Kamis, 09 April 2020

Sirene dan Ingatan tentang Kehilangan

Rumah saya yang terletak tak jauh dari jalanan besar membuat kami kerap kali dapat mendengar suara-suara dari jalanan, jika suara-suara itu cukup keras. Jenis suara yang kadang sampai kepada penghuni rumah kami adalah suara sirene kendaraan, baik dari mobil polisi, atau dari mobil ambulans.  Suara jenis kedua belakangan ini terdengar lebih sering.

Konon, sebuah lokasi pemakaman yang jika ingin dituju, harus melewati jalanan besar di depan rumah kami itu, adalah pemakaman yang digunakan sebagai salah satu tujuan menguburkan jenazah pasien Covid-19 yang meninggal, baik yang sudah divonis positif, maupun pasien yang masih dalam pengawasan.  Mungkin, hal itulah yang membuat suara sirene ambulans terdengar lebih sering di berbagai waktu. Tak mengenal pagi, siang, malam, bahkan tengah malam sekalipun.

Ingatan saya seketika terbang ke masa saat kami kehilangan Bapak. Saya masih ingat suara sirene ambulans yang memecah keheningan tengah malam dalam perjalanan dari rumah sakit menuju rumah duka. Juga suara sirene ambulans yang kembali saya tumpangi sambil menatap jasad Bapak yang sudah terbungkus kafan menuju lokasi pemakaman. Kala itu, iringan kendaraan lain, sejumlah mobil dan motor di depan, belakang, kiri, dan kanan, turut mengantar ambulans yang kami tumpangi. Kerumunan orang yang turut memenuhi area perkuburan, maupun sanak keluarga, kerabat, sahabat, dan teman-teman yang juga menunggu di rumah dengan pelukan yang menenangkan, atau sekadar usapan hangat di punggung, dan ucapan belasungkawa secara langsung, memberikan kehangatan di dalam hati, bahwa kami tak sendiri menghadapi kehilangan ini.

Hal itu membuat saya membayangkan, betapa berbesar hati para keluarga yang ditinggalkan oleh orang terkasihnya tersebab infeksi virus corona. Betapa mereka harus menanggung sedih yang berlipat ketika harus merelakan prosesi penyelenggaraan jenazah yang bukan hanya tak biasa itu, tapi juga begitu sepi, bahkan hanya dapat mereka saksikan dari jauh saja. Belum lagi selepas itu, mereka mungkin harus kembali menjalani isolasi mandiri guna meyakinkan bahwa mereka pun tidak ikut terinfeksi. Tak ada kedatangan sanak saudara untuk memeluk atau membasuh air mata. Semuanya seketika menjadi kembali hening, dengan rasa kehilangan atas ia yang pergi dan tak akan kembali lagi. Lebih-lebih lagi sesaknya, jika setelah itu hasil tes yang keluar menunjukkan hasil yang ternyata negatif belaka.

Maka untuk mereka ini, semoga kita pun dapat turut berempati. Semoga sejak awal mereka dapat diberi kejelasan, perihal lokasi pemakaman yang sesuai dengan standar yang diatur untuk jenazah dengan kasus demikian. Sehingga perihnya kehilangan dalam sepi itu, tak usah lagi ditambah dengan sakitnya hati akibat penolakan saat keluarga tercinta mereka itu akan dikebumikan.

Hal ini pula yang membuat saya merenungi, jika hari ini kehadiran pandemi corona bagi kita ‘hanya’ berimbas dengan tertahannya langkah keluar rumah, membuat kita begitu bosan menatap dinding dan suasana yang itu saja, membuat kita harus menahan kangen untuk berjumpa wajah dengan mereka yang kita rindukan, mungkin kita patut membayangkan, bahwa ditempat lain ada orang yang merasakan dampak yang jauh lebih menyesakkan. Ada yang harus menanggung kehilangan. Ada yang tetap harus berjibaku di jalanan demi sesuap nafkah halal yang kini semakin sulit untuk didapatkan. Ada yang harus pasang badan dengan perlengkapan seadanya demi merawat orang sakit yang bukan siapa-siapanya, sambil mengorbankan waktu berharga bahkan sekadar pertemuan dengan keluarga tercinta.  Juga dengan bayang-bayang infeksi yang bisa hadir kapan saja, dan dengan kecurigaan pada pasien yang tidak semuanya mau berterus terang dengan kondisinya.

Ah, rasa empati macam ini barangkali sudah sering kita dengar berulang-ulang. Hingga mungkin atas hal ini pun kita sudah mulai merasa bosan. Tapi semoga, kesabaran kita masih cukup panjang untuk tidak kalah dengan kebosanan. Rasa tanggung jawab kita, minimal atas diri sendiri dan keluarga, masih cukup besar untuk menang di atas keinginan untuk kembali eksis di dunia luar, saat kita punya privilege untuk tetap tinggal di rumah di masa sulit ini. Kemudahan untuk tetap di rumah saja adalah sebuah nikmat, yang semoga tidak kita kufuri hanya karena rindu ingin bersepeda ramai-ramai atau nongkrong di cafe favorit kita.

Tak apa. Tak apa untuk mengakui pada diri sendiri bahwa kita telah jenuh dengan kondisi ini. Tiap orang punya karakter yang berbeda. Dan bagi mereka yang menganggap berdiam di rumah adalah sesuatu yang tak mudah, maka semoga pahala bersabar atas itu semua juga menjadi berkali lipat besarnya. 

Beberapa dari kita berupaya menjaga imunitas diri dan tidak menjadikan corona sebagai beban pikiran dengan mengurangi informasi tentangnya. Ya, memang tentang corona, mungkin informasi yang kita punya sudah cukup, bahkan barangkali malah berlebih dengan ekstra hoax di sana-sini. Kita mungkin tak perlu lagi tahu tentang corona lebih dari ini, yang perlu kita tahu sekarang adalah tentang diri kita sendiri, alias; tahu diri. 
Kita berprasangka baik kepadaNya bahwa yang kita hadapi hari ini akan segera berlalu. Tapi bukankah keadaan kita tidak akan diubah olehNya jika kita tidak punya usaha untuk mengubahnya? Pertanyaannya sekarang, sudah cukupkah usaha kita? 

#dirumahaja, 9 April 2020
*mungkin bagi kamu, mulai membosankan membaca topik tentang Covid19 lagi dan lagi. Tapi tulisan-tulisan ini di tahun-tahun mendatang akan menjadi pengingat tentang bagaimana kita melalui masa-masa berat yang semoga tidak perlu lagi terulang. Aamiin. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)