Selasa, 26 Februari 2013

Apakah Laki-Laki Tidak Pernah Merasakan Rindu?


Kepada para pemuda perantau; sudahkah menanyakan kabar ibunda kalian hari ini?

Kau tahu, tidak banyak lelaki yang benar-benar kukenal sepanjang hiduku. Mungkin, masih bisa dihitung dengan jari-jari sebelah tangan. Tak lebih dari lima! Kau salah satunya. Kali ini ditambah seorang lagi. Mufti Perdana, namanya. Seorang sepupu yang dari garis kekerabatan sebenarnya dekat, namun pernah jauh, dan kini dekat kembali. Wajahnya elok, dengan bentuk bibir yang seperti perempuan. Sejak ia meninggalkan kampung halamannya dan tinggal di rumah, ia telah sukses membuat centil para gadis kecil tetangga, saat ia lewat di depan rumah-rumah mereka, sepulang dari latihan pramuka di Madrasah Tsanawiyah-nya yang tidak jauh dari rumah.

Well, tidak ada yang pernah menyangka, bahwa kau akan berada di tempat yang jauh seperti sekarang. Bahwa kau ternyata mampu hidup terpisah dari keluarga, lalu mengadu nasib di tanah asing. Bertemu dengan orang-orang baru. Bahkan memiliki kehidupanmu sendiri di sana.

Tadi, wanita itu bercerita padaku, tentangmu. Tentangmu yang dahulu katanya sering termuntah-muntah sehabis meminum susu. Ia masih dapat mengenangmu dengan begitu lekat. Entah mengapa kali ini dia tiba-tiba membicarakan itu diantara obrolan kami tadi. Mungkin, sebab ia ingat bahwa hari ini adalah hari kelahiranmu. Tapi, begitu sulit rasanya mengharapkan bahwa kau yang akan menyapa terlebih dahulu lewat jaringan-jaringan nirkabel. Cukup tanyakan kabar saja, pasti itu sudah membuatnya senang. Namun, jangankan itu, sebab ternyata menghubungimu pun saja susahnya minta ampun. Tidak ada lagi tempat untuk menyimpan pesan, begitu kata wanita operator tiap ponselmu di hubungi. Ah, mudah-mudahan itu bukan berarti sudah tidak ada pula tempat di hatimu.

Hingga suatu kali wanita itu berucap; katanya, terkadang ada rasa malu yang menyergap saat ia berniat untuk menanyakan kabarmu. Ia khawatir, jangan-jangan kau akan mengira bahwa ia menginginkan sesuatu darimu. Padahal, meski apa yang telah ia korbankan selama ini untukmu; darahnya, peluhnya, air matanya, bahkan nyawa dan seluruh hartanya, sungguh, ia tidak pernah mengharapkan balasan apa-apa. Sungguh, katanya, ia tetap saja akan malu untuk meminta apapun darimu! Lalu ucapannya itu akan ia simpulkan dalam sederet kalimat yang ditelingaku terdengar begitu pilu; Memang, kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang penggala...

Tapi tetap saja, bagi wanita dan lelaki itu, kau tetaplah anak kebanggaan mereka. Kau tetaplah yang pertama dan yang utama. Yang akan selalu mereka ceritakan kepada kawan-kawannya dengan penuh rasa syukur. Anak lelaki kebanggaan keluarga! Kau bagi mereka, tidak akan terganti dengan siapapun juga!


Melihat keadaan itu, entah mengapa yang seharusnya dapat terasa dekat, justru menjadi jauh. Ah, bahkan bukankah yang kau pelajari bertahun-tahun itu erat kaitannya dengan teknologi yang dapat melipat jarak dan waktu? Lalu mengapa justru kau sendiri yang terjebak dengan dua dimensi tersebut? Tapi sudahlah, aku tidak akan menyalahkanmu. Seorang sahabat yang sangat baik hatinya berkata kepadaku, bahwa mungkin ada hal-hal tentangmu yang belum saja kumengerti, sehingga itu semua membuat seolah ada jarak yang terbentang, atau mungkin tanpa sadar sengaja kita bentangkan. Tapi setahuku sekarang, wanita itu menjadi begitu takut, jika anaknya yang lain turut ‘diculik’ oleh tanah asing. Menghilang dan sulit untuk dihubungi. Pergi dan hanya sesekali mengabari.

Maka seperti yang kutuliskan di awal; aku tidak mengenal banyak lelaki. Jadi, tentang kaum kalian itu, ada sesuatu yang ingin kutanyakan. Kali ini, biarlah kugunakan kata sapaan yang sudah seharusnya kupakai untuk mengabsahkan hubungan kakak-beradik-sedarah diantara kita. Kata sapaan yang justru tidak pernah kuguna sejak kita bocah, entah mengapa. Ya, ada sebuah pertanyaan yang ingin sekali kutanyakan padamu; Kak, apakah lelaki memang tidak pernah merasakan rindu?

Makassar, 25 Februari 2013
Hari ini kau dua puluh enam tahun, khan?
Nampaknya sudah saatnya kau perkenalkan seorang calon kakak ipar,
jika tidak, jangan marah kalau aku yang duluan!

Kamis, 21 Februari 2013

Pikiran-Pikiran yang Tertahan untuk Dituliskan



Ada dua alasan kenapa beberapa hari kemarin saya merasa kepala ini akan segera pecah. Pertama, karena begitu banyak hal yang harus saya jejalkan di dalam otak, demi menghadapi ujian sidang apoteker yang sudah berlalu kemarin. Saya harus mencari-cari sudut-sudut yang masih lowong untuk diselipi dengan ilmu-ilmu dan hapalan itu. Sesak! Yang kedua, karena ada banyak pemikiran yang kemarin-kemarin selalu bisa tersalurkan dengan tuntas lewat tulisan, namun kali ini tidak.

Ya, beberapa hari menjelang ujian sidang, saya memutuskan untuk jeda sejenak dari menulis di blog. You know lah..., menulis di blog bukan hanya tentang memposting rangkaian kata-kata. Sebelum itu, saya harus memulai proses menulis dulu, membacanya berkali-kali, mengendapkannya, lalu minimal 2 sampai 3 kali menghadapi-untuk-mengeditnya kembali, lalu memutuskan apakah saya akan memuatnya di blog atau tidak. Jika ya, maka terpostinglah ia. Jika tidak, maka ia akan masuk folder reject, dan mendekam di dalam hardisk laptop saja. Setelah terposting pun, secara berkala saya akan mengecek komentar yang masuk. Membalas komentarnya, lalu akan terpikir untuk membuat tulisan yang baru. Begitu terus. Dan jika proses itu saya ‘layani’, tentu kegiatan itu akan terlihat lebih menyenangkan daripada belajar farmasi industri, laporan apotek, dan kasus klinik, bukan? Hehehe..

Untungnya, saya masih cukup waras untuk tidak melakukannya. Sesekali bolehlah saya ngintip-ngintip di dunia maya. Tapi tidak untuk keterusan dan melalaikan keharusan belajar, khan. Duh, saya jadi terharu pada diri sendiri.. #eh

Baiklah, sebelum kepala saya pecah duluan karena keinginan menulis yang tertahan, mari kita menulis! Ya, ada beberapa isu yang akhir-akhir ini santer malang melintang dalam dunia pemberitaan di Indonesia. Ada juga fragmen yang turut muncul, namun mungkin tidak terperhatikan. Saya akan mencoba menanggapinya dalam tulisan ini. 

Partai dan Kasus Korupsi

Waktu kecil dulu, saya sering menatap heran kepada bapak yang gemar sekali nonton berita. Sambil menaksir kapan kira-kira bapak memperbolehkan remote TV itu dipencet dan  pindah channel ke acara kartun. Saya akan berpikir; apa enaknya nonton acara yang isinya cuma bicara seputar pemerintahan, harga pasar, dan kurs mata uang? Tapi semakin beranjak dewasa *ceile..*, saya akhirnya malah sering duduk bersama bapak, menonton acara berita bersama-sama. Ikut-ikutan komentar sok tau tentang isu-isu politik. Bertanya ini-itu untuk istilah yang tidak saya mengerti, dan lambat laun akhirnya paham, mengapa terkadang acara berita menjadi mengasyikkan juga.

Nah, akhir-akhir ini santer diberitakan tentang partai-partai yang terjerat kasus korupsi. Biasa, sebenarnya. Saya rasa, sejak zaman reformasi, korupsi agaknya tidak pernah lagi absen dari setiap kasus yang menyedot banyak perhatian. Angka-angka dengan jumlah nol yang banyak digelontorkan. Membuat kita kadang bertanya; jangan-jangan negara kita memang benar-benar kaya?

Lucunya, dengan pengetahuan politik yang minim, saya kadang bingung, dan semakin tidak jelas untuk menentukan yang mana sebenarnya pihak yang benar, dan yang mana yang salah. Setiap pihak, baik KPK, maupun yang diperkarakan oleh KPK, mengklaim dirinya punya bukti kuat untuk menunjukkan kebenaran masing-masing. Begitu berhari-hari, masyarakat disuguhkan dengan kasus-kasus korupsi yang bagai tak berujung-tak berpangkal. Hari ini begitu heboh, lalu di lain hari hilang entah kemana. Kemudian, digantikan dengan kasus lain, tanpa ketahuan bagaimana akhir kasusnya.

Berita yang satu heboh menggantikan berita heboh berikutnya. Satu skandal terkuak, belum mencapai klimaks, skandal lain datang. Saya berharap kebenaran segera dapat diperlihatkan. Namun, saat kemudian bosan dengan politik-politik itu, saya hanya dapat berdoa, sambil berkeyakinan, akan ada hari dimana keadilan tidak akan bisa lagi diputarbalikkan. Saat itu, kita tidak butuh lagi Abraham Samad untuk mengungkapkan apa-apa. Sebab telah ada tangan dan kaki yang akan berbicara.

Biasanya, saat ada kasus-kasus besar yang menyangkut orang besar, maka tunggu saja, kasus itu akan tertutupi dengan heboh kasus terorisme. Minimal, berita tentang sekelompok bersenjata bernama Densus 88 yang tiba-tiba membunuhi orang-orang yang mereka ‘curigai’ telah terkait aksi teror, tanpa pernah diberi kesempatan untuk berbicara panjang lebar, seperti para tersangka korupsi yang berkotek di televisi. Langsung DORR!

Narkoba Artis dan Ujian Sidang

Kasus lain yang tidak pernah bosan diberitakan media akhir-akhir ini adalah kasus kepemilikan narkoba yang terkait pada seorang artis terkenal, yang digerebek di rumahnya. Sepertinya, berita itu tidak pernah absen, selalu ada. Berita artis memang sudah biasa. Wong artis bawa apa di tasnya juga bisa dijadikan berita!

Tapi kali ini lain, kasusnya lumayan pelik, karena konon melibatkan barang haram jenis baru yang belum ada di undang-undang. Dan obat-obat itu, undang-undang itu, zat dan derivatnya itu, bahkan sampai rumah sakit tempat rehabilitasi sang artis itu, ternyata turut meramaikan ujian sidang apoteker saya kemarin. Luar biasa! Katinon, UU RI 35 Tahun 2009, pasal 153, dan rumah sakit ketergantungan obat, ikut-ikutan bersama materi lainnya. Dan ternyata para penguji justru menanyakan tentang itu, dan sama sekali tidak bertanya tentang materi validasi yang saya dan teman-teman hapalkan sampai berbusa-busa. Hehehe...

Kasus yang ini pun bagi saya masih buram. Pengacara artis ini konon masih keukeuh kliennya tidak bersalah, Wajar lah yah, khan untuk itu dia dibayar. Tapi yang lebih menarik perhatian saya justru adalah bagaimana respon masyarakat, terutama teman-temannya sesama selebritis yang dekat dengan artis ini. Dikabarkan bagaimana mereka sampai merayakan ulang tahun si artis, membuatkannya lagu, membawakan kue, termasuk memberikan support dan dukungan. Begitupula dari para fansnya.

Saya bisa merasakan bagaimana mereka pasti merasa sangat penting untuk mendukung kawannya di masa-masa berat. Hanya saja, saya khawatir bahwa ini akan memberikan kesan pada masyarakat bahwa terkait kasus narkoba bukanlah hal yang buruk-buruk amat, toh akan tetap didukung oleh orang terdekat! Akhirnya, jangan-jangan kita bisa lupa bahwa kelakukan itu –terlepas dari terbukti atau tidaknya, adalah sesuatu yang salah, dan memang harus dipertanggungjawabkan dengan seadil-adilnya.

Saya rasa sah-sah saja jika orang terdekatnya terus mendukung sang artis saat ia terpuruk. Tapi yah, jangan berlebihan lah... Atau cara infotainment memberitakan saja yang membuatnya terlihat seperti itu? Entahlah. Wallahu a’lam.

Perangnya Pakai Kata-Kata Saja, Yah!

Tadi pagi, saya masih sempat membaca lagi satu karya dari salah satu penulis favorit saya itu. Lalu saya pun merasa wajar jika beliau kemudian mampu untuk menembus pentas sastra dunia dengan karyanya yang fenomenal. Hanya saja, hanya berselang beberapa saat setelah mendengar kabar bukunya yang menembus best-seller dunia, muncul tulisan lain yang mematahkan fakta itu. Tulisan ini memang cukup komprehensif, dan bagi saya bukan hanya menguak isu yang diangkatnya, namun juga memberikan edukasi kepada masyarakat tentang beberapa fakta seputar dunia kepenulisan.

Tak lama, muncul pemberitaan lain tentang sanggahan sang penulis pada tulisan yang dianggapnya menyudutkannya tersebut. Dalam beberapa part memang terkesan begitu, namun untuk orang-orang yang telah paham pada kualitas karya sang penulis, tentu tidak akan sangsi, bahwa apapun yang terjadi, sang penulis adalah salah satu anak bangsa terbaik di negeri ini. Ia telah memperkenalkan Indonesia kepada dunia lewat bidang yang tidak biasa, bukan lagi olahraga atau seni, tapi literasi. Maka apapun yang dituliskan orang, saya rasa para penggemar beliau, termasuk saya, tetap akan menempatkan nama penulis itu sebagai penulis yang tetap akan selalu hebat.

Sayangnya juga, entah saya yang belum mengakses, atau memang tidak ada, sanggahan sang penulis hanya disampaikan lewat media populer dari hasil wawancara, bukan dari tulisannya sendiri. Saya tentu akan semakin senang mengikuti perkembangan isu ini jika saja kedua pihak ini berusaha untuk menyatakan argumen mereka lewat tulisan. Saya rasa sudah merupakan hal yang biasa, dan merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat dan bermartabat saat satu tulisan saling menanggapi tulisan yang lain. Ibarat pantun, semacam saling berbalas pantunlah! Tapi tentu bukan hanya dengan rangkaian kata berima dan berirama, tapi dengan fakta, data, dan wawasan yang berbobot yang dapat mencerahkan pembacanya. Akhirnya, isu ini bukan justru menjadi polemik yang berakhir di meja hijau, tapi menjadi bahan pelajaran untuk orang-orang yang mengikuti perang kata-kata yang pastinya akan seru dan keren itu. Ya khan?

Iklan Anak Cerdas

Kalau yang terakhir ini, mungkin hanya saya saja yang memperhatikan. Atau hanya saya saja yang menganggapnya penting untuk dituliskan. Hehehe..

Jadi beberapa hari terakhir, televisi menyiarkan salah satu produk untuk anak. Susu kalau tidak salah. Dalam iklan itu, digambarkan seorang anak yang meraih topi cowboynya, siap untuk main kuda-kudaan. Tapi, dia malah masuk ke kamar tempat ayahnya bekerja. Bukannya meminta ayahnya untuk menemaninya main, si anak malah mengambil buku di atas meja kerja ayahnya yang sibuk di depan komputer. Meletakkan buku itu di bawah meja, lalu saat si ayah menunduk mengambil buku, naiklah ia di atas punggung ayahnya, menjadikannya kuda.

Kesimpulan dari iklan ini adalah, betapa produk itu telah berhasil membuat sang anak kecil itu menjadi cerdas. Punya inisiatif, dan mampu memprediksi hal-hal yang akan terjadi jika ia berbuat begini dan begini. Dengan kecerdasannya itu, si anak berhasil memperoleh apa yang dia inginkan. Dan orang tuanya pun seketika bangga dengan kemampuan nalar sang anak. Sayang, mungkin produser iklan ini tidak merasa penting untuk menambah durasi iklan, menggambarkan bagaimana sebaiknya orang tuanya menjelaskan pada sang anak, bahwa jika ingin sesuatu, lebih baik dikomunikasikan dengan santun dahulu, sebelum menempuh cara yang menurut saya lebih terkesan ‘menipu’. Itu bukan cerdas, tapi cerdik, bahkan mungkin licik. Apakah saya berpikir terlalu jauh? Khan namanya juga anak-anak..., mana mereka mengerti akan hal itu?

Ya, tapi jika memang anak ini benar-benar cerdas, sesuai dengan goal dari produknya, berarti seharusnya penting jika kecerdasan anak harusnya diimbangi dengan kecerdasan akhlak juga, yah. Hmm.., yang satu itu mungkin memang tidak bisa didapatkan hanya dengan sekadar minum susu!


----------------------------------------------------
Baiklah pemirsa, demikianlah yang bisa saya tuliskan. Sekali lagi, ini hanya pendapat pribadi saya. Jika pun ada yang keliru, mohon diluruskan dengan cara yang santun. Sebab saya pun mencoba menyampaikannya dengan penuh cinta pula. Hehehe...

Wahai kepala, tidak jadi meledak, khan?

Makassar, 22 Februari 2013.

You are Genious!


Telah tuntas, Bu. Telah kutuntaskan apa yang kau cita-citakan untukku.

Stay calm. Keep on fighting till the end. Diena, you are geniuos!

Begitulah sederet kalimat yang mendarat di inbox hp saya, tertanggal 20 Februari 2013, satu hari sebelum ujian sidang apoteker digelar. Saat itu, saya sedang bertapa bersama tumpukan buku dan kertas berisi materi yang harus saya pelajari untuk berhadap-hadapan dengan para penguji. Membaca pesan singkat itu, saya tersenyum; senjata makan tuan! Ya, beberapa tempo yang lalu, sms bernada sama memang saya kirimkan kepadanya, pengirim sms tadi. Saat itu, ia pun meminta didoakan saat akan menghadapi seminar proposal di program magister teknik yang ia jalani sekarang. Dalam smsan kami setelahnya, ia mengaku bahwa sugesti yang saya kirimkan padanya itu terbukti ampuh mendongkrak semangatnya di seminar tersebut. Maka ia pun mengirimkan sms yang sama pada saya hari itu, dengan harapan bahwa itupun mujarab pada saya yang berada dalam kondisi deg-degan tingkat tinggi.

Tapi, saya tersenyum lagi.

Sangat wajar jika sms saya kala itu, yang meyakinkan dirinya bahwa ia adalah seorang jenius, tentu saja ampuh padanya. Sebab nyatanya, ia memang seorang yang jenius. Jelas, setelah sepak terjangnya selama ini di jurusan yang ia geluti, tidak ada seorang pun yang akan memungkiri hal itu. Sementara saya?
Tiba-tiba, mata saya berembun. Suasana tegang saat saya belajar untuk persiapan sidang saat itu tiba-tiba berubah menjadi haru. Saya pada titik itu sadar; ternyata telah berjalan sejauh ini. Dalam sekitar lima tahun lebih ini.

Masih lekat dalam ingatan, saat dulu ibu memeluk saya dengan mata berkaca, lalu melanjutkannya dengan sujud syukur yang panjang, selepas pengumuman SPMB keluar, dan saya dinyatakan lulus di tempat saya sekarang. Setelah sebelumnya berkas saya gagal saat diajukan untuk PMDK di FKM pada universitas yang sama, setelah saya akhirnya mengurungkan niat untuk mendaftar di jurusan Psikologi dengan beberapa pertimbangan, dan setelah saya mengubur mimpi menjadi seorang wartawan profesional. Akhirnya, saya pun mengikuti permintaan ibu –yang saat itu terhasut oleh seorang sepupu yang tidak berhasil lulus di farmasi, untuk menjadikan farmasi sebagai pilihan pertama.

Saya pun belajar keras untuk dapat lulus, namun dengan ketidakyakinan. Saya pikir, tak mengapa jatuh di pilihan kedua, mungkin saya memang bisa enjoy dengan dunia biologi, syukur-syukur kalau bisa jadi guru.Tapi, ternyata Allah berkehendak lain.

Maka di sinilah saya sekarang. Berada di bidang yang sama sekali tidak pernah terpikirkan. Jika saja saat ini saya sedang tersesat, maka inilah ketersesatan yang paling panjang dan terencana dalam hidup saya. Sesuatu yang selalu membuat saya bertanya; apa keinginan Allah di balik ini semua?

Maka jelas, dengan fakta-fakta itu, terseok-seoklah saya menjalani masa kuliah dengan setengah hati. Tentu, semakin jauhlah saya dari kata ‘jenius’ untuk bidang ini. Alhamdulillah, nilai E tidak pernah sekalipun muncul di KHS saya, tapi saya sosok saya tidak jarang turut hadir saat ujian remedial digelar dengan senyum getir cengengesan, menyebunyikan penyesalan kenapa tidak belajar lebih cerdas lagi, padahal semalaman telah belajar mati-matian. Di akhir setiap ujian, sebelum mengumpulkan lembar jawaban, saya akan menyiapkan waktu sejenak untuk kembali menguat-nguatkan diri, bahwa apapun hasilnya nanti, seburuk apapun itu, maka itulah yang terbaik, bahwa pasti ada hikmahnya, bahwa mungkin saya ditakdirkan untuk belajar lebih dalam lagi, dan mungkin dengan cara itu saya bisa menjadi pintar. Saat merenung begitulah terkadang pengawas akan heran pada saya yang dengan ekspresi aneh menatap tidak jelas ke arah lembar jawaban yang kadang sebagian saya kosongkan, atau saya jawab dengan ilmu mengarang bebas, atau untuk soal pilihan ganda, saya pilih jawaban yang terlihat bercahaya *hehehe*. Sebagian dari mereka akan berujar; Kalau sudah selesai, kumpul saja...!  Lalu saya akan kelabakan menghadapi soal-soal itu lagi, berharap ada wangsit dan inspirasi yang lewat di saat-saat terakhir. Hehehe.., kejadian ini sangat sering terjadi.

Sementara, di saat yang bersamaan, saya diperjumpakan dengan banyak sekali orang-orang jenius yang sebenarnya. Mulai dari dosen-dosen yang cerdasnya ampun-ampunan, asisten lab, senior, teman seangkatan, bahkan hingga adik-adik di bawah saya, yang demi melihat kecerdasan mereka, saya hanya bisa geleng-geleng kepala dan bertanya dalam hati; bagaimana bisa mereka mengetahui itu semua?

Hmm..., tunggu dulu, biar saya coba ingat wajah mereka satu per satu. :) 

Maka untuk kata ‘jenius’ itu, tentu saya ini jauh panggang dari api. Saya sering berada diantara tumpukan buku-buku farmasi yang harus dipelajari, sambil melirik mupeng pada rak buku tempat buku puisi Aan Masyur dan Helvy Tiana Rosa bertengger dengan manis. Saya bahkan lebih rela disuruh menamatkan kitab Minhajul Qasidin-nya Ibnu Qudamah, atau buku yang berisi pengalaman Torey Hayden menghadapi anak autis, daripada berasyik-masyuk dengan buku farmasetika dasar yang mungil itu.

Di ruang kuliah, saya kadang membayangkan diri saya sedang berhadapan dengan dosen, sambil bersiap-siap menangkap bola-bola cahaya yang mereka lemparkan. Beberapa dapat saya tangkap, yang lainnya terluput. Bola cahaya yang tertangkap itu kemudian harus berusaha saya susun satu persatu dengan kening berkerut, agar kemudian mencapai pemahaman yang benar dan sempurna pada suatu konsep. Saya belajar, menghapal, mencoba memahami, dengan kapasitas otak dan suasana hati yang tidak full. Dengan segala daya dan upaya itu, saya memeroleh nilai yang terkadang lumayan. Di saat malas datang melanda, maka ikhlaslah saya dengan nilai seadanya. Namun tetap, semua pencapaian itu, saya percaya, bukan hanya karena ikhtiar saya saja. Ada kasih sayang Allah yang berperan di sana. Maka dalam beberapa mata kuliah, saya lebih terkesan ‘lolos’ dibandingkan harus disebut ‘lulus’. Hehehe...

Saya, kata ibu; dalam hal ini persis seperti dirinya. Yang juga perlu kerja keras, bahkan mungkin cenderung perlu untuk going extra miles untuk mendapatkan ilmu yang saya inginkan. Tidak seperti dua saudara saya yang lain, yang lebih mirip karakter bapak dalam belajar; santai, tapi tetap dapat IPK yang lebih tinggi dari saya. Lalu saat mereka mengetahui itu, mereka akan menyeringai penuh kemenangan, saya hanya bisa melengos dengan kesedihan. Hehehe..., kasian saya..

Tapi, saya selalu ingat perkataan seorang dosen di masa semester 1 dulu. Dosen bahasa Inggris saat mengajari kami teknik reading dengan cara scanning. Beliau mengatakan;

Saya tidak peduli, bahwa orang lain hanya butuh waktu satu jam untuk membaca dan menguasai sebuah buku. Jika saya memang harus menghabiskan sepuluh jam untuk memeroleh hasil yang sama, saya akan jalani sepuluh jam itu dengan semangat. Dengan terus berusaha untuk mendapatkan apa yang saya inginkan!

Maka mungkin, itulah salah satu perkataan yang membuat saya bisa bertahan sampai sekarang. Hingga akhirnya saya tuntaskan tugas, seusai dinyatakan lulus dalam ujian sidang apoteker tadi. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menakdirkan segala sesuatu.

Saya telah berjanji, untuk tidak akan membawa nilai-nilai dari masa akademik ini, kecuali yang halal-halal saja. Sebagaimana bapak hanya menyuapkan bulir-bulir nasi yang halal ke mulut kami, anak-anaknya. Dan sebagaimana ibu selalu mengajarkan tentang kejujuran. Bahkan meskipun nilai-nilai itu tidak seindah punya teman-teman yang lain, tidak mengapa.

Maka terkait dengan pengirim sms yang juga mengejar Maret untuk berwisuda bersama dengan saya di hari kedua wisuda Unhas, sepertinya dunia harus bersiap-siap, pada lahirnya seorang magister teknik yang hebat beberapa tempo yang akan datang. Dia benar-benar seorang jenius yang insyaAllah akan memberikan sumbangsih yang banyak pada ummat ini.

Lalu bagaimana dengan saya?

Saya telah mengorbankan banyak hal untuk pencapaian saya saat ini. Dan saya tidak ingin pengorbanan itu sia-sia, kecuali ia mendatangkan manfaat yang lebih luas lagi. Maka saya mungkin tidak berani berjanji yang muluk-muluk; kecuali bahwa saya akan tetap belajar seperti saat masa kuliah dulu. Saya akan selalu berusaha menjadi lebih baik dan lebih baik lagi, dan menjadi seorang apoteker budiman yang bermanfaat bagi agama ini, bangsa ini, dan bumi Allah ini. Hmm..., janji seperti itu sudah bagus, bukan? J

Untuk Putri Cahaya yang super-duper jenius! Terima kasih untuk supportmu yang selalu, ukhti :’)
Dan kepada semua orang yang mendoakan kemudahan untuk saya hari ini; Tahukah, doa kalian begitu terasa!
Juga teruntuk rekan-rekan seperjuangan di Apoteker Farmasi Unhas; you are genius! Trust me!

Makassar, 21 Februari 2013

Kamis, 14 Februari 2013

Mata Kamera

Pagi yang bagus untuk memulai dengan sebuah tulisan!

Saya dapat amanah baru. Kali ini bukan berhubungan dengan kegiatan menyusun kata-kata seperti kemarin-kemarin. Tapi, menyusun objek-objek, gambar-gambar, sehingga menjadi komposisi yang menarik untuk memperindah bacaan. Sebenarnya, saya cukup merasa sedang melakukan sesuatu yang disebut 'sibuk lain-lain'. Ya, saya menduga teman-teman kuliah saya sekarang sedang sibuk mengkhatamkan -bahkan mungkin menghapalkan isi laporan PKPA (Praktek Kerja Profesi Apoteker, red) mereka untuk keperluan sidang apoteker  yang belum jelas tanggalnya itu. Tenang, nanti saya juga akan memulai belajar, kok. Iya, saya akan mulai belajar juga *mensugesti diri* :p

Menjalani amanah baru ini, terus terang membuat saya harus mengakui, bahwa secara teknik, saya tentu tertinggal jauh. Saya hanya memanfaatkan, sambil melakukan try-and-error, saat mengutak-atik objek dengan program seadanya, yang ilmunya saya dapatkan di lab komputer jaman SMA dulu. Saya sadar, terkadang harus melakukan beberapa langkah yang ribet, karena keterbatasan pengetahuan akan teknik-teknik itu. Tapi, pada akhirnya saya bisa cukup lega, saat memperlihatkan hasilnya pada mata lain selain mata saya. Terutama saat pengakuan itu datang dari bibir raja-sarkas-sedunia; Indy. Cewek tomboy itu berujar dengan ringan, "Bagus, kok. Lucu.". Ya, saya bisa lega. 

Bagi saya, aktivitas desain-desain seperti ini hampir sama dengan dunia menulis. Kita perlu angel-angel yang fresh untuk menghasilkan sebuah karya yang bagus. Masalah sudut pandang itu, bagi saya secara pribadi tidak melulu ditentukan oleh teknik dan teori yang diterima secara formal, tapi lebih ke masalah 'rasa'. Ya, setiap orang punya 'rasa' yang berbeda setiap membuat karya. Saya menganggap itu adalah sebuah bagian yang tidak terpisahkan saat kita menggarap sebuah karya seni. Desain grafis adalah seni. Menulis adalah seni. Ah, bahkan meracik obat pun ada seninya, bukan?

Dua hal yang pertama itu, alhamdulillah dapat saya kerjakan dengan tidak terlalu mengecewakan. Setidaknya, kedua hal tersebut membuat saya dapat tersenyum -meski senyuman paling miris sekalipun, saat saya seringkali kecewa kepada diri sendiri karena tidak bisa melakukan beberapa hal dengan baik. Minimal, adaji gunanya saya hidup, karena bisa melakukan hal-hal tertentu.

Maka saya terkadang menjadi sangat ingin; ingin sekali kedua bola mata saya ini menjelma menjadi kamera. Kamera dengan resolusi yang baik dalam menangkap gambar dan dalam merekam sebuah peristiwa. Saya kadang menatap keluar jendela angkot, menggeser-geser pandangan saat melihat baliho, orang yang duduk di halte MTos, poster-poster reklame, segerombolan bapak-bapak yang memadati kanal untuk menonton orang memancing, dan menara masjid dengan latar belakang langit senja yang menguning. Saya menemukan ada sisi artistik di sana. Hal-hal yang, sekali lagi, hanya bisa ditangkap oleh 'rasa'. 

Saya ingin sekali jika suatu waktu mata saya berubah menjadi kamera. Kamera yang bisa menangkap senyuman seorang bocah penjual koran yang tersenyum pada saya tanpa pernah saya minta. Atau merekam jejak dua orang kakek bermata buta yang saling menuntun langkah sambil menenteng jualan keripik mereka. Ah, saya khan pelupa, maka tentu akan lebih mudah jika ada alat yang dapat membantu untuk merekamkannya.

Rifa'ahWritingZone, 15 Februari 2013
Dengan perut kriyuk-kriyuk dan ingatan tentang mimpi aneh tadi malam