Jika di Makassar dulu saya
sedang berada di tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan atau yang
lainnya, kerap kali saya bertemu dengan kenalan, kawan, atau saudara yang
menyapa dengan tiba-tiba, tanpa ada janji untuk saling jumpa. Namun di sini,
rasanya hal itu tidak mungkin. Saat berada di tempat umum, saya memang cukup
familiar dengan mayoritas wajah-wajah khas melayu yang tak jauh beda dengan tipe
wajah orang Indonesia. Tapi nyatanya, memang tak satupun dari mereka yang saya
kenal, ataupun mengenali saya. Mereka pun berbicara dengan bahasa yang
seringkali tidak saya mengerti.
Keasingan yang sama juga
kerap kali terasa saat saya berada di kampus suami. Hal ini semakin bertambah-tambah
dengan berbagai macamnya negara asal para mahasiswa di sana. Mencari pembeda
antara satu bangsa dengan bangsa lainnya dapat dilakukan dengan melihat
penampilan dan perawakan mereka. Kerap kali, saat di masjid, saya hanya bisa
melemparkan senyum kepada para mahasiswi yang tanpa sengaja beradu pandangan
dengan saya. Dan mereka pun membalasnya. Senyum, memang selalu menjadi bahasa
yang universal.
Di satu kesempatan saya
hanya bisa menggeleng sambil tertawa kecil saat seorang mahasiswi bertampang
melayu menyapa saya dalam bahasa Inggris. Saya tidak tau dia mengira saya
bangsa apa, mungkin karena hari itu saya mengenakan jubah dan jilbab
hitam-hitam. Baru setelah berbicara beberapa saat, ia kemudian nampak sadar dan
bertanya;
“ Sister, are you Indonesian?” . Saya tersenyum dan mengiyakan. Cek
per cek, ternyata dia pun juga mahasiswi asal Indonesia berdarah Jawa. Oalah...
Tak terasa sudah nyaris
sebulan, keberadaan di negeri rantau sampai pula pada masa hari raya. Idul Adha
akan segera tiba dan saya mulai merasa mellow
sendiri karena tidak bisa merayakannya dengan keluarga di Makassar. Tapi, ini lebaran pertama bersama suami,
khan? Begitu seorang sahabat saya mengingatkan.
“Ini pertama kalinya lebaran tidak di rumah, ya?” tanya suami sambil
menyeruput Milo Ice-nya. Kami sedang berhadap-hadapan, menikmati buka puasa di
senja itu. Saya mencoba menajamkan kuping, mencari-cari suara takbir. Besok,
hari raya Qurban akan dijelang. Saya mengangguk kecil. Mencoba mengingat-ingat
kebiasaan jelang Idul Adha yang biasanya berlangsung di rumah.
Karena hari raya biasanya
dimanfaatkan setiap orang untuk berkumpul dengan keluarga, maka di rumah pun
tinggal kami sekeluarga yang ngumpul. Yang biasanya bantu-bantu kerap kali
menggunakan momentum itu untuk pulang kampung. Karena tidak ingin direpotkan
untuk memberikan instruksi masak-memasak kepada dua anak gadisnya, Mama pun
memilih untuk menggunakan jasa catering
untuk hidangan hari raya. Kami hanya bertugas membuat kue untuk para tamu. Kue
termudah sepanjang masa di seluruh dunia; puding keju andalan. Hehehe...
Maka sambil membuat kue,
kami pun menunggu pesanan catering
itu datang. Menyiapkan wadah-wadah untuk menempatkannya di kulkas agar bisa
tahan beberapa waktu dan tinggal dihangatkan saja. Saya dan Indi akan mengobrol
tentang apa saja sambil tertawa-tawa hingga semua persiapan untuk menyambut
hari raya rampung sementara Mama dan Bapak biasanya tidur lebih awal. Ini sudah
menjadi semacam tradisi yang berulang setiap kali hari kemenangan akan tiba.
Khusus di hari Idul Adha,
biasanya di hari kedua, saat daging-daging kurban sudah menyemarakkan rumah,
biasanya para ibu-ibu tetangga akan beramai-ramai memadati dapur kami untuk
membuat bumbu bersama, lalu kemudian memasak aneka hidangan daging dengan
serunya. Setelah itu, mereka kembali ke rumah masing-masing, berdandan, dan
mengumpulkan suami dan anak-anaknya untuk makan bersama di rumah. Mama biasanya
akan memanggil sanak keluarga lainnya di saat yang sama.
Sementara, kakak laki-laki
saya, sangat jarang untuk pulang kampung di waktu Idul Adha. Dia hanya pulang
sekali setahun dan mengambil cuti yang lumayan panjang di momentum Idul Fitri.
Kelakuannya itu sudah awet sejak zaman ia kuliah hingga saat ini. Praktis,
sudah berlangsung selama 10 tahun. Maka acara santap daging di saat Idul Qurban
memang jarang sekali ia dapati. Saat masih bocah dulu, dengan kurang ajarnya
kadangkala saya ikut menyerobot saat Mama dan Bapak menelponnya di hari raya
sambil berceloteh santai;
“Din, kau ndak makan daging ya di situ? Kita dong, makan coto sama
ketupat.... Tapi ndak papa kok makan indomie.. asal indomienya rasa coto
juga... Wahahaha....”
ujar saya, minta ditabok. Entah bagaimana ekspresi kakak saya waktu itu.
Kini, saat ditakdirkan pula
berjauhan dari orangtua di saat lebaran haji seperti ini, saya baru sadar pada
kejahatan saya waktu itu kepada Didin. Huhuhu...
Sehari sebelum lebaran,
kami menelepon keluarga di tanah air. Mama bertanya apa yang akan kami makan
besok. Ibu mertua menyampaikan rasa kasihannya karena kami hanya akan lebaran
berdua, sementara mereka akan beramai-ramai di Makassar sana. Saya, bertekad
untuk ‘membuat sesuatu’ dan pantang menikmati mie instan di hari lebaran,
bahkan meski rasa coto sekalipun. Jengjeeeng...
Maka, kami pun berangkat ke
supermarket untuk ‘belanja lebaran’. Nyatanya, kami hanya membeli beberapa
potong ayam dan sekantung kentang. Saya bolak-balik di rak bumbu-bumbu instan
untuk mencari bumbu kari yang kira-kira rasanya paling bersahabat di lidah.
Makanan di sini, meski judulnya sama, namun rasanya kerap kali berbeda. Setelah
itu saya mengitari supermarket demi sekotak santan yang ujung-ujungnya tak nemu
juga. Suami menggeleng-geleng sambil mendorong trolley melihat kelakuan saya yang mengitari hampir separuh
supermarket demi si santan. Di malam lebaran, saya merengek kepadanya untuk
mengantarkan saya ke warung mencari santan yang saya inginkan. Biarlah tak
santap kambing atau sapi, yang penting daging. Daging ayam...hehehe
Malamnya, saya pun (sok)
sibuk di dapur. Padahal yang saya lakukan hanya membersihkan potongan ayam,
mengupas dan memotong kentang, kemudian mencemplungkan semuanya bersama bumbu
dan santan. Suami sibuk mondar-mandir di belakang saya dan sesekali menengok ke
dapur dan menawarkan bantuan. Saya hanya menggeleng sambil tersenyum. Saat
aroma kari mulai menguar di seluruh rumah, ia berkata dengan ekspresi takjub
bahwa ternyata saya pandai memasak, padahal dia tahu semua ini hanya instan
belaka.. Hehehe...
Sebelum tidur, pikiran saya
sebenarnya masih terbang ke rumah. Kangen suasana rumah. Hingga bangun di besok
paginya pun tetap saja sama. Apalagi saat kemudian kami tiba di masjid kampus,
tempat pelaksanaan shalat Id. Masih cukup sepi waktu itu. Saya masuk ke bagian
muslimah dan baru beberapa orang di sana. Di shaf terdepan nampak beberapa
muslimah berperawakan Afrika yang sudah mengambil tempat. Di salah satu sudut,
mahasiswi-mahasiswi bergaya melayu terlihat sedang bercakap-cakap. Di
tengah-tengah, saya melihat seorang ibu berusia seperti Mama, berseragam cleaning service sedang mengenakan
mukenah, lalu duduk tenang sambil bersandar di salah satu pilar. Saya mengambil
tempat di bagian belakang untuk kemudian maju agak ke tengah nantinya.
Tak lama, jama’ah lain
nampak mulai berdatangan dan memenuhi masjid. Bermacam-macam wajah dan bangsa
nampak di sana. Saya menyelip di sebuah shaf di antara seorang perempuan Afrika
berjilbab abu-abu selutut dengan sebuah keluarga arab yang ramai dengan
anak-anaknya. Wajah-wajah mereka cerah dengan seorang bayi laki-laki yang lucu
dan bocah yang tampan. Ada juga anak perempuan kecil yang sungguh cantik,
nampak duduk dengan tenang tepat di samping saya.
Shalat Id pun digelar. Bahu
kami saling bertautan dalam shaf yang rapat. Tiba-tiba saya mengingat saudari-saudari
seperjuangan saya di kampung halaman. Merindukan shalat berjama’ah kembali
bersama mereka. Takbiratul ihram dikumandangkan, dan mata saya masih
berkaca-kaca, hati saya melayang ke tanah kelahiran. Betapa saya
merindukannya...
Selepas shalat, khutbah
disampaikan oleh seorang Syaikh berkebangsaan Arab. Saya melihat wajahnya dari
layar yang tergantung di bagian depan shaf perempuan. Khutbah disampaikan dalam
bahasa Arab dan orang Arab di samping saya sesekali berekspresi sambil
mengucapkan sesuatu pada keluarganya, mungkin menanggapi isi khutbah itu. Saya?
Tentu saja menganga saja dan mengasihani diri yang hingga kini belum juga paham
dengan bahasa Al Qur’an itu. Syukurnya, setelah sesi bahasa Arab selesai,
khatib mengulang khutbahnya dengan bahasa Inggris yang sedikit-sedikit bisa
saya mengerti. Setelah khutbah selesai dan ditutup dengan doa, nampak seorang
bocah berwajah Arab melintasi para jama’ah dari berbagai suku bangsa dan
membagi-bagikan permen. Aktivitas yang sama juga dilakukan oleh seorang ibu-ibu Arab berpenampilan hitam-hitam
dengan cadar yang ia sampirkan hingga memperlihatkan wajahnya yang tersenyum
sambil menawarkan Kopiko dari toples yang ia bawa. Saya menerima permen itu
darinya dan tersenyum kepadanya.
Saat jama’ah bubar, semua
orang saling bersalam-salam dan bercipika-cipiki-cipika (di sini, aktivitas
mencium pipi dilakukan tiga kali, tidak dua kali seperti di tanah air). Saya
menjabat tangan jama’ah asal Afrika di samping saya, lalu
bercipika-cipiki-cipika dengannya sambil mengucapkan selamat hari raya. Di
sampingnya, ada mahasiswi asal Aceh yang sudah sempat berkenalan dengan saya
sebelumnya. Saya melakukan hal yang sama kepadanya sambil tersenyum dan ia
mengucapkan selamat hari raya diikuti dengan sejumlah kalimat lainnya dalam
bahasa Arab. Entah dia kira saya orang apa... huhuhu...
Mungkin dia tidak mengenali
saya sebab waktu itu kami berkenalan di perpustakaan dan saya dalam keadaan
sedang mengenakan penutup wajah. Baru selepas ia menghujani saya dengan kosa
kata Arab, saya kemudian menjelaskan kepadanya bahwa kami sudah saling kenal
sebelumnya. Ia akhirnya tertawa malu dan nampak agak kaget lalu kemudian
berpamitan untuk bergabung kembali dengan kawan-kawannya.
Saya memandang sekeliling.
Wajah-wajah asing sejauh mata memandang. Tapi, hari ini adalah hari raya, bukan
waktunya untuk bersedih meski saya sedang ditikam rindu pada sanak keluarga. Lagipula
ponsel saya sudah bergetar dan pesan via whatsapp
dari suami sudah mengajak saya untuk beranjak keluar dari masjid. Kami akan
mencari spot yang cukup nyaman untuk
ber-skype ria dengan Mama dan Bapak
di rumah.
Keluar dari masjid, saya
mendapati pemandangan para jama’ah yang tumpah ruah. Heboh. Ramai. Mereka
nampak berkumpul berdasarkan warna kulit dan gayanya masing-masing. Sama-sama
berwajah Arab tapi ada beberapa kelompok yang tercipta dengan kesamaan bentuk
jubah atau penutup kepalanya yang beragam satu sama lain antar kelompoknya.
Demikian juga yang berkulit gelap, macam-macam pula ternyata asal negaranya.
Yang berwajah melayu pun begitu, terbagi atas kelompok Malaysia dan Indonesia.
Di antaranya, ada minoritas kecil seperti para muslim bertampang oriental asal
Thailand ataupun China.
Setelah keliling-keliling
kampus dan melintasi kehebohan iring-iringan hewan kurban, kami pun kembali ke
rumah. Berinteraksi sejenak dengan tetangga yang menyewa rumah sebelah, lalu
kemudian masuk rumah. Berdua saja. Sepi sekali rasanya.
Tapi berhubung perut
rasanya keroncongan, saya segera menyendok nasi dari ricecooker untuk disantap
dengan kari ayam yang saya buat tadi malam. Kami pun menikmati hidangan lebaran
itu. Suami menyuap makanannya dengan lahap dan penuh semangat. Saya sebenarnya
masih mellow, namun melihatnya begitu
ceria di hari lebaran itu, saya pun memutuskan untuk menyederhanakan saja
alasan untuk bahagia hari ini. Lebaran pertama sebagai seorang istri, sudah
seharusnya saya banyak-banyak bersyukur. Walhamdulillah...
Lepas Idul Adha, ternyata
kehidupan kami akan memasuki episode yang baru. Saya mencurigai bahwa maag saya
kembali menggerogoti pencernaan waktu itu, sebab rasa mual dan pusing luar
biasa tiba-tiba menyerang. Beberapa waktu sebelum lebaran memang kami sempat
melakukan perjalanan panjang dan waktu itu pola makan saya kacau balau.
Akibatnya, bahkan mencium aroma kari yang saya buat sendiri pun membuat saya
rasanya ingin muntah. Jadilah saya hanya bisa teronggok di atas kasur,
melambaikan bendera putih dan meminta suami membeli makanan dari kantin
kembali, persis saat kami belum mengaktifkan dapur di awal pindah dulu.
Saya bahkan masih sempat
menenggak obat maag yang saya bawa dari Makassar karena sangat yakin bahwa
gejala yang saya derita ini adalah maag yang kambuh. Namun saat kami mengabari
kepada Mama dan Ibu mertua tentang kondisi saya, keduanya punya pendapat
berbeda.
“Sudah tes, belum? Kayaknya istrimu hamil...” ujar keduanya kepada
suami saya.
Terinspirasi dari
pernyataan Mama dan Ibu, suami pun segera mengusut perihal test-pack yang pernah ia belikan untuk saya saat masih di Makassar
kemarin.
“Masih ada satu, kan? Dibawa ke sini juga, ndak?” tanyanya. Saya nyengir kuda. Lalu menanyakan
kepadanya berapa harga testpack itu.
“Ooh.. beli saja lagi di sini, Kak... Paling di sini hanya satu atau dua
ringgit...” ujar saya
sambil tetap nyengir. Suami geleng-geleng kepala.
Akhirnya, saat
berkesempatan keluar rumah dan memastikan bahwa saya cukup aman buat ditinggal,
suami pun singgah di salah satu Pharmacy
di satu kompleks pusat perbelanjaan. Saya masih tepar di atas kasur saat chatnya masuk ke ponsel saya.
“Di sini mahal, hampir puluhan kali lipat dari harga di Makassar...” ujarnya. Saya memasang emotikon terkejut
luar biasa. Waduh... Suami menjelaskan
bahwa dalam kurs rupiah, harganya sekitar lima puluh ribu. Saya memintanya
mencari testpack jenis strip yang
barangkali lebih murah.
Suami memutuskan untuk
berpindah ke apotek lainnya. Di tempat lain, ia menemukan testpack dengan
selisih harga hanya sekitar tiga ringgit saja. Jadi dirupiahkan, jadinya sekitar
tiga puluh ribu lebih.
“Ini isinya hanya satu?” tanyanya kepada petugas di apotek itu.
“Iya, ini hanya satu. Lepas dipakai, dibuanglah...” ujar Pak Cik itu
dengan santai. Suami melongo. Lalu kembali mengaduk-aduk rak berisi jejeran
rupa-rupa testpack itu, tentu saja mencari yang paling murah.
“Ambil itu saja lah... itu sudah yang paling murah!” kata Pak Cik, seolah bisa membaca maksud
suami saya. Suami kembali melongo.
Tiba di rumah, kami duduk
berhadapan di atas kasur. Saya menimang si tectpack dengan hati-hati. Barang mewah nih...
“Jadi bisa di tes sekarang?” tanya suami sambil menatap saya yang menatap testpack itu.
“Besok pagi lah... harus pakai urine paling pertama...”. Ia mengangguk-angguk. Saya tak sabar
menunggu hari berganti.
Besoknya, saya pun sibuk
menampung urine dan meneteskannya pada benda yang kemarin membuat suami saya
geleng-geleng itu. Harus ditunggu beberapa menit. Saya memutuskan kembali masuk
ke kemar mandi untuk mencuci muka kembali. Rasanya harap-harap cemas. Saya
berdoa yang terbaik. Doa perihal keturunan yang shalih sudah saya langitkan
bahkan jauh sebelum saya berencana menikah. Namun, saya tetap meyakini bahwa
pernikahan tidak otomatis memberikan kita hak untuk mempunyai anak. Semuanya
kembali kepada ketetapan Allah. Dan sebaik-baik ketenangan baru bisa kita
dapatkan saat bertawakkal penuh kepada takdirNya.
Meski saya tahu, selepas
menikah, pertanyaan bernada “Sudah isi,
belom?”, pasti akan heboh dilancarkan. Dan ternyata benar saja, bahkan
kehebohannya melebihi ekspektasi saya. Seorang tante bahkan sudah mewanti-wanti
saya bahkan sebelum hari akad datang. “Jangan
ditunda-tunda ya, Nak... langsung saja punya anaknya...”. Beberapa pihak
bahkan menduga bahwa saya sudah hamil saat berangkat ke Malaysia kemarin. Saya
hanya bisa tersenyum miris menatap perut saya yang saat itu mungkin memang agak
membuncit, seiring dengan pipi yang menembem, dan berat badan yang bertambah
pasca menikah. Namun, saya belum hamil saat itu. “Ah, saya tahu Kak Dina... Kak Dina kelihatannya berangkat berdua saja,
padahal sebenarnya berangkat bertiga khan....” seorang adik binaan menggoda
saya lewat chat BBM saat awal saya tiba di Malaysia waktu itu. Bahkan seorang
ukhti datang ke rumah beberapa jam menjelang keberangkatan saya, membawa sebuah
kado yang ternyata berisi jaket bayi berwarna biru. Hihihi...
Maka mungkin, semua
pertanyaan dan harapan itu, telah menjelma menjadi doa-doa.
Saya keluar dari kamar
mandi. Suami sudah nampak berdiri di depan mesin cuci. Testpack itu bertengger di atas sana.
“Kalo begini maksudnya apa nih?” tanyanya sambil menatap benda itu. Saya ikut menengok ke sana. Saya bisa
merasakan jantung saya memompa darah lebih cepat. Pusing dan mual yang biasa
muncul itu tiba-tiba lenyap entah kemana, mungkin tertutup dengan perasaan
penasaran.
Saya mengerjap-ngerjapkan
mata. Memandangi garis merah yang terbentuk.
Satu garis...
Dua garis..
Dua garis merah. Dua garis
merah, saudara-saudara pendengar! Saya memandang lekat ke arah testpack, rasanya deg-degannya masih
awet. Lalu memandang kepada suami yang nampaknya masih belum ngeh dengan apa yang terjadi.
“Dua garis, Kak.. Positif!”
“Itu artinya positif?”
Saya mengangguk-angguk
sambil tersenyum lebar. Kami berdua, sepasang suami istri di negeri orang, dua
orang yang ditakdirkan bersama sekitar dua bulan yang lalu, berdiri di depan
mesin cuci dan kamar mandi di pagi yang masih begitu muda. Melonjak kegirangan
dalam kebahagiaan yang bercampur rasa syukur yang luar biasa.
Matahari nampak mulai
bersinar. Saya merasakan hangatnya dan melihat cahayanya dari balik wajah suami
saya. Di luar, suara-suara aktivitas pagi baru saja dimulai. Di wajah suami
saya, ada kegembiraan yang terpancar tanpa bisa ia sembunyi. Di dalam hati
saya, ada perasaan hangat yang sulit diungkapkan dengan kata apapun. This is the best feeling i ever had. Alhamdulillah...
alhamdulillah... alhamdulillah...
*mengenang perasaan yang tumpah ruah pada akhir September itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)