Telah tuntas, Bu. Telah kutuntaskan apa yang kau cita-citakan untukku.
Stay calm. Keep on fighting till the end. Diena, you are geniuos!
Begitulah sederet kalimat yang
mendarat di inbox hp saya, tertanggal 20 Februari 2013, satu hari sebelum ujian
sidang apoteker digelar. Saat itu, saya sedang bertapa bersama tumpukan buku
dan kertas berisi materi yang harus saya pelajari untuk berhadap-hadapan dengan
para penguji. Membaca pesan singkat itu, saya tersenyum; senjata makan tuan! Ya, beberapa tempo yang lalu, sms bernada sama
memang saya kirimkan kepadanya, pengirim sms tadi. Saat itu, ia pun meminta
didoakan saat akan menghadapi seminar proposal di program magister teknik yang
ia jalani sekarang. Dalam smsan kami
setelahnya, ia mengaku bahwa sugesti yang saya kirimkan padanya itu terbukti
ampuh mendongkrak semangatnya di seminar tersebut. Maka ia pun mengirimkan sms
yang sama pada saya hari itu, dengan harapan bahwa itupun mujarab pada saya
yang berada dalam kondisi deg-degan
tingkat tinggi.
Tapi, saya tersenyum lagi.
Sangat wajar jika sms saya kala
itu, yang meyakinkan dirinya bahwa ia adalah seorang jenius, tentu saja ampuh
padanya. Sebab nyatanya, ia memang seorang yang jenius. Jelas, setelah sepak
terjangnya selama ini di jurusan yang ia geluti, tidak ada seorang pun yang
akan memungkiri hal itu. Sementara saya?
Tiba-tiba, mata saya berembun.
Suasana tegang saat saya belajar untuk persiapan sidang saat itu tiba-tiba
berubah menjadi haru. Saya pada titik itu sadar; ternyata telah berjalan sejauh
ini. Dalam sekitar lima tahun lebih ini.
Masih lekat dalam ingatan, saat
dulu ibu memeluk saya dengan mata berkaca, lalu melanjutkannya dengan sujud
syukur yang panjang, selepas pengumuman SPMB keluar, dan saya dinyatakan lulus
di tempat saya sekarang. Setelah sebelumnya berkas saya gagal saat diajukan
untuk PMDK di FKM pada universitas yang sama, setelah saya akhirnya
mengurungkan niat untuk mendaftar di jurusan Psikologi dengan beberapa
pertimbangan, dan setelah saya mengubur mimpi menjadi seorang wartawan
profesional. Akhirnya, saya pun mengikuti permintaan ibu –yang saat itu
terhasut oleh seorang sepupu yang tidak berhasil lulus di farmasi, untuk
menjadikan farmasi sebagai pilihan pertama.
Saya pun belajar keras untuk
dapat lulus, namun dengan ketidakyakinan. Saya pikir, tak mengapa jatuh di
pilihan kedua, mungkin saya memang bisa enjoy dengan dunia biologi, syukur-syukur kalau bisa jadi guru.Tapi, ternyata Allah
berkehendak lain.
Maka di sinilah saya sekarang.
Berada di bidang yang sama sekali tidak pernah terpikirkan. Jika saja saat ini
saya sedang tersesat, maka inilah ketersesatan yang paling panjang dan
terencana dalam hidup saya. Sesuatu yang selalu membuat saya bertanya; apa keinginan Allah di balik ini semua?
Maka jelas, dengan fakta-fakta
itu, terseok-seoklah saya menjalani masa kuliah dengan setengah hati. Tentu,
semakin jauhlah saya dari kata ‘jenius’ untuk bidang ini. Alhamdulillah, nilai E tidak pernah sekalipun muncul di KHS saya,
tapi saya sosok saya tidak jarang turut hadir saat ujian remedial digelar
dengan senyum getir cengengesan, menyebunyikan penyesalan kenapa tidak belajar
lebih cerdas lagi, padahal semalaman telah belajar mati-matian. Di akhir setiap
ujian, sebelum mengumpulkan lembar jawaban, saya akan menyiapkan waktu sejenak
untuk kembali menguat-nguatkan diri, bahwa apapun hasilnya nanti, seburuk
apapun itu, maka itulah yang terbaik, bahwa pasti ada hikmahnya, bahwa mungkin
saya ditakdirkan untuk belajar lebih dalam lagi, dan mungkin dengan cara itu
saya bisa menjadi pintar. Saat merenung begitulah terkadang pengawas akan heran
pada saya yang dengan ekspresi aneh menatap tidak jelas ke arah lembar jawaban
yang kadang sebagian saya kosongkan, atau saya jawab dengan ilmu mengarang
bebas, atau untuk soal pilihan ganda, saya pilih jawaban yang terlihat
bercahaya *hehehe*. Sebagian dari mereka akan berujar; Kalau sudah selesai, kumpul saja...! Lalu saya akan kelabakan menghadapi
soal-soal itu lagi, berharap ada wangsit dan inspirasi yang lewat di saat-saat
terakhir. Hehehe.., kejadian ini sangat sering terjadi.
Sementara, di saat yang
bersamaan, saya diperjumpakan dengan banyak sekali orang-orang jenius yang
sebenarnya. Mulai dari dosen-dosen yang cerdasnya ampun-ampunan, asisten lab,
senior, teman seangkatan, bahkan hingga adik-adik di bawah saya, yang demi
melihat kecerdasan mereka, saya hanya bisa geleng-geleng kepala dan bertanya
dalam hati; bagaimana bisa mereka
mengetahui itu semua?
Hmm..., tunggu dulu, biar saya
coba ingat wajah mereka satu per satu. :)
Maka untuk kata ‘jenius’ itu,
tentu saya ini jauh panggang dari api.
Saya sering berada diantara tumpukan buku-buku farmasi yang harus dipelajari,
sambil melirik mupeng pada rak buku
tempat buku puisi Aan Masyur dan Helvy Tiana Rosa bertengger dengan manis. Saya
bahkan lebih rela disuruh menamatkan kitab Minhajul Qasidin-nya Ibnu Qudamah,
atau buku yang berisi pengalaman Torey Hayden menghadapi anak autis, daripada
berasyik-masyuk dengan buku farmasetika dasar yang mungil itu.
Di ruang kuliah, saya kadang
membayangkan diri saya sedang berhadapan dengan dosen, sambil bersiap-siap
menangkap bola-bola cahaya yang mereka lemparkan. Beberapa dapat saya tangkap,
yang lainnya terluput. Bola cahaya yang tertangkap itu kemudian harus berusaha
saya susun satu persatu dengan kening berkerut, agar kemudian mencapai
pemahaman yang benar dan sempurna pada suatu konsep. Saya belajar, menghapal,
mencoba memahami, dengan kapasitas otak dan suasana hati yang tidak full. Dengan segala daya dan upaya itu,
saya memeroleh nilai yang terkadang lumayan. Di saat malas datang melanda, maka
ikhlaslah saya dengan nilai seadanya. Namun tetap, semua pencapaian itu, saya
percaya, bukan hanya karena ikhtiar saya saja. Ada kasih sayang Allah yang
berperan di sana. Maka dalam beberapa mata kuliah, saya lebih terkesan ‘lolos’
dibandingkan harus disebut ‘lulus’. Hehehe...
Saya, kata ibu; dalam hal ini
persis seperti dirinya. Yang juga perlu kerja keras, bahkan mungkin cenderung
perlu untuk going extra miles untuk
mendapatkan ilmu yang saya inginkan. Tidak seperti dua saudara saya yang lain,
yang lebih mirip karakter bapak dalam belajar; santai, tapi tetap dapat IPK
yang lebih tinggi dari saya. Lalu saat mereka mengetahui itu, mereka akan
menyeringai penuh kemenangan, saya hanya bisa melengos dengan kesedihan. Hehehe..., kasian saya..
Tapi, saya selalu ingat perkataan
seorang dosen di masa semester 1 dulu. Dosen bahasa Inggris saat mengajari kami
teknik reading dengan cara scanning. Beliau mengatakan;
Saya tidak peduli, bahwa orang lain hanya butuh waktu satu jam untuk membaca
dan menguasai sebuah buku. Jika saya memang harus menghabiskan sepuluh jam
untuk memeroleh hasil yang sama, saya akan jalani sepuluh jam itu dengan
semangat. Dengan terus berusaha untuk mendapatkan apa yang saya inginkan!
Maka mungkin, itulah salah satu
perkataan yang membuat saya bisa bertahan sampai sekarang. Hingga akhirnya saya
tuntaskan tugas, seusai dinyatakan lulus dalam ujian sidang apoteker tadi. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
yang menakdirkan segala sesuatu.
Saya telah berjanji, untuk tidak
akan membawa nilai-nilai dari masa akademik ini, kecuali yang halal-halal saja.
Sebagaimana bapak hanya menyuapkan bulir-bulir nasi yang halal ke mulut kami,
anak-anaknya. Dan sebagaimana ibu selalu mengajarkan tentang kejujuran. Bahkan
meskipun nilai-nilai itu tidak seindah punya teman-teman yang lain, tidak
mengapa.
Maka terkait dengan pengirim sms
yang juga mengejar Maret untuk berwisuda bersama dengan saya di hari kedua
wisuda Unhas, sepertinya dunia harus bersiap-siap, pada lahirnya seorang
magister teknik yang hebat beberapa tempo yang akan datang. Dia benar-benar
seorang jenius yang insyaAllah akan memberikan sumbangsih yang banyak pada
ummat ini.
Lalu bagaimana dengan saya?
Saya telah mengorbankan banyak
hal untuk pencapaian saya saat ini. Dan saya tidak ingin pengorbanan itu
sia-sia, kecuali ia mendatangkan manfaat yang lebih luas lagi. Maka saya mungkin
tidak berani berjanji yang muluk-muluk; kecuali bahwa saya akan tetap belajar
seperti saat masa kuliah dulu. Saya akan selalu berusaha menjadi lebih baik dan
lebih baik lagi, dan menjadi seorang apoteker budiman yang bermanfaat bagi
agama ini, bangsa ini, dan bumi Allah ini. Hmm...,
janji seperti itu sudah bagus, bukan? J
Untuk Putri Cahaya yang super-duper jenius! Terima kasih untuk
supportmu yang selalu, ukhti :’)
Dan kepada semua orang yang mendoakan kemudahan untuk saya hari ini;
Tahukah, doa kalian begitu terasa!
Juga teruntuk rekan-rekan seperjuangan di Apoteker Farmasi Unhas; you
are genius! Trust me!
Makassar, 21 Februari 2013
kita semua genius, bukankah begitu?
BalasHapusSEMANGAT YA!!!!
^_^
Semangat!
HapusTerima kasih sudah berkunjung
Bismillah
BalasHapusArrifa'ah..Maya
Sukses yah dek..
Maya siap tesis, Arifa'ah jadi apoteker, semoga berjaya untuk ummat.
Aamiin..
HapusKak rezky juga sukses selalu!
Allahu Akbar! :D
Ada hal-hal yang ingin kutengarai karena sedikit menggelitik qalbu. Ada hal-hal yang kupikir akan lebih baik jika aku membantahnya. Ada hal-hal yang terasa salah. Tapi di saat seperti ini, aku lebih memilih untuk diam. Bagaimanapun ada masa dimana kita sebaiknya menjadi pendengar yang baik. Dan kupikir, masa itu adalah masa sekarang, saat membaca tulisan ini. Syukran wa jazakillahu khair, ukhtayya :) eh tapi ingatlah, sms itu bukanlah suatu kebohongan ^^ setidaknya bagiku, hohohoho.
BalasHapusHohoho...
Hapussaya memang akan selalu percaya padamu, ukhtayya :)