Selasa, 29 Oktober 2019

Nyinyir, Baper, dan Keadilan Pikiran Kita

Jika semua yang bernasihat disebut nyinyir, dari mana lagi kita akan mendapatkan masukan untuk mengoreksi diri? Jika semua yang merasa tersinggung disebut baper, lalu bagaimana kita belajar untuk mampu menyampaikan kebenaran dengan cara yang indah di saat yang paling tepat?

Repotnya, adalah jika saat ini kita sering menggunakan istilah-istilah tersebut demi menyelamatkan diri sendiri. Hasilnya, seperti yang pernah saya tulis di buku Merajut Benang Cahaya, di tulisan:Harmoni, keadaannya jadi selayaknya seorang pengemis yang membenarkan diri untuk terus meminta-minta karena ia menggunakan dalil keutamaan bersedekah pada orang kaya. Di lain pihak, orang kaya justru merasa punya hak menahan hartanya karena ia menggunakan dalil larangan meminta kepada manusia -diganjar dengan dibangkitkan tanpa wajah di hari akhir kelak, saat datang pengemis yang memerlukan bantuannya. Dalilnya tidak salah, hanya saja digunakan pada posisi yang tidak tepat. Dan kita tahu, bagaimana yang seharusnya. 

Sama saja dengan berbagai opini yang hari ini dengan mudah muncul di publik, terutama di dunia maya. Saat seseorang menyampaikan sebuah kebenaran untuk meluruskan sesuatu, maka ada-ada saja pihak yang tidak ingin menerima kebenaran tersebut, dan menuduh orang yang bernasihat itu hanya sekadar nyinyir belaka. Di lain pihak, saat sesuatu disampaikan dengan cara yang salah, pada momentum yang tak tepat, di ranah umum pula, lalu ada pihak yang tersungging, eh, tersinggung, dengan mudahnya kita seringkali mengabaikan empati, menganggapnya terlalu lebai dan mendramatisir suasana, bahkan kadang dianggap sebagai lemah iman, hanya dengan satu kata pamungkas: baper! Sementara kita tak tahu, betapa sakit dan lukanya dia menghadapi hal tersebut. 

See? 

Padahal kita sebenarnya tahu, sungguh sebuah kebenaran yang kita mampu terima dengan lapang dada, dapat membawa kebaikan bagi diri kita, ada masukan yang berarti di dalamnya, maka sebagai PENDENGAR, harusnya kita bisa lebih berusaha untuk tidak segera menganggap orang lain hanya nyinyir belaka. 

Dan saat kemudian kita berada di posisi sebagai seorang PEMBICARA, menyampaikan sesuatu yang kita anggap penting untuk diutarakan, maka tak mengapa jika kita berusaha lebih keras untuk mencoba memilih kata yang lembut, menetapkan waktu yang paling tepat, mungkin tidak harus di tengah keramaian, bahkan jika perlu dengan bisikan halus dan ruang yang privat, hanya agar kita menjaga perasaan saudara kita, agar ia terhindar dari keadaan baper atas apa yang kita sampaikan. 

Hanya saja memang menjadi sulit, manakala yang kita prioritaskan adalah kemenangan kita sendiri. Sehingga kebaikan akan mudah terdengar sebagai sebentuk nyinyir. Dan tajamnya ucapan kita menjadi pembenaran karena orang lain hanya sekadar baperan sahaja. 
Memang akan rumit dan pelik, jika kita terus bersikap tak adil, sejak dalam pikiran kita sendiri.