Ada dua alasan kenapa beberapa hari kemarin saya merasa
kepala ini akan segera pecah. Pertama, karena begitu banyak hal yang harus saya
jejalkan di dalam otak, demi menghadapi ujian sidang apoteker yang sudah
berlalu kemarin. Saya harus mencari-cari sudut-sudut yang masih lowong untuk
diselipi dengan ilmu-ilmu dan hapalan itu. Sesak! Yang kedua, karena ada banyak
pemikiran yang kemarin-kemarin selalu bisa tersalurkan dengan tuntas lewat
tulisan, namun kali ini tidak.
Ya, beberapa hari menjelang ujian sidang, saya memutuskan
untuk jeda sejenak dari menulis di
blog. You know lah..., menulis di
blog bukan hanya tentang memposting rangkaian kata-kata. Sebelum itu, saya harus
memulai proses menulis dulu, membacanya berkali-kali, mengendapkannya, lalu
minimal 2 sampai 3 kali menghadapi-untuk-mengeditnya kembali, lalu memutuskan apakah saya akan
memuatnya di blog atau tidak. Jika ya, maka terpostinglah ia. Jika tidak, maka
ia akan masuk folder reject, dan mendekam di dalam hardisk laptop saja. Setelah
terposting pun, secara berkala saya akan mengecek komentar yang masuk. Membalas
komentarnya, lalu akan terpikir untuk membuat tulisan yang baru. Begitu terus.
Dan jika proses itu saya ‘layani’, tentu kegiatan itu akan terlihat lebih
menyenangkan daripada belajar farmasi industri, laporan apotek, dan kasus
klinik, bukan? Hehehe..
Untungnya, saya masih cukup waras untuk tidak melakukannya.
Sesekali bolehlah saya ngintip-ngintip di dunia maya. Tapi tidak untuk
keterusan dan melalaikan keharusan belajar, khan.
Duh, saya jadi terharu pada diri sendiri.. #eh
Baiklah, sebelum kepala saya pecah duluan karena keinginan
menulis yang tertahan, mari kita menulis! Ya, ada beberapa isu yang akhir-akhir
ini santer malang melintang dalam dunia pemberitaan di Indonesia. Ada juga fragmen yang turut muncul, namun mungkin tidak terperhatikan. Saya
akan mencoba menanggapinya dalam tulisan ini.
Partai dan Kasus
Korupsi
Waktu kecil dulu, saya sering menatap heran kepada bapak
yang gemar sekali nonton berita. Sambil menaksir kapan kira-kira bapak memperbolehkan remote TV itu dipencet dan pindah channel ke acara
kartun. Saya akan berpikir; apa enaknya nonton acara yang isinya cuma bicara
seputar pemerintahan, harga pasar, dan kurs mata uang? Tapi semakin beranjak
dewasa *ceile..*, saya akhirnya malah
sering duduk bersama bapak, menonton acara berita bersama-sama. Ikut-ikutan
komentar sok tau tentang isu-isu politik. Bertanya ini-itu untuk istilah yang
tidak saya mengerti, dan lambat laun akhirnya paham, mengapa terkadang acara
berita menjadi mengasyikkan juga.
Nah, akhir-akhir ini santer diberitakan tentang
partai-partai yang terjerat kasus korupsi. Biasa, sebenarnya. Saya rasa, sejak
zaman reformasi, korupsi agaknya tidak pernah lagi absen dari setiap kasus yang
menyedot banyak perhatian. Angka-angka dengan jumlah nol yang banyak
digelontorkan. Membuat kita kadang bertanya; jangan-jangan negara kita memang benar-benar kaya?
Lucunya, dengan pengetahuan politik yang minim, saya kadang
bingung, dan semakin tidak jelas untuk menentukan yang mana sebenarnya pihak
yang benar, dan yang mana yang salah. Setiap pihak, baik KPK, maupun yang
diperkarakan oleh KPK, mengklaim dirinya punya bukti kuat untuk menunjukkan
kebenaran masing-masing. Begitu berhari-hari, masyarakat disuguhkan dengan
kasus-kasus korupsi yang bagai tak berujung-tak berpangkal. Hari ini begitu
heboh, lalu di lain hari hilang entah kemana. Kemudian, digantikan dengan kasus
lain, tanpa ketahuan bagaimana akhir kasusnya.
Berita yang satu heboh menggantikan berita heboh berikutnya.
Satu skandal terkuak, belum mencapai klimaks, skandal lain datang. Saya
berharap kebenaran segera dapat diperlihatkan. Namun, saat kemudian bosan
dengan politik-politik itu, saya hanya dapat berdoa, sambil berkeyakinan, akan
ada hari dimana keadilan tidak akan bisa lagi diputarbalikkan. Saat itu, kita
tidak butuh lagi Abraham Samad untuk mengungkapkan apa-apa. Sebab telah ada tangan
dan kaki yang akan berbicara.
Biasanya, saat ada kasus-kasus besar yang menyangkut orang
besar, maka tunggu saja, kasus itu akan tertutupi dengan heboh kasus terorisme.
Minimal, berita tentang sekelompok bersenjata bernama Densus 88 yang tiba-tiba
membunuhi orang-orang yang mereka ‘curigai’
telah terkait aksi teror, tanpa pernah diberi kesempatan untuk berbicara
panjang lebar, seperti para tersangka korupsi yang berkotek di televisi. Langsung DORR!
Narkoba Artis dan
Ujian Sidang
Kasus lain yang tidak pernah bosan diberitakan media
akhir-akhir ini adalah kasus kepemilikan narkoba yang terkait pada seorang
artis terkenal, yang digerebek di
rumahnya. Sepertinya, berita itu tidak pernah absen, selalu ada. Berita artis
memang sudah biasa. Wong artis bawa apa
di tasnya juga bisa dijadikan berita!
Tapi kali ini lain, kasusnya lumayan pelik, karena konon
melibatkan barang haram jenis baru yang belum ada di undang-undang. Dan obat-obat
itu, undang-undang itu, zat dan derivatnya itu, bahkan sampai rumah sakit
tempat rehabilitasi sang artis itu, ternyata turut meramaikan ujian sidang
apoteker saya kemarin. Luar biasa! Katinon, UU RI 35 Tahun 2009, pasal 153, dan
rumah sakit ketergantungan obat, ikut-ikutan bersama materi lainnya. Dan
ternyata para penguji justru menanyakan tentang itu, dan sama sekali tidak bertanya
tentang materi validasi yang saya dan
teman-teman hapalkan sampai berbusa-busa. Hehehe...
Kasus yang ini pun bagi saya masih buram. Pengacara artis
ini konon masih keukeuh kliennya
tidak bersalah, Wajar lah yah, khan untuk
itu dia dibayar. Tapi yang lebih menarik perhatian saya justru adalah
bagaimana respon masyarakat, terutama teman-temannya sesama selebritis yang
dekat dengan artis ini. Dikabarkan bagaimana mereka sampai merayakan ulang
tahun si artis, membuatkannya lagu, membawakan kue, termasuk memberikan support
dan dukungan. Begitupula dari para fansnya.
Saya bisa merasakan bagaimana mereka pasti merasa sangat
penting untuk mendukung kawannya di masa-masa berat. Hanya saja, saya khawatir
bahwa ini akan memberikan kesan pada masyarakat bahwa terkait kasus narkoba
bukanlah hal yang buruk-buruk amat, toh akan tetap didukung oleh orang
terdekat! Akhirnya, jangan-jangan kita bisa lupa bahwa kelakukan itu –terlepas dari terbukti atau tidaknya,
adalah sesuatu yang salah, dan memang harus dipertanggungjawabkan dengan
seadil-adilnya.
Saya rasa sah-sah saja jika orang terdekatnya terus
mendukung sang artis saat ia terpuruk. Tapi yah, jangan berlebihan lah... Atau cara infotainment memberitakan saja yang membuatnya terlihat seperti
itu? Entahlah. Wallahu a’lam.
Perangnya Pakai
Kata-Kata Saja, Yah!
Tadi pagi, saya masih sempat membaca lagi satu karya dari
salah satu penulis favorit saya itu. Lalu saya pun merasa wajar jika beliau
kemudian mampu untuk menembus pentas sastra dunia dengan karyanya yang
fenomenal. Hanya saja, hanya berselang beberapa saat setelah mendengar kabar
bukunya yang menembus best-seller dunia, muncul tulisan lain yang mematahkan
fakta itu. Tulisan ini memang cukup komprehensif, dan bagi saya bukan hanya menguak
isu yang diangkatnya, namun juga memberikan edukasi kepada masyarakat tentang
beberapa fakta seputar dunia kepenulisan.
Tak lama, muncul pemberitaan lain tentang sanggahan sang
penulis pada tulisan yang dianggapnya menyudutkannya tersebut. Dalam beberapa part memang terkesan begitu, namun untuk
orang-orang yang telah paham pada kualitas karya sang penulis, tentu tidak akan
sangsi, bahwa apapun yang terjadi, sang penulis adalah salah satu anak bangsa
terbaik di negeri ini. Ia telah memperkenalkan Indonesia kepada dunia lewat
bidang yang tidak biasa, bukan lagi olahraga atau seni, tapi literasi. Maka
apapun yang dituliskan orang, saya rasa para penggemar beliau, termasuk saya, tetap akan menempatkan
nama penulis itu sebagai penulis yang tetap akan selalu hebat.
Sayangnya juga, entah saya yang belum mengakses, atau memang
tidak ada, sanggahan sang penulis hanya disampaikan lewat media populer dari
hasil wawancara, bukan dari tulisannya sendiri. Saya tentu akan semakin senang
mengikuti perkembangan isu ini jika saja kedua pihak ini berusaha untuk
menyatakan argumen mereka lewat tulisan. Saya rasa sudah merupakan hal yang
biasa, dan merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat dan bermartabat saat satu
tulisan saling menanggapi tulisan yang lain. Ibarat pantun, semacam saling berbalas pantunlah! Tapi tentu bukan hanya dengan rangkaian kata berima dan berirama,
tapi dengan fakta, data, dan wawasan yang berbobot yang dapat mencerahkan
pembacanya. Akhirnya, isu ini bukan justru menjadi polemik yang berakhir di
meja hijau, tapi menjadi bahan pelajaran untuk orang-orang yang mengikuti
perang kata-kata yang pastinya akan seru dan keren itu. Ya khan?
Iklan Anak Cerdas
Kalau yang terakhir ini, mungkin hanya saya saja yang
memperhatikan. Atau hanya saya saja yang menganggapnya penting untuk dituliskan.
Hehehe..
Jadi beberapa hari terakhir, televisi menyiarkan salah satu
produk untuk anak. Susu kalau tidak salah. Dalam iklan itu, digambarkan seorang
anak yang meraih topi cowboynya, siap
untuk main kuda-kudaan. Tapi, dia malah masuk ke kamar tempat ayahnya bekerja.
Bukannya meminta ayahnya untuk menemaninya main, si anak malah mengambil buku
di atas meja kerja ayahnya yang sibuk di depan komputer. Meletakkan buku itu di
bawah meja, lalu saat si ayah menunduk mengambil buku, naiklah ia di atas punggung
ayahnya, menjadikannya kuda.
Kesimpulan dari iklan ini adalah, betapa produk itu telah
berhasil membuat sang anak kecil itu menjadi cerdas. Punya inisiatif, dan mampu
memprediksi hal-hal yang akan terjadi jika ia berbuat begini dan begini. Dengan
kecerdasannya itu, si anak berhasil memperoleh apa yang dia inginkan. Dan orang
tuanya pun seketika bangga dengan kemampuan nalar sang anak. Sayang, mungkin
produser iklan ini tidak merasa penting untuk menambah durasi iklan,
menggambarkan bagaimana sebaiknya orang tuanya menjelaskan pada sang anak,
bahwa jika ingin sesuatu, lebih baik dikomunikasikan dengan santun dahulu,
sebelum menempuh cara yang menurut saya lebih terkesan ‘menipu’. Itu bukan
cerdas, tapi cerdik, bahkan mungkin licik. Apakah saya berpikir terlalu jauh? Khan namanya juga anak-anak..., mana mereka
mengerti akan hal itu?
Ya, tapi jika memang anak ini benar-benar cerdas, sesuai
dengan goal dari produknya, berarti
seharusnya penting jika kecerdasan anak harusnya diimbangi dengan kecerdasan
akhlak juga, yah. Hmm.., yang satu itu mungkin memang tidak bisa didapatkan
hanya dengan sekadar minum susu!
----------------------------------------------------
Baiklah pemirsa, demikianlah yang bisa saya tuliskan. Sekali
lagi, ini hanya pendapat pribadi saya. Jika pun ada yang keliru, mohon
diluruskan dengan cara yang santun. Sebab saya pun mencoba menyampaikannya
dengan penuh cinta pula. Hehehe...
Wahai kepala, tidak jadi meledak, khan?
Makassar, 22 Februari
2013.