Kepada para pemuda perantau; sudahkah menanyakan kabar ibunda kalian
hari ini?
Kau tahu, tidak banyak lelaki yang benar-benar
kukenal sepanjang hiduku. Mungkin, masih bisa dihitung dengan jari-jari sebelah
tangan. Tak lebih dari lima! Kau salah satunya. Kali ini ditambah seorang lagi.
Mufti Perdana, namanya. Seorang
sepupu yang dari garis kekerabatan sebenarnya dekat, namun pernah jauh, dan
kini dekat kembali. Wajahnya elok, dengan bentuk bibir yang seperti perempuan.
Sejak ia meninggalkan kampung halamannya dan tinggal di rumah, ia telah sukses
membuat centil para gadis kecil tetangga, saat ia lewat di depan rumah-rumah
mereka, sepulang dari latihan pramuka di Madrasah
Tsanawiyah-nya yang tidak jauh dari rumah.
Well, tidak
ada yang pernah menyangka, bahwa kau akan berada di tempat yang jauh seperti
sekarang. Bahwa kau ternyata mampu hidup terpisah dari keluarga, lalu mengadu
nasib di tanah asing. Bertemu dengan orang-orang baru. Bahkan memiliki
kehidupanmu sendiri di sana.
Tadi, wanita itu bercerita padaku, tentangmu.
Tentangmu yang dahulu katanya sering termuntah-muntah sehabis meminum susu. Ia
masih dapat mengenangmu dengan begitu lekat. Entah mengapa kali ini dia tiba-tiba
membicarakan itu diantara obrolan kami tadi. Mungkin, sebab ia ingat bahwa hari
ini adalah hari kelahiranmu. Tapi, begitu sulit rasanya mengharapkan bahwa kau yang
akan menyapa terlebih dahulu lewat jaringan-jaringan nirkabel. Cukup tanyakan kabar saja, pasti itu sudah membuatnya
senang. Namun, jangankan itu, sebab ternyata menghubungimu pun saja susahnya
minta ampun. Tidak ada lagi tempat untuk
menyimpan pesan, begitu kata wanita operator tiap ponselmu di hubungi. Ah,
mudah-mudahan itu bukan berarti sudah tidak ada pula tempat di hatimu.
Hingga suatu kali wanita itu berucap; katanya,
terkadang ada rasa malu yang menyergap saat ia berniat untuk menanyakan kabarmu.
Ia khawatir, jangan-jangan kau akan mengira bahwa ia menginginkan sesuatu
darimu. Padahal, meski apa yang telah ia korbankan selama ini untukmu; darahnya, peluhnya, air matanya, bahkan nyawa
dan seluruh hartanya, sungguh, ia tidak pernah mengharapkan balasan
apa-apa. Sungguh, katanya, ia tetap saja akan malu untuk meminta apapun darimu!
Lalu ucapannya itu akan ia simpulkan dalam sederet kalimat yang ditelingaku
terdengar begitu pilu; Memang, kasih ibu
sepanjang masa, kasih anak sepanjang penggala...
Tapi tetap saja, bagi wanita dan lelaki itu, kau
tetaplah anak kebanggaan mereka. Kau tetaplah yang pertama dan yang utama. Yang
akan selalu mereka ceritakan kepada kawan-kawannya dengan penuh rasa syukur. Anak
lelaki kebanggaan keluarga! Kau bagi mereka, tidak akan terganti dengan
siapapun juga!
Melihat keadaan itu, entah mengapa yang seharusnya dapat terasa dekat, justru menjadi jauh. Ah, bahkan bukankah yang kau pelajari bertahun-tahun itu erat kaitannya dengan teknologi yang dapat melipat jarak dan waktu? Lalu mengapa justru kau sendiri yang terjebak dengan dua dimensi tersebut? Tapi sudahlah, aku tidak akan menyalahkanmu. Seorang sahabat yang sangat baik hatinya berkata kepadaku, bahwa mungkin ada hal-hal tentangmu yang belum saja kumengerti, sehingga itu semua membuat seolah ada jarak yang terbentang, atau mungkin tanpa sadar sengaja kita bentangkan. Tapi setahuku sekarang, wanita itu menjadi begitu takut, jika anaknya yang lain turut ‘diculik’ oleh tanah asing. Menghilang dan sulit untuk dihubungi. Pergi dan hanya sesekali mengabari.
Maka seperti yang kutuliskan di awal; aku tidak
mengenal banyak lelaki. Jadi, tentang kaum kalian itu, ada sesuatu yang ingin
kutanyakan. Kali ini, biarlah kugunakan kata sapaan yang sudah seharusnya kupakai
untuk mengabsahkan hubungan kakak-beradik-sedarah
diantara kita. Kata sapaan yang justru tidak pernah kuguna sejak kita bocah,
entah mengapa. Ya, ada sebuah pertanyaan yang ingin sekali kutanyakan padamu; Kak, apakah lelaki memang tidak pernah
merasakan rindu?
Makassar, 25
Februari 2013
Hari ini kau
dua puluh enam tahun, khan?
Nampaknya
sudah saatnya kau perkenalkan seorang calon kakak ipar,
jika tidak,
jangan marah kalau aku yang duluan!
mbak n keluarga lagi rindu sama abangnya ya?nice touchy story.
BalasHapushmm..iya, mungkin semacam itu, mbak.
Hapusterima kasih sudah berkunjung :)
Keren, seperti biasa. ;)
BalasHapusCuman, kalo baca tulisan Dien, Mama suka lupa napas!
Saking seriusnya baca.. hihihihi
ngomong2 ttg rindu..
mungkin para lelaki itu rindu juga
hanya saja merek terlalu asik dengan kemandiriannya
suskses berkarir menjadi pilihan yang sangat menarik dan menantang
yah, mungkin itu yang menahan mereka untuk tidak pulang.. :'(
hmm. semacam workaholic kali yah? *geleng2*
Hapusmakhluk yang kau sebut lelaki itu juga punya rasa rindu
BalasHapusrasa yang pasti akan menyerang relung hati dan sulit untuk ditolak
walau mungkin ia tak seperti tulang rusuk yang bengkok
hanya saja angin belum sampai mengabarkan
bahwa tirai kamar pun kadang jadi saksi akan isak tangisnya saat rindu itu memuncak
wow, sampai menangiskah? saya yg perempuan saja belum pernah mengalami rindu macam itu. hehehe..
HapusLaki2 memang seperti itu, banyak yang sepertinya tidak punya rindu. Atau bisa jadi, tidak bisa mengungkapkannya. Tapi saya punya teman, tiap hari ia menelepon ibunya dari kota lain. Padahal sudah punya 2 anak. Itu ungkapan rindu, bukan kata2 "Rindu, Ma" tapi selalu menelepon, menanyakan kabar ibunya, dan mengabarkan keadaan anak2nya, itu yang dilakukan.
BalasHapusSy justru sekarang melihat satu hal. Ada andil ibu dalam hal ini. Andil ketika membentuk ikatan batin. Dan anak laki2 itu tak merasakannya. Mudah2an bukan yang terakhir ini yang dirasakan kakak Diena. Mudah2an hanya karena ia tak bisa mengungkapkannya saja.
Nah itu dia kak, saya pikir juga ekspresi rindu itu tidak harus secara frontal dengan kata-kata 'rindu' itu sendiri. tapi banyak hal lain yang bisa ditunjukkan khan? maka saat ternyata hal-hal lain itu tidak ada, itulah yang membuat saya menjadi bertanya-tanya; nah lho..jangan2 memang laki2 tidak bisa merasakan rindu?
Hapusseharusnya ini pertanyaan repetisi sebenarnya.
hehe, kaya adekku juga susah buat bilang kangen :D
BalasHapustapi mungkin tetap ada ekspresi kangen selain kata-kata, La? :)
Hapus