Kamis, 21 Februari 2013

You are Genious!


Telah tuntas, Bu. Telah kutuntaskan apa yang kau cita-citakan untukku.

Stay calm. Keep on fighting till the end. Diena, you are geniuos!

Begitulah sederet kalimat yang mendarat di inbox hp saya, tertanggal 20 Februari 2013, satu hari sebelum ujian sidang apoteker digelar. Saat itu, saya sedang bertapa bersama tumpukan buku dan kertas berisi materi yang harus saya pelajari untuk berhadap-hadapan dengan para penguji. Membaca pesan singkat itu, saya tersenyum; senjata makan tuan! Ya, beberapa tempo yang lalu, sms bernada sama memang saya kirimkan kepadanya, pengirim sms tadi. Saat itu, ia pun meminta didoakan saat akan menghadapi seminar proposal di program magister teknik yang ia jalani sekarang. Dalam smsan kami setelahnya, ia mengaku bahwa sugesti yang saya kirimkan padanya itu terbukti ampuh mendongkrak semangatnya di seminar tersebut. Maka ia pun mengirimkan sms yang sama pada saya hari itu, dengan harapan bahwa itupun mujarab pada saya yang berada dalam kondisi deg-degan tingkat tinggi.

Tapi, saya tersenyum lagi.

Sangat wajar jika sms saya kala itu, yang meyakinkan dirinya bahwa ia adalah seorang jenius, tentu saja ampuh padanya. Sebab nyatanya, ia memang seorang yang jenius. Jelas, setelah sepak terjangnya selama ini di jurusan yang ia geluti, tidak ada seorang pun yang akan memungkiri hal itu. Sementara saya?
Tiba-tiba, mata saya berembun. Suasana tegang saat saya belajar untuk persiapan sidang saat itu tiba-tiba berubah menjadi haru. Saya pada titik itu sadar; ternyata telah berjalan sejauh ini. Dalam sekitar lima tahun lebih ini.

Masih lekat dalam ingatan, saat dulu ibu memeluk saya dengan mata berkaca, lalu melanjutkannya dengan sujud syukur yang panjang, selepas pengumuman SPMB keluar, dan saya dinyatakan lulus di tempat saya sekarang. Setelah sebelumnya berkas saya gagal saat diajukan untuk PMDK di FKM pada universitas yang sama, setelah saya akhirnya mengurungkan niat untuk mendaftar di jurusan Psikologi dengan beberapa pertimbangan, dan setelah saya mengubur mimpi menjadi seorang wartawan profesional. Akhirnya, saya pun mengikuti permintaan ibu –yang saat itu terhasut oleh seorang sepupu yang tidak berhasil lulus di farmasi, untuk menjadikan farmasi sebagai pilihan pertama.

Saya pun belajar keras untuk dapat lulus, namun dengan ketidakyakinan. Saya pikir, tak mengapa jatuh di pilihan kedua, mungkin saya memang bisa enjoy dengan dunia biologi, syukur-syukur kalau bisa jadi guru.Tapi, ternyata Allah berkehendak lain.

Maka di sinilah saya sekarang. Berada di bidang yang sama sekali tidak pernah terpikirkan. Jika saja saat ini saya sedang tersesat, maka inilah ketersesatan yang paling panjang dan terencana dalam hidup saya. Sesuatu yang selalu membuat saya bertanya; apa keinginan Allah di balik ini semua?

Maka jelas, dengan fakta-fakta itu, terseok-seoklah saya menjalani masa kuliah dengan setengah hati. Tentu, semakin jauhlah saya dari kata ‘jenius’ untuk bidang ini. Alhamdulillah, nilai E tidak pernah sekalipun muncul di KHS saya, tapi saya sosok saya tidak jarang turut hadir saat ujian remedial digelar dengan senyum getir cengengesan, menyebunyikan penyesalan kenapa tidak belajar lebih cerdas lagi, padahal semalaman telah belajar mati-matian. Di akhir setiap ujian, sebelum mengumpulkan lembar jawaban, saya akan menyiapkan waktu sejenak untuk kembali menguat-nguatkan diri, bahwa apapun hasilnya nanti, seburuk apapun itu, maka itulah yang terbaik, bahwa pasti ada hikmahnya, bahwa mungkin saya ditakdirkan untuk belajar lebih dalam lagi, dan mungkin dengan cara itu saya bisa menjadi pintar. Saat merenung begitulah terkadang pengawas akan heran pada saya yang dengan ekspresi aneh menatap tidak jelas ke arah lembar jawaban yang kadang sebagian saya kosongkan, atau saya jawab dengan ilmu mengarang bebas, atau untuk soal pilihan ganda, saya pilih jawaban yang terlihat bercahaya *hehehe*. Sebagian dari mereka akan berujar; Kalau sudah selesai, kumpul saja...!  Lalu saya akan kelabakan menghadapi soal-soal itu lagi, berharap ada wangsit dan inspirasi yang lewat di saat-saat terakhir. Hehehe.., kejadian ini sangat sering terjadi.

Sementara, di saat yang bersamaan, saya diperjumpakan dengan banyak sekali orang-orang jenius yang sebenarnya. Mulai dari dosen-dosen yang cerdasnya ampun-ampunan, asisten lab, senior, teman seangkatan, bahkan hingga adik-adik di bawah saya, yang demi melihat kecerdasan mereka, saya hanya bisa geleng-geleng kepala dan bertanya dalam hati; bagaimana bisa mereka mengetahui itu semua?

Hmm..., tunggu dulu, biar saya coba ingat wajah mereka satu per satu. :) 

Maka untuk kata ‘jenius’ itu, tentu saya ini jauh panggang dari api. Saya sering berada diantara tumpukan buku-buku farmasi yang harus dipelajari, sambil melirik mupeng pada rak buku tempat buku puisi Aan Masyur dan Helvy Tiana Rosa bertengger dengan manis. Saya bahkan lebih rela disuruh menamatkan kitab Minhajul Qasidin-nya Ibnu Qudamah, atau buku yang berisi pengalaman Torey Hayden menghadapi anak autis, daripada berasyik-masyuk dengan buku farmasetika dasar yang mungil itu.

Di ruang kuliah, saya kadang membayangkan diri saya sedang berhadapan dengan dosen, sambil bersiap-siap menangkap bola-bola cahaya yang mereka lemparkan. Beberapa dapat saya tangkap, yang lainnya terluput. Bola cahaya yang tertangkap itu kemudian harus berusaha saya susun satu persatu dengan kening berkerut, agar kemudian mencapai pemahaman yang benar dan sempurna pada suatu konsep. Saya belajar, menghapal, mencoba memahami, dengan kapasitas otak dan suasana hati yang tidak full. Dengan segala daya dan upaya itu, saya memeroleh nilai yang terkadang lumayan. Di saat malas datang melanda, maka ikhlaslah saya dengan nilai seadanya. Namun tetap, semua pencapaian itu, saya percaya, bukan hanya karena ikhtiar saya saja. Ada kasih sayang Allah yang berperan di sana. Maka dalam beberapa mata kuliah, saya lebih terkesan ‘lolos’ dibandingkan harus disebut ‘lulus’. Hehehe...

Saya, kata ibu; dalam hal ini persis seperti dirinya. Yang juga perlu kerja keras, bahkan mungkin cenderung perlu untuk going extra miles untuk mendapatkan ilmu yang saya inginkan. Tidak seperti dua saudara saya yang lain, yang lebih mirip karakter bapak dalam belajar; santai, tapi tetap dapat IPK yang lebih tinggi dari saya. Lalu saat mereka mengetahui itu, mereka akan menyeringai penuh kemenangan, saya hanya bisa melengos dengan kesedihan. Hehehe..., kasian saya..

Tapi, saya selalu ingat perkataan seorang dosen di masa semester 1 dulu. Dosen bahasa Inggris saat mengajari kami teknik reading dengan cara scanning. Beliau mengatakan;

Saya tidak peduli, bahwa orang lain hanya butuh waktu satu jam untuk membaca dan menguasai sebuah buku. Jika saya memang harus menghabiskan sepuluh jam untuk memeroleh hasil yang sama, saya akan jalani sepuluh jam itu dengan semangat. Dengan terus berusaha untuk mendapatkan apa yang saya inginkan!

Maka mungkin, itulah salah satu perkataan yang membuat saya bisa bertahan sampai sekarang. Hingga akhirnya saya tuntaskan tugas, seusai dinyatakan lulus dalam ujian sidang apoteker tadi. Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menakdirkan segala sesuatu.

Saya telah berjanji, untuk tidak akan membawa nilai-nilai dari masa akademik ini, kecuali yang halal-halal saja. Sebagaimana bapak hanya menyuapkan bulir-bulir nasi yang halal ke mulut kami, anak-anaknya. Dan sebagaimana ibu selalu mengajarkan tentang kejujuran. Bahkan meskipun nilai-nilai itu tidak seindah punya teman-teman yang lain, tidak mengapa.

Maka terkait dengan pengirim sms yang juga mengejar Maret untuk berwisuda bersama dengan saya di hari kedua wisuda Unhas, sepertinya dunia harus bersiap-siap, pada lahirnya seorang magister teknik yang hebat beberapa tempo yang akan datang. Dia benar-benar seorang jenius yang insyaAllah akan memberikan sumbangsih yang banyak pada ummat ini.

Lalu bagaimana dengan saya?

Saya telah mengorbankan banyak hal untuk pencapaian saya saat ini. Dan saya tidak ingin pengorbanan itu sia-sia, kecuali ia mendatangkan manfaat yang lebih luas lagi. Maka saya mungkin tidak berani berjanji yang muluk-muluk; kecuali bahwa saya akan tetap belajar seperti saat masa kuliah dulu. Saya akan selalu berusaha menjadi lebih baik dan lebih baik lagi, dan menjadi seorang apoteker budiman yang bermanfaat bagi agama ini, bangsa ini, dan bumi Allah ini. Hmm..., janji seperti itu sudah bagus, bukan? J

Untuk Putri Cahaya yang super-duper jenius! Terima kasih untuk supportmu yang selalu, ukhti :’)
Dan kepada semua orang yang mendoakan kemudahan untuk saya hari ini; Tahukah, doa kalian begitu terasa!
Juga teruntuk rekan-rekan seperjuangan di Apoteker Farmasi Unhas; you are genius! Trust me!

Makassar, 21 Februari 2013

6 komentar:

  1. kita semua genius, bukankah begitu?
    SEMANGAT YA!!!!
    ^_^

    BalasHapus
  2. Bismillah

    Arrifa'ah..Maya
    Sukses yah dek..
    Maya siap tesis, Arifa'ah jadi apoteker, semoga berjaya untuk ummat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin..
      Kak rezky juga sukses selalu!
      Allahu Akbar! :D

      Hapus
  3. Ada hal-hal yang ingin kutengarai karena sedikit menggelitik qalbu. Ada hal-hal yang kupikir akan lebih baik jika aku membantahnya. Ada hal-hal yang terasa salah. Tapi di saat seperti ini, aku lebih memilih untuk diam. Bagaimanapun ada masa dimana kita sebaiknya menjadi pendengar yang baik. Dan kupikir, masa itu adalah masa sekarang, saat membaca tulisan ini. Syukran wa jazakillahu khair, ukhtayya :) eh tapi ingatlah, sms itu bukanlah suatu kebohongan ^^ setidaknya bagiku, hohohoho.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hohoho...
      saya memang akan selalu percaya padamu, ukhtayya :)

      Hapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)