Senin, 31 Juli 2017

Perjalanan 3 Hati: Buku Yang Menjawab Pertanyaan Saya

Sebuah review, apresiasi sederhana atas rilisnya buku Perjalanan 3 Hati, 3 Cerita, 3 Cinta oleh Nafisah, Aisyah, dan Reyhana Ikhwan.

Judul buku: Perjalanan 3 Hati, 3 Cerita, 3 Cinta
Penulis: Nafisah Ikhwan, Aisyah Ikhwan, Reyhana Ikhwan
Editor: Muhammad Fakhrurrazi Anshar
Penerbit: Telaga Aksara
Jumlah halaman: 288 halaman

Selalu ada sisi lain dari kehidupan seseorang. Pun akan selalu ada pertanyaan dari 'orang luar' ketika memandang tentang satu sosok person atau keluarga. Saat sebuah keluarga tumbuh di tengah masyarakat dengan refleksi yang 'tidak biasa' serta membawa output yang luar biasa, berbagai pertanyaan tentu saja akan muncul.

Saat remaja pada umumnya tumbuh dengan kebebasan berekspresi yang kebablasan, menikmati ekspresi cinta semu yang jauh dari makna hakiki, kemudian justru di elu-elukan bahkan difavoritkan dan dijadikan 'goal' oleh remaja lainnya.

Di satu sisi, para pemuda yang berusaha meniti jalan kebenaran, justru terkadang menemukan penentangan dari orang terdekatnya sendiri. Kita sudah sering mendengar kisah hijrah yang diwarnai dengan jilbab yang digunting oleh ibunda yang belum paham ilmunya, atau boikot dari pihak keluarga karena berupaya menerapkan sunnah.

Lalu, bagaimana kehidupan para anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang kondusif untuk berkebaikan? Malah, motivasi terbesar itu hadir dari kedua orang tuanya? Bagaimana saat mereka harus dihadapkan pada aktivitas dakwah orang tuanya yang padat dan 'beban' moril sebagai anak seorang ustadz yang dikenal banyak orang? Bagaimana rasanya saat mereka dikondisikan untuk menghapalkan al Quran, mengerti ilmu syar'i, saat ternyata dalam dada mereka ada mimpi yang lain? Bagaimana jika takdir mengantarkannya untuk berubah status di usia yang masih sangat belia? Adakah pergolakan di dalam hati mereka yang jiwanya masih ingin bebas?

Buku ini, menjawab semua pertanyaan di atas dengan balutan kata-kata yang dituturkan dengan hati plus bahasa nan sastrawi.

Perjalanan 3 Hati ditulis oleh tiga bersaudara Nafisah, Aisyah, dan Reyhana. Buku yang dituturkan secara naratif dengan rasa yang sangat personal ini memang terkesan sebatas menceritakan berbagai kisah dalam keseharian mereka. Namun sejatinya, banyak nilai yang bisa kita petik dari cerita ketiga hafizah muda ini.

Kita akan melihat bagaimana kedua orang tua mereka, biidznillah, sukses membentuk anak-anaknya hingga mampu tertanam pada merena nilai-nilai Islami yang teramat sangat kental. Meminjam istilah Ust Ihsan Zainuddin dalam pengantar buku ini, para penulis buku ini telah sampai pada titik di mana: seorang anak 'memahami jalan hidup' orang tua mereka.

Dari apa yang tertuturkan dalam beberapa bagian di buku ini, nilai itu bukan tertransfer dari ucapan, kata-kata,  dan nasihat secara lisan dari orang tua mereka semata, namun lebih dari itu, yakni melalui teladan langsung berupa perjuangan, akhlak, dan gaya pengasuhan yang terterapkan langsung kepada anak-anaknya. Sebuah nilai parenting yang layak untuk kita renungkan.

''Dan aku telah paham. Bahwa dakwah ini harus terus dilanjutkan. Dan mereka pelanjut itu, seharusnya lahir dari rahim-rahim kita sendiri...'' (hal:12)

Sebagai seorang hafidzah, aroma qur'ani juga menyeruak dengan sangat kental di buku ini. Kita akan diajak oleh Nafisah dan adik-adiknya untuk turut mengharu biru dalam perjuangan mereka menghapalkan kalamullah. Bagaimana kita ikut bergetar ketika membersamai puncak saat seluruh ayat dalam kitab suci itu berhasil mendapatkan sanad hingga sampai kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Sebuah perjalanan religi di tanah Haram yang akan ikut membangkitkan semangat kita untuk berinteraksi dengan al Qur'an.

''Kita akan berekspedisi mencari sanad!'' Wajah Aba berbinar. Demikian pula mataku.'' (hal 104)

Lalu bagaimana dengan cinta? Ya, seperti sampulnya yang didominasi merah muda, buku ini pun memang pekat dengan aroma cinta. Bentuk pengejawantahan cinta yang -menurut saya, antimainstream mengingat usia mereka yang masih sangat belia saat kemudian 'berani' untuk terjun ke belantara pernikahan. Bagaimana Nafisah menghadapi pernikahan di usia dini saat ternyata sekaligus otomatis merubah sosoknya menjadi seorang ibu dua anak? Bagaimana Aisyah menjalani masa pernikahannya di tempat asing lintas benua dari tanah kelahiran? Bagaimana gejolak Reyhana saat debaran hati itu tak kunjung muncul padahal akad telah dilafalkan? Buat yang sudah berkeluarga, bagian-bagian romantis dari buku ini mungkin akan membuat kita senyum-senyum sendiri. Buat yang masih jomblo, hati-hati... jangan sampai malah baper berkepanjangan. Hehe..

''Hari itu, doa-doa yang terpanjat mengangkasa, memberi setitik rasa indh dalam qalbu. Dan hey! Kau tahu, aku belum merasakan apa-apa padanya yang kini resmi jadi suamiku.'' (hal 247)

Namun, tak ada gading yang tak retak. Beberapa kesalahan dalam penulisan dan penggunaan EYD yang kurang tepat rasanya perlu lebih diperhatikan untuk semakin menambah keistimewaan dari buku ini. Tapi terlepas dari masalah teknis kepenulisan tersebut, keberanian ketiga penulis muda ini untuk merilis karya mereka dalam bentuk buku, kemudian mempublikasikannya secara independent namun cukup profesional dan terorganisir, bagi saya sangat patut untuk diacungi jempol. Kita berharap ke depannya masih bisa menikmati karya-karya mereka yang lainnya sehingga bisa terus mengambil pelajaran dan inspirasi dari ketiganya.

Agaknya, cahaya semangat baru dalam dakwah bil qalam sedang mulai berpendar dengan indah. Sebagai pembaca, kita tinggal memilih: ikut menikmatinya, atau tidak. Saya, memilih yang pertama.

3 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)