Jumat, 23 Oktober 2009

Tahun Ketiga di Kampus Merah










Menatap kampus merah, Universitas Hasanuddin, rasanya tidak banyak berubah. Kecuali bahwa fakultas saya yang tadinya menjulang dari lantai 4 ke lantai 6, kini hanya tersisa puing-puing di tingkat teratas pasca musibah kebakaran beberapa bulan silam. Tapi selebihnya, rasanya hanya waktu saja yang terus berputar mengiringi si kampus merah. Pun dengan orang-orang yang berada di dalamnya. Orang-orang dengan harapan dan mimpi masing-masing tentang masa depan.




Pertama kali menginjakkan kaki di sana, aroma asing langsung begitu terasa. Bangunan-bangunannya yang saling ‘bersaing’ satu sama lain, ditutupi keangkuhannya dengan jejeran pohon yang meneduhkan dari garangnya sinar sang surya. Selanjutnya, jalan setapak yang selalu saya lewati di pagi hari sebelum sampai di fakultas, dimana pohon-pohon berbaris di kedua sisinya dan memancarkan sinar mentari pagi di celah-celah daunnya yang membentuk terowongan. Bunyi-bunyian serangga dan gemerisik angin yang memainkan dahan mencipta harmoni yang menemani langkah memburu saya jika terlambat masuk kelas, tapi untaian suara alam tadi seolah menyapa, “Assalamu alaykum…, selamat pagi penuntut ilmu.., semangat!”. Dan langkah sayapun semakin cepat.




Dan meski berkali-kali melalui jalan itu, setelah tahun ketiga saya di kampus merah, rasanya pun tetap saja sama.




Sebelum memasuki area fakultas saya, saya melewati bagian fakultas teknik. Di semester genjil seperti ini, pemandangan di dominasi oleh warna hitam-putih, pakaian mahasiswa baru fakultas teknik, dengan celana kain atau rok hitam serta kemeja kedodoran berwarna putih. Sesekali saya mendapati beberapa dari mereka berwajah sangat tegang dengan jalan berbaris layaknya semut merah di batang pohon. Oh…, rupanya ada senior yang menggiring mereka, sesekali dengan suara yang semakin meninggi, yang diselingi dengan tawa yang kadang membahana. Menyaksikan hal itu, pikiran saya kadang berimaji, bahwa di kemudian hari, para maba teknik yang kepalanya plontos itu akan ditumbuhi rambut gondrong, kemudian baju dan celana rapinya yang kedodoran juga akan berubah dengan kaos dan celana jeans, lalu mereka akan kembali lagi meneriaki junior mereka, dengan berbagai macam rencana yang terinspirasi dari apa yang dulu senior mereka lakukan pula padanya. Dan hal ini akan terus berulang, mencipta lingkaran setan yang tak ada habisnya, mungkin jika tak ada malaikat yang datang untuk memutuskannya, maka hal ini akan terus berlangsung hingga hari akhir tiba.




Memasuki bagian fakultas saya, maka selalu saya disapa dengan sesak dan sibuknya area kami yang mungil, namun begitu banyak penghuninya. Deretan laboratorium dengan baunya masing-masing; semerbak bau mencit dan kelinci dari arah biofar, tajamnya bau bahan kimia dari kimia farmasi, wanginya ekstrak tumbuhan dari fitokimia, dan aroma khas agar-agar medium bakteri dari mikrobiologi. Di jam-jam tertentu, lab itu akan disesaki koridornya oleh para praktikan yang berdesakan menunggu namanya disebut dalam absensi praktikum oleh para asisten yang siap untuk membagi ilmu mereka. Lalu menit selanjutnya, suasana tegang tercipta saat dijalankan responsi sebelum praktikum dimulai. Kemudian keheningan tadi akan berganti riuh saat kegiatan akademik dalam lab itu dimulai. Mengambil darah dari telinga si kelinci, meneteskan asam sulfat pekat melalui dinding tabung, menotolkan ekstrak ke lempeng silica gel, ataupun membuat goresan inokulum pada mediumnya. Dan saat mentari akan mulai mengucap salam perpisahan, wajah-wajah lelah akan keluar dari pintu-pintu lab itu. Menatap langit senja dengan harapan akan diberi kekuatan malam ini untuk menyelesaikan laporan yang telah menumpuk serta berkomat-kamit menghapalkan jawaban tugas pendahuluan agar dapat lulus respon esok hari.




Tahun ketiga di kampus merah.




Masa yang panjang, namun rasanya singkat saja. Masih banyak hal yang terlewat dan belum terpelajari. Bukan! Bukan hanya tentang materi kuliah mulai dari biologi sel hingga teknologi sediaan steril. Tapi tentang pelajaran yang bisa dipetik dari universitas kehidupan. Pelajaran yang mungkin sebenarnya hadir hampir di setiap detik saat kita menghembuskan nafas untuk memenuhi paru-paru dengan oksigen. Tapi begitu banyak yang tak sempat kita camkan dalam otak dan hati ini sebab terlalu sibuk kita dengan hal-hal yang lain.




Tahun ketiga di kampus merah.




Saya berharap dapat sekali lagi menyaksikan awan di langit senja yang seolah membentuk tulisan: ALLAH.



Minggu, 11 Oktober 2009

Sungaikan Hatimu!


Banyak orang yang menggerutu dengan serangkaian masalah yang menghampiri hidupnya.


Cobalah masukkan segenggam garam dalam segelas air, dan rasakan betapa asinnya air tersebut. Namun, jika garam dengan jumlah yang sama dimasukkan pada sebuah sungai yang mengalir, maka asinnya pun tidak akan terasa sama sekali. Jika masalah diibaratkan dengan garam yang segenggam tadi, maka agar air kehidupan kita tidak terasa asinnya, maka kita hanya perlu menyediakan hati yang lapang, selapang sungai, bahkan mungkin lebih. Jangan menyempitkannya layaknya segelas air, yang membuat anda akan meringis merasakan asinnya garam tadi!


Wallahu a'lam..