat terbentur dengan kegagalan, bukanlah perkara sederhana yang dapat dengan mudah terlewati.

Maka karena itulah, pernikahan tidak bisa hanya dibangun dengan cinta saja. Karena itulah, dalam setiap shalat kita, kita berharap kekuatan dan pertolongan dari Allah untuk memudahkan kita dalam mengarungi biduk rumah tangga. Saat hari ini, seorang suami harus menundukkan pandangan lebih rapat, sebab para wanita mulai kehilangan rasa malunya. Saat hari ini, seorang istri harus bisa lebih mengqanaahkan diri, saat sesama perempuan terkadang ringan saja untuk saling memamerkan perbendaharaan dunia, sehingga perempuan lainnya harus semakin kuat untuk merajut kesyukuran dan kesabaran atas keadaannya.

Maka pada titik kelemahan kita masing-masing, kita berharap, Allah menolong kita melaluinya.

***

Kami sudah akan meninggalkan lokasi tempat menghabiskan weekend siang itu saat kemudian saya kembali berpapasan dengan pasangan di restoran tadi. Raut wajah mereka masih sama seperti tadi. Tapi, telapak tangan keduanya masih saling bergenggam. Erat.

Saya tersenyum.

Sambil dalam hati tersimpan doa, semoga rumah tangga keduanya baik-baik saja.

Sabtu, 04 Januari 2020

♥️

Seumur hidup, tak pernah ada lelaki yang dekat denganku. Tidak bapak, tidak pula kakak lelakiku. 

Sejak paham tentang makna kesedihan, aku selalu berusaha mendekapnya sendiri. Membiarkan malam dan sepi menjadi saksinya. Dan menangis bersama diriku sendiri. 

Hingga Allah menakdirkanmu datang. Merentangkan pelukan dan menawarkan bahu untuk bersandar. Menyeka air mata dan menjadi saksi atas segala rapuhku yang ada. 

Mungkin kini kau adalah manusia yang paling mengetahui tentang aku, melebihi orang tuaku sendiri. Hanya empat tahun kebersamaan hingga sekarang, tapi mungkin telah kau saksikan segalanya. 

Sebuah pesan cinta yang kau tulis di selembar kertas bekas dengan krayon anak-anak ini, saat hatiku tengah kelam, dan kau bertanya mengapa denganmu begitu mudah aku terluka. Dan mungkin, itu sebab aku kembali jatuh cinta kepadamu lebih dalam lagi. 

Terima kasih, sayang. 

Diri dan hatiku mengaminkan dengan penuh. Semoga bersama kita di dunia, hingga berkumpul kembali di surga.