Kamis, 31 Oktober 2013

Romi dan Yuli: Aku di Sini, Kau di Seberang

*tulisan ini telah diikutsertakan dalam lomba review film antidiskriminasi Denny JA dan Hanung Bramantyo*


Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah ia walau jalannya terjal berliku. Ketika cinta memelukmu, maka dekapilah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu. “Romi dan Yuli” pertama kali dipertemukan lewat puisi Kahlil Gibran tersebut. Dalam sebuah kesempatan pergelaran seni di halaman kampus mereka, Juleha, gadis cantik berjilbab asli Betawi itu membacakan puisi Kahlil Girbran. Bagian akhir puisi yang ia lupa liriknya ternyata disempurnakan oleh Rokhmat. Sejak saat itu, keduanya selalu bersama, berjumpa dimana saja, dan saling berbincang tentang apa saja. Awalnya, segalanya berjalan dengan begitu lancar. Hingga akhirnya kedua keluarga mereka saling bertemu untuk menentukan tanggal pernikahan. Namun, apakah cerita ini sesederhana itu? Nyatanya tidak.

Juleha adalah seorang anak dari kyai pimpinan sebuah pondok pesantren dengan jama’ah yang begitu loyal. Sedangkan Rokhmat sebenarnya hanyalah seorang mahasiswa biasa yang menjalani hari-harinya secara biasa pula. Sesekali ia berdiskusi tentang banyak hal dengan kawan-kawannya. Dari diskusi itu, terlihat betapa Rokhmat adalah sosok yang begitu menjunjung tinggi toleransi, termasuk antarumat beragama. Keduanya memadu kasih tanpa ada halangan yang berarti. Hingga kemudian hari itu tiba, 6 Februari 2011. Hari dimana televisi menyiarkan kabar tentang sebuah peristiwa di Cikeusik, kampung halaman Rakhmat. Tayangan itu tentang Jama’ah Ahmadiyah yang diserang oleh sekelompok massa yang menolak keberadaan mereka. Fakta itu membuat Rokhmat secara tidak sengaja menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya. Jati diri yang disembunyikannya, atau dianggapnya tidak begitu penting untuk disampaikan kepada kekasihnya. Rokhmat, ternyata adalah seorang ahmadi.

Kenyataan itu membuat keduanya pecah kongsi. Juleha tidak bisa menerima Rokhmat begitu saja. Tentu ini berkaitan erat dengan kedudukan ayahnya yang dikalangan jama’ah terkenal begitu menentang paham Ahmadiyah. Dalam pemahaman sang ayah, Ahmadiyah adalah golongan sesat yang keluar dari Islam. Akidahnya menyimpang.  Sebuah harga mati yang tidak bisa lagi ditawar. Maka membiarkan putrinya menikah dengan seorang ahmadi, tentu tidak masuk di akal.

Rokhmat menentang keras penolakan tersebut. Baginya, tidak ada yang salah dengan apa yang selama ini ia jalankan sebagai seorang Ahmadi, ia juga shalat, puasa, zakat, mengaji Al Qur’an, dan mengakui Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi terakhir. Baginya, tiada beda antara ia dan Juleha. Nah, jika memang Rokhmat benar, maka logika pendeknya; Rokhmat sebenarnya bukanlah Ahmadi. Atau kemungkinan lainnya, Rokhmat tidak termasuk Ahmadi tulen. Ia ‘masuk’ dalam golongan itu hanya karena tumbuh dan besar dalam lingkungan Ahmadiyah saja.

Film ini menayangkan berita tentang aksi vandalis yang terjadi dimana-mana berkaitan dengan kontroversi Ahmadiyah. Pembantaian. Pengrusakan. Bahkan pembakaran masjid milik jama’ah Ahmadiyah menjadi seolah dibenarkan oleh oknum yang sedang berupaya menjaga kesucian agamanya. Sayangnya, bahkan meski mereka tengah meneriakkan takbir kebenaran, namun tidak semua pihak melihatnya sebagai sebuah keindahan. Berbagai respon pun bermunculan. Bukan hanya dari pengikut Ahmadiyah, termasuk ayah Rokhmat yang kini mempertanyakan keislaman dari orang-orang yang membantai mereka. Tapi juga dari Juleha, seorang gadis yang sedang dimabuk cinta dengan pemuda yang ternyata berseberangan dengan dia. Dengan keluarganya.

Juleha kemudian berusaha mengunjungi berbagai perpustakaan, membaca sebanyak mungkin buku, menemui para ustadz, demi menemukan kebenaran –atau mungkin pula hanya untuk sekadar mencari pembenaran? Dari penelusurannya itu, nyatanya Juleha semakin menemukan bahwa ia tidak bisa menutup mata pada sejarah dan fakta tentang Ahmadiyah. Namun di lain pihak, ia juga meyakini bahwa segalanya tidak bisa dipaksakan. Termasuk masalah keyakinan.

Film garapan Hanung Bramantyo ini menampilkan dengan nyata bagaimana kegundahan seorang Juleha yang diperankan dengan apik oleh Zaskia Adya Mecca dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Sebuah kegalauan yang sebenarnya tidak perlu dialami oleh seorang putri kyai yang seharusnya memahami betul prinsip-prinsip mendasar tentang agamanya, kecuali tentu jika masalah cinta dan perasaan turut berperan dalam hal ini. Tiap malam, Juleha bermunajat agar diberikan jalan keluar. Sementara Ben Kasyafani yang memerankan tokoh Rokhmat pun tidak usai bersujud untuk menemukan solusi atas cintanya. Pembacaan narasi sepanjang film oleh Agus Kuncoro begitu mendukung suasana gundah nan galau yang dirasakan oleh pasangan ini.

Hingga akhirnya pada sebuah kesempatan, Juleha terus berdoa sejak sepertiga malam terakhir hingga subuh tiba. Paginya, ibunya mendapati Juleha tertidur di atas sajadah. Bukan tidur biasa. Ini berkaitan dengan penyakit yang ia derita. Penyakit yang tidak bisa diterima oleh lelaki lain, selain pujaan hatinya, Rokhmat. Setelah itu, Juleha tidak pernah benar-benar sadar. Lewat bibirnya yang pucat ia hanya terus-terusan mengigau agar ayahnya bersedia merestui mereka. Maka gundalah kedua orang tua gadis ini.  Apakah sang kyai akan berubah pikiran demi menuruti keinginan anaknya? Mampukah ia meneladani kisah Nabi Ibrahim yang yang lebih memilih perintah Tuhan, ketimbang menolak menyembelih sang putra tercinta Ismail dalam ritus kurban? Ataukah kisah ini akan menjadi sepedih Romi dan Yuli yang sebenarnya?

Film yang terinspirasi dari esai puisi karya Denny J.A ini mengangkat sebuah tema kontroversial seputar keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Issu ini cukup menyita perhatian publik dan mendapatkan banyak tanggapan dari berbagai pihak. Baik pihak yang benar-benar memahami pokok permasalahannya, maupun yang sebenarnya tidak benar-benar paham dan hanya memandang perkara ini dari satu sisi saja.

Ahmadiyah sendiri adalah sebuah gerakan yang dipimpin oleh Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1900 M. Di depan pengikutinya, lelaki yang lahir di India pada 1839 ini mengaku sebagai nabi, sebelum awalnya menganggap dirinya sebagai mujaddid (pembaharu). Pemahaman ini bermula dari gerakan orientalis bawah tanah oleh Sayyid Ahmad Khan yang membuka jalan munculnya Ahmadiyah. Beberapa poin keyakinan yang menyimpang bahkan hingga menyerempet akidah, membuat jama’ah ini oleh Rabithah Alam Islami di Mekkah pada April 1974 dihukumi telah kufur, keluar dari Islam. Kelompok ini didukung oleh pemerintah Inggris pada masa itu, sebab mereka meyakini wajibnya ketaatan pada Ingrris yang kala itu melakukan penjajahan. Paham ini menyebar ke berbagai negara di dunia hingga saat ini, termasuk di Indonesia.

Kelompok ini telah eksis di Indonesia sejak 1928. Pada tahun 2005, berdasarkan Musyawarah Nasional VII, MUI mengeluarkan fatwa sesat pada Jama’ah Ahmadiyah. Penganutnya tidak diakui sebagai bagian dari kaum muslimin. Mereka yang mengaku muslim, harus mengulang syahadat sekali lagi. Masalahnya, meski tetap pada keyakinan mereka, para pengikut Ahmadiyah juga ogah disebut bukan bagian dari Islam. Hal inilah yang menjadi pokok masalah sebenarnya, Ahmadiyah dianggap melecehkan ajaran Islam yang murni. Sikap keukeuh dari Ahmadiyah ini, ditambah lambannya respon pemerintah untuk melakukan penertiban dengan cara-cara yang elegan, akhirnya memicu keresahan di tengah masyarakat. Mereka, bukannya tidak menerima adanya kepercayaan lain. Namun, mereka terusik pada ajaran agama Islam yang disimpangkan oleh sekelompok orang yang tetap ingin disebut muslim. Ini masalah akidah. Dan dalam hal tersebut, segalanya menjadi hitam putih.

Sayangnya, film ini tidak menjawab tuntas mengapa tidak ada titik temu antara pengakuan dari Rokhmat tentang sosok Ahmadiyah yang ia yakini atau (mungkin) yang sebatas ia jalani, dengan apa yang dipaparkan oleh para ustadz dan ayah Juleha. Penjelasan ini menjadi penting karena hal inilah yang akan membuat penonton menjadi dapat memilih sikap apa yang terbaik dalam menanggapi permasalahan tersebut. Diperlukan objektivitas dalam menampilkan fakta-fakta yang menunjang latar belakang film ini. Namun film ini justru  melulu menghadirkan gambaran kekerasan dan pembantaian yang tidak menampilkan penjelasan lebih mendalam perihal apa duduk permasalahan yang sebenarnya, yakni masalah penistaan agama. Dan, seharusnya tidak hanya terus menerus meletakkan pihak Ahmadiyah seolah-olah sebagai ‘korban’ belaka, sehingga jangan sampai justru yang sedang didiskriminasi sebenarnya adalah pihak yang berseberangan dengan Ahmadiyah –yang notabene tengah dinistakan agamanya. Terlebih lagi dengan penyebutan fatwa MUI sebagai ‘sumber kekerasan’, yang nampaknya justru kurang menunjukkan toleransi yang seharusnya diusung. Meski tentu tanpa melupakan fakta, bahwa atas alasan apapun, segala bentuk kekerasan tidak dibenarkan di negeri nan damai ini. Sebab sebenarnya, selalu ada cara-cara yang hikmah jika kita tidak bersikap terburu-buru untuk membereskan sebuah persoalan. Kesalahan dalam bersikap hanya membuat sebuah kebenaran lebih mudah untuk dijungkirbalikkan.

Ada yang menarik dari film yang ditayangkan dengan alur flashback ini. Pada menit ke 10:42, Agus Kuncoro menyampaikan sebuah narasi yang menarik saat ditampilkan acara lamaran Rokhmat dan Juleha. Diiringi backsound yang selalu mendukung suasana yang dibangun dalam tiap menit pada film ini, narator berucap; “Semua sepakat, tanpa bicara agama.”. Pemilihan kata ‘agama’ dan bukan ‘pemahaman’, ‘kelompok’, atau ‘keyakinan’, dalam narasi ini justru menunujukkan bahwa perbedaan antara Rokhmat dan Juleha memang bukan ‘hanya’ perihal ketiga hal di tersebut, tapi justru perbedaan dalam hal (pokok) keagamaan. Tentu ini bukanlah perbedaan yang disifatkan sebagai rahmat. Bahkan statement bahwa ‘Perbedaan adalah rahmat’ pun nyatanya harus ditinjau ulang jika ingin dijadikan dasar dalam keyakinan, sebab posisinya adalah sebagai sebuah hadits yang tidak jelas sanad (jalur periwayatan) dan matan (isi hadits)-nya. Bahkan, ia bertentangan dengan salah satu ayat Al Qur’an: “Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang yang dirahmati Rabbmu.” (QS. Hud: 118-119).

Film berdurasi 41 menit ini akhirnya menggambarkan kepada kita betapa pentingnya pemahaman akan sebuah persoalan. Terlebih dalam hal memeluk sebuah keyakinan, termasuk dalam menyikapi perbedaan yang akan selalu kita temui dalam masyarakat yang majemuk. Sebab, saat segala sesuatu tidak didasari atas ilmu, maka kita tidak akan melihat apa-apa, kecuali kegelapan. Kita berkemungkinan tidak bisa menciptakan apa-apa, selain perpecahan. 

Selasa, 01 Oktober 2013

Pindah

Hidup adalah menempati. Jiwa kita menempati raga kita. Raga kita menempati apa yang kita sebut rumah. Kita kadang menempati hidup orang lain. Kita menempati orang yang kita sayangi. Orang yang kita sayangi menempati kita. Kita menempati ruang. Kita menempati waktu. Kita berada di tiap tempat kemana langkah kita tertuju.

Kita dan apa yang kita tempati, normalnya harus bertumbuh dan membesar bersama. Saat demikian, kita akan selalu merasa nyaman dengan tempat kita berada. Kita akan selalu merasa semuanya berjalan lancar dan lapang-lapang saja. Namun, nyatanya hidup tidak semudah itu. Terkadang, salah satu dari yang menempati dan ditempati tidak berjalan beriringan. Saat salah satu bertumbuh, yang lain bisa saja tetap di tempatnya, tetap pada keadaan semula, atau bahkan justru mengalami kemunduran.

Pada saat itu terjadi, sangat wajar jika kenyamanan itu turut menghilang. Seperti seseorang yang mengenakan kemeja yang kekecilan. Jika tetap memaksakan untuk menggunakannya, maka kemungkinan besar keduanya akan saling menyakiti. Sangat mungkin sekali.

Jika keadaannya sudah demikian, sementara kenyamanan itu ingin tetap dipertahankan, maka sudah barang tentu ada yang harus mengalah. Yang bertumbuh sedemikian pesat, bisa saja menunggu untuk tidak terus membesar. Demi tetap dapat menempati ruang sebelumnya itu. Atau yang tetap stagnan pada kondisinya, sebisa mungkin harus bisa mengejar, agar ia menjadi tempat yang tetap dapat digunakan untuk menampung. Tapi, jika kedua kemungkinan ini tidak bisa diusahakan, atau tidak mungkin lagi untuk diupayakan, maka masih ada kemungkinan lain yang bisa ditempuh.

Mungkin ini tidak mudah. Namun, demi menjaga diri satu sama lain; agar tidak perlu untuk saling membuat sakit, maka bisa jadi ini adalah pilihan yang paling tepat; pindah. Ya, pindah. Pindah untuk mencari tempat yang baru yang lebih lapang dan lebih nyaman untuk ditinggali. Pindah dan merelakan perpisahan agar tidak perlu lagi ada yang saling menyakiti. Pindah, dengan segala kenangan yang ada dan dengan semua kemungkinan rindu yang bisa datang kapan saja. Pindah, mungkin sambil terus berusaha melupakan ruang sebelumnya. Sambil tetap berjalan, dan melakukan apa yang ingin dilakukan tanpa perlu takut untuk kembali megap-megap karena perasaan tidak muat.

Saat semuanya menjadi menyesakkan, sementara keadaan tidak bisa lagi untuk dilapangkan, maka pindahlah saja. Pindahlah, semua akan baik-baik saja.  

Makassar, 1 Oktober 2013

Banyak orang yang menyenangkan untuk didengarkan, tapi tidak semua dari mereka cukup baik untuk menjadi pendengar.