Kamis, 31 Desember 2015

The Best Feeling I Ever Had

Wajah-wajah asing sejauh mata memandang. Itulah yang saya rasakan saat berada jauh dari kampung halaman. Hidup berdua dengan seseorang yang juga baru saya bersamai kurang dari waktu sebulan. Tiap harinya menjadi kesempatan untuk terus saling mengenal dan memperlihatkan karakter masing-masing.

Jika di Makassar dulu saya sedang berada di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan atau yang lainnya, kerap kali saya bertemu dengan kenalan, kawan, atau saudara yang menyapa dengan tiba-tiba, tanpa ada janji untuk saling jumpa. Namun di sini, rasanya hal itu tidak mungkin. Saat berada di tempat umum, saya memang cukup familiar dengan mayoritas wajah-wajah khas melayu yang tak jauh beda dengan tipe wajah orang Indonesia. Tapi nyatanya, memang tak satupun dari mereka yang saya kenal, ataupun mengenali saya. Mereka pun berbicara dengan bahasa yang seringkali tidak saya mengerti.

Keasingan yang sama juga kerap kali terasa saat saya berada di kampus suami. Hal ini semakin bertambah-tambah dengan berbagai macamnya negara asal para mahasiswa di sana. Mencari pembeda antara satu bangsa dengan bangsa lainnya dapat dilakukan dengan melihat penampilan dan perawakan mereka. Kerap kali, saat di masjid, saya hanya bisa melemparkan senyum kepada para mahasiswi yang tanpa sengaja beradu pandangan dengan saya. Dan mereka pun membalasnya. Senyum, memang selalu menjadi bahasa yang universal.

Di satu kesempatan saya hanya bisa menggeleng sambil tertawa kecil saat seorang mahasiswi bertampang melayu menyapa saya dalam bahasa Inggris. Saya tidak tau dia mengira saya bangsa apa, mungkin karena hari itu saya mengenakan jubah dan jilbab hitam-hitam. Baru setelah berbicara beberapa saat, ia kemudian nampak sadar dan bertanya;

Sister, are you Indonesian?” . Saya tersenyum dan mengiyakan. Cek per cek, ternyata dia pun juga mahasiswi asal Indonesia berdarah Jawa. Oalah...

Tak terasa sudah nyaris sebulan, keberadaan di negeri rantau sampai pula pada masa hari raya. Idul Adha akan segera tiba dan saya mulai merasa mellow sendiri karena tidak bisa merayakannya dengan keluarga di Makassar. Tapi, ini lebaran pertama bersama suami, khan? Begitu seorang sahabat saya mengingatkan.

Ini pertama kalinya lebaran tidak di rumah, ya?” tanya suami sambil menyeruput Milo Ice-nya. Kami sedang berhadap-hadapan, menikmati buka puasa di senja itu. Saya mencoba menajamkan kuping, mencari-cari suara takbir. Besok, hari raya Qurban akan dijelang. Saya mengangguk kecil. Mencoba mengingat-ingat kebiasaan jelang Idul Adha yang biasanya berlangsung di rumah.

Karena hari raya biasanya dimanfaatkan setiap orang untuk berkumpul dengan keluarga, maka di rumah pun tinggal kami sekeluarga yang ngumpul. Yang biasanya bantu-bantu kerap kali menggunakan momentum itu untuk pulang kampung. Karena tidak ingin direpotkan untuk memberikan instruksi masak-memasak kepada dua anak gadisnya, Mama pun memilih untuk menggunakan jasa catering untuk hidangan hari raya. Kami hanya bertugas membuat kue untuk para tamu. Kue termudah sepanjang masa di seluruh dunia; puding keju andalan. Hehehe...

Maka sambil membuat kue, kami pun menunggu pesanan catering itu datang. Menyiapkan wadah-wadah untuk menempatkannya di kulkas agar bisa tahan beberapa waktu dan tinggal dihangatkan saja. Saya dan Indi akan mengobrol tentang apa saja sambil tertawa-tawa hingga semua persiapan untuk menyambut hari raya rampung sementara Mama dan Bapak biasanya tidur lebih awal. Ini sudah menjadi semacam tradisi yang berulang setiap kali hari kemenangan akan tiba.

Khusus di hari Idul Adha, biasanya di hari kedua, saat daging-daging kurban sudah menyemarakkan rumah, biasanya para ibu-ibu tetangga akan beramai-ramai memadati dapur kami untuk membuat bumbu bersama, lalu kemudian memasak aneka hidangan daging dengan serunya. Setelah itu, mereka kembali ke rumah masing-masing, berdandan, dan mengumpulkan suami dan anak-anaknya untuk makan bersama di rumah. Mama biasanya akan memanggil sanak keluarga lainnya di saat yang sama.

Sementara, kakak laki-laki saya, sangat jarang untuk pulang kampung di waktu Idul Adha. Dia hanya pulang sekali setahun dan mengambil cuti yang lumayan panjang di momentum Idul Fitri. Kelakuannya itu sudah awet sejak zaman ia kuliah hingga saat ini. Praktis, sudah berlangsung selama 10 tahun. Maka acara santap daging di saat Idul Qurban memang jarang sekali ia dapati. Saat masih bocah dulu, dengan kurang ajarnya kadangkala saya ikut menyerobot saat Mama dan Bapak menelponnya di hari raya sambil berceloteh santai;

“Din, kau ndak makan daging ya di situ? Kita dong, makan coto sama ketupat.... Tapi ndak papa kok makan indomie.. asal indomienya rasa coto juga... Wahahaha....” ujar saya, minta ditabok. Entah bagaimana ekspresi kakak saya waktu itu.

Kini, saat ditakdirkan pula berjauhan dari orangtua di saat lebaran haji seperti ini, saya baru sadar pada kejahatan saya waktu itu kepada Didin. Huhuhu...

Sehari sebelum lebaran, kami menelepon keluarga di tanah air. Mama bertanya apa yang akan kami makan besok. Ibu mertua menyampaikan rasa kasihannya karena kami hanya akan lebaran berdua, sementara mereka akan beramai-ramai di Makassar sana. Saya, bertekad untuk ‘membuat sesuatu’ dan pantang menikmati mie instan di hari lebaran, bahkan meski rasa coto sekalipun. Jengjeeeng...

Maka, kami pun berangkat ke supermarket untuk ‘belanja lebaran’. Nyatanya, kami hanya membeli beberapa potong ayam dan sekantung kentang. Saya bolak-balik di rak bumbu-bumbu instan untuk mencari bumbu kari yang kira-kira rasanya paling bersahabat di lidah. Makanan di sini, meski judulnya sama, namun rasanya kerap kali berbeda. Setelah itu saya mengitari supermarket demi sekotak santan yang ujung-ujungnya tak nemu juga. Suami menggeleng-geleng sambil mendorong trolley melihat kelakuan saya yang mengitari hampir separuh supermarket demi si santan. Di malam lebaran, saya merengek kepadanya untuk mengantarkan saya ke warung mencari santan yang saya inginkan. Biarlah tak santap kambing atau sapi, yang penting daging. Daging ayam...hehehe

Malamnya, saya pun (sok) sibuk di dapur. Padahal yang saya lakukan hanya membersihkan potongan ayam, mengupas dan memotong kentang, kemudian mencemplungkan semuanya bersama bumbu dan santan. Suami sibuk mondar-mandir di belakang saya dan sesekali menengok ke dapur dan menawarkan bantuan. Saya hanya menggeleng sambil tersenyum. Saat aroma kari mulai menguar di seluruh rumah, ia berkata dengan ekspresi takjub bahwa ternyata saya pandai memasak, padahal dia tahu semua ini hanya instan belaka.. Hehehe...

Sebelum tidur, pikiran saya sebenarnya masih terbang ke rumah. Kangen suasana rumah. Hingga bangun di besok paginya pun tetap saja sama. Apalagi saat kemudian kami tiba di masjid kampus, tempat pelaksanaan shalat Id. Masih cukup sepi waktu itu. Saya masuk ke bagian muslimah dan baru beberapa orang di sana. Di shaf terdepan nampak beberapa muslimah berperawakan Afrika yang sudah mengambil tempat. Di salah satu sudut, mahasiswi-mahasiswi bergaya melayu terlihat sedang bercakap-cakap. Di tengah-tengah, saya melihat seorang ibu berusia seperti Mama, berseragam cleaning service sedang mengenakan mukenah, lalu duduk tenang sambil bersandar di salah satu pilar. Saya mengambil tempat di bagian belakang untuk kemudian maju agak ke tengah nantinya.

Tak lama, jama’ah lain nampak mulai berdatangan dan memenuhi masjid. Bermacam-macam wajah dan bangsa nampak di sana. Saya menyelip di sebuah shaf di antara seorang perempuan Afrika berjilbab abu-abu selutut dengan sebuah keluarga arab yang ramai dengan anak-anaknya. Wajah-wajah mereka cerah dengan seorang bayi laki-laki yang lucu dan bocah yang tampan. Ada juga anak perempuan kecil yang sungguh cantik, nampak duduk dengan tenang tepat di samping saya.

Shalat Id pun digelar. Bahu kami saling bertautan dalam shaf yang rapat. Tiba-tiba saya mengingat saudari-saudari seperjuangan saya di kampung halaman. Merindukan shalat berjama’ah kembali bersama mereka. Takbiratul ihram dikumandangkan, dan mata saya masih berkaca-kaca, hati saya melayang ke tanah kelahiran. Betapa saya merindukannya...

Selepas shalat, khutbah disampaikan oleh seorang Syaikh berkebangsaan Arab. Saya melihat wajahnya dari layar yang tergantung di bagian depan shaf perempuan. Khutbah disampaikan dalam bahasa Arab dan orang Arab di samping saya sesekali berekspresi sambil mengucapkan sesuatu pada keluarganya, mungkin menanggapi isi khutbah itu. Saya? Tentu saja menganga saja dan mengasihani diri yang hingga kini belum juga paham dengan bahasa Al Qur’an itu. Syukurnya, setelah sesi bahasa Arab selesai, khatib mengulang khutbahnya dengan bahasa Inggris yang sedikit-sedikit bisa saya mengerti. Setelah khutbah selesai dan ditutup dengan doa, nampak seorang bocah berwajah Arab melintasi para jama’ah dari berbagai suku bangsa dan membagi-bagikan permen. Aktivitas yang sama juga dilakukan oleh seorang ibu-ibu Arab berpenampilan hitam-hitam dengan cadar yang ia sampirkan hingga memperlihatkan wajahnya yang tersenyum sambil menawarkan Kopiko dari toples yang ia bawa. Saya menerima permen itu darinya dan tersenyum kepadanya.

Saat jama’ah bubar, semua orang saling bersalam-salam dan bercipika-cipiki-cipika (di sini, aktivitas mencium pipi dilakukan tiga kali, tidak dua kali seperti di tanah air). Saya menjabat tangan jama’ah asal Afrika di samping saya, lalu bercipika-cipiki-cipika dengannya sambil mengucapkan selamat hari raya. Di sampingnya, ada mahasiswi asal Aceh yang sudah sempat berkenalan dengan saya sebelumnya. Saya melakukan hal yang sama kepadanya sambil tersenyum dan ia mengucapkan selamat hari raya diikuti dengan sejumlah kalimat lainnya dalam bahasa Arab. Entah dia kira saya orang apa... huhuhu... 

Mungkin dia tidak mengenali saya sebab waktu itu kami berkenalan di perpustakaan dan saya dalam keadaan sedang mengenakan penutup wajah. Baru selepas ia menghujani saya dengan kosa kata Arab, saya kemudian menjelaskan kepadanya bahwa kami sudah saling kenal sebelumnya. Ia akhirnya tertawa malu dan nampak agak kaget lalu kemudian berpamitan untuk bergabung kembali dengan kawan-kawannya.

Saya memandang sekeliling. Wajah-wajah asing sejauh mata memandang. Tapi, hari ini adalah hari raya, bukan waktunya untuk bersedih meski saya sedang ditikam rindu pada sanak keluarga. Lagipula ponsel saya sudah bergetar dan pesan via whatsapp dari suami sudah mengajak saya untuk beranjak keluar dari masjid. Kami akan mencari spot yang cukup nyaman untuk ber-skype ria dengan Mama dan Bapak di rumah.

Keluar dari masjid, saya mendapati pemandangan para jama’ah yang tumpah ruah. Heboh. Ramai. Mereka nampak berkumpul berdasarkan warna kulit dan gayanya masing-masing. Sama-sama berwajah Arab tapi ada beberapa kelompok yang tercipta dengan kesamaan bentuk jubah atau penutup kepalanya yang beragam satu sama lain antar kelompoknya. Demikian juga yang berkulit gelap, macam-macam pula ternyata asal negaranya. Yang berwajah melayu pun begitu, terbagi atas kelompok Malaysia dan Indonesia. Di antaranya, ada minoritas kecil seperti para muslim bertampang oriental asal Thailand ataupun China.

Setelah keliling-keliling kampus dan melintasi kehebohan iring-iringan hewan kurban, kami pun kembali ke rumah. Berinteraksi sejenak dengan tetangga yang menyewa rumah sebelah, lalu kemudian masuk rumah. Berdua saja. Sepi sekali rasanya.

Tapi berhubung perut rasanya keroncongan, saya segera menyendok nasi dari ricecooker untuk disantap dengan kari ayam yang saya buat tadi malam. Kami pun menikmati hidangan lebaran itu. Suami menyuap makanannya dengan lahap dan penuh semangat. Saya sebenarnya masih mellow, namun melihatnya begitu ceria di hari lebaran itu, saya pun memutuskan untuk menyederhanakan saja alasan untuk bahagia hari ini. Lebaran pertama sebagai seorang istri, sudah seharusnya saya banyak-banyak bersyukur. Walhamdulillah...

Lepas Idul Adha, ternyata kehidupan kami akan memasuki episode yang baru. Saya mencurigai bahwa maag saya kembali menggerogoti pencernaan waktu itu, sebab rasa mual dan pusing luar biasa tiba-tiba menyerang. Beberapa waktu sebelum lebaran memang kami sempat melakukan perjalanan panjang dan waktu itu pola makan saya kacau balau. Akibatnya, bahkan mencium aroma kari yang saya buat sendiri pun membuat saya rasanya ingin muntah. Jadilah saya hanya bisa teronggok di atas kasur, melambaikan bendera putih dan meminta suami membeli makanan dari kantin kembali, persis saat kami belum mengaktifkan dapur di awal pindah dulu.

Saya bahkan masih sempat menenggak obat maag yang saya bawa dari Makassar karena sangat yakin bahwa gejala yang saya derita ini adalah maag yang kambuh. Namun saat kami mengabari kepada Mama dan Ibu mertua tentang kondisi saya, keduanya punya pendapat berbeda.

Sudah tes, belum? Kayaknya istrimu hamil...” ujar keduanya kepada suami saya.

Terinspirasi dari pernyataan Mama dan Ibu, suami pun segera mengusut perihal test-pack yang pernah ia belikan untuk saya saat masih di Makassar kemarin.

“Masih ada satu, kan? Dibawa ke sini juga, ndak?” tanyanya. Saya nyengir kuda. Lalu menanyakan kepadanya berapa harga testpack itu.

“Ooh.. beli saja lagi di sini, Kak... Paling di sini hanya satu atau dua ringgit...” ujar saya sambil tetap nyengir. Suami geleng-geleng kepala.

Akhirnya, saat berkesempatan keluar rumah dan memastikan bahwa saya cukup aman buat ditinggal, suami pun singgah di salah satu Pharmacy di satu kompleks pusat perbelanjaan. Saya masih tepar di atas kasur saat chatnya masuk ke ponsel saya.

“Di sini mahal, hampir puluhan kali lipat dari harga di Makassar...” ujarnya. Saya memasang emotikon terkejut luar biasa. Waduh...  Suami menjelaskan bahwa dalam kurs rupiah, harganya sekitar lima puluh ribu. Saya memintanya mencari testpack jenis strip yang barangkali lebih murah.

Suami memutuskan untuk berpindah ke apotek lainnya. Di tempat lain, ia menemukan testpack dengan selisih harga hanya sekitar tiga ringgit saja. Jadi dirupiahkan, jadinya sekitar tiga puluh ribu lebih.

“Ini isinya hanya satu?” tanyanya kepada petugas di apotek itu.

Iya, ini hanya satu. Lepas dipakai, dibuanglah...” ujar Pak Cik itu dengan santai. Suami melongo. Lalu kembali mengaduk-aduk rak berisi jejeran rupa-rupa testpack itu, tentu saja mencari yang paling murah.

“Ambil itu saja lah... itu sudah yang paling murah!” kata Pak Cik, seolah bisa membaca maksud suami saya. Suami kembali melongo.

Tiba di rumah, kami duduk berhadapan di atas kasur. Saya menimang si tectpack dengan hati-hati. Barang mewah nih...

“Jadi bisa di tes sekarang?” tanya suami sambil menatap saya yang menatap testpack itu.

“Besok pagi lah... harus pakai urine paling pertama...”. Ia mengangguk-angguk. Saya tak sabar menunggu hari berganti.

Besoknya, saya pun sibuk menampung urine dan meneteskannya pada benda yang kemarin membuat suami saya geleng-geleng itu. Harus ditunggu beberapa menit. Saya memutuskan kembali masuk ke kemar mandi untuk mencuci muka kembali. Rasanya harap-harap cemas. Saya berdoa yang terbaik. Doa perihal keturunan yang shalih sudah saya langitkan bahkan jauh sebelum saya berencana menikah. Namun, saya tetap meyakini bahwa pernikahan tidak otomatis memberikan kita hak untuk mempunyai anak. Semuanya kembali kepada ketetapan Allah. Dan sebaik-baik ketenangan baru bisa kita dapatkan saat bertawakkal penuh kepada takdirNya.

Meski saya tahu, selepas menikah, pertanyaan bernada “Sudah isi, belom?”, pasti akan heboh dilancarkan. Dan ternyata benar saja, bahkan kehebohannya melebihi ekspektasi saya. Seorang tante bahkan sudah mewanti-wanti saya bahkan sebelum hari akad datang. “Jangan ditunda-tunda ya, Nak... langsung saja punya anaknya...”. Beberapa pihak bahkan menduga bahwa saya sudah hamil saat berangkat ke Malaysia kemarin. Saya hanya bisa tersenyum miris menatap perut saya yang saat itu mungkin memang agak membuncit, seiring dengan pipi yang menembem, dan berat badan yang bertambah pasca menikah. Namun, saya belum hamil saat itu. “Ah, saya tahu Kak Dina... Kak Dina kelihatannya berangkat berdua saja, padahal sebenarnya berangkat bertiga khan....” seorang adik binaan menggoda saya lewat chat BBM saat awal saya tiba di Malaysia waktu itu. Bahkan seorang ukhti datang ke rumah beberapa jam menjelang keberangkatan saya, membawa sebuah kado yang ternyata berisi jaket bayi berwarna biru. Hihihi...

Maka mungkin, semua pertanyaan dan harapan itu, telah menjelma menjadi doa-doa.

Saya keluar dari kamar mandi. Suami sudah nampak berdiri di depan mesin cuci. Testpack itu bertengger di atas sana.

“Kalo begini maksudnya apa nih?” tanyanya sambil menatap benda itu. Saya ikut menengok ke sana. Saya bisa merasakan jantung saya memompa darah lebih cepat. Pusing dan mual yang biasa muncul itu tiba-tiba lenyap entah kemana, mungkin tertutup dengan perasaan penasaran.

Saya mengerjap-ngerjapkan mata. Memandangi garis merah yang terbentuk.

Satu garis...

Dua garis..

Dua garis merah. Dua garis merah, saudara-saudara pendengar! Saya memandang lekat ke arah testpack, rasanya deg-degannya masih awet. Lalu memandang kepada suami yang nampaknya masih belum ngeh dengan apa yang terjadi.

“Dua garis, Kak.. Positif!”

“Itu artinya positif?”

Saya mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar. Kami berdua, sepasang suami istri di negeri orang, dua orang yang ditakdirkan bersama sekitar dua bulan yang lalu, berdiri di depan mesin cuci dan kamar mandi di pagi yang masih begitu muda. Melonjak kegirangan dalam kebahagiaan yang bercampur rasa syukur yang luar biasa.

Matahari nampak mulai bersinar. Saya merasakan hangatnya dan melihat cahayanya dari balik wajah suami saya. Di luar, suara-suara aktivitas pagi baru saja dimulai. Di wajah suami saya, ada kegembiraan yang terpancar tanpa bisa ia sembunyi. Di dalam hati saya, ada perasaan hangat yang sulit diungkapkan dengan kata apapun. This is the best feeling i ever had. Alhamdulillah... alhamdulillah... alhamdulillah...

*mengenang perasaan yang tumpah ruah pada akhir September itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)