Rabu, 22 April 2020

Pengeluaran Kita, Pendapatan Mereka

Beberapa orang mungkin merasa heran, mengapa kami memilih untuk tetap memakai jasa catering rantangan di masa pandemi ini. Apa tidak takut ada corona yang nyempil di makanannya? Kenapa sih tidak masak sendiri saja biar lebih tenang dan higienis? Kalau pas pengantaran rantang trus ternyata ada virus yang ikut masuk gimana? Dan sederet pertanyaan lainnya...

Pertama, kami insyaallah percaya dengan kebersihan makanan yang dibuat sama pihak catering yang sudah kami pakai jauh sebelum masa pandemi ini. Kedua, saat menerima dan membuka rantang, insyaallah kami punya prosedur untuk memastikan makanan itu tetap layak dikonsumsi dan insyaallah bebas corona. Jika masih khawatir, makanannya bisa dihangatkan dulu, sebab Mr.Coro konon bisa tewas cukup dengan pemanasan 60 dercel saja. Dan yang paling penting, kami meniatkan agar pengeluaran yang kami gunakan untuk jasa rantangan itu, bisa menjadi pemasukan yang berkah buat pihak catering, di masa yang sulit ini. 

Untuk alasan yang terakhir itu, sungguh terkadang saya jadi mellow sendiri. Buat kita yang tetap dapat menikmati gaji bulanan meski harus bekerja di rumah saja, pandemi ini mungkin tidak akan terlalu terasa. Tapi, ada orang-orang yang bagi mereka, tinggal di rumah saja adalah sesuatu yang mewah, yang nyaris tidak mungkin mereka lakukan. Sebab ada anak istri yang harus tetap disuapi mulutnya dengan rejeki yang harus mereka jemput setiap harinya di luar rumah. Yang saldo uang di dompetnya harus disambung dari satu hari ke hari lain dengan bulir keringat dan banting tulang. Itupun kadang masih kurang. 

Di masa yang sulit ini, ada isak tangis tertahan dari para pekerja yang terdampak dengan PHK. Ada suara perut yang keroncongan karena harus menahan lapar sebelum berangkat kerja, dan segera kembali ke rumah begitu dapat uang yang cukup buat beli sebungkus nasi yang dilahap satu keluarga. Duh ya Rabb... Betapa kufurnya kami atas segala nikmat kenyamanan dan perut yang kenyang setiap hari...

Ada satu keluarga, yang sejak masa Corona ini, memilih hanya memasak nasi saja di rumah. Selebihnya, pendapatan mereka yang lebih dari cukup itu mereka gunakan untuk memesan makanan jadi lewat jasa ojol. Begitu setiap hari. Demi apa? Demi tetap menghidupkan usaha jasa penyedia makanan, juga para ojol yang harus tetap beroperasi. 

Barangkali, sekarang ini mulai makin marak orang-orang yang mencoba peruntungan dalam usaha jual beli, apalagi yang mengandalkan jasa online. Mengenai aktivitas dagang berdagang, sesungguhnya saya selalu salut dengan para pedagang yang so pasti punya mental tahan banting. Yang menurut saya profesinya punya dosis tawakkal tingkat tinggi. Saya yang lahir dan besar di tengah keluarga dengan bakat dagang nol besar, selalu kagum dengan mereka yang bisa tetap istiqamah dengan ikhtiar yang satu itu. Ada yang sekadar menyalurkan hobi, dan ada pula yang memang menjadikannya jalan menjemput rejeki. Maka menghidupkan kebiasaan membeli dagangan saudara sendiri, tentu adalah satu jalan untuk membantu mereka mengumpulkan profit, di saat ekonomi sedang melemah saat ini. 

Dan geliat usaha berbasis online, tentu tidak lepas dari jasa para kurir dan abang ojek. Tentang para pejuang di lini ojek online itu, sesungguhnya saya sudah selalu kagum bahkan sejak dahulu. Bagaimana tiap hari mereka berjibaku di jalanan kota. Merasai terik atau kehujanan demi mengumpul rupiah. Mereka mengantri berbagai jenis makanan yang mungkin tidak akan pernah mereka cicipi sendiri. Jasa mereka sungguh luar biasa untuk orang-orang yang mungkin cukup sibuk untuk melakukan hal-hal yang bisa dibantu oleh para ojol. Di masa sekarang ini, pendapatan mereka tentu bakal menurun. Membagi sedikit harta yang kita punya, setiap kita meminta tolong atas jasa mereka, tentu akan sangat berarti untuk bang ojol dan keluarga mereka di rumah. Bagi kita sepuluh atau dua puluh ribu itu mungkin hanya tentang sekali jajan cemilan kesukaan. Tapi buat mereka, mungkin itu akan sangat berarti dan semoga penuh dengan keberkahan. 

Di tengah kepastian atas ketidakpastian yang kita alami sekarang, kita memang perlu lebih menajamkan empati. Berada dalam 'mode bertahan' memang penting, sebab kita tak tahu sampai kapan pandemi ini akan berlangsung. Menahan diri dari hal-hal tidak manfaat, memang dianjurkan agar kita tak besar pasak daripada tiang. 

Tapi tetap ingat, pengeluaran kita, adalah pemasukan bagi pihak lain yang juga membutuhkan. Beberapa orang memilih untuk menahan lapar daripada meminta. Beberapa orang memilih untuk tetap berusaha semampunya meski sambil gemetar sebab belum makan. Orang-orang ini menahan lisan dari meminta-minta sebab ingin menjaga kehormatan dirinya. Maka harusnya kita yang lebih bisa menangkap sinyal untuk meringankan beban mereka. Agar kita bukan hanya menghadapi pandemi yang sama, tapi benar-benar menghadapinya bersama-sama. 

Tetap sehat-sehat semua!

#dirumahaja, 22 April 2020

Kamis, 09 April 2020

Sirene dan Ingatan tentang Kehilangan

Rumah saya yang terletak tak jauh dari jalanan besar membuat kami kerap kali dapat mendengar suara-suara dari jalanan, jika suara-suara itu cukup keras. Jenis suara yang kadang sampai kepada penghuni rumah kami adalah suara sirene kendaraan, baik dari mobil polisi, atau dari mobil ambulans.  Suara jenis kedua belakangan ini terdengar lebih sering.

Konon, sebuah lokasi pemakaman yang jika ingin dituju, harus melewati jalanan besar di depan rumah kami itu, adalah pemakaman yang digunakan sebagai salah satu tujuan menguburkan jenazah pasien Covid-19 yang meninggal, baik yang sudah divonis positif, maupun pasien yang masih dalam pengawasan.  Mungkin, hal itulah yang membuat suara sirene ambulans terdengar lebih sering di berbagai waktu. Tak mengenal pagi, siang, malam, bahkan tengah malam sekalipun.

Ingatan saya seketika terbang ke masa saat kami kehilangan Bapak. Saya masih ingat suara sirene ambulans yang memecah keheningan tengah malam dalam perjalanan dari rumah sakit menuju rumah duka. Juga suara sirene ambulans yang kembali saya tumpangi sambil menatap jasad Bapak yang sudah terbungkus kafan menuju lokasi pemakaman. Kala itu, iringan kendaraan lain, sejumlah mobil dan motor di depan, belakang, kiri, dan kanan, turut mengantar ambulans yang kami tumpangi. Kerumunan orang yang turut memenuhi area perkuburan, maupun sanak keluarga, kerabat, sahabat, dan teman-teman yang juga menunggu di rumah dengan pelukan yang menenangkan, atau sekadar usapan hangat di punggung, dan ucapan belasungkawa secara langsung, memberikan kehangatan di dalam hati, bahwa kami tak sendiri menghadapi kehilangan ini.

Hal itu membuat saya membayangkan, betapa berbesar hati para keluarga yang ditinggalkan oleh orang terkasihnya tersebab infeksi virus corona. Betapa mereka harus menanggung sedih yang berlipat ketika harus merelakan prosesi penyelenggaraan jenazah yang bukan hanya tak biasa itu, tapi juga begitu sepi, bahkan hanya dapat mereka saksikan dari jauh saja. Belum lagi selepas itu, mereka mungkin harus kembali menjalani isolasi mandiri guna meyakinkan bahwa mereka pun tidak ikut terinfeksi. Tak ada kedatangan sanak saudara untuk memeluk atau membasuh air mata. Semuanya seketika menjadi kembali hening, dengan rasa kehilangan atas ia yang pergi dan tak akan kembali lagi. Lebih-lebih lagi sesaknya, jika setelah itu hasil tes yang keluar menunjukkan hasil yang ternyata negatif belaka.

Maka untuk mereka ini, semoga kita pun dapat turut berempati. Semoga sejak awal mereka dapat diberi kejelasan, perihal lokasi pemakaman yang sesuai dengan standar yang diatur untuk jenazah dengan kasus demikian. Sehingga perihnya kehilangan dalam sepi itu, tak usah lagi ditambah dengan sakitnya hati akibat penolakan saat keluarga tercinta mereka itu akan dikebumikan.

Hal ini pula yang membuat saya merenungi, jika hari ini kehadiran pandemi corona bagi kita ‘hanya’ berimbas dengan tertahannya langkah keluar rumah, membuat kita begitu bosan menatap dinding dan suasana yang itu saja, membuat kita harus menahan kangen untuk berjumpa wajah dengan mereka yang kita rindukan, mungkin kita patut membayangkan, bahwa ditempat lain ada orang yang merasakan dampak yang jauh lebih menyesakkan. Ada yang harus menanggung kehilangan. Ada yang tetap harus berjibaku di jalanan demi sesuap nafkah halal yang kini semakin sulit untuk didapatkan. Ada yang harus pasang badan dengan perlengkapan seadanya demi merawat orang sakit yang bukan siapa-siapanya, sambil mengorbankan waktu berharga bahkan sekadar pertemuan dengan keluarga tercinta.  Juga dengan bayang-bayang infeksi yang bisa hadir kapan saja, dan dengan kecurigaan pada pasien yang tidak semuanya mau berterus terang dengan kondisinya.

Ah, rasa empati macam ini barangkali sudah sering kita dengar berulang-ulang. Hingga mungkin atas hal ini pun kita sudah mulai merasa bosan. Tapi semoga, kesabaran kita masih cukup panjang untuk tidak kalah dengan kebosanan. Rasa tanggung jawab kita, minimal atas diri sendiri dan keluarga, masih cukup besar untuk menang di atas keinginan untuk kembali eksis di dunia luar, saat kita punya privilege untuk tetap tinggal di rumah di masa sulit ini. Kemudahan untuk tetap di rumah saja adalah sebuah nikmat, yang semoga tidak kita kufuri hanya karena rindu ingin bersepeda ramai-ramai atau nongkrong di cafe favorit kita.

Tak apa. Tak apa untuk mengakui pada diri sendiri bahwa kita telah jenuh dengan kondisi ini. Tiap orang punya karakter yang berbeda. Dan bagi mereka yang menganggap berdiam di rumah adalah sesuatu yang tak mudah, maka semoga pahala bersabar atas itu semua juga menjadi berkali lipat besarnya. 

Beberapa dari kita berupaya menjaga imunitas diri dan tidak menjadikan corona sebagai beban pikiran dengan mengurangi informasi tentangnya. Ya, memang tentang corona, mungkin informasi yang kita punya sudah cukup, bahkan barangkali malah berlebih dengan ekstra hoax di sana-sini. Kita mungkin tak perlu lagi tahu tentang corona lebih dari ini, yang perlu kita tahu sekarang adalah tentang diri kita sendiri, alias; tahu diri. 
Kita berprasangka baik kepadaNya bahwa yang kita hadapi hari ini akan segera berlalu. Tapi bukankah keadaan kita tidak akan diubah olehNya jika kita tidak punya usaha untuk mengubahnya? Pertanyaannya sekarang, sudah cukupkah usaha kita? 

#dirumahaja, 9 April 2020
*mungkin bagi kamu, mulai membosankan membaca topik tentang Covid19 lagi dan lagi. Tapi tulisan-tulisan ini di tahun-tahun mendatang akan menjadi pengingat tentang bagaimana kita melalui masa-masa berat yang semoga tidak perlu lagi terulang. Aamiin.