Seharusnya saya menuliskan
hal lain yang sudah terpampang deadlinenya. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk
membuat catatan ini saja. Demi menumpahkan isi kepala dan menghabiskan jatah
kata-kata yang konon harus dikeluarkan oleh seorang perempuan setiap harinya.
Sebab tidak ada yang bisa ditemani ngobrol banyak secara langsung, tak
mengapalah jika saya mengobrol dan mengeluarkan sekian jatah kata-kata yang
harus tumpah itu, di sini. Tidak apa-apa, ya?
Pada akhir catatan
sebelumnya saya sudah menceritakan betapa bahagianya saya dan suami saat kali
pertama melihat dua garis merah di testpack
yang saya gunakan pada suatu pagi. Jika ceritanya hanya sampai di situ, tentu
jadinya akan happy ending begitu
saja, bukan? Namun nyatanya, hidup ini terus berjalan. Dan scene itu kemudian berlanjut dengan keberlanjutan situasi dan
kondisi saya yang menghadapi keadaan hamil muda kala itu. Iya, saya kembali
ambruk di kasur.
Kembali menahan mual dan
sakit kepala yang terasa persis seperti orang yang sedang mabuk kendaraan,
namun tidak berhenti meski saya telah tiduran. Menghadapi jam makan dengan hanya
sanggup mengkonsumsi seuprit nasi, sambil bersandar di dinding dan menyandarkan
kepala yang terus menerus pening dan berusaha menahan mual yang terus menerus
menyerang bahkan meski saya tengah mengunyah. Memasuki waktu shalat lalu
berdiri dalam shalat sambil lagi-lagi menahan pusing dan mengeluarkan
suara-suara yang menahan muntah. Untuk kemudian... kembali ambruk di atas
kasur, nyaris sepanjang hari.
Dalam keadaan seperti itu,
kami hanya berdua di tanah rantau, jauh dari sanak saudara. Sesekali pesan
singkat dari mama dan ibu mertua datang untuk menanyakan kabar kami. Suami
sampai harus meminimalisir kepentingannya di luar rumah untuk bisa lebih banyak
membersamai saya, dan mengambil alih nyaris seluruh tetek bengek pekerjaan
rumah tangga. Dan saat suami harus benar-benar meninggalkan saya di rumah
seorang diri karena keperluan yang tidak bisa dikesampingkan, sempat rasa mual
itu justru memuncak dan menjelma menjadi muntah beneran sehingga saya hanya
bisa terhuyung-huyung ke kamar mandi lalu kemudian kembali ke kamar dengan mata
berkaca-kaca.
Lalu kemudian atas beberapa
pertimbangan, kami akhirnya memilih untuk hidup terpisah untuk sementara waktu.
Saya, dijemput oleh ibu dan bapak mertua, akhirnya kembali ke tanah air, dan
merentang jarak dengan suami tercinta. Rasanya? Jangan ditanya. Galaunya
semakin menjadi-jadi. Belum lagi dengan kondisi fisik dan juga psikis yang
tidak stabil, lalu kemudian harus berjauh-jauhan dengan seseorang yang selama
beberapa bulan sebelumnya selalu saya tatap wajahnya setiap harinya. Bahkan
meski kemudian saya pulang ke rumah (orang tua) sendiri, dan mendapatkan
curahan perhatian pula dari keluarga suami yang ada di sini. Rasanya, tetap
saja ada yang kurang.
Menjadi hamil juga tidak
selalu berarti menjadi diistimewakan. Setelah menikah, terlepas dari keadaan
bahwa saya tengah berbadan dua, nyatanya saya harus tetap sadar bahwa akan
semakin banyak perasaan yang harus saya jaga. Saya harus selalu berusaha untuk
menempatkan diri dan memposisikan diri dengan baik jika ingin keadaan pun tetap
baik. Dan itu tidak mudah. Nyatanya, seringkali saya gagal dan akhirnya membuat
saya semakin galau sendiri, sekaligus sadar akan satu hal; betapa saya ini
masih sangat labil dan banyak lalainya.
Tapi terlepas dari semua
itu, satu hal yang selalu menjadi obat di kala saya ‘sadar’ meski tengah dalam
keadaan mabok adalah saat saya menginsyafi; takdir ini adalah nikmat. Bahkan
sebuah nikmat yang sangat besar yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada kami.
Kami tak perlu menunggu terlalu lama untuk kemudian dapat menjawab pertanyaan
yang begitu sering dilontarkan oleh siapa saja, kepada siapapun yang telah
menikah; apakah sudah ‘isi’?
Kenikmatan bahwa Allah
telah mempercayakan sebuah amanah besar yang setiap harinya berdetak dan tumbuh
di dalam rahim saya kini. Betapa terkadang saya menjadi begitu kagum dengan
semua ini, saat saya menyadari bahwa di dalam diri saya kini telah ada dua
jiwa. Jiwa saya sendiri, dan jiwa calon buah hati kami. Sementara saya tahu, di
luar saya, ada banyak, bahkan mungkin sangat banyak pasangan lain yang harus
lebih lama bersabar dan menetap dalam kesabarannya itu karena belum ditakdirkan
Allah untuk memiliki keturunan.
Di luar sana, ada banyak
perempuan yang begitu mengharapkan kehamilan, bahkan meski hanya sekali saja.
Pasangan-pasangan yang setiap harinya harus berjuang bukan hanya untuk
menguat-nguatkan diri menanggung beban sejuta tanya dari sejuta orang yang
seolah memandang bahwa seseorang yang telah menikah haruslah segera punya anak.
Belum lagi goncangan internal yang bisa datang menghantui kapan saja dan
membuat sebuah rumah tangga bisa saja bergetar karena belum terlengkapi dengan
kehadiran penyambung keturunan.
Sebelum saya hamil, pada
sebuah siang di perbincangan ringan saya dengan suami, kami mengobrol tentang
satu pasangan yang kami berdua kenali. Saya mengenal si istri, sementara suami
saya mengenal sang suami. Pasangan suami istri itu dikenali sebagai dua orang
yang disegani karena pribadi mereka. Mereka menikah telah lama, sudah belasan
tahun. Namun, mereka dikenal pula sebagai pasangan yang hingga di bilangan dua
digit pernikahan, belum juga dikaruniai anak.
Suami saya bercerita bahwa
sang suami di usianya yang sudah sangat matang kerap kali hanya menunduk dan
diam saat bapak-bapak lainnya sibuk bercerita tentang tingkah polah anak-anak
mereka. Bahkan, mungkin beberapa orang merasa menyayangkan mengapa dari sosok
lelaki yang disegani itu belum lahir penerus yang kelak akan melanjutkan garis
keturunannya, melanjutkan perjuangannya. Di antara para ‘pengamat’ itu ada pula
yang dengan halus menawarkan sebuah solusi kepadanya; bagaimana kalau ia
menikah lagi? Dan solusi itu bukannya tak terpikirkan, bahkan konon sudah
disetujui oleh sang istri, dan juga tentu akan sangat dimaklumi oleh banyak
pihak yang memandang mereka dari luar. Namun apa jawaban sang suami itu?
“Saya tentu bersedih dengan keadaan ini,” ujarnya tentang apa yang ia
rasakan, “istri saya pun tentunya juga
sedih. Namun, bukankah jika saya menikah lagi, itu justru akan menambah
kesedihannya?” lanjutnya.
Ada perasaan hangat yang
menelusup di hati saya saat mendengar cerita itu. Kesadaran bahwa di luar sana
masih ada orang yang meletakkan kebutuhannya
di bawah banyak pertimbangan, dalam hal ini masalah perasaan pasangan hidup
yang tetap ingin dia jaga, apapun kondisinya. Padahal dalam waktu yang
bersamaan, begitu banyak orang lain yang kemudian membenarkan banyak hal bahkan
hanya atas alasan keinginan belaka.
Dan obrolan kami itu
berlanjut dengan senyuman masing-masing dari kami saat kami tahu bahwa pasangan
yang bersabar itu kini telah Allah takdirkan memiliki anak. Bahkan baru saja
saya mendengar kabar, bahwa kini mereka tengah menanti kelahiran anak kedua, di
jarak yang begitu dekat dengan anak pertama mereka, setelah belasan tahun
mereka menantinya. Dan Allah Yang Maha Mengetahui timing yang paling tepat bagi masing-masing kita, dan Allah selalu
membersamai mereka yang bersabar.
Dalam mengisi masa-masa kehamilan
ini, kadang-kadang saya membaca kembali buku-buku parenting yang sudah saya beli sebelum menikah. Topik ini memang
cukup saya gemari sebelumnya. Namun membacanya kali ini, terasa ada yang
berbeda. Sebab semakin hari, saya semakin mendekati waktu di mana insya Allah
saya akan menghadapi proses persalinan. Dan itu artinya, sudah saatnya apa-apa
yang saya baca dari buku itu untuk saya coba amalkan.
Dalam tataran permukaan,
kekhawatiran saya masih kerap kali tentang perkara-perkara teknis yang harus dikuasai
seorang ibu baru. Sebelum itu, bahkan masih ada masa-masa akhir kehamilan dan
persiapan menjelang hingga melahirkan yang juga tentunya membutuhkan ilmu
tersendiri untuk bisa menghadapinya dengan survive, biidznillah. Belum lagi tuntas semua itu saya pelajari, saya kerap
kali masih dihantui dengan pikiran mengenai bisakah saya kemudian menjadi
seorang ibu yang telaten untuk mengurus bayi yang baru lahir? Bisakah saya
melakukan semua itu dengan benar dan menjadi ibu yang baik dan mengusahakan
agar buah hati kami nanti tumbuh dengan sehat dan tidak kurang satu apapun?
Hal-hal berbau materil dan bersifat teknis itu masih saja sering muncul
berjubel dalam kepala saya yang dari sononya memang punya kebiasaan overthinking.
Namun kemudian saya sadar,
bahwa ada hal yang lebih patut untuk saya khawatirkan. Sesuatu yang nilainya
lebih berat dan timbangannya lebih utama untuk menjadi bahan pemikiran dan juga
perenungan. Belum lagi selesai belajar saya tentang bagaimana menjadi seorang
istri shalihah yang mampu meraih ridha dari suami sehingga atas izin Allah bisa
mengharapkan kondisi ukhrawi yang lebih baik, saya harus pula segera belajar
bagaimana menjadi ibu yang baik; bukan hanya dalam perihal skill sebagai supermom,
namun juga yang dapat benar-benar menjadi madrasah pertama bagi anak-anak kami
kelak
Ah, bukankah madrasah
pertama itu haruslah bagaikan mata air bening yang saat direguk tegukan
darinya, ia akan menghilangkan segala haus dan memberikan kesegaran? Lalu apa
yang saya harapkan jika saya masih saja sibuk dengan jiwa labil nan lalai ini. Astaghfirullah...
Bukankah sudah menjadi
tugas orang tua untuk memastikan bahwa anak-anak yang lahir dari diri-diri
mereka adalah mereka yang kuat jiwanya dan teguh keimanannya, memberatkan bumi
ini dengan kalimat tauhid, mencintai dan menjalankan sunnah, serta menampilkan
sebaik-baik akhlak? Bukankah kecerdasan mereka bukan hanya perihal angka-angka
di rapor atau deretan piala dan medali serta penghargaan, namun bagaimana
mereka faqih dalam ilmu agama dan dapat benar, lurus, dan teguh dalam
mengamalkannya? Bukankah kemanfaatan mereka bukan dihitung dari sekadar profesi
bergengsi apa yang akan mereka jalani kelak namun dari seberapa mereka
bermanfaat untuk umat? Dan bukankah, bakti mereka tidak hanya diukur dari banyaknya
harta dan kemewahan yang bisa mereka tawarkan kepada orang tua dan keluarganya,
melainkan apakah mereka masih punya kepedulian dan kedudukan sebagai anak-anak
yang shalih yang senantiasa mendoakan orang tuanya? Dan rasanya nanti, satu hal yang paling patut
kita tanyakan kepada anak-anak kita, dan tentunya harus dari sekarang kita
persiapkan diri mereka untuk menjawabnya adalah sepotong tanya; wahai anakku, apakah yang akan kalian sembah
sepeninggalku?
Sebab zaman menjadi begitu
‘edan’ kini. Rasa-rasanya kita tidak bisa membayangkan, dunia seperti apa yang
akan dihadapi oleh anak-anak kita nanti. Namun, agama ini adalah pelajaran yang
tidak akan pernah lekang ditelan oleh masa. Sebab itulah Allah menurunkan kitabNya
dan mengutus para nabi dan rasul untuk membimbing kita. Maka template-nya sudah jelas di sana.
Mungkin hanya teknis pelaksanaannya saja yang berbeda, dan disesuaikan dengan
zamannya. Namun prinsipnya tetaplah itu juga. Maka pertanyaan selanjutnya yang
kemudian berkelindan di kepala saya kini, dan kerap kali hadir saat saya
menatap perut yang semakin hari makin membuncit sambil mengelus-elusnya; wahai anakku, jika aku pun belum memahami
sesuatu, bagaimana bisa aku mengajarkanmu?
Makassar, 8 Februari 2016
Dalam serbuan overthinking yang harus banyak dihalau dengan istighfar
Sehat selalu kak Diena dan dede bayi ^_^
BalasHapusTanah rantau? Loh? memangnya sebelumnya tinggal di mana ki' kak?
*tututkepodeh
kemarin sempat ikut suami hidup di Malaysia dek. Alhamdulillah sekarang sudah berkumpul lagi di kampung halaman. Tutut sekeluarga juga sehat selalu yaa.. :)
Hapus