Senin, 28 Desember 2009

Saat Hidayah Ucapkan Selamat Tinggal


Ukhti, kalau ada yang harus hancur, jangan biarkan yang hancur adalah amanah dakwah, atau hubungan kita dengan orangtua, atau masalah akademik kita. Jika ada yang harus hancur, maka ia adalah diri kita sendiri, jangan korbankan yang lainnya!

Bersyukurlah ukhti, karena setidaknya, meskipun dengan bersusah payah, ukhti masih punya keinginan untuk tetap menuntut ilmy syar’I dan tergabung dalam barisan dakwah ditengah aktifitas kuliah ukhti yang padat. Itu masih lebih baik dibandingkan dengan orang yang meninggalkan jalan ini sama sekali

Dua buah perkataan diatas sengaja saya tuliskan disini agar siapapun yang membacanya dapat mengambil manfaat darinya, dan agar orang yang mengucapkannya dulu pada saya juga mendapat pahala atas apa yang beliau sampaikan itu

Mungkin, bagi kedua akhwat yang mengucapkannya, perkataan mereka tersebut bukanlah sesuatu yang special. Mungkin pula, mereka sudah lupa dengan hal itu. Tapi bagi saya yang mendengarkannya di saat memang saya membutuhkan kata-kata itu, saya rasa saya tak akan pernah melupakannya.

Hal lain yang membuat saya semakin tak dapat lupa adalah, sebab saat saya kembali melihat barisan dakwah tempat saya berdiri sekarang, saya tak lagi mendapati wajah mereka berdua di sana. Saya tak pernah tau dengan jelas atas alasan apa mereka memilih mundur. Itulah juga salah satu hal yang membuat saya tidak ingin tergesa-gesa memberikan cap negative pada mereka. Sebab bisa jadi, yang membuat mereka melakukan hal itu adalah karena campur tangan saya juga. Mungkin, ada kesalahan kecil dari saya yang membuat mereka pergi. Mungkin sebab seulas senyuman yang terlupa, atau karena masing-masing kami terlampau sibuk dengan urusannya sendiri. Wallahu a’lam.

Dulu, saya pernah merasakan hal yang sama semasa SMA. Saat barisan dakwah yang kecil dan sederhana itu, yang diisi oleh sekelompok muda belia yang teramat sangat dangkal ilmunya, namun sangat besar semangatnya untuk melanjutkan perjuangan para Rasul, menyapaikan risalah Islam ini. Saat itu, konsep mundur dari jalan dakwah dapat dibaca dari jarangnya hadir di mushalla, tidak pernahnya nampak pada musyawarah kami yang sangat sederhana, ataupun dengan menjauhnya dari komunitas akhwat. Saat itu, saya pernah melihat sebuah fenomena seorang akhwat yang menjauh hingga akhirnya menjadi teramat jauh. Sayangnya, akhwat itu adalah ia yang dulunya begitu bersemangat dan saya yakin bukan hanya menularkan semangatnya itu pada saya saja, tapi juga pada yang lain.

Mengingat bahwa kami bersama-sama memulai perjalanan ini dari titik yang sama. Dari seorang remaja polos yang mencari jati diri, hingga menemukannya di mushalla kecil itu. Sedikit demi sedikit menata busana agar tak hanya nampak ‘rapi’ di hadapan manusia, tapi juga di mata Allah. Perlahan tapi pasti berupaya berkomitmen dengan semua majelis ilmu yang kami hadiri. Hingga rela pulang sore karena harus menyelesaikan urusan proker rohis. Mengingat itu semua, saya saat itu begitu teriris melihat keadaannya sekarang. Melihat bahwa sekarang kami tak lagi berada di jalan yang sepi itu. Ia pergi.

Hingga waktu semakin berlalu. Kepengurusan dakwahpun semakin kompleks. Bukan hanya sekedar urusan satu sekolah tempat kami belajar, namun lebih luas lagi. Kami sudah dapat menyebut bahwa apa yang kami lakukan ini untuk kemaslahatan ummat, ummat yang lebih luas lagi. Namun, rupanya fenomena itu tetap saja ada. Fenomena bergugurannya orang-orang di jalan yang sepi, saat mereka menemukan persimpangan yang mungkin jauh lebih nyaman jalannya, dan lebih hingar bingar dengan manusia.

Semakin berjalan ke depan, semakin banyak yang kemudian memilih mundur. Dan kembali lagi terulang, bahwa banyak dari mereka yang pergi justru adalah orang-orang yang pernah membekaskan semangat mendalam dan spirit pada saya untuk terus bertahan. Orang-orang yang pernah membuat saya mengalami ‘aha-moment’, saat saya menemukan kembali titik-titik cahaya dari apa yang mereka lakukan, atau apa yang mereka katakan.

Saya memang bukanlah orang yang lurus. Saya bukan orang yang selalu istiqomah dengan semua yang harus saya hadapi saat memilih jalan ini. Saya mungkin malah orang yang paling sering merasa down dan berpikir untuk mundur sebelum perjuangan berakhir. Tapi melihat diri saya tetap bertahan meski dengan napas yang satu-satu dan segala kesalahan dan kelalaian di jalan ini, membuat saya merasa betapa Allah begitu baik pada hambaNya yang hina ini. Bagaimana Allah masih mempercayakan hidayah ini pada saya. Mempercayakan jilbab ini untuk tetap saya kenakan. Mempercayakan saya untuk tetap pada amanah yang saya pegang ini. Seburuk apapun saya.

Memikirkan dan menghitung-hitung orang-orang hebat yang kemudian memilih mundur itu, membuat saya kadang merasa takut dan terus bertanya-tanya; “Sampai kapan Allah akan terus percaya pada saya? Akankah saya juga akan mengalami hal yang sama seperti mereka yang pergi?”. Saya khawatir dengan masa depan, akankah saya akan tetap seperti ini?
Tapi, terlepas dari itu semua. Terlepas dari ALASAN APAPUN yang membuat mereka memilih mundur dan menghilang. Saya yakin, mereka telah menorehkan banyak cahaya pada banyak hati. Mereka telah memiliki unta-unta merah yang setiap amalan yang ia kerjakan karena telah ia ajarkan padanya, akan berimbas pula pada mereka. Unta merah itu termasuk pula saya. Dan itu tidak akan pernah berubah, seperti apapun mereka berubah. Meski sebenarnya, dengan tetap berada di sini, mereka akan punya kesempatan yang lebih untuk memenuhi pundi-pundi amal mereka untuk perbekalan perjalanan panjang menuju kampung akhirat. Tapi mereka telah memilih. Mereka telah pergi.

Namun barisan ini akan terus menunggu siapapun untuk datang kembali. Meski semuanya berpulang pada kehendak Sang Ilahi. Apakah kepercayaan itu akan datang dua kali? Wallahu a’lam.

Tapi saya terus berharap, selama nafas berhembus, saya tetap berada di jalan ini. Semoga.

Yaa muqallibal qulub, tsabbbit qalbi ‘ala diinika…

Saat Hidayah Menyapa


Semakin waktu berlalu dalam kehidupan saya, semakin saya pahami betapa manusia memang tak pernah tau akan nasibnya sendiri, kecuali saat takdir itu benar-benar berlaku kepadanya. Bahkan untuk semenit atau sedetik berikutnya pun kita tidak dapat menerka apa yang akan menimpa diri ini. Sehingga kadang, jika kita mencoba berdiam dan berhenti di tempat sejenak, maka akan kita rasakan betapa penantian, terkaan-terkaan, dan tebakan tentang apa yang akan menimpa kita selanjutnya adalah sesuatu yang sangat…. Ehm… saya kesulitan memilih kata yang tepat untuk menggambarkannya! Yang jelas, kadang saya merasa sangat excited untuk menerka apa yang akan terjadi pada saya selanjutnya?

Makanya, saat kita memandang diri kita sekarang, mungkin kita akan terbawa kepada suatu pemikiran, ‘kok bisa yah saya jadi seperti ini?’ . Sebab perubahan adalah sesuatu yang niscaya, baik yang sangat signifkan, ataupun yang biasa-biasa saja.

Pertanyaan seperti yang diatas, tidak jarang saya lontarkan kepada diri saya sendiri, saat saya puya waktu untuk mengambil jeda sejenak untuk memaknai hidup. Membayangkan kenyataan bahwa saya dulu bermodel ‘A’, rasanya sulit untuk saat itu membayangkan bahwa saat ini saya sudah seperti ini. Dengan penampilan saya. Dengan kegiatan saya sekarang. Dengan pendidikan yang saya tempuh sekarang. Dulu, saya benar-benar tidak pernah membayangkan akan seperti sekarang.

Tapi, jika kembali dirunut, maka memang tak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Bahwa segala sesuatunya memang telah dengan teramat sempurna digariskan olehNya untuk setiap hamba yang berjalan di atas muka bumi. Siapa yang mengira jika iseng-isengnya saya mengikuti ‘Kajian Jum’at’ di masa SMA beberapa tahun silam, telah membawa saya pada jalan cahaya yang saya tempuh sekarang. Mempertemukan saya dengan banyak sosok-sosok luar biasa yang ikut meringakan beban saya saat memulai pendakian dan menyediakan tangannya saat saya mulai merasa lemah. Saat hidayah itu menyapa, mungkin hanya bermula dari sebuah senyuman yang mungkin tidak terlalu istimewa bahkan bagi pemilik senyum itu sendiri, namun ternyata dapat membekas di hati dan membawa perubahan yang besar dalam sebuah pribadi.

Setiap orang punya jalan ceritanya masing-masing saat pertama kali berjumpa dengan hidayah. Ada yang biasa-biasa saja. Ada pula yang luar biasa dan penuh dengan kisah yang mengharu-biru. Tapi tetap saja itu semua merupakan sebuah nikmat yang teramat besar dan sebuah pemilihan yang agung yang tidak sembarangan dapat ditujukan pada setiap manusia.
Saya sempat merinding saat melihat bagaimana tetesan-tetesan hidayah dapat mengalir kepada siapa saja yang Allah mau.

Suatu hari saya shalat di mushallah kampus, disamping seorang muslimah lain. Setelah selesai shalat, saya sempat sedikit mengerling pada muslimah di samping saya yang kemudian saya rasakan cukup familiar wajahnya. Tapi saya kembali tenggelam dalam rutinitas ba’da shalat saat mendapatinya kemudian melanjutkan shalat wajibnya dengan shalat sunnah setelahnya. Beberapa hari setelah itu, saya kadang mendapati kembali muslimah tersebut di mushallah kampus. Dalam majelis kultum. Atau saat ia sedang membaca-baca majalah Islami yang ada di perpustakaan mushallah.

Beberapa waktu kemudian, saya baru disadarkan oleh seorang teman tentang sosok yang tak nampak asing bagi saya itu. Muslimah yang saat ini tampil dengan jilbab rapinya, dan dengan semangat keberislaman yang nampak begitu kuat dalam tingkah polahnya.
Ya, saya ingat sekarang. Perjumpaan saya dengannya adalah saat ia bergabung di kelas kami (kelas regular pagi) yang saat itu digabung dengan kelasnya (regular sore). Ia kayaknya memang tidak seangkatan dengan kami. Tapi saya masih ingat bagaimana gayanya saat itu. Dia dengan wajahnya yang cantik, khas Arab. Namun terlihat kontas dengan rambutnya yang cepak dan dibuat agak2 jabrik. Dengan celana botol yang nge-press dan baju kaos yang hampir sama jenisnya dengan celananya; membentuk. Waktu itu dia terlambat, lumayan fatal. Tergolong nekat untuk tetap masuk mengetuk pintu sebenarnya. Namun dengan santai ia lenggang kangkung masuk ke kelas saat dosen mempersilakannya dengan ekspresi lumayan kaget juga.

Membandingkan sosoknya dengan saat pertama kali saya melihatnya, dengan perjumpaan saya dengannya selanjutnya membuat saya tidak henti-hentinya mengucap Subhanallah, Maha Suci Allah yang Maha Berkehendak. Saat ia ingin, maka terjadilah. Saat Ia memilih, maka dapat berubah segalanya.

Dan saya tak pernah berhenti terkagum-kagum pada sosok-sosok semacam itu. Sosok dengan semangat yang membara, semangat perubahan. Saat saya dengan sangat nyata dapat melihat tiap tetes hidayah mengalir pada dirinya.


Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbi ala diinika…

Rabu, 23 Desember 2009

Dunia dari Mataku

Dengan mata telanjang. Tanpa sepasang kaca berlensa minus yang membantu di hadapannya…
Adalah dunia dengan buram yang menyambut meski dalam jarak yang kadang membuat orang tercengang saat mengetahuinya. Dunia yang membuat tulisan di papan tulis hanya nampak sebagai garis-garis tak jelas yang menjuntai-juntai tanpa bisa terbaca sedikitpun. Saat senyuman dari jauh tak dapat saya tangkap, ataupun orang yang saya kenal yang kadang mengecap saya dengan sebutan ‘sombong atau cuek atau tidak pedulian atau apapun itu’ hanya karena saya memang tak mengenal wajah mereka yang nampak rata itu di mata ini dalam jarak tertentu.

Dunia yang kadang membuat saya puyeng karena mungkin mengharuskan si mata bekerja lebih ekstra untuk menangkap sebuah obyek. Atau saat kepala saya hampir sepekan nyut-nyutan karena beberapa gores kecil pada lensanya yang membuat kemampuannya membantu saya malah menyebabkan masalah baru yang mengantarkan saya pada dokter mata yang memaksa menjawab pertanyaan “huruf apa ini?” saat ia memperlihatkan deret huruf sekecil bakteri pada sebuah kotak yang bersinar.


Kaca mata berlensa minus itu telah menjadi sahabat karib sejak berada di tahun terakhir di sekolah dasar, saat saya masih mengenakan seragam putih-merah dan menjadi orang pertama di kelas saya yang mengenakannya. Dalam perjalanan bertahun-tahun selanjutnya, berkali-kali sang kacamata berganti bentuk dan lensanya karena bingkainya yang patah saat saya gunakan hingga tempat tidur atau karena angka yang berada di belakang kata ‘minus’ itu semakin bertambah jumlahnya.

Mengenakan ‘alat bantu’ itu kadang membuat hidung saya lelah karena menopang beban benda kaca yang bertengger di atasnya. Membuat keringat di bawah mata saya menggenang sebab angin yang berhembus tak dapat mengeringkannya karena dihalangi oleh kacamata. Kadang ia berembun saat saya menikmati mie kuah yang masih panas. Atau saat saya bernapas dalam udara dingin
Maka wajarlah jika ternyata nikmat sebiji bola mata ini ternyata memang masih lebih berat dibanding amalan seumur hidup seorang abid.


Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau
dustakan?



Buat semua pemakai kacamata…, dan buat semua orang yang matanya normal; selamat mensyukuri nikmat Allah yang tiada terkira! Makassar,23 Desember 2009

sumber gambar: http://wicakz.multiply.com/

Selasa, 17 November 2009

Isteri Buya HAMKA, Atap Bocor, dan Perahu Kertas

Kisah ini saya dengarkan dalam sebuah ceramah di radio hp saat mati lampu
menyapa rumah saya. Disebuah senja yang jingga, saya kembali belajar tentang
kehidupan lewat untai kisah sederhana penuh hikmah…


Kisah ini bercerita tentang isteri seorang Buya HAMKA dimasa saat mereka masih tinggal di gubuk kecil. Saat itu, keluarga dengan anak-anak yang masih kecil-kecil ini sedang berkumpul dalam rumah mereka. Sementara di luar, hujan turun ke membasahi bumi Allah. Sementara, gubuk mereka yang teramat sederhana itu, ternyata atapnya tidak mampu menerima guyuran air hujan, maka terjadilah kebocoran dimana-mana. Maka dengan sigap, sang isteri mengambil baskom dan wadah lain yang dapat digunakan agar air bocoran itu tidak membasahi lantai gubuk mereka.

Sejenak, suasana terasa begitu pilu. Dinatara gemericik air hujan yang masuk di rumah, sebuah keluarga menatap satu demi satu tetes hujan yang tertampung di baskom yang bukan hanya menunjukkan bocornya atap mereka, namun juga menunjukkan ketidak berdayaan mereka untuk dapat hidup lebih layak. Tapi apakah yang dilakukan oleh sang isteri? Apakah ia merajuk pada suaminya agar dibelikan hunian yang lebih nyaman? Ataukah ia menyesali takdir atas apa yang terjadi pada dirinya? Atau mengangis tersedu-sedukah ia karena betapa menyedihkannya hidup yang ia rasa?

Ternyata tidak.

Yang ia lakukan adalah mengambil kertas, dan melipatnya membentuk kapal-kapalan. Selanjutnya kapal-kapal kertas itu ia layarkan pada air hujan yang tertampung pada baskom tadi. Selanjutnya, disuruhnya anak-anaknya untuk bermain kapal-kapalan dengan lipatan kertas tersebut.

Maka suasana pilu yang penuh dengan nuansa kesedihan tadi serta merta berubah menjadi ceria ditengah rintik hujan. Atap rumah mereka boleh bocor, tapi justru itulah yang saat itu dapat menerbitkan senyum pada bibir anak-anaknya yang tengah asyik dengan mainan barunya. Atap rumah mereka boleh bocor, tapi tidak membuat jiwa mereka bocor dengan ratapan dan penyesalan atas apa yang telah Allah takdirkan untuk mereka hari itu. Subhanallah…!

Maka hal paling pahitpun dapat berubah menjadi begitu manis saat kita mencoba sedikit menggeser langkah dan memandang dari sudut yang berbeda. Bahwa di setiap duka, pasti ada akhir dengan senyuman pada setiap jenaknya. Wallahu a’lam.

Jumat, 23 Oktober 2009

Tahun Ketiga di Kampus Merah










Menatap kampus merah, Universitas Hasanuddin, rasanya tidak banyak berubah. Kecuali bahwa fakultas saya yang tadinya menjulang dari lantai 4 ke lantai 6, kini hanya tersisa puing-puing di tingkat teratas pasca musibah kebakaran beberapa bulan silam. Tapi selebihnya, rasanya hanya waktu saja yang terus berputar mengiringi si kampus merah. Pun dengan orang-orang yang berada di dalamnya. Orang-orang dengan harapan dan mimpi masing-masing tentang masa depan.




Pertama kali menginjakkan kaki di sana, aroma asing langsung begitu terasa. Bangunan-bangunannya yang saling ‘bersaing’ satu sama lain, ditutupi keangkuhannya dengan jejeran pohon yang meneduhkan dari garangnya sinar sang surya. Selanjutnya, jalan setapak yang selalu saya lewati di pagi hari sebelum sampai di fakultas, dimana pohon-pohon berbaris di kedua sisinya dan memancarkan sinar mentari pagi di celah-celah daunnya yang membentuk terowongan. Bunyi-bunyian serangga dan gemerisik angin yang memainkan dahan mencipta harmoni yang menemani langkah memburu saya jika terlambat masuk kelas, tapi untaian suara alam tadi seolah menyapa, “Assalamu alaykum…, selamat pagi penuntut ilmu.., semangat!”. Dan langkah sayapun semakin cepat.




Dan meski berkali-kali melalui jalan itu, setelah tahun ketiga saya di kampus merah, rasanya pun tetap saja sama.




Sebelum memasuki area fakultas saya, saya melewati bagian fakultas teknik. Di semester genjil seperti ini, pemandangan di dominasi oleh warna hitam-putih, pakaian mahasiswa baru fakultas teknik, dengan celana kain atau rok hitam serta kemeja kedodoran berwarna putih. Sesekali saya mendapati beberapa dari mereka berwajah sangat tegang dengan jalan berbaris layaknya semut merah di batang pohon. Oh…, rupanya ada senior yang menggiring mereka, sesekali dengan suara yang semakin meninggi, yang diselingi dengan tawa yang kadang membahana. Menyaksikan hal itu, pikiran saya kadang berimaji, bahwa di kemudian hari, para maba teknik yang kepalanya plontos itu akan ditumbuhi rambut gondrong, kemudian baju dan celana rapinya yang kedodoran juga akan berubah dengan kaos dan celana jeans, lalu mereka akan kembali lagi meneriaki junior mereka, dengan berbagai macam rencana yang terinspirasi dari apa yang dulu senior mereka lakukan pula padanya. Dan hal ini akan terus berulang, mencipta lingkaran setan yang tak ada habisnya, mungkin jika tak ada malaikat yang datang untuk memutuskannya, maka hal ini akan terus berlangsung hingga hari akhir tiba.




Memasuki bagian fakultas saya, maka selalu saya disapa dengan sesak dan sibuknya area kami yang mungil, namun begitu banyak penghuninya. Deretan laboratorium dengan baunya masing-masing; semerbak bau mencit dan kelinci dari arah biofar, tajamnya bau bahan kimia dari kimia farmasi, wanginya ekstrak tumbuhan dari fitokimia, dan aroma khas agar-agar medium bakteri dari mikrobiologi. Di jam-jam tertentu, lab itu akan disesaki koridornya oleh para praktikan yang berdesakan menunggu namanya disebut dalam absensi praktikum oleh para asisten yang siap untuk membagi ilmu mereka. Lalu menit selanjutnya, suasana tegang tercipta saat dijalankan responsi sebelum praktikum dimulai. Kemudian keheningan tadi akan berganti riuh saat kegiatan akademik dalam lab itu dimulai. Mengambil darah dari telinga si kelinci, meneteskan asam sulfat pekat melalui dinding tabung, menotolkan ekstrak ke lempeng silica gel, ataupun membuat goresan inokulum pada mediumnya. Dan saat mentari akan mulai mengucap salam perpisahan, wajah-wajah lelah akan keluar dari pintu-pintu lab itu. Menatap langit senja dengan harapan akan diberi kekuatan malam ini untuk menyelesaikan laporan yang telah menumpuk serta berkomat-kamit menghapalkan jawaban tugas pendahuluan agar dapat lulus respon esok hari.




Tahun ketiga di kampus merah.




Masa yang panjang, namun rasanya singkat saja. Masih banyak hal yang terlewat dan belum terpelajari. Bukan! Bukan hanya tentang materi kuliah mulai dari biologi sel hingga teknologi sediaan steril. Tapi tentang pelajaran yang bisa dipetik dari universitas kehidupan. Pelajaran yang mungkin sebenarnya hadir hampir di setiap detik saat kita menghembuskan nafas untuk memenuhi paru-paru dengan oksigen. Tapi begitu banyak yang tak sempat kita camkan dalam otak dan hati ini sebab terlalu sibuk kita dengan hal-hal yang lain.




Tahun ketiga di kampus merah.




Saya berharap dapat sekali lagi menyaksikan awan di langit senja yang seolah membentuk tulisan: ALLAH.



Minggu, 11 Oktober 2009

Sungaikan Hatimu!


Banyak orang yang menggerutu dengan serangkaian masalah yang menghampiri hidupnya.


Cobalah masukkan segenggam garam dalam segelas air, dan rasakan betapa asinnya air tersebut. Namun, jika garam dengan jumlah yang sama dimasukkan pada sebuah sungai yang mengalir, maka asinnya pun tidak akan terasa sama sekali. Jika masalah diibaratkan dengan garam yang segenggam tadi, maka agar air kehidupan kita tidak terasa asinnya, maka kita hanya perlu menyediakan hati yang lapang, selapang sungai, bahkan mungkin lebih. Jangan menyempitkannya layaknya segelas air, yang membuat anda akan meringis merasakan asinnya garam tadi!


Wallahu a'lam..




Minggu, 27 September 2009

Endless Life




Karena tidak penting memikirkan kapan kematian datang, namun memaknai apa saja yang kita lakukan dalam hidup.

Tak perlu waktu yang lama bagi saya untuk menentukan pilihan pada buku mungil bersampul putih itu saat bertandang ke Gramedia di salah satu mall di Makassar. Sebuah label yang melekat pada sampulnya seketika membulatkan tekad saya untuk segera menentengnya ke kasir. Di sana tertulis; Sebuah Inspirasi Kehidupan.


Dan memang hal itu adalah benar. Bahkan di saat halaman-halaman awal saya menikmati buku ini, ada semacam gemuruh yang langsung membuncah. Seolah semacam firasat bahwa untaian kata di dalamnya akan memberikan kesan yang akan sangat mendalam bagi saya.

Buku itu berjudul; Endless Life, Kisah Perjuangan Hidup Seorang Pengidap Marfan’s Syndrome. Buku itu bukan memuat tentang kisah fiksi yang hanya melayang dalam imaji pengarang. Bukan pula sebuah cerita rekaan yang tentunya dapat begitu mengharukan karena memang tidak benar-benar terjadi. Endless Life berisi kisah nyata seorang gadis pengidap penyakit langka yang belum ditemukan obatnya, namun ia terus bersemangat dalam menghadapi hidupnya.

Kehidupan Wahyu Ajeng Suminar bukan hanya tentang kisah sedih atau perjuangan mengharu birunya dalam tetap strong menghadapi takdir Allah tentang Marfan’s Syndrome, tapi juga berkisah tentang perjuangan sang Ibu, Matahari Hati yang selalu berada di sampingnya. Tentang kakaknya yang menjadi seorang pecandu narkoba yang selalu meneror keluarganya hingga kemudian meninggal dunia bahkan saat nyaris lepas dari jeratan narkoba, juga tentang perceraian kedua orangtuanya yang membuatnya mengalami Father Hungry yang kemudian ia lampiaskan dengan teramat manis pada sosok dokter yang merawatnya.

Buku ini juga membuka wawasan kita tantang penyakit Marfan’s Syndrome yang mungkin terdengar asing. Penyakit yang bersifat menurun ini menyebabkan tubuh pengidapnya meninggi tanpa henti, sehingga tulang belulangnya meliuk dan penglihatannya berkurang karena terus memanjangnya urat sehingga retina terlepas. Namun, yang paling berbahaya dari penyakit ini adalah jika aorta pengidapnya mengalami kelainan, sehingga jantungnya akan terdesak dan seringkali terjadi kebocoran. Dan hal yang terakhir inilah yang terjadi pada Ajeng.

Jika kamu membayangkan seorang Ajeng yang menderita Marfan’s adalah seorang gadis pemurung yang hanya sibuk menghitung hari menunggu akhir hidupnya, maka kamu salah besar. Justru lewat tiap kata yang ia tuliskan dalam memoarnya ini, kita dapat menangkap betapa besar semangat hidup gadis ini. Meski ia tak dapat menempuh pendidikan formal disebabkan karena kekurangannya tersebut, ia tak pernah berhenti belajar. Ia bahkan mengikuti sebuah kursus bahasa Inggris di salah satu lembaga bersama orang normal lainnya. Ia juga sangat senang mendengarkan radio hingga kemudian berkenalan dengan Shahnaz Haque yang kemudian ia sebut sebagai ‘Tim Sukses’nya karena kebaikan hati beliau terhadap Ajeng. Ia bahkan berkenalan akrab dengan Indra Qadarsih, personel band BIP, serta Aa’ Gym yang ia temui pertama kali dalam sebuah acara. Ia juga pernah diberi tempat duduk VIP langsung dari Helmy Yahya saat ia mengikuti seminar beliau.

Mendengar perjalanan hidupnya yang banyak diwarnai oleh tokoh-tokoh terkenal, awalnya saya menyangka Ajeng berasal dari keluarga berkecukupan. Ternyata saya salah. Kehidupan keluarga Ajeng yang hanya mengandalkan ibunya sebagai single parent dengan membiayai penyakitnya yang tak murah bahkan pernah membuat keluarganya berhutang pada rentenir. Namun, kisah hidupnya juga menyadarkan kita betapa apiknya Allah merangkai skenario hidup seseorang. Sebab di saat genting, selalu saja ada bantuan yang datang, misalnya padanya saat puisinya I WAIT THE SUN dan I SEE THE SUN yang ia buat saat masih mengikuti kursus bahasa Inggris, dipatenkan oleh salah satu perusahaan MLM yang ia sempat bergabung di dalamnya, bahkan ia juga dinobatkan sebagai motivator nasional dan member inspirasi pada ribuan orang yang datang dari seluruh Indonesia!

Keterbatasan Ajeng dan napasnya yang sering tersengal tidak membuatnya terus meratap, bahkan ia mendirikan sebuah lembaga yang concern pada pencegahan penyalahgunaan narkoba (terinspirasi dari kisah kelam kakaknya) serta masalah social lainnya, yang ia beri nama, Inspiration of Qudwah. Lembaganya memberikan konseling pada banyak orang dan membuka jalan bagi Ajeng untuk mewujudkan mimpinya; memberi INSPIRASI bagi banyak orang. Sebab ia selalu mengulang-ulang sebuah sabda Rasulullah; Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat.

Di saat-saat kritis Ajeng, ibundanya mengambil sebuah keputusan yang besar dengan berhenti bekerja. Padahal mereka tahu betapa besar biaya yang habis untuk pengobatan dan terapi penyakit Ajeng. Namun, berbekal kepasrahan dan keyakinan atas rejeki dari Allah, ibu Ajeng menyampaikan pemikirannya, bahwa jika selama ini ia bekerja pada manusia, maka ia digaji oleh manusia, maka saat ia merawat Ajeng yang ia niatkan sebagai ‘bekerja kepada Allah’, maka Allah pun pasti tidak akan menyia-nyiakannya. Maka pada saat yang sama kita dapat menyaksikan betapa rejeki tersebut memang benar-benar mengalir lewat berbagai tangan yang digerakkan hatinya oleh Allah. Namun, satu hal yang sulit terlupa dari ibu dan anak ini adalah sebab keduanya sangat anti dikasihani. Mereka selalu menjaga kehormatan dirinya dalam keadaan apapun.

Ajeng berpulang ke sisi Allah buka dalam keadaan mederita di atas tempat tidur rumah sakit. Ia bahkan tertidur untu selamanya di atas kursi roda saat menunggui ibunya yang tengah menjalani operasi pengangkatan rahim, suatu hari di bulan Ramadhan tahun lalu, tepatnya pada tanggal 18 Ramadhan. Begitu banyak hal yang diajarkan oleh Ajeng dalam hidupnya yang singkat, dan begitu banyak manusia yang telah ia beri inspirasi dan akan ia beri inspirasi lewat buku yang terbit bahkan setelah ia telah tiada.

Diri ini yang masih seringkali menggerutu atas takdir yang sedikit asam saja kemudian begitu tertampar melihat untaian kalimat yang ditulis oleh gadis yang didera berbagai masalah dan digerogoti penyakit mematikan itu selama 16 tahun lamanya. Dalam memoar terakhir dalam bukunya, pada paragraph penutup ia menutur dengan teramat indah;

Aku mensyukuri tiap rasa sedih ataupun bahagia yang hadir dalam hari-hariku dalam setiap episode yang tidak sama namun membawa hikmah. Tidakkah hidup ini demikian indah, begini adanya.

Berikut adalah sebuah puisi karya Ajeng yang dilampirkan dalam buku ini;

Pesan Tuhan dalam Marfan

Setelah lama mengeja, akhirnya ku dimampukan membaca pesan Tuhan dalam Marfan
Sungguh terdapt catatan hikmah sebagai hadiah bagiku yang kini kerap terbaring lemah
Hikmah yang menjadi jawaban bagi berbagai prasangka yang salah
Hikmah yang membantah segenap praduga yang tak nyata
Hikmah yang membuktikan bahwa takdir Marfan yang terjadi padaku bukanlah kesia-siaan.
Dalam skenario indah yang dibuatNya, Tuhan seolah berkata…

Marfan bukanlah tugas sederhana yang diakibatkan sebuah kebetulan melainkan peran utama yang disengajakan Sang Maha Sutradara
Marfan bukan musibah melainkan anugrah
Marfan bukan karma melainkan karunia
Marfan bukan kutukan, melainkan keajaiban
Marfan bukan hukuman atas dosa yang tak termaafkan melainkan jalan pertobatan
Marfan bukanlah beban melainkan latihan kesabaran
Marfan bukan alasan tuk menyerah melainkan tantangan tuk membangkitkan ketegaran
Marfan bukan untuk mengundang belas kasihan melainkan untuk menginspirasi perjuangan
Marfan bukan untuk dijadikan suatu ratapan melainkan untuk direnungkan dengan kejernihan

Karena..
Marfan bukanlah vonis kematian melainkan kesempatan tuk lebih menghargai kehidupan
Marfan bukanlah kecemasan melainkan pembelajaran tuk menerima kebenaran
Marfan bukanlah kecacatan melainkan bagian dari kesempurnaan
Marfan bukanlah tanda gagalnya penciptaan melainkan Maha Karya Sang Pemilik Kehidupan
Marfan bukanlah kegelapan melainkan pencerahan
Marfan bukanlah kedzaliman Sang Maha Kuasa melainkan cinta kasih Sang Maha Penyayang

Maka…
Marfan bukan tak tersembuhkan melainkan ujian bagi gigihnya upaya sekaligus kepasrahan
Marfan bukan tuk diacuhkan melainkan disikapi dengan kepedulian dalam batas kewajaran
Marfan bukan untuk digenggam terlalu dalam atau dilepas dengan kemarahan melainkan harus diikhlaskan
Dan Marfan bukanlah pesan Tuhan yang dikirim hanya untukku karena Marfan adalah pelajaran bagi semua orang


Jumat, 21 Agustus 2009

Tidak Lapar saat Puasa? WASPADALAH!!!


Dulu, saya sering menganggap, bahwa hal yang terbaik saat kita berpuasa adalah pada saat kita bisa terus kuat, tidak terlalu merasa lapar saat melaksanakan ibadah tersebut. Karena itu berarti, kita bisa bebas menjalankan aktivitas layaknya orang yang tidak sedang berpuasa, tanpa perasaan loyo, lemah, dan letih. Anggapan saya itupun terus terpelihara dengan banyaknya reklame produk yang menawarkan iming-iming tenaga ekstra untuk menghadapi ibadah puasa. Jenis suplemen ini dan itu, pun dengan berbagai jenis makanan sehat yang membuat perut kita tidak keroncongan hingga waktu berbuka tiba.
Namun, anggapan itu kemudian berubah…

Dalam sebuah moment, seorang ustadz berkata, bahwa disitulah kesalahan kita. Kita berusaha agar tidak lapar saat puasa dengan mengkonsumsi berbagai makanan, obat-obatan, dan berbagai tips lainnya. Padahal, bukankah hikmah puasa adalah agar kita bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang tidak berpunya? Perasaan itulah yang akan melahirkan empati kepada sesama dan perasaan syukur atas apa yang kita miliki. Kita bisa merasakan bagaimana saat kita lapar, tapi kita tidak bisa makan. Bagaimana rasanya haus, sedang kita tidak bisa minum. Bagaimana rasanya melaksanakan berbagai aktivitas dalam keadaan tubuh yang kekurangan energy, namun tak ada daya untuk memasok energy tersebut. Yah, puasa seharusnya mengajarkan kita agar kita ‘merasa’. Merasakan apa yang mungkin tidak akan kita rasakan di luar ibadah tersebut.

Jadi, hati-hati…, saat kita berpuasa tanpa ada perasaan haus dan lapar tersebut, jangan sampai setelah selesai bulan Ramadhan nanti, kita keluar sebagai manusia-manusia yang tidak punya perasaan! Naudzubillahi min zalik…

Wallahu a’lam.

Senin, 10 Agustus 2009

Kita Manusia Biasa, Bukan Malaikat


Dalam sebuah kesempatan, seorang akhwat berkata, “Kami meminta maaf atas segala kesalahan, sebab kita sedang bekerjasama dengan manusia biasa, bukan dengan malaikat..”. Mendengar kata-kata itu, saya tertegun. Yah, betapa kadang kita terlalu banyak menyimpan harap pada orang lain, hingga tanpa sadar menganggapnya bukan lagi manusia yang tentunya punya sisi manusiawi yang mungkin dapat memperlihatkan tingkah ‘negatif’, baik secara disengaja, maupun tidak.
Pertama kali bergabung dengan jalan dakwah, saya sempat pula berpikir demikian. Karena tertarik dengan kelembutan dan keramahan akhwat yang membuat saya jatuh cinta dan akhirnya memilih bergabung dalam sebuah keteraturan, saya sempat menganggap bahwa mereka –akhwat-akhwat itu, sebagai sosok yang tanpa cela. Saya pikir, bergabung dengan mereka tentu akan terhindar dari sakit hati, perasaan tidak enak, ataupun hal-hal lainnya yang tentu akan kita dapati jika berinteraksi dengan ‘orang-orang kebanyakan’.
Tapi, seiring dengan berjalanannya waktu. Dengan terlibatnya saya dengan banyak saudari saya dalam berbagai kesempatan, berkenalan dengan semakin banyak akhwat, dan berbagai takdir Allah lainnya, rupanya saya kemudian diantarkan untuk berusaha memahami, bahwa bagaimanapun, mereka juga manusia biasa.
Adalah benar bahwa mereka adalah orang-orang berilmu dan beradab yang tentu saja senantiasa berusaha mengamalkan ilmunya dan mengejawantahkannya dalam bentuk akhlak mulia ataupun kata-kata yang santun. Tapi terlepas dari itu, mereka tetaplah bukan malaikat yang senantiasa bersih dari salah dan khilaf. Sekali lagi, mereka adalah manusia biasa. Akhwat juga manusia!
Namun, ada orang yang kadang terlalu tinggi pengharapannya dan tidak mau untuk berusaha memahami hal tersebut. Maka muncullah kemudian orang-orang yang bahkan hingga memilih mundur dari jalan dakwah hanya karena sedikit tersinggung dengan sesama akhwat. Saya pikir, itu salah satunya karena kita kadang terlalu menganggap sempurna sosok saudari kita, sehingga saat terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan itu, begitu sakit kemudian kita rasa sebab kita terlalu berharap banyak.
Ya, setiap manusia tidak terlepas dari salah dan dosa, bahkan manusia-manusia yang telah dipilih Allah dengan hidayahnya. Jangan sampai karena hanya sekali saja melihat kesalahan dari saudari kita, kita kemudian begitu mudah untuk melupakan kebaikannya yang mungkin lebih melimpah. Seperti halnya kita juga ingin dipahami sebagai seorang manusia yang utuh dengan segala kekurangannya, seperti itu pulalah kita harus berusaha memahami orang lain. Mungkin benarlah bahwa cinta yang sesungguhnya adalah saat kita dapat mencintai seseorang apa adanya. Mencintai kebaikannya untuk kita teladani, dan menerima kekurangannya untuk berusaha ikut membantu memperbaiki. Dengan itu, semoga langkah ini semakin mencipta harmoni, sebab kita sama-sama tahu betapa indahnya jika kita dapat mencipta keindahan lewat ukhuwah itu dalam hidup ini.
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al Hujurat [49]:10)

Teruntuk; akhwatfillah di bumi manapun kalian berpijak, uhibbukifillah…

Kamis, 23 Juli 2009

Suatu Sore, Seorang Kernet Berkata…


Kira-kira pukul tiga sore lewat beberapa menit, saat saya menumpang di sebuah angkutan kota. Si angkot kemudian berhenti di suatu titik dan menungg lebih lama. Di sanalah, saya kemudian dapat menangkap percakapan antara supir angkot dengan kernet yang nampak lelah namun terus menerus berteriak-teriak mengarahkan penumpang untuk naik ke angkot yang berada di hadapannya.

“Jam berapa sekarang?” Tanya sang kernet pada supir angkot. Si Supir lalu melirik sekilaspada jam tangannya dan mengatakan bahwa waktu telah sampai pada pukul tiga sore, lebih beberapa menit. Mendengar jawaban si Supir, lelaki separuh baya berambut abu-abu itu melengos dan menunjukkan ekspresi yang menyemburatkan kelelahan.

“Memangnya kenapa?” Tanya supir angkot, penasaran.
Sang kernet lalu mengangkat wajahnya yang sempat beberapa saat tertunduk, “Saya baru dapat tiga ribu sejak pagi tadi, padahal ini sudah jam tiga…” ujarnya kemudian.

Percakapan selanjutnya antara kedua lelaki itu tidak lagi saya perhatikan. Pikiran saya melayang-layang pada perenungan saya dengan hati ini. Tiga ribu rupiah? Sudah bekerja seharian Cuma dapat tiga ribu? Pikir saya dengan miris. Saya kemudian membawa sejumlah uang itu pada diri ini. Uang tiga ribu, ongkos sekali naik angkot saja sudah habis, dipakai jajanpun kadang tak cukup. Saya lalu membayangkan sang kernet akan membawa uang itu kepada istrinya, dan menyakinkan keluarganya bahwa rejeki dari Allah hari ini memang hanya tiga ribu saja. Ah…., saya masih harus banyak belajar tentang kehidupan, rupanya. Juga banyak hal tentang kesyukuran yang kadang kita lupakan.

True Love; Kesetiaan Seorang Suami


Tadi siang saya menyaksikan sebuah tayangan di Liputan 6, tentang kesetiaan seorang suami pada istirinya. Dua orang pasutri ini hidup di Madiun, Jawa Tengah dengan kondisi social menengah kebawah. Dapat dikatakan cukup kekurangan, bahkan. Sang istri bernama Tumini, Nampak sudh renta. Tak jauh berbeda dengan suaminya, Marto. Kedua kakek-nenek itu hidup di sebuah rumah sangat sederhana. Konon, Tumini menderita semacam kanker kulit selama 35 tahun, dan selama itu pul sang suami dengan setia berada di sampingnya dan merawatnya dengan sabar. Wajah istrinya yang tinggal separuh tidak membuat lelaki ini meninggalkan sang kekasih seperti yang banyak dilakukan oleh lelaki lainnya. Subhanallah…

Tentang Anak Kos (Dari Seseorang yang Bukan Anak Kos)


Selama sekitar dua tahun mengecap dunia kampus, saya kadang berpikir bahwa tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok antara kuliah dan sekolah, kecuali bahwa jadwalnya memang gak serapih waktu SD-SMA atau bahwa saya harus menempuh jarak yang cukup jauh dibandingkan jika akan ke sekolah. Saat pendapat itu saya utarakan pada beberapa teman kuliah, mereka tidak mengaminkan. Mereka justru merasakan begitu jauhnya perbedaan antara kedua masa tersebut. Tapi belakangan, saya menyadari bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan yang saya rasakan adalah karena saya bukan anak kos, bebeda dengan kebanyakan teman-teman lain yang memang nge-kos.

Tidak menjadi anak kos adalah suatu hal yang otomatis bagi saya. Yah, saya memang bukan perantau melainkan tetap kuliah di kota tempat saya lahir, di kota tempat keluarga saya berada dan rumah saya pun terletak di sini. So, tak ada alasan buat nge-kos khan kalo sudah punya home sweet home, meskipun lumayan jauh dari kampus.

Dari sanalah saya kemudian memandang anak kos sebagai sesuatu yang ‘beda’ bahkan ‘mengagumkan’. Hidup jauh dari orangtua, harap-harap cemas menanti kiriman, berdampingan dengan teman se-kos dengan seabreg karakter masing-masing, makan sendiri, nyuci sendiri, bersih-bersih sendiri, bahkan mungkin memendam kesedihan sendiri.

Jadi ingat waktu masih MaBa, pas heboh-hebohnya dikerjain sama senior. Waktu itu seorang kawan kena labrak dan dimaki habis-habisan di depan mukanya sama seorang senior, sampe-sampe dia nangis didepan semua senior dan MaBa yang lain. Karena kasihan, setelah eksekusi itu, beberapa dari kami mencoba memberi support dan mengantar dia ke kosannya. Tapi di tengah jalan, dia malah berhenti jalan trus jongkok sambil nangis, diantara isaknya dia bilang, “Saya kangen sama ibu saya…”.
Dan oooooh…, hai saya tersentuh. Tidak bisa membayangkan kalau saya ada di posisinya, pas lagi sedih-sedihnya, pasti merasa terdampar di tempat baru tanpa orang-orang yang disayangi dulu…

Lain lagi dengan kawan yang terkenal rajin banget kerja laporan. Suatu hari dia kelihatan kelabakan menyalin laporan dari teman lain ditengah-tengah jeda kuliah. Pas saya tanya kenapa tidak kerja di rumah, dia bilang kalo uangnya tinggal beberapa ratus rupiah yang tersisa. Trus tinta pulpennya habis. Jangankan buat beli pulpen baru, buat makan saja dia tidak sanggup. Katanya, sejak kemarin dia hanya menjejalkan perutnya dengan susu kaleng yang kebetulan masih sisa sejak dibeli awal bulan lalu. Hmm…, tidak terbayang deh menahan lapar karena uang kiriman belum datang!

Tentunya kawan-kawan yang anak kos punya cerita yang lebih ‘inspiratif’ lagi dibanding yang saya tulis di atas. Tapi cukuplah kedua hal itu membuat saya terus menganggap para anak kos sebagai ‘pejuang-pejuang’ hidup yang tangguh plus membuat saya banyak bersyukur atas segala keadaan saya saat ini.

Sungai-Sungai Bening, Temani Perjalanan Panjang


Sebelum memilih jalan ini, dan masih berada di lintasan di mana banyak manusia saat ini masih berada di dalamnya, saya selalu merasa sebagai orang yang biasa-biasa saja. Bahkan tepatnya ; cuek. Saya merasa tidak penting untuk peduli pada orang lain dan mengambil peranan apapun untuk mereka. Warna hati saya kala itu cukup buram, jika tidak disebut gelap. Sebuah pengalaman yang menempa saya membuat saya tidak begitu dapat percaya pada orang lain meski kadang tak jarang ada saja kawan yang mempercayakan beberapa hal pada saya, dalam hal ini tepatnya mereka banyak menjadikan saya tempat curhat.

Dalam perjalanan hidup selanjutnya, Sang Khalik mengantarkan langkah saya untuk mengayun pada jalan yang kini saya pilih. Sebuah jalan yang sepi dan tak banyak orang dapat bertahan di dalamnya hingga akhir hidup. Di jalan inilah saya berhadapan dengan begitu banyak orang dengan karakter mereka yang membuat saya banyak belajar. Saya belajar dari mereka yang selalu ’strong’ mempertahankan idealismenya hingga saya percaya pada kekuatan keistiqomahan. Saya belajar dari mereka yang gugur dalam jalan ini karena berbagai alasan dan membuat saya yakin bahwa orang-orang yang bertahan adalah orang-orang pilihan. Saya belajar dari mereka yang pernah terjatuh namun kembali lagi ikut bergabung dalam jalan ini, jadi saya tak ragu lagi pada hak Allah untuk menentukan hidayah. Selebihnya, masih banyak hal lain yang dapat saya pelajari dari orang-orang tadi.

Kebersamaan dengan orang-orang hebat di jalan ini terkadang perasaan tak pantas berada bersama mereka kadang menyergap. Teringat pada setiap noda yang belum diperlihatkan olehNya. Teringat pada kotornya jiwa yang hanya diketahui oleh Allah semata.

Terlepas dari itu, ternyata saya juga bisa belajar dari diri saya sendiri. Dan sayapun sadar, interaksi di jalan ini telah merubah warna hati saya menjadi lebih cerah. Menjadi lebih peka untuk melihat banyak hal. Membuat saya melihat dengan cakupan yang lebih luas dari pandangan sempit saya dahulu.

Saya terperanjat saat sadar tentang doa di sela sujud saat saya mengucap nama-nama itu dengan penuh pengharapan. Nama-nama yang sebenarnya tak punya hubungan darah apapun dengan saya. Nama-nama yang mungkin tak akan pernah memberi manfaat finansial sedikitpun pada saya. Nama-nama yang bahkan baru saya kenal atau bahkan baru saya temui. Tapi saya dapat berdoa kebaikan dengan begitu khusyu’nya untuk mereka. Saat itu saya yakin, warna hati saya telah berubah.

Terkadang saya sering malu saat berhadapan dengan mereka- adik-adik saya yang sanggup membakar semangat saya untuk lebih baik. Masya Allah..., seandainya mereka tahu siapa saya sebenarnya. Maksiat yang berlumur pada diri. Kealpaan yang senantiasa melingkupi. Kesia-siaan yang selalu menghiasi. Dan begitu banyak hal negatif lain yang hingga kini tetap saja tak mampu untuk saya hindari.

Sementara saya dapat begitu Pdnya duduk di hadapan mereka. Memimpin majelis dan berbicara tentang keindahan agama ini. Memberi nasehat pada mereka dan meminta mereka untuk tetap semangat menuntut ilmu. Sementara diri ini begitu tak pantas. Sementara diri ini begitu tak pantas. Demi Allah, diri ini begitu tak pantas !

Tak ada hal lain yang bisa menjadi alasan logis selain bahwa Allah menakdirkan saya untuk lebih dahulu lahir dari mereka. Selebihnya, saya tidak pernah yakin bahwa diri ini lebih mulia dari mereka. Mungkin bahkan diantara mereka sayalah yang paling banyak kesalahannya. Innalillah...

Tapi, begitulah ajaibnya jalan ini. Saat kita lelah dan serasa ingin berhenti, selalu saja ada jeda untuk beristirahat, mengambil setangkup air jernih dari sungai-sungai yang mengalir di samping-sampingnya. Sungai-sungai itu bernama saudari dan adik-adik saya. Betapa mereka selalu menjadi motivasi untuk memperbaiki apa yang ada dalam raga. Merekalah yang membuat saya kembali kuat berjalan dan melanjutkan perjalanan ini dengan langkah yang lebih mantap.

Terbayang saat nanti perpisahan datang. Sanggupkah saya tanpa mereka ?
Entahlah...

Buat semua saudariku seperjuangan,
Akhwat FUM Mks
Spesial untuk adik-adikku di SMK Telkom Makassar
Terima kasih untuk segalanya.
Seandainya kalian tahu siapa saya sebenarnya...



UHIBBUKIFILLAH

Pagi, di Atas Pete-Pete


Hampir tiap hari, saat akan bepergian saya selalu menfaatkan jasa angkutan umum yang di kota saya disebut pete-pete (semacam angkutan kota berbentuk mobil minibus). Terkhusus di hari kuliah, saya memanfaatkan jasa pete-pete berkode 07 yang selalu nangkring di ujung jalan Pettarani. Karakterstik petepete yang berhenti di tempat itu adalah ; tidak bakalan mau jalan kalau penumpang belum cukup dua belas orang, alias pete-petenya sudah penuh !

Bisa kamu bayangkan jika saya menjadi orang pertama yang naik di petepete yang menguji kesabaran itu. Dan hal itu sering saya alami. Terkadang waktu saya terbuang bersama supir pete-pete yang menunggu penumpang itu bahkan hingga setengah jam lamanya ! Tapi, karena saya termasuk orang yang tidak suka cari gara-gara (kalau tidak dibilang takut sama tampang sangarnya supir pete-pete... ), saya tidak pernah mengeluh secara nyata, apalagi kalau mencoba turun dari angkutan tersebut dan mencari angkutan lain. Saya menganggap hal itu bisa mempersulit saya, mengingat ada kemungkinan saya bisa ‘dikeroyok massa’ karena tempat itu memang sarangnya supir angkutan umum.

Tapi, diamnya saya bukan berarti saya tidak mengeluh dalam hati..., kadang, saat sedang buru-buru sekali, lalu ketemu dengan supir petepete yang begitu ‘setia’ menanti penumpangnya, tak jarang saya kesal dan geregetan sendiri, yang palingan saya wujudkan dalam bentuk ‘decak-decak cecak’ yang pastinya tidak akan dipeduli sama Pak Supir. Sekali lagi, karena saya tidak mau cari gara-gara.

Suatu pagi, saya kembali menumpang angkutan umum di tempat itu. Dan saya kembali menjadi penumpang pertama. Mind-set saya sudah mempola bahwa penantian saya pasti akan panjang. Dan memang benar, karena hari itu adalah hari Ahad, jadi mahasiswa yang biasanya mempercepat penuhnya angkutan umum ini tak nampak. Hasilnya, mungkin sekitar 15 menit setelah saya naik, penumpang kedua baru muncul dari balik becak. Hmm..., begitu setianya Pak Supir ini..., pikir saya.

Penumpang selanjutnya baru bertambah setelah hampir terlewat angka 20 menitan. Namun, mobil itu baru terisi sekitar delapan orang. Dan diantara delapan orang ini ternyata termasuk dalam kategori yang saya bahasakan ; berani cari gara-gara. Mereka mendesak supir agar segera jalan karena tak sabar lagi menanti. Pembicaraan antara penumpang yang mengeluhkan ‘ulah setia’ Pak Supirpun terus bergulir, sementara penumpang tak bertambah, dan Pak Supir hanya diam seribu bahasa. Berkali-kali ia memundurkan dan memajukan mobilnya untuk menjemput penumpang, tapi orang yang bertengger di petepetenya tak kunjung nambah. Sementara para penumpang yang sudah siap luncur termasuk saya- semakin tak sabar agar mobil segera melaju. Beberapa dari mereka mulai mendesak Pak Supir agar segera jalan.

Didesak seperti itu, akhirnya membuat si supir gerah juga, dengan nada tak kalah jengkel ia berujar, “Kalau saya jalan, memangnya kamu mau bayar kursi yang kosong ...?!” Setelah itu, ia akhirnya menjalankan pete-pete tersebut dan melaju ke jalan raya. Di antara kemudinya, Pak Supir tadi mengeluhkan betapa penumpang sebenarnya hanya ingin enaknya saja. Tidak tau kalau mereka –para supir angkot bisa rugi kalau jalan dengan mobil yang tidak penuh. Bahwa untuk parkir di tempat strategis itu juga kadang dipungut bayaran. Dan kesimpulannya adalah bahwa banyak orang tak merasakan jerit hati para supir angkot....

Yah..., kejadian itu membuat saya berpikir. Betapa seringnya kita menginginkan keadaan sesuai dengan keinginan kita, hingga kadang kita tidak peduli bagaimana nasib orang lain di balik keinginan kita. Pernahkah kita berpikir bahwa mungkin saja, seorang kerabat supir tadi ada yang sedang sakit keras dan membutuhkan pengobatan, sehingga sang supir harus kejar setoran ? Atau mungkin istri sang supir akan segera melahirkan dan membutuhkan biaya ? Atau anak-anaknya terancam putus sekolah karena tak lagi punya dana ?

Begitu sering mungkin, tanpa kita sadari kita menganggap orang lain salah karena hanya melihat sesuatu dari sudut pandang kita saja. Padahal di kesempatan yang sama kita selalu menuntut agar orang lain mengikuti pendapat kita. Apakah sifat egois memang telah dilumrahkan bagi makhluk bernama manusia seperti kita ?

Padahal sesungguhnya bila kita ingin berkaca, begitu banyak kekurangan dalam diri yang menuntut kita untuk selalu berbenah. Begitu banyak masalah yang dihadapi orang lain yang mungkin bila kita yang berhadapan dengannya, kita tidak akan sanggup melewatinya. Dan dengan segala kekosongan dalam diri ini, mengapa kita selalu ingin diri ini didahulukan dari orang lain ?

Suatu Hari di Bulan Ramadhan


Waktu belum lagi menunjukkan pukul empat, saat aktivitas dimulai di rumah itu. Mungkin juga di rumah-rumah yang lain. Yah, ini bulan Ramadhan. Semua rumah nampak mulai bersinar di seperempat malam, bersiap untuk sebuah ‘kegiatan hangat’ yang mengakrabkan; sahur.

Adik kelihatan masih betah tinggal di kasur saat ia mengucek-ucek matanya yang masih merah di hadapan meja makan. Sementara kakak perempuannya yang terkenal memang sulit dibangunkan terlihat menerawang. Sejatinya, ia sedang tidur dengan mata terbuka.

Namun saat satu persatu menu mulai tersaji, dan jari-jari mereka ‘menyergap’ tiap item masakan yang mereka pilih, kedua pasang bola mata itu mulai bersinar, menyamakan sinarnya dengan yang terpancar dari sepasang bola mata lain di hadapan meja bundar itu. Bola mata Bapak !

Ditengah hangar bingar suara TV yang memang terletak di hadapan meja makan, ketiga orang itu dengan lahap menyatap sahurnya. Tanpa ibu. Yah, masih tanpa ibu, seperti sejak sepuluh tahun yang lalu. Meski kadang-kadang wanita pilihan itu sesekali menyempatkan dirinya untuk ikut sahur ditengah anggota keluarganya yang lain.

Bapak sahur
Adik sahur
Kakak perempuannya sahur

Mereka sahur dengan pikiran masing-masing. Mungkin adik masih menghayal tentang kejuaraan futsal yang tak mengikutkannya karena ia bukan seorang pria. Mungkin kakak perempuannya berpikir tentang laporan kuliah yang tak kunjung tuntas. Mungkin bapak sedang melamunkan buah hati tertuanya, bertanya-tanya ; sedang sahur apa kau sekarang, Nak ?
Lepas dari meja bundar itu, sebuah meja bundar kecil di atas karpet menyajikan sisa buka puasa kemarin. Lengkap dengan teh hangat di ketiga cangkir masing-masing. Dan aktivitas selanjutnya diisi dengan menunggu waktu subuh lalu segera shalat dan kembali terpejam dalam tidur masing-masing.

Ibulah yang bangun paling pagi. Sebab saat yang lain kembali mendarat di pulau kapuk, ibu memulai harinya dengan rumah yang sepi. Sesekali dengkuran terdengar, lalu kemudian hening, dan terdengar lagi. Selanjutnya, ayah ke kantor, adik yang liburan masih terlelap dengan mulut yang mengaga, kakak perempuannya juga bersiap menuju perjalanan panjang, menuju tempat ia bebas memuaskan laparnya pada ilmu untuk hari itu, atau mungkin juga berjuang, mendaki tiap anak tangga, menaklukkan tiap Lab yang juga menyita sisa-sisa kesabaran.

Sebelum matahari terbenam, semua anggota keluarga telah kembali berkumpul. Kali ini mengelilingi meja kayu kecil, mirip meja orang-orang Jepang yang memaksa pemakainya untuk tak menggunakan kursi. Sebuah meja yang entah kapan mulai menjadi tradisi dan baru eksis saat bulan puasa datang, selebihnya, ia mendekam di atap kamar mandi, bertumpuk dengan barang-barang lain yang tak lagi terpakai.

Hidangan buka tergelar di atas meja makan itu. Juga dengan teh hangat, air putih, dan setoples kurma dari toko buah dari salah satu sudut kota. Saat adzan berkumandang, tiap jemari di depan meja bundar kecil itu segera meraih gelasnya masing-masing. Merasakan kebahagiaan pertama orang-orang yang berpuasa, kebahagiaan yang mereka dapat disyurga, sambil terus berharap memiliki kesempatan untuk kebahagiaan kedua, memandang wajahNya di Jannah.

Ibu memandang wajah anaknya satu persatu. Tanpa dua orang gadis itu sadari, ada tatapan getir bercampur haru dari kedua bola mata itu. Tatapan harap suatu saat juga ikut berbuka sambil menghitung-hitung ; Ah..., begitu cepat waktu berlalu, ternyata sepuluh tahun terasa begitu singkat, meski perjuangan panjang detik demi detik bukannya tak terasa.
Ibu memandang wajah anaknya sat per satu. Lalu tak lupa mengingat wajah si Sulung di perantauan, berharap ia juga ikut berada di hadapannya senja itu. Agar dapat ditatapnya pula wajah yang terpaut jarak begitu jauh dari dirinya kini. Dalam hati ia bertanya ; Apa yang nanti kau nikmati saat berbuka, Nak ?

Dan waktu terus berlalu, bapak, adik, dan kakak perempuannya kini berada di tengah-tengah masjid diantara para jama’ah yang lain. Saat bapak dipersilakan naik ke mimbar sebagai khatib, ada senyum kecil yang menyimpul di sudut bibir kedua gadisnya ; bangga. Namun, tak ada yang tau bahwa kedua sedang bertanya-tanya, teringat tentang kakak yang berada jauh dari mereka ; “Ceramah tarawih siapa yang kau dengar sekarang, Kak ? Aa’ Gym kah ?”

Lalu dengan apa kau ingin masuk syurga?


Saudariku,
Mari duduk di sini sebentar dan kita merenung sesaat.
Pandangilah diri ini dari ujung jilbab hingga ujung kaki
Dan akan kau temukan betapa nikmat Allah telah begitu banyak mengalir lewat tiap darah yang mengalir di pembuluh.
Betapa hidayah Allah telah Nampak lewat sketsa penampakanmu

Lalu lihatlah di sekeliling kita
Saudari-saudari kita yang lain dengan penampakan yang sama
Dengan penampilan yang serupa
Yang bersamanya, kita selama ini melangkah
Secara kasat mata, mungkin kalian Nampak sama
Namun begitu pulakah dengan apa yang tersimpan di hat-hati kita?

Saudariku,
Lihatlah saudari kita yang lain dengan segala semangat mereka
Mereka begitu loba dengan amalan-amalan akhiratnya
Mereka senantiasa berada dalam keheningan
Ambruk sujud-sujud mereka di sepertiga malam
Basah pipi-pipi mereka karena tangis agar dihindarkan dari azabNya
Tak henti bibir mereka dari dzikir
Tak henti jiwa mereka dengan lantunan ayat-ayat Allah
Tak lelah langkah mereka di jalan dakwah

Lalu lihatlah diri kita,
Adalah kita orang yang dicari oleh amal baik
Saat sang amal menyapa, kita bahkan masih sempat terus berkelit
“Afwan..., saya sudah ada agenda lain...”
“Afwan, ukhti yang itu kayaknya lebih cocok, saya tidak bisa...”
Dan ‘afwan-afwan’ lainnya yang seolah menjadi legitimasi atas ketidakberdayaan kita
Ketidakberdayaan untuk sekedar menundukkan hawa nafsu dan segala kemalasan

Saudariku,
Tak kah kau bayangkan saat hari perhitungan kelak
Saat dibacakan amal-amal kita
Lalu kita hanya dapat memandang iri saudar-saudari kita dengan segala perbekalan mereka
Lalu kita dapati diri ini dengan bekal yang pas-pasan
Shalat yang ala kadarnya
Puasa yang karang
Amanah dakwah yang kadang-kadang
Dan berbagai keterbatasan lainnya

Saudariku,
Mari duduk sejenak dan kita merenung sesaat
Apakah jilbab lebar yang kita kenakan
Penampilan kita yang hampir serupa dengan mereka
Telah cukup menjadi pegangan untuk kita merasa aman?

Lalu dengan apa kau ingin masuk syurga?



Saat Sampai di Thaif-mu, Istirahatlah Sejenak pada Kisah Ini


Jalan dakwah adalah jalan yang sejatinya sangat indah. Di penghujungnya telah dijanjikan oleh Allah begitu banya karunia kepada orang yang istiqomah di dalamnya. Namun, tak dapat dipungkiri betapa terjal dan penuh dengan tantangannya jalan ini. Dimana-mana ada halang dan rintangan, baik dari dalam diri, maupun dari luar.


Kadang kita sakit hati saat menyaksikan kegiatan keagamaan yang begitu sepi pengunjung, sementara konser music dan acara sejenis lainnya dipehunuhi oleh banyak orang. Kadang kita harus menerima pil pahit saat ada saja orang yang menyakiti hati karena menganggap apa yang kita lakukan tidak lagi sesuai dengan jaman dan tidak berarti. Tak jarang kita harus meneguhkan diri diantara orang-orang yang seolah tidak mau mengerti dan bahkan memicingkan mata dengan ejekan karena penampilan kita yang dianggap asing.


Namun, sesungguhnya kita sudah benar-benar tahu bahwa hal ini bukan pertama kita yang mengalami. Jauh sebelum kita, bahkan manusia paling mulia-pun mengalami hal yang mungkin jauh lebih menyakitkan lagi…


Pada bulan Syawwal tahun ke-10 dari kenabian atau tepatnya pada penghujung bulan Mei atau Juni tahun 619 M Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam keluar menuju Thaif yang letaknya sekitar 60 mil dari kota Mekkah. Beliau datang dan pergi kesana dengan berjalan kaki, didampingi budak beliau (ketika itu), Zaid bin Hâritsah. Setiap melewati perkampungan sebuah kabilah, beliau mengajak mereka kepada Islam namun tidak satupun yang memberikan responsnya. Tatkala tiba di Thaif, beliau mendekati tiga orang bersaudara yang merupakan para pemuka kabilah Tsaqîf. Mereka masing-masing bernama ‘Abd Yalail, Mas’ud dan Habib. Ayah mereka bernama ‘Amru bin ‘Umair at-Tsaqafiy. Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam duduk-duduk bersama mereka sembari mengajak mereka kepada Allah Ta’ala dan membela Islam.


Salah seorang dari mereka berkata: “Jika Allah benar-benar mengutusmu, maka Dia akan merobek-robek pakaian ka’bah”. Yang seorang lagi berkata: “apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?” Orang terakhir berkata: “Demi Allah! Aku sekali-kali tidak akan mau berbicara denganmu! Jika memang engkau seorang Rasul tentu engkau adalah bahaya besar bila aku menjawab pertanyaanmu dan jika engkau seorang pendusta terhadap Allah, maka tidak patut pula aku berbicara denganmu”.

Lalu beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam berkata kepada mereka:”Jika kalian melakukan apa yang ingin kalian lakukan, maka rahasiakanlah tentang diriku”.

Rasulullah berdiam di tengah penduduk Thaif selama sepuluh hari. Dan selama masa itu, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengan para pemuka mereka. Sebaliknya, jawaban mereka hanyalah: “keluarlah dari negeri kami”. Mereka membiarkan beliau menjadi bulan-bulanan orang-orang iseng di kalangan mereka. Maka, tatkala beliau ingin keluar, orang-orang iseng tersebut beserta pengabdi mereka mencaci-caci dan meneriaki beliau sehingga khalayak berkumpul. Mereka menghadang beliau dengan membuat dua barisan lalu melempari beliau dengan batu dan ucapan-ucapan tak senonoh serta mengarahkannye ke urat diatas tumit beliau sehingga kedua sandal yang beliau pakai bersimbah darah.

Zaid bin Hâritsah yang bersama beliau, menjadikan dirinya sebagai perisai untuk membentengi diri beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam. Tindakan ini mengakibatkan kepalanya mengalami luka-luka sementara orang-orang tersebut terus melakukan itu hingga memaksanya berlindung ke tembok milik ‘Utbah dan Syaibah, dua orang putera Rabi’ah yang terletak 3 mil dari kota Thaif. Manakala sudah berlindung disana, merekapun meninggalkannya.

Beliau menghampiri sebuah pohon anggur lalu duduk-duduk dan berteduh di bawah naungannya menghadap ke tembok. Setelah duduk dan merasa tenang kembali, beliau berdoa dengan sebuah doa yang amat masyhur. Doa yang menunjukkan betapa hati beliau dipenuhi rasa getir dan sedih terhadap sikap keras yang dialaminya serta menyayangkan tidak adanya seorangpun yang beriman. Beliau mengadu:”Ya Allah! Sesungguhnya kepada-Mu lah aku mengadu kelemahan diriku, sedikitnya upayaku serta hinadinanya diriku di hadapan manusia, wahai Yang Paling Pengasih diantara para pengasih! Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau menyerahkan diriku? (apakah) kepada orang yang jauh tetapi bermuka masam terhadapku? Atau kepada musuh yang telah menguasai urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak ambil peduli, akan tetapi ‘afiat yang Engkau anugerahkan adalah lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan perantaraan Nur wajah-Mu yang menyinari segenap kegelapan dan yang karenanya urusan dunai dan akhirat menjadi baik agar Engkau tidak turunkan murka-Mu kepadaku atau kebencian-Mu melanda diriku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau menjadi ridla. Tidak daya serta upaya melainkan karena-Mu”.

Kedua putra Rabi’ah yang menyaksikan hal itu menjadi tergerak rahim nya sehingga mereka memanggil seorang hamba beragama Nashrani yang mengabdi kepada mereka bernama ‘Addas sembari berkata kepadanya: “ambillah setandai anggr ini dan bawakan untuk orang tersebut”. Tatkala dia menaruhnya diantara kedua tangan Rasulullah, beliau mengulurkan tangannya untuk menerimanya sembari membaca: “bismillah”, lalu memakannya.

‘Addas berkata: “Sesungguhnya ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini. Lantas Rasulullah bertanya kepadanya: “kamu berasal dari negeri mana? Dan apa agamamu?”.
Dia menjawab: “Aku seorang Nashrani dari penduduk Ninawy (Nineveh)”.
Rasulullah berkata lagi: “dari negeri seorang shalih bernama Yunus bin Matta?”.
Orang tersebut berkata:” apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?”.
Beliau menjawab: “dia adalah saudaraku, seorang yang dulunya adalah Nabi, demikian pula dengan diriku”.

‘Addas langsung merengkuh kepala Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam, kedua tangan dan kedua kakinya lalu diciuminya.

Sementara masing-masing dari kedua putera Rabi’ah, berkata salah satunya kepada yang lain: “pembantumu itu telah dibuatnya menentangmu”.

Maka, tatkala ‘Addas datang, keduanya berkata kepadanya: “celakalah dirimu! Apa yang terjadi dengan dirimu ini?”

“Wahai tuanku! Tidak ada sesuatupun di muka bumi ini yang lebih baik dari orang ini! Dia telah memberitahukan kepadaku suatu hal yang hanya diketahui oleh seorang Nabi”. Jawabnya.

“Celakalah dirimu, wahai ‘Addas! Jangan biarkan dia memalingkanmu dari agamamu sebab agamamu lebih baik dari agamanya”, kata mereka berdua.

Setelah keluar dari tembok tersebut, Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam pulang menuju Mekkah dengan perasaan getir dan sedih serta hati yang hancur lebur. Tatkala sampai di suatu tempat yang bernama Qarn al-Manâzil, Allah mengutus Jibril kepadanya bersama malaikat penjaga gunung yang menunggu perintahnya untuk meratakan al-Akhasyabain (dua gunung di Mekkah, yaitu gunung Qubais dan yang di seberangnya, Qu’ayqa’ân-red) terhadap penduduk Mekkah”.

Imam al-Bukhary meriwayatkan rincian kisah ini dengan sanadnya dari ‘Urwah bin az-Zubair bahwasanya ‘Aisyah radliallâhu 'anha bercerita kepadanya bahwa dia pernah berkata kepada Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam : “Apakah engkau menghadapi suatu hari yang lebih berat daripada perang Uhud?”.

Beliau bersabda: “Aku pernah mendapatkan perlakuan kasar dari kaummu, tetapi perlakuan mereka yang paling berat adalah pada waktu di ‘Aqabah ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu ‘Abd Yalail bin ‘Abd Kallal tetapi dia tidak merespons apa yang aku maui sehingga aku beranjak dari sisinya dalam kondisi bermuram muka karena sedih. Ketika itu, aku belum tersadarkan kecuali sudah di dekat tepat yang bernama Qarn ats-Tsa’âlib (sekarang disebut Qarn al-Manâzil). Waktu aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba datang segumpal awan menaungiku, lalu aku melihat ke arahnya dan ternyata di sana ada Jibril yang memanggilku. Dia berkata: “sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan respons mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap mereka”.

Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku sembari memberi salam kepadaku, kemudian berkata: “wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu; jika engkau menginginkan aku meratakan mereka dengan al-Akhasyabain, maka akan aku lakukan.
Nabi menjawab: “bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang rusuk mereka orang-orang yang menyembah Allah ‘Azza Wa Jalla semata, Yang tidak boleh disekutukan dengan sesuatupun”.

Melalui jawaban yang diberikan oleh Rasulullah shallallâhu 'alaihi wa sallam ini tampaklah sosok unik yang tiada duanya dari kepribadian dan akhlaq beliau yang demikian agung yang sulit untuk diselami.


Sumber: Sirah Nabawiyah

Rabu, 22 Juli 2009

Ruang Baca


Di masa awal-awal kehidupan saya di dunia, saya sudah banyak bersinggungan dengan ruangan itu. Ruang baca. Bukan, bukan sarana umum seperti perpustakaan yang menyimpan banyak buku dan terdapat di tiap kota itu. Jauh sebelum saya mengetahui adanya perpustakaan yang sebenarnya, saya sudah duluan berkenalan dengan sebuah ruangan yang kami sekeluarga sebut : ruang baca

Ruangan itu adalah kamar kecil yang terdapat di bagian depan rumah kami. Jendelanya yang kecil menghadap tepat ke jalan depan rumah saya. Terletak tepat di samping ruang tamu meski sangat jarang dimasuki. Dalam ruangan kecil yang terkesan pengap itu, bapak saya meletakkan sebuah rak buku kayu yang lumayan besar dan berisi penuh dengan buku-buku ‘berumur’. Dalam ruangan itu pula diletakkan sebuah mesin jahit yang kerap kali digunakan oleh ibu saya.

Di masa kecil, saya seringkali menganggap bahwa buku-buku itu akan berkembang biak memperbanyak diri di malam hari. Pasalnya, tak beberapa lama kemudian, bapak saya kembali memanggil tukang kayu ke rumah kami untuk membuat rak buku baru yang dengan cepatnya kembali dipenuhi oleh buku-buku. Ruangan itupun menjadi ruangan yang paling jarang digunakan di rumah kami. Bapak saya kadang hanya mengambil buku yang ingin dibacanya lalu memboyong buku itu ke tempat lain.

Ruang baca kami memang tak dapat dikatakan nyaman. Debu menempel di sana-sini. Bagaimanapun ruangan itu dibersihkan, tetap kelihatan berdebu kecuali jika buku tersebut dilap satu persatu. Sementara tidak ada orang yang kurang kerjaan yang betah membersihkan buku-buku yang saya kira berjumlah ratusan itu.

Memasuki masa sekolah, bapak saya mulai memberikan kami ‘jatah’ belanja buku di Gramedia. Setelah beberapa lama intensif ke toko buku, koleksi komik dan buku cerita saya yang sudah terkumpul, menunut saya memiliki tempat khusus untuk meletakkannya. Lalu, sayapun meminta bapak untuk membagi sekotak kecil bagian dari salahsatu rak buku di ruang baca untuk meletakkan koleksi saya, Sejak itulah saya merasa memiliki ‘daerah territorial’ sendiri di ruang baca tersebut.

Setelah saya mungkin dianggap cukup berani, orang tua saya meletakkan sebuah tempat tidur bersusun (dimaksudkan untuk tempat tidur saya dan adik saya yang kemudian meninggalkan saya sendiri karena merasa tak nyaman) setelah mengeluarkan mesin jahit dari ruang baca. Ditambah dengan sebuah meja belajar kecil, orang tua sayapun meminta saya menempati kamar tersebut mulai hari itu. Dan sejak saat itu, saya mempublikasikan penggantian nama untuk ruangan tersebut, dari ruang baca, menjadi kamar saya !

Dan usaha saya mengganti nama ruangan itupun saya lakukan dengan cukup terengah-engah karena orang rumah sudah sangat terbiasa menyebut ruangan itu dengan ruang baca, meski saya sudah menggiring semua barang-barang saya (kala itu, barang-barang saya hanya berupa buku-buku sekolah dan tas sekolah) ke ruangan itu. Maka jadilah ruangan yang saya sebut kamar saya itupun berisi tempat tidur, meja belajar, dan dua buah rak buku besar terisi penuh buku-buku berdebu. Sangat tidak lazim untuk kamar seorang anak perempuan kecil.

Saya yang kala itu gemar nonton film kartun kemudian jatuh cinta pada kamar Sakura, tokoh utama dalam kartun Card Captor Sakura, yang terlihat begitu cantik dan nyaman. Saya juga ingin punya kamar dengan cat cerah dan pernak-pernik khas gadis kecil seperti kamar Sakura. Tapi, meskipun saya berusaha untuk membereskan kamar saya, meletakkan benda-benda yang pernah disebut ‘jualan’ karena saya letakkan berderet-deret, tetap saja tak bisa seindah kamar Sakura. Dan hal ini saya anggap akibat keberadaan dua rak buku besar tersebut. Lama kelamaan, saya menyimpan dendam membara (hehehe) untuk menyingkirkan kedua benda besar itu dari kamar saya. Apalagi, karena benda itulah kamar saya masih sering disebut ruang baca…

Suatu saat, saya meminta ibu saya untuk membuang buku-buku itu, saya anggap buku-buku itu tidak berguna dan tidak bisa dibaca lagi. Tapi, kala itu, ibu memberikan alasan yang masuk akal tapi tetap tidak bisa diterima oleh otak anak kecil saya. Ibu bilang, bahwa buku itu tidak akan kadaluarsa sepanjang masa, ilmu didalamnya akan terus berguna bagi sapapun yang ingin mengkajinya, dan bahwa sebagai seorang pegawai negeri biasa, orang tua saya hanya dapat mewariskan buku-buku tersebut kepada kami, anak-anaknya. Dan hal itu baru saya sadari beberapa tahun kemudian saat saya menggunakan beberapa buku dari rak itu untuk keperluan karya tulis ilmiah yang saya buat di masa SMA.

Beberapa tahun saya tidur sekamar dengan buku-buku itu. Beberapa tahun pula saya harus berkali-kali memberi penjelasan pada kawan yang datang ke kamar saya yang kerap kali menganggap saya ‘jenius’ karena memiliki begitu banyak buku yang sebenarnya punya bapak saya. Hingga sayapun terbiasa dengan keberadaan rak-rak itu meski tetap menyimpan angan untuk mengenyahkannya. (hehehe)

Hingga akhirnya, ibu saya membeli sebuah lemari besar yang diletakkan di ruang tengah dan diisi dengan buku-buku dari salah satu rak buku di kamar saya. Misi saya terwujud setengahnya ! Sekarang, tinggal sebuah rak buku di kamar saya. Rak buku yang paling tua dengan cat biru tua yang juga sudah tua dan usang. Selanjutnya, sambil terus menjalani hari-hari dengan biasa, saya sesekali memikirkan cara untuk mewujudkan kamar anak gadis normal (tanpa rak buku besar maksudnya)…

Saat kakak saya berangkat sekolah ke kota lain dan meninggalkan rumah, saya mulai membidik kamarnya sebagai sasaran melemparkan rak buku besar tersebut. Dan misi sayapun sempurna saat rak buku tersebut berpindah ke kamar kakak saya yang sudah tak ada yang menempati itu.. Meski saya kadang takut-takut jika kakak saya yang kadang emosian itu memprotes keberadaan benda besar itu di kamarnya saat ia pulang kampung. Tapi, untungnya tidak.

Selanjutnya, setelah berhasil menyingkirkan buku-buku itu dari kamar saya, saya kadang merasa kangen juga dengan keberadaan mereka. Malah, saya sempat menganggap turunnya prestasi saya di sekolah akibat ‘kutukan’ buku-buku tua yang saya singkirkan…, meskipun itu tentunya tak masuk akal.

Tapi, meski sekarang kamar saya terlihat lebih apik dengan penambahan beberapa perabot baru dan tak pernah lagi disebut ruang baca, saya kadang sering teringat ketika masa kecil duduk di kamar-ruang-baca saya, di depan meja belajar di senja hari, memandang lewat jendela ditemani dua buah rak buku dengan buku-bukunya yang saat ini telah saya rasakan manfaatnya. Dan benarlah, itulah memang warisan paling berharga kepada kami, dari ibu dan bapak.

Orang-Orang yang Dulu Ada



rerumput meranggas hijau di balik kelam
dari yang dulu segar ikut
mewangikan meski hanya sesaat kejap

Pertama kali menginjakkan kaki di jalan ini. Begitu banyak wajah yang terlihat. Gemilang. Berbicara dengan penuh kemantapan, bahkan disertai dengan semangat yang membakar. Wajah-wajah itulah sebenarnya yang sempat membuat orang-orangpun dapat merasa yakin, bahkan merasa malu dan segera ingin ikut berbenah diri.

Saudaraku,

Masih ingatkah kau saat pertama kali mencium wangi hidayah ?
Saat mungkin kau begitu menikmatinya, bahkan melahapnya dengan rakusnya. Namun, tak ada yang dapat melarang. Toh, itu semua hanyalah Allah yang menetukan.
Saat itu, tak kau pedulikan bagaimana cercaan orang tentangmu. Tak lagi kau gentar bahkan walau ditegur oleh orang tuamu. Bahkan, mungkin tanpa kau tau, sebab dirimulah beberapa orang di belakangmu, juga ikut dengan langkahmu. Malah mungkin hingga saat ini.

Begitu banyak yang kemudian yang dapat kau katakan. Kau lalu dari orang yang begitu pemalu, menjelma seorang pembicara yang ulung. Kau dapat begitu mudahnya mengajak oranglain bersamamu. Kau bahkan bisa menegur apa yang kau anggap salah, dan membenarkannya dengan caramu.

Ya, kau begitu percaya diri dengan eksistensimu saat itu. Dan kita, berbekal dengan ilmu yang mungkin masih begitu dangkal kemudian memutuskan untuk memilih jalan ini sebagai jalan hidup. Kita seolah mengumumkan pada dunia, mungkin lewat lambaian jilbab kita yang makin lebar, atau lewat sejumput janggut yang muncul di dagu. Kita katakan bahwa kitalah ulat kecil yang telah berubah menjadi kupu-kupu. Lalu kita sematkan sebuah nama baru. Nama hijrah, katamu.

Tapi saudaraku,

Saat ini, mengapa tak kudapat lagi wajahmu di antara para penikmat majelis ilmu ?
Tak kusaksikan lagi keberadaanmu ditiap jumpa saat shaf perjuangan kembali dirapatkan. Adakah waktu telah menggerus diri, hingga satu persatu orang-orang tumbang dan begitupun dirimu ? Adakah perjumpaan yang jarang, atau berubahnya lingkungan, dapat dengan mudah mengubah semangat yang dulu ? Atau telah adakah pembenaran atas tiap goresan kecil di hatimu ?
Lalu dimanakah lagi semangat yang dulu ?
Di mana lagi binar mata yang dulu meyakinkanku ?
Di mana letupan semangat yang begitu menggebu ?
Dan dimana kau letakkan segala keyakinan yang dulu telah kita patri, keyakinan akan janji Allah yang pasti, dan keyakinan bahwa inilah jalan yang kita pilih ?

Saudaraku,
Sesungguhnya jalan ini masih seperti yang dulu. Di ujungnya tetap ada cahaya. Dan cahaya itu telah pasti binarnya. Kita tinggal menentukan, inginkah menjadi salah satu bagian yang kemudian mendapatkan bias darinya.

Jalan ini masih terbuka untuk siapapun yang ingin datang, ataupun yang ingin kembali. Selama nafas itu masih berhembus, maka waktu belum berhenti untuk kembali berpikir, bahwa selamanya, kita tak ingin terganti.

Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbi ala diinika...

Makassar, 18 Oktober 2008

Nostalgia Masa Putih Merah


Dari balik jendela kamar ini, ingatannya tertumbuk pada suatu masa, beberapa tahun silam. Saat kedewasaan adalah sesuatu yang jauh dan tak terpikirkan. Sedangkan kepolosan menjadi sesuatu yang niscaya. Masa itu, masa putih-merah. Saat sulit saja dusta terucap, karena hati dan pikiran masih putih dan belum ternoda oleh derapan roda jaman.


Mengingat masa itu, adalah mengingat dua sosok, satu profesi. Guru SD. Guru SD dengan segala kesederhanaannya, baru lepas dari perguruan tinggi sekaligus universitas kehidupan.


Menyongsong sebuah gerbang baru yang penuh tanda tanya bagi mereka, saat itu.
Yang seorang adalah seorang sosok lelaki bertampang innocent dengan garis-garis keramahan yang begitu terasa lewat senyumnya. Oleh murid-murid kecilnya, beliau disapa; Pak Kholil. Nuansa ke-ikhwa-an masih membekas disana. Baik dari tutur kata, maupun tingkah lakunya. Ia adalah pemuda dengan sepeda sederhana yang berusaha untuk mendidik anak-anak pejabat, dokter, dosen, dan berbagai profesi lain yang nampak sangat jauh dari kesederhanaannya. Selanjutnya, dia mengajarkan tentang banyak hal, tentang penghargaan, ketulusan, dan persahabatan.

Berikutnya adalah pemuda dengan garis keras di wajahnya, namun tetap memiliki khas seorang pendidik; keteduhan. Langkahnya senantiasa mantap, pandangannya tegak ke depan. Tapi dia tetaplah pemuda sederhana yang biliknya menempel pada sebuah kelas, bekas gudang tepat di sebelah sebuah WC yang sering diramaikan oleh bocah-bocah yang suka lupa menyiram kloset. Tapi toh ia tetap percaya diri masuk ke kelasnya. Sesekali menegur dengan tegas, atau memarahi dengan keras. Saat murid-murid lain menikmati setengah jam waktu istirahat, ia mengumpulkan murid kelas enamnya saat lima belas menit telah usai. Digempurnya murid-muridnya dengan tes sebelum dan setelah pelajaran usai. Diajarkannya banyak pemaknaan, tentang kejujuran dan semangat memperbaiki diri, juga tentang obsesi bahwa dari tangannya ia harap akan tumbuh insan-insan cendikia yang kelak akan membuatnya bangga. Pak Idrus, namanya.

Tujuh tahun berselang….
Sekelompok muda-mudi nampak berbeda diantara bocah-bocah SD itu. Mereka berkumpul di satu titik dan saling menanyakan kabar masing-masing. Diantaranya bahkan ada yang sudah tak saling mengenal. Tapi toh ingatan mereka tentang tempat itu tetap saja sama. Disana mereka pernah habiskan enam tahun masa hidupnya. Disana mereka pernah torehkan kenangan.
Selanjutnya mereka menuju ke suatu kelas tempat seorang guru nampak serius belajar, sama seriusnya dengan bocah-bocah dihadapannya. Guru itu tidak banyak berubah. Tetap seperti itu, dengan ketegasan yang terlihat jelas dari sosoknya. Dan rombongan pemuda itupun tak dapat berdusta, entah mengapa ada degup di hati seolah takut dimarahi saat pe-er tak mereka kerjakan. Ah…, tak ada lagi pe-er itu sekarang, kawan.


Tak lama sang guru-pun keluar. Menyapa murid-muridnya yang ia hadapi di awal-awal kariernya sebagai seorang pendidik. Murid-murid pertamanya. Murid pertama yang hingga kini masih tidak ia lupa wajah dan namanya masing-masing. Adakah kami juga tak dapat kau lupakan?
Lihatlah, Pak!
Dihadapanmu bukan lagi seorang anak kecil yang sering ribut saat kau menjelaskan di depan kelas. Bukan pula mereka yang kadang kau marahi karena tak dapat menjawab soal ujian dengan benar semua. Di hadapanmu kini kami bawakan masa depan kami masing-masing. Calon dokter, dokter gigi, apoteker (ehem!), musikus handal, ahli mesin, psikolog terkenal, ekonom handal, pengacara, dan ada pula yang akan meneruskan jejakmu mengabdi pada pendidikan. Bahkan diantara kami ada yang benar-benar telah menjadi polisi wanita, kaget khan Pak? Dia yang dulu senang bernyanyi di depan kelas itu…

Sebelumnya, sesosok yang tak asing lewat. Sepeda sederhanya kini berganti motor yang melaju mantap. Tapi senyum itu tetap tak berubah. Senyum yang selalu membuat kami merasa berharga, persis seperti apa yang selalu ia ajarkan.

Ingatannya kembali pada tempatnya sekarang. Menulis sebuah kenangan tentang masa lalu tempat ia belajar banyak tentang kejujuran. Kejujuran yang sempat terkikis beberapa saat namun kembali ia temukan. Kejujuran yang menuntunnya untuk mengejawantahkan keimanannya pada takdir. Betapa skenario ini terlampau sempurna dan sudah seharusnya dimaknai dengan kesempurnaan pula.

Dedicated to almamaterku; SDN Komp IKIP Makassar, dan dua orang guru yang entah bagaimana cara kami melupakannya. Inilah kami, Pak. Tak lama lagi akan jadi orang!

Lelaki Sejati


Adalah mereka yang menundukkan pandangannya darimu, bukan karena kau tak layak dilihat, namun karena ia tahu kau begitu indah

Adalah mereka yang tak ingin menyentuhmu sedikitpun, bukan kerena jijik padamu, tapi karena ia taat dengan apa yang diperintahkan oleh Tuhannya

Adalah mereka yang tak mudah mengumbar kata kasih dan cinta, bukan karena ia tak memilikinya, tapi karena ia tak ingin keduanya hanya atas nafsu belaka

Adalah mereka yang tak ingin berada di dekatmu, bukan karena benci padamu, tapi karena ia takut bisikan syaitan datang menyapa

Adalah mereka yang datang padamu dengan akad yang pasti, bukan dengan janji palsu yang berlabuh tanpa jelas tujuan dan arah.


Untuk semua saudariku,
Jangan sampai nafsu melenakanmu.

Jika Ia Bicara, Merindukanmu


Masih kuingat kebersamaan kita dulu. Saat itu, kau adalah seorang bocah kecil yang lugu. Namun, persahabatan itu telah terjalin dengan sangat erat antara kita. Kita mulai dengan kebersamaan di suatu tempat sederhana dengan teman-teman yang lain. Tempat itu kemudian kita sebut, masjid dekat rumahmu.

Saat senja datang, kau tentu sudah bersiap-siap di rumahmu. Mandi sore dibantu oleh ibu atau kakakmu. Bersiap-siap rapi dengan mukenah dan sarung mungil itu. Sesekali ibu memoleskan bedak di pipimu, menambah ceria wajah lugumu. Selanjutnya, dengan langkah penuh dengan semangat, kau membawaku bersama dengan langkahmu. Celotehan-celotehan penuh ceria dengan teman-teman sebayamu ikut bersama tiap langkah-langkah itu.

Dan saat kita telah tiba di masjid itu, dengan semangat terkadang kau berlari menuju ustadzah, mencium tangannya dengan takzim, karena hari ini kau bahagia bisa kembali menjalakan aktivitas suci itu.

Kaupun segera tunaikan shalat maghrib bersama kawan-kawanmu saat adzan selesai dikumandangkan dengan indah oleh sang muadzin. Mengalun-alun dalam kepalamu dan membuatmu merasa nyaman dengan semua itu. Meski kadang shalat kau jalani dengan sesekali bercanda dengan kawan di sebelah shaf-mu. Namun, itupun karena kau belum paham betapa sakralnya ibadah itu. Tapi toh, tak pernah pula kau bermaksud meninggalkannya.

Dan waktu ba’da maghrib itulah favoritku. Saat kau mengambilku dengan lembut. Membuka tiap helaiku penuh senyuman. Lalu ayat-ayat dengan cadel namun penuh dengan semangat. Tak peduli begitu banyak kesalahan ucapan yang kau lakukan, namun kau terus berusaha untuk mengucapkannya dengan kemampuanmu yang terbaik...

Ah kawan, betapa indahnya masa-masa itu bagiku....

Dan kaupun makin beranjak dewasa. Turut pula kusaksikan betapa cepat waktu berlalu dan kudapati kau kini bukan lagi seorang gadis kecil yang dulu begitu akrab denganku. Segala kesibukanmu di sekolah telah membuatmu tak lagi ada kesempatan untuk mengunjungi masjid dekat rumahmu itu. Mungkin, usia yang juga telah beranjak terus membuatmu merasa tak lagi cocok dengan keadaanmu yang dulu itu. Tapi tak masalah kawan, jika tetap kau baca ayat-ayat cinta itu meski hanya di rumahmu saja.

Tapi ternyata, kudapati diriku kini berdebu. Kudapati diriku hanya teronggok kesepian di sudut rak buku atau meja belajarmu. Kini kau sibuk berkutat dengan buku-buku pelajaranmu yang tebal-tebal itu. Kau begitu bangganya menenteng buku-buku ilmiah itu jika engkau pergi kemanapun. Tapi entah mengapa, kau begitu enggan menentengku seperti itu, takut dibilang sok alim, katamu.

Dan saat kau senggangpun, aku seolah bersaing dengan novel-novel fiksi atau majalah remaja yang kau gemari, atau bersaing dengan TV yang seolah tak pernah tertidur, atau dengan alunan musik yang dapat kau hapal dalam sekejap. Hingga kau lupa dengan kebersamaan kita dulu. Kau tak lagi mengenalku, mungkin akan sangat terbata jika kembali membacaku. Namun kau seolah tak peduli, mungkin terasa tak penting bagimu. Kau tak lagi mengenalku.

Kau tak lagi mengenalku.

Kawan,
Mengapa begitu mudah kau lupa akan kebersamaan itu dulu. Saat begitu sulit sebenarnya bagimu untuk membacaku karena keterbatasan ilmu dan otak yang kau miliki. Tapi kau tetap berusaha, khan? Kau membuatku yakin, bahwa suatu saat kau bahkan bisa menghapal seluruh ayat-ayat itu jika kau tetap dengan semangat yang dulu. Kau membuatku menyimpan harap, begitu cerahnya hatimu karena cahaya yang memancar lewat apa yang senantiasa kau pelajari.

Kawan,
Mungkin kau merasa tak seakrab yang dulu lagi denganku. Tapi aku tetap akan menanti tanganmu yang meraihku untuk kembali kau buka. Kau sela debu-debu yang menempel padaku dengan telapak tangan dan dengan hatimu. Untuk kau renungi kembali betapa beruntungnya kau dulu, dan betapa keberuntungan itu dapat kembali kau raih jika kau ingin membuka dirimu untuk mempelajari agama ini.

Kawan,
Aku masih meringkuk di sudut kamarmu dengan berdebu. Inilah diriku dengan lautan ilmu dan hikmah tak berbatas. Masih kutunggu jemarimu untuk meraihku. Kutunggu lisanmu untuk melantunkan kembali ayat-ayat itu. Dan hatimu untuk menyelami samudra luas cintaNya yang tak berbatas.


“Sesungguhnya orang-orang yang adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka,
betambah (kuat) imannya, dan hanya kepada Tuhan mereka
bertawakkal.”
(QS. Al Anfal[8]:2)