Kamis, 21 Februari 2013

Pikiran-Pikiran yang Tertahan untuk Dituliskan



Ada dua alasan kenapa beberapa hari kemarin saya merasa kepala ini akan segera pecah. Pertama, karena begitu banyak hal yang harus saya jejalkan di dalam otak, demi menghadapi ujian sidang apoteker yang sudah berlalu kemarin. Saya harus mencari-cari sudut-sudut yang masih lowong untuk diselipi dengan ilmu-ilmu dan hapalan itu. Sesak! Yang kedua, karena ada banyak pemikiran yang kemarin-kemarin selalu bisa tersalurkan dengan tuntas lewat tulisan, namun kali ini tidak.

Ya, beberapa hari menjelang ujian sidang, saya memutuskan untuk jeda sejenak dari menulis di blog. You know lah..., menulis di blog bukan hanya tentang memposting rangkaian kata-kata. Sebelum itu, saya harus memulai proses menulis dulu, membacanya berkali-kali, mengendapkannya, lalu minimal 2 sampai 3 kali menghadapi-untuk-mengeditnya kembali, lalu memutuskan apakah saya akan memuatnya di blog atau tidak. Jika ya, maka terpostinglah ia. Jika tidak, maka ia akan masuk folder reject, dan mendekam di dalam hardisk laptop saja. Setelah terposting pun, secara berkala saya akan mengecek komentar yang masuk. Membalas komentarnya, lalu akan terpikir untuk membuat tulisan yang baru. Begitu terus. Dan jika proses itu saya ‘layani’, tentu kegiatan itu akan terlihat lebih menyenangkan daripada belajar farmasi industri, laporan apotek, dan kasus klinik, bukan? Hehehe..

Untungnya, saya masih cukup waras untuk tidak melakukannya. Sesekali bolehlah saya ngintip-ngintip di dunia maya. Tapi tidak untuk keterusan dan melalaikan keharusan belajar, khan. Duh, saya jadi terharu pada diri sendiri.. #eh

Baiklah, sebelum kepala saya pecah duluan karena keinginan menulis yang tertahan, mari kita menulis! Ya, ada beberapa isu yang akhir-akhir ini santer malang melintang dalam dunia pemberitaan di Indonesia. Ada juga fragmen yang turut muncul, namun mungkin tidak terperhatikan. Saya akan mencoba menanggapinya dalam tulisan ini. 

Partai dan Kasus Korupsi

Waktu kecil dulu, saya sering menatap heran kepada bapak yang gemar sekali nonton berita. Sambil menaksir kapan kira-kira bapak memperbolehkan remote TV itu dipencet dan  pindah channel ke acara kartun. Saya akan berpikir; apa enaknya nonton acara yang isinya cuma bicara seputar pemerintahan, harga pasar, dan kurs mata uang? Tapi semakin beranjak dewasa *ceile..*, saya akhirnya malah sering duduk bersama bapak, menonton acara berita bersama-sama. Ikut-ikutan komentar sok tau tentang isu-isu politik. Bertanya ini-itu untuk istilah yang tidak saya mengerti, dan lambat laun akhirnya paham, mengapa terkadang acara berita menjadi mengasyikkan juga.

Nah, akhir-akhir ini santer diberitakan tentang partai-partai yang terjerat kasus korupsi. Biasa, sebenarnya. Saya rasa, sejak zaman reformasi, korupsi agaknya tidak pernah lagi absen dari setiap kasus yang menyedot banyak perhatian. Angka-angka dengan jumlah nol yang banyak digelontorkan. Membuat kita kadang bertanya; jangan-jangan negara kita memang benar-benar kaya?

Lucunya, dengan pengetahuan politik yang minim, saya kadang bingung, dan semakin tidak jelas untuk menentukan yang mana sebenarnya pihak yang benar, dan yang mana yang salah. Setiap pihak, baik KPK, maupun yang diperkarakan oleh KPK, mengklaim dirinya punya bukti kuat untuk menunjukkan kebenaran masing-masing. Begitu berhari-hari, masyarakat disuguhkan dengan kasus-kasus korupsi yang bagai tak berujung-tak berpangkal. Hari ini begitu heboh, lalu di lain hari hilang entah kemana. Kemudian, digantikan dengan kasus lain, tanpa ketahuan bagaimana akhir kasusnya.

Berita yang satu heboh menggantikan berita heboh berikutnya. Satu skandal terkuak, belum mencapai klimaks, skandal lain datang. Saya berharap kebenaran segera dapat diperlihatkan. Namun, saat kemudian bosan dengan politik-politik itu, saya hanya dapat berdoa, sambil berkeyakinan, akan ada hari dimana keadilan tidak akan bisa lagi diputarbalikkan. Saat itu, kita tidak butuh lagi Abraham Samad untuk mengungkapkan apa-apa. Sebab telah ada tangan dan kaki yang akan berbicara.

Biasanya, saat ada kasus-kasus besar yang menyangkut orang besar, maka tunggu saja, kasus itu akan tertutupi dengan heboh kasus terorisme. Minimal, berita tentang sekelompok bersenjata bernama Densus 88 yang tiba-tiba membunuhi orang-orang yang mereka ‘curigai’ telah terkait aksi teror, tanpa pernah diberi kesempatan untuk berbicara panjang lebar, seperti para tersangka korupsi yang berkotek di televisi. Langsung DORR!

Narkoba Artis dan Ujian Sidang

Kasus lain yang tidak pernah bosan diberitakan media akhir-akhir ini adalah kasus kepemilikan narkoba yang terkait pada seorang artis terkenal, yang digerebek di rumahnya. Sepertinya, berita itu tidak pernah absen, selalu ada. Berita artis memang sudah biasa. Wong artis bawa apa di tasnya juga bisa dijadikan berita!

Tapi kali ini lain, kasusnya lumayan pelik, karena konon melibatkan barang haram jenis baru yang belum ada di undang-undang. Dan obat-obat itu, undang-undang itu, zat dan derivatnya itu, bahkan sampai rumah sakit tempat rehabilitasi sang artis itu, ternyata turut meramaikan ujian sidang apoteker saya kemarin. Luar biasa! Katinon, UU RI 35 Tahun 2009, pasal 153, dan rumah sakit ketergantungan obat, ikut-ikutan bersama materi lainnya. Dan ternyata para penguji justru menanyakan tentang itu, dan sama sekali tidak bertanya tentang materi validasi yang saya dan teman-teman hapalkan sampai berbusa-busa. Hehehe...

Kasus yang ini pun bagi saya masih buram. Pengacara artis ini konon masih keukeuh kliennya tidak bersalah, Wajar lah yah, khan untuk itu dia dibayar. Tapi yang lebih menarik perhatian saya justru adalah bagaimana respon masyarakat, terutama teman-temannya sesama selebritis yang dekat dengan artis ini. Dikabarkan bagaimana mereka sampai merayakan ulang tahun si artis, membuatkannya lagu, membawakan kue, termasuk memberikan support dan dukungan. Begitupula dari para fansnya.

Saya bisa merasakan bagaimana mereka pasti merasa sangat penting untuk mendukung kawannya di masa-masa berat. Hanya saja, saya khawatir bahwa ini akan memberikan kesan pada masyarakat bahwa terkait kasus narkoba bukanlah hal yang buruk-buruk amat, toh akan tetap didukung oleh orang terdekat! Akhirnya, jangan-jangan kita bisa lupa bahwa kelakukan itu –terlepas dari terbukti atau tidaknya, adalah sesuatu yang salah, dan memang harus dipertanggungjawabkan dengan seadil-adilnya.

Saya rasa sah-sah saja jika orang terdekatnya terus mendukung sang artis saat ia terpuruk. Tapi yah, jangan berlebihan lah... Atau cara infotainment memberitakan saja yang membuatnya terlihat seperti itu? Entahlah. Wallahu a’lam.

Perangnya Pakai Kata-Kata Saja, Yah!

Tadi pagi, saya masih sempat membaca lagi satu karya dari salah satu penulis favorit saya itu. Lalu saya pun merasa wajar jika beliau kemudian mampu untuk menembus pentas sastra dunia dengan karyanya yang fenomenal. Hanya saja, hanya berselang beberapa saat setelah mendengar kabar bukunya yang menembus best-seller dunia, muncul tulisan lain yang mematahkan fakta itu. Tulisan ini memang cukup komprehensif, dan bagi saya bukan hanya menguak isu yang diangkatnya, namun juga memberikan edukasi kepada masyarakat tentang beberapa fakta seputar dunia kepenulisan.

Tak lama, muncul pemberitaan lain tentang sanggahan sang penulis pada tulisan yang dianggapnya menyudutkannya tersebut. Dalam beberapa part memang terkesan begitu, namun untuk orang-orang yang telah paham pada kualitas karya sang penulis, tentu tidak akan sangsi, bahwa apapun yang terjadi, sang penulis adalah salah satu anak bangsa terbaik di negeri ini. Ia telah memperkenalkan Indonesia kepada dunia lewat bidang yang tidak biasa, bukan lagi olahraga atau seni, tapi literasi. Maka apapun yang dituliskan orang, saya rasa para penggemar beliau, termasuk saya, tetap akan menempatkan nama penulis itu sebagai penulis yang tetap akan selalu hebat.

Sayangnya juga, entah saya yang belum mengakses, atau memang tidak ada, sanggahan sang penulis hanya disampaikan lewat media populer dari hasil wawancara, bukan dari tulisannya sendiri. Saya tentu akan semakin senang mengikuti perkembangan isu ini jika saja kedua pihak ini berusaha untuk menyatakan argumen mereka lewat tulisan. Saya rasa sudah merupakan hal yang biasa, dan merupakan sesuatu yang lebih bermanfaat dan bermartabat saat satu tulisan saling menanggapi tulisan yang lain. Ibarat pantun, semacam saling berbalas pantunlah! Tapi tentu bukan hanya dengan rangkaian kata berima dan berirama, tapi dengan fakta, data, dan wawasan yang berbobot yang dapat mencerahkan pembacanya. Akhirnya, isu ini bukan justru menjadi polemik yang berakhir di meja hijau, tapi menjadi bahan pelajaran untuk orang-orang yang mengikuti perang kata-kata yang pastinya akan seru dan keren itu. Ya khan?

Iklan Anak Cerdas

Kalau yang terakhir ini, mungkin hanya saya saja yang memperhatikan. Atau hanya saya saja yang menganggapnya penting untuk dituliskan. Hehehe..

Jadi beberapa hari terakhir, televisi menyiarkan salah satu produk untuk anak. Susu kalau tidak salah. Dalam iklan itu, digambarkan seorang anak yang meraih topi cowboynya, siap untuk main kuda-kudaan. Tapi, dia malah masuk ke kamar tempat ayahnya bekerja. Bukannya meminta ayahnya untuk menemaninya main, si anak malah mengambil buku di atas meja kerja ayahnya yang sibuk di depan komputer. Meletakkan buku itu di bawah meja, lalu saat si ayah menunduk mengambil buku, naiklah ia di atas punggung ayahnya, menjadikannya kuda.

Kesimpulan dari iklan ini adalah, betapa produk itu telah berhasil membuat sang anak kecil itu menjadi cerdas. Punya inisiatif, dan mampu memprediksi hal-hal yang akan terjadi jika ia berbuat begini dan begini. Dengan kecerdasannya itu, si anak berhasil memperoleh apa yang dia inginkan. Dan orang tuanya pun seketika bangga dengan kemampuan nalar sang anak. Sayang, mungkin produser iklan ini tidak merasa penting untuk menambah durasi iklan, menggambarkan bagaimana sebaiknya orang tuanya menjelaskan pada sang anak, bahwa jika ingin sesuatu, lebih baik dikomunikasikan dengan santun dahulu, sebelum menempuh cara yang menurut saya lebih terkesan ‘menipu’. Itu bukan cerdas, tapi cerdik, bahkan mungkin licik. Apakah saya berpikir terlalu jauh? Khan namanya juga anak-anak..., mana mereka mengerti akan hal itu?

Ya, tapi jika memang anak ini benar-benar cerdas, sesuai dengan goal dari produknya, berarti seharusnya penting jika kecerdasan anak harusnya diimbangi dengan kecerdasan akhlak juga, yah. Hmm.., yang satu itu mungkin memang tidak bisa didapatkan hanya dengan sekadar minum susu!


----------------------------------------------------
Baiklah pemirsa, demikianlah yang bisa saya tuliskan. Sekali lagi, ini hanya pendapat pribadi saya. Jika pun ada yang keliru, mohon diluruskan dengan cara yang santun. Sebab saya pun mencoba menyampaikannya dengan penuh cinta pula. Hehehe...

Wahai kepala, tidak jadi meledak, khan?

Makassar, 22 Februari 2013.

2 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)