Kamis, 28 Oktober 2010

Bencana, Tak Pernah Meminta Izin Kita


Tulisan ini dibuat ditengah hiruk pikuk pemberitaan bencana alam yang terjadi di Indonesia. Teriring belasungkawa kepada semua korban. Semoga dimudahkan untuk menerima takdir ini. Sebab hanya kalian yang sanggup. Sungguh, hanya kalian yang sanggup.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”( QS. Al Baqarah [2]: 286)

Saat mendengar berbagai macam pemberitaan bencana alam tersebut, saya mencoba menerka-nerka, detik-detik saat kejadian terjadi. Mungkin segalanya akan terjadi dengan sangat cepat: tidak terkira. Lalu saya kembali membayangkan bagaimana jika kejadian tersebut menimpa saya –wal iyyadzubillah… Menimpa kita yang saat ini sedang berada dalam keadaan yang aman dan baik-baik saja.


“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar Rum [30]: 41)

Bahwa bencana tidak pernah meminta izin sebelum ia datang, tentu akan sangat besar kemungkinan bahwa kita sedang berada dalam kondisi ‘tidak siap’. Mungkin, tidak siap saat sedang berada dalam keadaan menunda waktu shalat. Saat adzan berkumandang dan kita memilih untuk menangguhkan menghadapNya. Lalu bagaimana jika dalam rentang waktu itu, bencana datang dan memusnahkan kita?

Mungkin dalam sedang keadaan berhutang? Atau saat ada khilaf yang belum termaafkan? Ada janji yang belum tertunaikan? Ada amanah yang belum dilakukan? Belum lagi dengan dosa-dosa yang belum pula terampunkan?

Maka saat dalam keadaan MENUNDA kebaikan itu, keadaan MENUNDA memperbaiki diri itu, MENUNDA meninggalkan maksiat itu. Maka bagaimana jika saat itu gempa mengguncang, menimpakan material keras ke atas tubuh ini. Atau jika tiba-tiba gelombang besar menerjang, tanpa pernah mengetuk pintu dengan sopan, ia akan menerjang apapun –siapapun yang menghalangi lajunya!

Lalu bukankah setelah itu, segalanya akan selesai? Berakhir.

Kawan, lalu tanda-tanda alam macam apa lagi yang kita tunggu untuk mengingatkan kita untuk kembali merutinkan sujud? Apa lagi yang ingin kita lihat agar jemari ini kembali memulai membuka dan membaca tiap huruf di atas lembaran kitab suci? Agar kita mencoba mengumpulkan kembali segala rasa takut pada ngerinya azab bagi pelaku dosa dan betapa ruginya penikmat kesia-siaan. Tunggu apa lagi untuk berhenti hanya mengingat syariat di bulan suci atau meninggalkannya di tempat ibadah dan hanya dikaji oleh santri pesantren saja?

Tunggu apa lagi, untuk menjadi manusia yang kembali pada tujuan penciptaannya yang sebenarnya:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]:56)
Makassar, 28 Oktober 2010

gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj18Si4hxKHu4G0ODMBi0-8wYwe7lEi5ck-lppRUctDz3Y3Daq_u7_d_EaNE2CxEnuuozMIkhdO1_3GW_IWSF2UNGFsiW64di6c-IAOZguePlmFLdj-gVCi49Dl4XBcpef2_eYXBJoiYQ/s1600/bencana-alam.jpg

Sabtu, 23 Oktober 2010

Semangatmu, Bisakah Sepertinya?


?

Entah mengapa tiba-tiba aku mengingatnya. Mengingat sosoknya dengan nyata dan kembali mereka-reka tiap perjumpaan masa lalu yang selalu berbekas di tiap jenaknya. Lalu mulai bertanya tentang bagaimana keadaannya sekarang. Ah, bukankah aku yang lebih banyak angka di umurnya? Tapi ternyata kau yang dipilih untuk lebih dahulu mengakhirinya.

Tiba-tiba aku mengingat sosoknya. Sosok yang aku temui di awal-awal perjalanan dakwah sekolah, dimana aku pertama kali secara konkret menyentuh langsung mereka, adik-adik dengan binar mata penuh rasa ingin tahu dan kehausan akan ilmu itu.

Aku masih sangat ingat, bagaimana degup jantung yang berkejaran saat pertama kali melangkahkan kaki menuju gerbang sekolahmu, Dik. Tak henti-henti hati ini berdoa, semoga tidak ada khilaf di pertemuan pertama kita hari itu. Yah, Jum’at pertama itu memang kita belum bertemu. Tapi aku sudah mulai bertanya-tanya tentang sosokmu saat kebanyakan temanmu merujuk namamu saat aku bertanya ini dan itu.

Lalu di Jum’at kedua, berhasil kudapati senyummu. Dengan langkah tegas dan jabat tangan hangat kau raih telapak tanganku. Lalu selanjutnya tiap hadirmu adalah semangat tersendiri agar aku dapat terus teguh berdiri.

Suatu malam, dengan tubuh yang telah luluh lantak dengan aktivitas laboratorium di semester dua kala itu, dengan mata yang terbuka sebagian, kucoba meraba saku rok panjang yang kukenakan. Dalam perjalanan melelahkan sepulang dari kampus itu, kucoba membaca sebuah pesan singkat yang ternyata darimu. “Kak, saya sudah kumpulkan nama-nama adik2 kelas 1. Semoga mereka semua bisa tarbiyah. Tolong carikan murabbiyahnya nah kak.”

Aku tertegun. Kembali terhenyak untuk sekian kalinya. Tertegur oleh semua semangat yang selalu meletup dari dirimu. Di lain kesempatan, kita kembali berbincang lewat sms saat kau mencoba lagi menjadi jalan cahaya bagi kawanmu yang lain. “Kak, tolong ajari dia shalat. Kalau sama orang lain mungkin dia malu. Mudah-mudahan sama kakak tidak”. Ah, dik…
Sifat keragu-raguanku selalu berhasil kau redam dengan senyum itu, Dik. Saat kita mencoba menyusun berbagai rencana dan program-program untuk terobosan dakwah di sekolahmu. “Insya Allah bisa, Kak!” ucapmu dengan mantap. Selalu.

Hingga akhirnya kita dipisahkan oleh takdir. Takdir saat aku tidak lagi diamanahkan di sekolahmu. Juga sebab kau harus mempersiapkan diri menghadapi dunia kampus. Terakhir kali perjumpaan kita di sekolah, kau berkata, “Saya mau lanjut belajar agama saja, Kak. Sudah capek belajar teknik… Heheheh…” Dan aku hanya tersenyum. Sambil menyelipkan doa dalam hati, semoga yang terbaik untukmu, Dinda.

Suatu saat kita kembali bertemu di masjid itu. Tak banyak berubah darimu. Juga dari sorot mata itu. Semangat, kehangatan, dan konsekuensi masih melekat erat di sana. “Saya lanjut tarbiyah di sini lagi, Kak…” ujarmu waktu itu. Dan aku pun selalu dapat yakin, bahwa keberadaanmu di jalan ini akan bertahan lama. Yah, bertahan lama.

Sampai hari itu datang. Sebuah pesan singkat menghentakkan kesadaranku di siang itu. Seorang adik kelasmu mengabarkan kepergianmu. Bukan. Bukan kepergian seperti dahulu, saat selalu ada kemungkinan untuk perjumpaan selanjutnya. Kali ini kepergian untuk selamanya. Setelah perjuanganmu koma selama beberapa hari, Allah pada akhirnya memanggilmu lebih dahulu. Mendahului segala mimpi-mimpi serta pengharapan orang-orang di sekitarmu.

Hidupmu yang singkat, aku yakin, adalah sebuah pelajaran besar bagi kami yang sempat bersinggungan denganmu di salah satu titik. Kau adalah semangat yang tak pernah padam. Dan memilih Sang Pemilik Cahaya sendiri yang mengakhiri bias sinarmu. Mengajarkan kepada kami yang masih diberi waktu untuk terus menebar sinar, namun kadang jengah dan sok capek dengan segala kesempatan ini. Kami yang lebih sering mengeluh dan jauh dari rasa syukur. Diantaranya, ada aku yang selalu bertanya-tanya; dimanakah ujung jalan cahaya ini?
Tapi mengingat sosokmu selalu membuatku merangkai sendiri jawaban pertanyaan itu; Ujungnya berada di sana, nanti saat kaki kita menapak di syurga! Benar begitu, khan Dik?

Adikku Kalsum Amalia, bagaimana kabarmu di sana? Masih ingatkah kau pada taman syurga yang dulu selalu membuatmu singgah? Semoga wanginya telah kau rasa. Semoga segala salah dan khilafmu telah tertebus dengan segala perih dan sakit yang kau terima dengan ikhlas. Semoga selalu mengalir keindahan pada tempat terakhirmu, mengalir dari semua jalan hidayah yang kau ambil andil di dalamnya. Juga dari semua debu-debu yang kau seka dari lantai masjid, yang tak pernah kau tinggalkan barang sedikit.

Dinda, aku rindu

Semoga kelak, kita berjumpa dalam keadaan yang lebih indah. Uhibbukifillah.

(Makassar, 23 Oktober 2010)

gambar:http://www.floridachildinjurylawyer.com/weather%20heat%20bright%20sun%20shine.jpg

Senin, 04 Oktober 2010

Tahun Keempat di Kampus Merah


Alhamdulillah…

Berada di semester tujuh, tahun keempat sebagai seorang mahasiswa membuat saya banyak berpikir. Terlebih lagi pada keadaan yang rasanya cukup terasa berbeda dibandingkan dengan semester-semester selanjutnya. Lalu saya kembali menapak tilas perjalanan saya sejak awal memutuskan akan menujukan diri ke Universitas Hasanuddin, Fakultas Farmasi. Hmm..sepertinya ini akan menjadi tulisan yang panjang…

Berawal dari lepasnya saya dari dunia SMA yang penuh warna itu. Berbagai macam pikiran mulai berkelabat, tentang masa depan, juga berbagai macam mimpi yang ada di dalamnya. Setelah cukup lama sibuk dengan kebingungan, akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti mandat ibunda untuk melanjutkan pendidikan di tempat saya berada sekarang. Konsekuensinya adalah, menguburkan mimpi-mimpi yang telah begitu lama saya pendam. Juga berbagai macam cerita tentang masa depan yang tak jarang saya risaukan. Terlihat jelas bagaimana berkecamuknya saya saat itu dalam sepotong puisi,

lalu apa lagi yang harus diperjuangkan?

jika sejak awal kita memetik bunga-bunga melalui semua catatan yang ditentukan

pada mimpi sebelum kita terlelap

pada kisah yang tak rampung dituliskan

(Perempuan Bertanya, 1 Juni 2007)

Tapi pada akhirnya, saya toh menguat-nguatkan diri dan mencoba meniatkan ini sebagai sebuah bentuk birrul walidain, berbakti kepada orang tua. Sejak awal saya berada di sini, hingga nanti pada akhirnya.

Selanjutnya, berbagai macam hal saya lakukan untuk bisa memuluskan jalan menuju kampus merah. Ikut bimbingan belajarlah… Ikut try out dimana-manalah.. Yah, seperti umumnya pelajar-pelajar lainnya. Hingga suatu malam, saya malah dilarikan ke rumah sakit karena masalah di lambung yang sudah cukup lama saya idap. Sayangnya, hal itu terjadi menjelang batas akhir pengumpulan formulir pendaftaran universitas.

Maka sehari setelah keluar dari rumah sakit, saya terseok-seok menuju Unhas untuk mengembalikan si formulir yang saya dapatkan lewat jasa bimbingan belajar. Rasa-rasanya saat itu, saya sama sekali tidak berjuang apa-apa dalam proses mendaftarkan diri. Sebab setelah sampai di sana, saya malah menerobos lautan antrian yang sudah kusut masai wajah-wajahnya akibat udara panas dan penantian panjang. Saya malah datang dengan wajah pucat, didampingi seorang kerabat yang punya koneksi dengan ‘orang dalam’ sehingga saya bisa langsung masuk tanpa mengantri sedikit pun. Duh…, sampai saat ini saya masih sering merasa mencekam jika mengingat ekspresi lautan manusia yang saya serobot antriannya. Maaf yah…, saya sedang sakit… ^_^

Masa SPMB pun terlalui dengan caranya. Meski sudah cukup heboh dengan persiapan belajar macam-macam, saya tetap merasa tidak percaya diri dengan hasil jawaban saya saat itu. Apalagi jika membayangkan bahwa saya sedang memperebutkan beberapa puluh kursi dengan ratusan pelajar cerdas. Perasaan pesimis datang seketika sore itu, pada hari kedua sepulangnya saya dari SDN Sudirman, lokasi SPMB saya.

maka ajarkanlah, mentari,

apa yang bawamu kembali ke sini ?

katanya ; “sebab segalanya terus berputar, bukan kita penentu hentinya, maka pantaskah kita padamkan cahaya?”.

(Cerita Senja, Juli 7 ’07)

Potongan puisi di atas saya tulis guna memberi semangat pada diri yang nyaris kehilangan optimis setelah mencocok-cocokkan jawaban saya dengan kunci jawaban yang beredar di Koran.

Lalu waktu terus berputar. Hingga takdir mengantarkan saya menginjakkan kaki di kampus merah. Melewati deretan pepohonan yang meneduhkan sejenak dari sinar matahari. Juga deret gedung yang berdiri angkuh, seolah mengajarkan bahwa hidup adalah perjuangan keras yang membutuhkan banyak perjuangan.

Dan memang begitulah yang terjadi. Berjuang. Menjadi mahasiswa baru dengan berbagai macam tuntutan sempat membuat saya jengah dengan segala intimidasi yang ada. Terlepas dari komunitas masa SMA yang dipenuhi dengan orang-orang berhati cahaya yang tanpa sadar membuat warna hati saya juga ikut berubah. Lalu bertemu dengan orang-orang baru dengan berbagai karakter yang kadang tidak dapat diduga.

Saya sempat merasa sendiri. Merasa terasing. Apalagi dengan pola pikir saya yang mungkin dianggap aneh dan berada pasa posisi minoritas (Baiklah, kalimat yang terakhir memang agak berlebihan ^_^). Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sejak awal saya menjalani ini semua dengan agak-agak setengah hati. Hmm…, maka saya mendapati diri yang ogah-ogahan bangun di subuh hari. Lalu mengakhirinya dengan tampang kusut saat saya tiba di rumah di waktu maghrib. Seingat saya, waktu itu belum musim hujan, tapi bagi saya, musim beku telah datang lebih dahulu.

lalu diserap tanah dan tumbuhkan pohon tanpa bunga, tanpa daun, bahkan yang paling layu sekalipun

waktu musim beku ditengok sebuah ruang, dingin, sunyi, sepi...

apakah itu kau, hati ?

(Waktu Musim Beku, September 20 ‘07 )

Sibuk. Itulah kata yang paling tepat menggambarkan keadaan di awal-awal semester. Memasuki dunia kuliah dengan pelajaran yang njlimet. Kesibukan praktikum yang seolah tak ada habisnya. Datang ke kampus, melalui perjalanan panjang saat matahari masih jingga warnanya. Mengikuti kuliah tidak karuan sambil mencuri-curi mengerjakan laporan atau tugas pendahuluan. Lalu sibuk mendaki lantai demi lantai di siang hari demi menjalani aktivitas laboratorium. Komat-kamit menyiapkan diri untuk responsi, lalu berlari-lari saat nama dipanggil dalam absen.

“Hadir kak…!”

“Tiga…dua…satu… Bintang meko de’!”

Lalu berkutat dengan mencit-mencit, tabung-tabung, si imut E-coli, atau hamparan dedaun hijau hingga matahari terbenam. Keluar dari lab dan menatap langit yang mulai kelam dengan hembusan napas panjang. Sadar bahwa hari akan berganti, dan perjuangan hari ini akan dilanjutkan dengan hal serupa di keesokan harinya.

Bergelut dengan setumpuk laporan yang membuat jari keriting. Diskusi dengan asisten yang membuat otak keriting. Hingga menyiapkan diri untuk ujian lab hingga jiwa pun rasanya ikut keriting. Sayangnya itu semua tidak bisa dituntaskan hanya dengan rebonding. Kecuali dengan kembali berjuang dan mengalahkan mata kantuk serta bersepi-sepi ria di malam hari bersama kerta double folio dan pulpen yang sudah bengkok ujungnya. Ah..

Dan konsekuensi dari semua itu adalah kesadaran bahwa waktu memang tidak bisa terbeli. Segala macam amanah diluar tanggung jawab akademik pun menjadi ternomor duakan.

“Maaf kak, saya tidak bisa ikut, saya ada lab..”

“Lho, ini khan tanggal merah, dek?’

“…”

Yah, tanpa banyak yang perlu tahu, betapa perih terasa saat mendapati diri sibuk terus dengan berbagai aktivitas duniawi dan ditinggal para pejuang-pejuang itu menyusuri jalan yang sepi. Ah…, masa itu saya diliputi kerinduan yang teramat sangat pada mereka, ukhtifillah…

--- tapi taukah kalian?

rindu itu kini sembunyi

lalu kata dan senyum itu, entah dimana lagi kucari

waktu kalian tak lagi di sini

waktu kalian tak lagi di sini

rindu tak habis-habis.

(Rindu Tak Habis-Habis, Oktober 13 ‘07)

Tapi apapun yang terjadi, saya mendapati begitu banyak kawan-kawan seangkatan kala itu yang memilih mundur. Tentu dengan alasan masing-masing, dengan hak mereka masing-masing. Bagaimana pun, orang yang masih bertahan bukan berarti lebih kuat dibandingkan mereka yang berhenti. Setiap orang memiliki takdir masing-masing. Mungkin mereka di sana, dan saya masih di sini. Masih bertahan. Tak peduli sekurus apapun sudah segala aktivitas itu menggerogoti saya. Mendapati bahwa begitu sulit menyatukan pemikiran dalam sebuah team work. Hingga tak jarang gesekan pun terjadi. Air mata tertumpah. Tapi tidak untuk saya. Bukan itu saatnya. Masih banyak hal lain yang perlu saya tangisi tentang berbagai kealpaan diri, dibanding harus mengusap pipi karena laporan yang dibatalkan setelah semalaman diperjuangan. Atau setelah meninggalkan medan lab karena tidak lulus dalam respon.

saat terlewat lagi satu waktu dengan peristiwa

tapi kembali datang lagi pada eskonya

saat tersadarlah

aku harus bertahan

aku harus bertahan

(Bertahan, Okt 6 2007)

Dimalam hari saat saya sibuk melukis huruf membuat laporan, tak jarang saya berpikir pada sebuah kaidah yang saya dapatkan dalam lingkaran majelis. Seseorang akan mengakhiri hidupnya seperti bagaimana ia mejalaninya. Yah, semua orang pasti mendamba husnul khotimah. Sebuah akhir hidup yang indah, misanya meninggal dalam shalat, atau dalam sujud, atau saat bertilawah, atau bahkan dalam medan jihad. Yang paling saya takutkan kala itu adalah, jangan sampai nyawa saya dicabut saat berada ditengah tumpukan laporan. Huhuhu.. Sangat tidak keren sekali rasanya!

diantara malam hening dan detak jarum jam antara pukul tiga

antara laporan biokim dan sintesis obat

antara ayat-ayat al anfal

ada tanya yang menyeruak tiba-tiba

tentang masa depan bagaimanakah ia nantinya ?

(Antara; Oktober30 ’08)

Tahun keempat di kampus merah,

Saya merasa banyak yang berbeda. Tidak ada lagi laboratorium. Jadwal kuliah di sore hari. Jarang lagi berkumpul bersama teman-teman seangkatan. Saya akui bahwa dalam beberapa momen ngumpul-ngumpul saya memang jarang ikut serta –jika tidak dikatakan tidak pernah sama sekali. Bukan karena tidak ingin merasakan kebersamaan, apalagi karena eksklusifitas. Tapi memang keadaan yang terkadang tidak memungkinkan. Maaf yah, teman-teman…

Tapi pada akhirnya saya tidak bisa membohongi diri, bahwa saya mulai merindukan itu semua. Bagaimanapun, saya merasa beruntung dapat bertemu dengan teman-teman seangkatan saya sekarang. Meski mungkin, saya bukanlah teman yang baik untuk mereka. Lebih banyak diam di suatu sudut dan hanya sesekali tertawa menimpali. Mungkin ada diantara mereka yang pernah terjebak dalam suasana kaku bersama saya. Atau saat saya agak-agak tidak nyambung saat bercakap dengan mereka, atau mungkin saya yang minta tolong ini-itu dan macam-macam. Ah, sekali lagi saya minta maaf, Kawan!

Di tahun keempat ini, masing-masing dari kami pasti sedang sibuk meretas jalan untuk mengakhiri perjuangan ini dengan hasil terbaik. Mulai sibuk dengan penelitian dan perencanaan sendiri-sendiri. Atau terbatas pada kelompok yang satu tim. Tapi meskipun begitu, masing-masing kita telah melewati perjuangan sebelum-sebelumnya, khan? Dan pada akhirnya semuanya pun akan terlewati. Suatu saat, insya Allah.

Tahun keempat di kampus merah,

Saya berharap saya telah banyak belajar. Tentang disiplin ilmu saya sendiri. Juga pelajaran tentang kehidupan.Bahwa kita di sini, membuat obat dan segala hal tentangnya, bukan untuk apa-apa. Bukan untuk menyembuhkan siapapun, sebab kesembuhan-sakit-dan ajal adalah rangaian takdir yang bukan hak kita. Kita di sini, untuk memberi harapan, bahwa masih ada jalan untuk berjuang, Untuk hidup dengan lebih baik.

Mari melihat lebih dalam tiap peristiwa yang terlewat. Menengok lebih dalam saat melalui pemulung-pemulung cilik yang memegangi perutnya di salah satu sudut tangga. Atau tentang cleaning service yang cemberut saat kita injak bekas pelnya. Atau saat saya kembali merindukan sekelompok iringan awan yang membentuk formasi indah di langit senja, saat saya berdiri dari beranda Lab Fitokimia. Mereka bertasbih memuji nama Tuhannya; ALLAH.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

suatu saat

saat dipandang langit sore yang jarang kita lihat

mungkin karena kita terlalu lama melukis huruf

atau tak sadar dengan pergantian waktu

saat masa terlewat begitu saja

dan kita tetap sibuk dengan kertas dan pena

apa kabar bumi hari ini ?

tak sadar kita bahwa tak pernah lagi kita jenguk daun-daun yang berguguran

atau angin yang berhembus sepoi, ingatkan bahwa hidup adalah serangkaian permainan

permainan yang entah mengapa kita terlalu banyak tertegun di dalamnya

berapakah tetes air mata yang telah tercurah untuk itu semua ?

berapa malam yang kita lewatkan bersama jemari yang tak ada tidurnya ?

berapa peluh yang kita cucurkan saat harus teraih tingkat paling puncak ?

tapi berapakah sesungguhnya yang telah kita beli

dengan harga mahal, dengan waktu, raga, dan hati ?

adakah semua ini telah dimaknai

moga bukan hanya sekedar sia-sia

dan kelak kita temukan jawaban

untuk apa kita di sana

( april 27’08)

Untuk semua teman-teman Mixtura07, Farmasi Unhas. Keep spirit! Semoga urusan kita dimudahkan!


Makassar,5 Oktober 2010

diantara penulusuran inspirasi buat Skripsweet… ^_^


gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1_B4cgn_vOTpdS28rj-vVeb3Q6yd5Cim9D0mXqlyaq5td4NOROT9ES0JzIuFouhOu5bAg3yM3ECAh__12YeJ4izafRr16KCbc4652thHS4OrwuXQu2DkIh0jJMmSvUj9EiayQNEqWKoi2/s1600/unhas.jpg