Dia termasuk orang-orang
awal yang saya informasikan tentang kabar itu. Dan responnya persis seperti
dugaan saya. Ia turut berbahagia dan segera menghujani saya dengan doa-doa yang
baik. Selanjutnya, chit-chat kami pun
berlanjut dengan pembicaraan tentang segala hal yang berkaitan dengan hari
bahagia itu. Ada rasa hangat di dalam hati saya, saat saya menyadari bahwa kami
telah berbagi banyak hal dalam rentang waktu kebersamaan ini.
Dibandingkan sahabat-sahabat
kental saya yang lain, yang saya kenal sejak jaman TK, SD, SMP, ataupun SMA,
dari segi kuantitas waktu perkenalan, mungkin kebersamaan kami memang belum
begitu lama. Baru sejak kuliah kami dipertemukan. Dan dalam masa sekitar lima
tahun di kampus merah hingga menambah dua gelar di belakang nama, masa-masa
akhirnya pun tidak diisi dengan perjumpaan saya yang intens dengannya. Meski
sesekali kami kerap kali masih saling bertukar kabar. Saya ingat, waktu itu dia
turut hadir dan tersenyum pada saya, saat saya keluar dari ruangan tempat
penyumpahan apoteker, meski waktu itu dia belum menjalani prosesi yang sama.
Darinya, saya belajar
tentang banyak hal. Sungguh. Bahkan di perkenalan paling pertama kami, dia
langsung mengajak saya untuk beristirahat di kamar kostnya sambil menunggu
jadwal kuliah selanjutnya. Di waktu-waktu berikutnya, saya kerap kali melakukan
aktivitas yang sama. Menumpang istirahat
di kamar kosnya di sela waktu kuliah, shalat maghrib di sana jika kemalaman
keluar dari laboratorium, ataupun menjadikannya sebagai tempat transit saat
dapat shift malam waktu praktek kerja apoteker di rumah sakit. Dan dia selalu
saja begitu. Mengamalkan pemuliaan terbaik kepada tamunya, dan membuat saya
selalu merasa nyaman.
Di suatu waktu di antara
persiapan jelang pernikahan saya, ia menelpon saya dari Lombok, tempatnya
sekarang mengabdi. Seperti biasa, dia memang selalu lebih sering menelpon saya
lebih dulu dibanding sebaliknya. Dan teleponnya yang kali ini dijeda dengan
mati lampu di rumah saya rupanya membawa sebuah kabar yang saya tunggu-tunggu.
Ini tentang seorang laki-laki yang tiba-tiba hadir dalam sebuah pesan singkat.
Pesan tanpa basa-basi yang hanya sekadar ingin mengonfirmasi apakah ia belum dilamar
siapapun, dan jika memang belum, maka laki-laki itu berniat untuk melamarnya. Wow. Emejing.
Saya membelalakkan mata.
Bertanya tentang siapa gerangan lelaki yang begitu to the point itu. Actually,
saya tahu bahwa saudari saya itu memang punya kepribadian yang baik. Di mata
saya –dan mungkin di mata banyak orang, dia adalah sosok yang istri-able. Wajahnya manis, masakannya
maknyus, senang rapi-rapi dan bersih-bersih, sifatnya ramah dan supel, namun di
sisi lain juga punya ketegasan dan perhatian yang besar kepada hal-hal yang berbau
sosial. Oh iya, yang paling penting, ia adalah sosok wanita shalihah yang
selalu semangat memperbaiki diri.
Maksud saya, ia memang
termasuk perempuan yang gampang dicintai, tapi menyampaikan maksud untuk ingin
melamarnya dengan cara yang begitu direct
seperti itu, rasa-rasanya juga terlalu...
gimana gitu...
Ia pun akhirnya bercerita
panjang tentang sosok lelaki itu. Saya banyak mengangguk-angguk-ria meski tahu
bahwa di sana ia tidak bisa melihat anggukan saya. Dan dari apa yang ia
ceritakan, saya dapat menarik kesimpulan bahwa lelaki itu cukup baik. Di kali
pertama saya mendengar tentang dirinya, feeling saya sudah cukup bagus dan entah
mengapa malah saya yang merasa yakin bahwa ia adalah orang yang tepat untuk
mendampingi kawan saya itu. Meski di lubuk hati yang terdalam, saya menyimpan
sebuah rahasia, yang di kala itu masih saya tahan untuk menceritakannya
kepadanya. Hmm... apa gerangan?
Well, sudah saya
katakan bahwa saudari saya yang satu ini adalah salah satu orang yang
ditakdirkan oleh Allah untuk menjadi salah satu manusia terbaik yang pernah
saya kenal. Beberapa hal pada dirinya mengingatkan saya pada hal-hal yang
diinginkan Mama kepada saya. Dari sana, saya terinspirasi bahwa tentu akan
menyenangkan sekali jika status saudari-fillah
ini bisa di-upgrade menjadi lebih kuat;
menjadi saudari ipar, mungkin? Hehehe...
Saya kemudian mengingati kakak laki-laki saya yang masih betah menjomblo nun
jauh di rantau sana. Dan ide itu pun muncul.
Tapi, yang terjadi,
terjadilah. Ide itu bahkan masih berupa benih yang belum berkecambah saat
kemudian saya tahu bahwa ada laki-laki lain yang sudah selangkah lebih maju.
Dan saat saya tahu bahwa ia adalah laki-laki yang baik, saya kemudian sadar
bahwa kecintaan saya pada saudari saya itu telah melebihi keinginan saya untuk
menjadi keluarga beneran dengannya.
Saya mencintainya karena Allah, sehingga saya ingin melihatnya bahagia. Dan
mungkin, lelaki itu lebih dapat membahagiakannya dibanding kakak saya yang
hingga tulisan ini dibuat, nampaknya belum ditakdirkan untuk menemukan sang
belahan jiwa. (Bang, ingat umur, Bang...)
Baiklah, lupakan tentang
niatan tidak kesampaian saya itu dan mari kita kembali kepada kisah ini.
Katanya, dunia ini panggung
sandiwara. Cerita-cerita yang berlangsung di dalamnya mungkin bisa jadi lebih
drama dibandingkan drama apapun yang pernah ditulis oleh penulis naskah
manapun. Dan salah satu kisah nyata yang menurut saya mengandung kadar drama
yang cukup tinggi itu, ternyata adalah kisah tentang perjalanan cinta saudari
saya ini. (Backsound: jengjengjeeeng...)
Awalnya semuanya berjalan
lancar. Perihal lelaki yang saat itu sedang berada di Makassar, dan kawan saya
yang berada di pulau lain itu, sebenarnya bagi saya sudah cukup seru untuk
diceritakan. Singkatnya, si lelaki harus melipat jarak untuk sekadar memperkenalkan
diri kepada ayah dari kawan saya itu. Di antara jadwal aktivitasnya yang padat,
dan rupa-rupa halangan dan rintangan yang harus ia lalui demi mendapatkan
selembar tiket kapal laut untuk tiba di tujuan, akhirnya jadwal
keberangkatannya pun ditetapkan. Itu adalah kali pertama ia mendatangi kampung
kawan saya itu. Dari cerita tentangnya, saya tahu bahwa laki-laki itu memang
gemar berpetualang ke alam bebas dan menaklukkan gunung-gunung. Kali ini, Bung, harus kau arungi samudra dan
taklukkan hati laki-laki pertama saudari saya itu; Ayahnya!
Dan rencananya pun tidak
muluk-muluk. Sebab itu pengalaman pertama, dan tidak ada sanak saudara di
tempat tujuan, ia berencana untuk menumpang nginap di masjid mana saja selama
berada di sana. Asal bisa numpang tidur!
Mungkin demikian prinsipnya. Namun selanjutnya, saudara kawan saya itu
menawarkan rumahnya untuk ditempati olehnya. Dan pertemuan itu pun berlangsung.
Sebagai seseorang yang tidak banyak bicara, bisa bayangkan betapa tegangnya ia
menghadapi calon mertua. Konon sebelum-sebelumnya, dia sudah berlatih untuk
momentum penting itu, namun hasilnya selalu gagal total. Namun ia maju saja. Tidak ada pilihan lain / kita harus berjalan
terus / sebab berhenti atau mundur berarti hancur. Mungkin ia menginsyafi
kalimat dalam puisi Taufik Ismail itu.
Dan alhamdulillah,
pertemuan itu lumayan sukes. Jadwal pertemuan selanjutnya telah ditetapkan,
dengan agenda menghadirkan orang tuanya. Artinya, ia sudah dapat lampu hijau
untuk datang melamar. Well done!
Namun tentu tak seru jika
ceritanya sampai di sini saja. Sudah kukatakan kepadamu, duhai sidang pembaca,
bahwa kisah ini akan mengandung kadar drama yang intens. Dan saat nama bulan
yang dijanjikan sebagai saat untuk mengkhitbah itu telah menari-nari dengan
indah di kepala keduanya, ternyata Allah berkehendak lain. Layaknya cerita
novel yang selalu bertabur kejutan, tokoh lain kemudian muncul untuk turut
menyemarakkan jalan cerita. Mereka adalah orang-orang yang sejatinya telah
mendengar kabar perihal anak gadis yang sudah bakal dilamar orang, namun mereka
menutup mata dari kabar itu. Mungkin mereka berprinsip; selama janur kuning belum melengkung, berarti masih milik bersama! Alamak!
Dan mereka pun menemui
orangtua kawan saya itu. Memperkenalkan sosok yang sebenarnya sudah sangat
dikenal oleh dua orang tua itu. Sosok yang sudah mereka sangat tahu
kredibilitasnya sejak masa kecilnya. Bocah kecil yang santun dengan traderecord idaman-para-mertua yang kini
telah bertransformasi menjadi pemuda yang tak sembarangan. Sebenarnya, lelaki
pertama tadi tidak juga kalah-kalah amat. Sayangnya, ia tidak punya sesuatu
yang dimiliki oleh pemuda kedua ini. Sesuatu yang bahkan meski ia cari dan ia
usahakan, tetap tak dapat ia miliki. Itulah, identitas kesukuan yang sama.
Kawan saya itu memang bukan
berasal dari suku bugis maupun makassar. Kampung kelahirannya saja berada di
pulau berbeda, nun jauh dari tanah Sulawesi. Sedangkan lelaki pertama itu
adalah pria bugis tulen yang masih bisa dicurigai bakal ‘membawa jauh’ gadis
ini. Sebuah pertimbangan klasik yang mungkin memang menjadi bahan pikiran para
orang tua yang ingin tetap dekat dengan anak perempuan yang mereka cintai.
Maka konfliknya pun pecah
di sana, saat kemudian orangtua kawan saya itu lebih cenderung hatinya pada
calon yang muncul belakangan tadi. Hingga mencak-mencak saya mengobrol dengan
kawan saya itu saat ia menceritakan tentang part
yang ini. Geregetan. Kenapa pula ada
peristiwa tikung menikung macam ni?
Dan jika sudah bicara
tentang keinginan ortu, tentu kawan saya yang merupakan anak yang berbakti ini
akan menjadi sangat dilema hatinya. Dalam pada itu, saya hanya dapat memberikan
kepadanya pandangan yang senetral mungkin. Berusaha untuk memaparkan tentang
berbagai kemungkinan yang bisa ia tempuh dan apa resiko yang bisa jadi ia
hadapi jika ia melangkah ke sini, atau ke situ. Waktu itu pun saya tengah dalam
masa menuju hari pernikahan yang semakin dekat waktunya. Namun entah mengapa
konsentrasi saya masih bisa terpecah untuk memikirkan hal yang satu ini. Saya
ikutkan perkara ini dalam doa-doa saya semoga Allah memberikan jalan terbaik
dan melembutkan setiap hati yang berada di antara pusarannya.
Perjuangan lelaki pertama
itu untuk menemui ayah kawan saya menurut saya sudah merupakan satu nilai plus.
Di sisi lain, caranya mengutarakan niat tanpa banyak omong -meski sebelumnya ia sudah mengenal kawan
saya ini lewat satu komunitas, juga saya nilai sebagai sesuatu yang positif.
Namun apa daya jika kemudian ternyata ia masih harus memperlihatkan perjuangan yang
lebih, untuk meraih apa yang ia inginkan kali ini. Hingga gemas saya memikirkan
tentang jalan cerita ini.
Lelaki itu? Jangan ditanya
bagaimana galaunya dia. Segera ia mencari apa yang salah dari dirinya, dan
menjadwalkan untuk kembali bertandang menemui sang calon mertua yang bisa jadi
bakal tidak jadi calon mertua itu. Perjalanan sekian waktu dengan kapal laut
pun harus kembali ia tempuh untuk meluruskan apa yang telah bengkok, meski ia
tahu; kans-nya tidak besar! Di pihak keluarga kawan saya itu sendiri, praktis
hanya saudara kawan saya –yang tempo lalu ia tempati rumahnya, yang
mendukungnya. Selebihnya, lebih ridha melihat kawan saya itu bersanding dengan
pemuda kedua yang dinilai lebih dikenal bibit bebet dan bobotnya.
Dan dalam kemungkinan yang
kecil untuk memenangkan pertarungan, ia memilih untuk tetap berangkat. Mungkin
ia tersengat dengan pesan dari kawan saya itu saat mengabari tentang kondisi
medan yang akan ia hadapi. Tentang keluarganya yang sudah berpaling kepada
calon yang lain. Tentang ibunya yang telah kukuh ingin memberi restu kepada
pemuda kedua, dan tentang ayahnya yang hanya banyak diam saat kawan saya melobi
perihal lelaki yang lebih dulu datang itu.
“Tunjukkan bagaimana karakter lelaki bugis..” tulis kawan saya di akhir pesannya itu.
Dan sisi dramatis saya
turut terpanggil saat membayangkan betapa cerita ini berkembang menjadi begitu
filmis. Saya jadi ingat sebuah semboyan Bugis-Makassar yang begitu patriotik; Kualleangi tallanga natowalia; sekali layar terkembang, pantang biduk surut
ke pantai. Ahhay! Ya, lelaki ini harus menuntaskan apa yang sudah ia mulai.
Ingin rasanya saya turut berpesan kepadanya untuk tetap maju pantang mundur,
perlihatkan semangat ayam jantan dari timur, dan jangan coba-coba bikin malu
Sultan Hasanuddin! Tunjukkan merahmu!
Lalu keseruan itu pun
terjeda dengan pikiran saya yang harus segera fokus pada pernikahan saya
sendiri. Hehehe... Bahkan setelah
menikah pun, kawan saya itu tidak pernah lagi memberikan update tentang perkembangan baru kasusnya itu. Ia hanya hadir dalam
sebuah kado pernikahan yang manis beserta sebuah surat cinta untuk saya.
Mungkin ia tidak mau muncul dahulu di masa-masa pasca pernikahan saya waktu
itu.
Lalu kemudian saya pun
penasaran sendiri. Jarak kami sudah terbentang lebih jauh lagi sebab kala itu
saya sudah menyeberang ke negeri jiran. Di antara kehidupan berdua dengan suami,
saya mengecek kabar-kabarinya lewat chatting
sebagaimana yang kerap saya lakukan dahulu. Saya menebak-nebak, bahwa tentu
sudah banyak hal yang terjadi. Bahwa mungkin lelaki pertama itu sudah pergi
meninggalkan kampung halaman kawan saya itu dengan tangan kosong dan kepala
yang tertunduk lesu. Mungkin kawan saya itu akhirnya harus tunduk pada keinginan
keluarga besarnya. Mungkin keluarga pihak pemuda yang kedua itu tak juga
pantang menyerah untuk mengatur perjodohan mereka. Mungkin dan mungkin...
Hingga balasan pesan dari
kawan saya itu datang.
Insya Allah, ia akan
menikah di awal tahun 2016. Tapi dengan siapa?
Ada yang bisa menebak?
Ya, ternyata dengan lelaki
yang pertama tadi! Masya Allah,
double-emejing! Saya tidak tahu apa yang telah mereka usahakan sehingga
takluklah hati keluarga besar kawan saya itu. Saya pun tidak mengerti mengapa
kemudian konon si pemuda kedua itu yang memilih untuk mundur dan mempersilakan
lelaki pertama itu melanjutkan prosesnya. Yang jelas, pada akhirnya perhelatan
itu akan berlangsung, dan undangan itu akan disebarkan. Di dalamnya, ada nama
kawan saya dan nama lelaki yang telah berhasil mencuri perhatiannya. Wajar saja
menurut saya, sebab dalam kadar kesulitan yang cukup tinggi, lelaki Bugis itu
telah berhasil menunjukkan bukti konkret kepada kawan saya, dan memperlihatkan
satu hal yang sangat diinginkan oleh setiap perempuan; diperjuangkan.
Dalam pada itu, saya pun
tahu bahwa sejak awal sujud-sujud istikharah kawan saya itu telah mengarahkan
hatinya kepada hati lelaki yang pertama. Saya sadar bahwa ia pun turut merasakan
hal yang sama, mengusahakan perjuangan yang sama, serta menjalani hal-hal yang
tidak ringan untuk menjemput takdir kebersamaan itu. Saya tiba-tiba ingin
menuliskan pesan balasan yang menjadi jawaban sang lelaki saat kawan saya itu
menantang entitas ke-bugis-annya saat konflik itu pecah. Dalam bahasa saya
sendiri, lelaki itu berpesan;
“Aku tidak akan mundur sedikitpun hingga kau sendiri yang mengatakan
tidak. Namun jika memang Allah menakdirkan lain atas hal ini, maka satu
permohonanku; Kelak, ajarkanlah kepada anak-anakmu tentang makna perjuangan...”
Ah, betapa saya berbahagia
atas kebahagiaan kalian hari ini. Semoga Allah memberikan keberkahan dalam
perjalanan yang baru saja kalian mulai. Saya yakin, meski mungkin tidak mudah,
tentu kalian dapat memperlihatkan kepada para orang tua dan orang-orang yang
kalian cintai, lewat akhlak dan sikap terbaik, bahwa tidak ada yang salah pada
ketetapan itu, insya Allah.
Ukhtifillah, uhibbukifillah... Selamat memasuki rimba raya pernikahan dengan segala pernak perniknya.
Saya tahu kau adalah saudari yang baik, kelak akan menjadi istri yang baik dan
ibu yang baik, insya Allah. Semoga kebaikan selalu menyertai kalian. Dan isilah
kisah-kisah kalian berikutnya dengan syukur dan sabar. Mungkin ia tidak melulu
berisi scene-scene romantis seperti saat
seorang suami mengimami istrinya shalat di puncak sebuah gunung. Tidak pula
selalu berisi canda tawa yang menyenangkan hati dan menggembirakan diri. Namun
apapun yang kalian hadapi nanti, tetaplah bergandeng tangan dan membawa biduk
yang kalian nahkodai meski badai dan hujan sesekali mengancam keseimbangannya.
Teruslah melaju dan mengarungi samudera kehidupan hingga berlayar di pulau
kebahagiaan yang tiada lagi akhirnya. Ialah surga yang kita rindukan, ukhti.
Selamat merayakan cinta.
tentang saudariku; Rismawati binti Burhanuddin. Telah kukatakan kepadamu
bahwa ini adalah satu hal yang paling ingin kutuliskan sejak berbulan-bulan
lalu kau menceritakannya. Ini kado untukmu, mewakili pelukan hangat yang tentu
sangat kuinginkan di hari bahagiamu. Semoga ia bisa menjadi penanda dari kisah
kalian, dan menjadi awal dari perjuangan-perjuangan berikutnya. Dan pada hari
bahagia kalian, di penanggalan paling awal pada 2016 yang semoga terisi dengan
keberkahan, tak ada doa yang lebih indah untukmu dan untuknya selain;
Barakallahu lakuma wa baraka alaikuma wa jama’a bainakuma fii khairin! Berbahagialah,
telah genap separuh agama...
Barakallah kak Risma
BalasHapusSalut dah perjuangan sang lelaki
Masya Allah, kak inspiring bangeet
BalasHapus