Jumat, 12 Februari 2016

Catatan si Bumil

Seharusnya saya menuliskan hal lain yang sudah terpampang deadlinenya. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk membuat catatan ini saja. Demi menumpahkan isi kepala dan menghabiskan jatah kata-kata yang konon harus dikeluarkan oleh seorang perempuan setiap harinya. Sebab tidak ada yang bisa ditemani ngobrol banyak secara langsung, tak mengapalah jika saya mengobrol dan mengeluarkan sekian jatah kata-kata yang harus tumpah itu, di sini. Tidak apa-apa, ya?

Pada akhir catatan sebelumnya saya sudah menceritakan betapa bahagianya saya dan suami saat kali pertama melihat dua garis merah di testpack yang saya gunakan pada suatu pagi. Jika ceritanya hanya sampai di situ, tentu jadinya akan happy ending begitu saja, bukan? Namun nyatanya, hidup ini terus berjalan. Dan scene itu kemudian berlanjut dengan keberlanjutan situasi dan kondisi saya yang menghadapi keadaan hamil muda kala itu. Iya, saya kembali ambruk di kasur.

Kembali menahan mual dan sakit kepala yang terasa persis seperti orang yang sedang mabuk kendaraan, namun tidak berhenti meski saya telah tiduran. Menghadapi jam makan dengan hanya sanggup mengkonsumsi seuprit nasi, sambil bersandar di dinding dan menyandarkan kepala yang terus menerus pening dan berusaha menahan mual yang terus menerus menyerang bahkan meski saya tengah mengunyah. Memasuki waktu shalat lalu berdiri dalam shalat sambil lagi-lagi menahan pusing dan mengeluarkan suara-suara yang menahan muntah. Untuk kemudian... kembali ambruk di atas kasur, nyaris sepanjang hari.

Dalam keadaan seperti itu, kami hanya berdua di tanah rantau, jauh dari sanak saudara. Sesekali pesan singkat dari mama dan ibu mertua datang untuk menanyakan kabar kami. Suami sampai harus meminimalisir kepentingannya di luar rumah untuk bisa lebih banyak membersamai saya, dan mengambil alih nyaris seluruh tetek bengek pekerjaan rumah tangga. Dan saat suami harus benar-benar meninggalkan saya di rumah seorang diri karena keperluan yang tidak bisa dikesampingkan, sempat rasa mual itu justru memuncak dan menjelma menjadi muntah beneran  sehingga saya hanya bisa terhuyung-huyung ke kamar mandi lalu kemudian kembali ke kamar dengan mata berkaca-kaca.

Lalu kemudian atas beberapa pertimbangan, kami akhirnya memilih untuk hidup terpisah untuk sementara waktu. Saya, dijemput oleh ibu dan bapak mertua, akhirnya kembali ke tanah air, dan merentang jarak dengan suami tercinta. Rasanya? Jangan ditanya. Galaunya semakin menjadi-jadi. Belum lagi dengan kondisi fisik dan juga psikis yang tidak stabil, lalu kemudian harus berjauh-jauhan dengan seseorang yang selama beberapa bulan sebelumnya selalu saya tatap wajahnya setiap harinya. Bahkan meski kemudian saya pulang ke rumah (orang tua) sendiri, dan mendapatkan curahan perhatian pula dari keluarga suami yang ada di sini. Rasanya, tetap saja ada yang kurang.

Menjadi hamil juga tidak selalu berarti menjadi diistimewakan. Setelah menikah, terlepas dari keadaan bahwa saya tengah berbadan dua, nyatanya saya harus tetap sadar bahwa akan semakin banyak perasaan yang harus saya jaga. Saya harus selalu berusaha untuk menempatkan diri dan memposisikan diri dengan baik jika ingin keadaan pun tetap baik. Dan itu tidak mudah. Nyatanya, seringkali saya gagal dan akhirnya membuat saya semakin galau sendiri, sekaligus sadar akan satu hal; betapa saya ini masih sangat labil dan banyak lalainya.

Tapi terlepas dari semua itu, satu hal yang selalu menjadi obat di kala saya ‘sadar’ meski tengah dalam keadaan mabok adalah saat saya menginsyafi; takdir ini adalah nikmat. Bahkan sebuah nikmat yang sangat besar yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada kami. Kami tak perlu menunggu terlalu lama untuk kemudian dapat menjawab pertanyaan yang begitu sering dilontarkan oleh siapa saja, kepada siapapun yang telah menikah; apakah sudah ‘isi’?

Kenikmatan bahwa Allah telah mempercayakan sebuah amanah besar yang setiap harinya berdetak dan tumbuh di dalam rahim saya kini. Betapa terkadang saya menjadi begitu kagum dengan semua ini, saat saya menyadari bahwa di dalam diri saya kini telah ada dua jiwa. Jiwa saya sendiri, dan jiwa calon buah hati kami. Sementara saya tahu, di luar saya, ada banyak, bahkan mungkin sangat banyak pasangan lain yang harus lebih lama bersabar dan menetap dalam kesabarannya itu karena belum ditakdirkan Allah untuk memiliki keturunan.

Di luar sana, ada banyak perempuan yang begitu mengharapkan kehamilan, bahkan meski hanya sekali saja. Pasangan-pasangan yang setiap harinya harus berjuang bukan hanya untuk menguat-nguatkan diri menanggung beban sejuta tanya dari sejuta orang yang seolah memandang bahwa seseorang yang telah menikah haruslah segera punya anak. Belum lagi goncangan internal yang bisa datang menghantui kapan saja dan membuat sebuah rumah tangga bisa saja bergetar karena belum terlengkapi dengan kehadiran penyambung keturunan.

Sebelum saya hamil, pada sebuah siang di perbincangan ringan saya dengan suami, kami mengobrol tentang satu pasangan yang kami berdua kenali. Saya mengenal si istri, sementara suami saya mengenal sang suami. Pasangan suami istri itu dikenali sebagai dua orang yang disegani karena pribadi mereka. Mereka menikah telah lama, sudah belasan tahun. Namun, mereka dikenal pula sebagai pasangan yang hingga di bilangan dua digit pernikahan, belum juga dikaruniai anak.

Suami saya bercerita bahwa sang suami di usianya yang sudah sangat matang kerap kali hanya menunduk dan diam saat bapak-bapak lainnya sibuk bercerita tentang tingkah polah anak-anak mereka. Bahkan, mungkin beberapa orang merasa menyayangkan mengapa dari sosok lelaki yang disegani itu belum lahir penerus yang kelak akan melanjutkan garis keturunannya, melanjutkan perjuangannya. Di antara para ‘pengamat’ itu ada pula yang dengan halus menawarkan sebuah solusi kepadanya; bagaimana kalau ia menikah lagi? Dan solusi itu bukannya tak terpikirkan, bahkan konon sudah disetujui oleh sang istri, dan juga tentu akan sangat dimaklumi oleh banyak pihak yang memandang mereka dari luar. Namun apa jawaban sang suami itu?

Saya tentu bersedih dengan keadaan ini,” ujarnya tentang apa yang ia rasakan, “istri saya pun tentunya juga sedih. Namun, bukankah jika saya menikah lagi, itu justru akan menambah kesedihannya?” lanjutnya.

Ada perasaan hangat yang menelusup di hati saya saat mendengar cerita itu. Kesadaran bahwa di luar sana masih ada orang yang meletakkan kebutuhannya di bawah banyak pertimbangan, dalam hal ini masalah perasaan pasangan hidup yang tetap ingin dia jaga, apapun kondisinya. Padahal dalam waktu yang bersamaan, begitu banyak orang lain yang kemudian membenarkan banyak hal bahkan hanya atas alasan keinginan belaka.

Dan obrolan kami itu berlanjut dengan senyuman masing-masing dari kami saat kami tahu bahwa pasangan yang bersabar itu kini telah Allah takdirkan memiliki anak. Bahkan baru saja saya mendengar kabar, bahwa kini mereka tengah menanti kelahiran anak kedua, di jarak yang begitu dekat dengan anak pertama mereka, setelah belasan tahun mereka menantinya. Dan Allah Yang Maha Mengetahui timing yang paling tepat bagi masing-masing kita, dan Allah selalu membersamai mereka yang bersabar.

Dalam mengisi masa-masa kehamilan ini, kadang-kadang saya membaca kembali buku-buku parenting yang sudah saya beli sebelum menikah. Topik ini memang cukup saya gemari sebelumnya. Namun membacanya kali ini, terasa ada yang berbeda. Sebab semakin hari, saya semakin mendekati waktu di mana insya Allah saya akan menghadapi proses persalinan. Dan itu artinya, sudah saatnya apa-apa yang saya baca dari buku itu untuk saya coba amalkan.

Dalam tataran permukaan, kekhawatiran saya masih kerap kali tentang perkara-perkara teknis yang harus dikuasai seorang ibu baru. Sebelum itu, bahkan masih ada masa-masa akhir kehamilan dan persiapan menjelang hingga melahirkan yang juga tentunya membutuhkan ilmu tersendiri untuk bisa menghadapinya dengan survive, biidznillah. Belum lagi tuntas semua itu saya pelajari, saya kerap kali masih dihantui dengan pikiran mengenai bisakah saya kemudian menjadi seorang ibu yang telaten untuk mengurus bayi yang baru lahir? Bisakah saya melakukan semua itu dengan benar dan menjadi ibu yang baik dan mengusahakan agar buah hati kami nanti tumbuh dengan sehat dan tidak kurang satu apapun? Hal-hal berbau materil dan bersifat teknis itu masih saja sering muncul berjubel dalam kepala saya yang dari sononya memang punya kebiasaan overthinking.

Namun kemudian saya sadar, bahwa ada hal yang lebih patut untuk saya khawatirkan. Sesuatu yang nilainya lebih berat dan timbangannya lebih utama untuk menjadi bahan pemikiran dan juga perenungan. Belum lagi selesai belajar saya tentang bagaimana menjadi seorang istri shalihah yang mampu meraih ridha dari suami sehingga atas izin Allah bisa mengharapkan kondisi ukhrawi yang lebih baik, saya harus pula segera belajar bagaimana menjadi ibu yang baik; bukan hanya dalam perihal skill sebagai supermom, namun juga yang dapat benar-benar menjadi madrasah pertama bagi anak-anak kami kelak

Ah, bukankah madrasah pertama itu haruslah bagaikan mata air bening yang saat direguk tegukan darinya, ia akan menghilangkan segala haus dan memberikan kesegaran? Lalu apa yang saya harapkan jika saya masih saja sibuk dengan jiwa labil nan lalai ini. Astaghfirullah...

Bukankah sudah menjadi tugas orang tua untuk memastikan bahwa anak-anak yang lahir dari diri-diri mereka adalah mereka yang kuat jiwanya dan teguh keimanannya, memberatkan bumi ini dengan kalimat tauhid, mencintai dan menjalankan sunnah, serta menampilkan sebaik-baik akhlak? Bukankah kecerdasan mereka bukan hanya perihal angka-angka di rapor atau deretan piala dan medali serta penghargaan, namun bagaimana mereka faqih dalam ilmu agama dan dapat benar, lurus, dan teguh dalam mengamalkannya? Bukankah kemanfaatan mereka bukan dihitung dari sekadar profesi bergengsi apa yang akan mereka jalani kelak namun dari seberapa mereka bermanfaat untuk umat? Dan bukankah, bakti mereka tidak hanya diukur dari banyaknya harta dan kemewahan yang bisa mereka tawarkan kepada orang tua dan keluarganya, melainkan apakah mereka masih punya kepedulian dan kedudukan sebagai anak-anak yang shalih yang senantiasa mendoakan orang tuanya?  Dan rasanya nanti, satu hal yang paling patut kita tanyakan kepada anak-anak kita, dan tentunya harus dari sekarang kita persiapkan diri mereka untuk menjawabnya adalah sepotong tanya; wahai anakku, apakah yang akan kalian sembah sepeninggalku?

Sebab zaman menjadi begitu ‘edan’ kini. Rasa-rasanya kita tidak bisa membayangkan, dunia seperti apa yang akan dihadapi oleh anak-anak kita nanti. Namun, agama ini adalah pelajaran yang tidak akan pernah lekang ditelan oleh masa. Sebab itulah Allah menurunkan kitabNya dan mengutus para nabi dan rasul untuk membimbing kita. Maka template-nya sudah jelas di sana. Mungkin hanya teknis pelaksanaannya saja yang berbeda, dan disesuaikan dengan zamannya. Namun prinsipnya tetaplah itu juga. Maka pertanyaan selanjutnya yang kemudian berkelindan di kepala saya kini, dan kerap kali hadir saat saya menatap perut yang semakin hari makin membuncit sambil mengelus-elusnya; wahai anakku, jika aku pun belum memahami sesuatu, bagaimana bisa aku mengajarkanmu?

Makassar, 8 Februari 2016
Dalam serbuan overthinking yang harus banyak dihalau dengan istighfar