Sabtu, 23 Oktober 2010

Semangatmu, Bisakah Sepertinya?


?

Entah mengapa tiba-tiba aku mengingatnya. Mengingat sosoknya dengan nyata dan kembali mereka-reka tiap perjumpaan masa lalu yang selalu berbekas di tiap jenaknya. Lalu mulai bertanya tentang bagaimana keadaannya sekarang. Ah, bukankah aku yang lebih banyak angka di umurnya? Tapi ternyata kau yang dipilih untuk lebih dahulu mengakhirinya.

Tiba-tiba aku mengingat sosoknya. Sosok yang aku temui di awal-awal perjalanan dakwah sekolah, dimana aku pertama kali secara konkret menyentuh langsung mereka, adik-adik dengan binar mata penuh rasa ingin tahu dan kehausan akan ilmu itu.

Aku masih sangat ingat, bagaimana degup jantung yang berkejaran saat pertama kali melangkahkan kaki menuju gerbang sekolahmu, Dik. Tak henti-henti hati ini berdoa, semoga tidak ada khilaf di pertemuan pertama kita hari itu. Yah, Jum’at pertama itu memang kita belum bertemu. Tapi aku sudah mulai bertanya-tanya tentang sosokmu saat kebanyakan temanmu merujuk namamu saat aku bertanya ini dan itu.

Lalu di Jum’at kedua, berhasil kudapati senyummu. Dengan langkah tegas dan jabat tangan hangat kau raih telapak tanganku. Lalu selanjutnya tiap hadirmu adalah semangat tersendiri agar aku dapat terus teguh berdiri.

Suatu malam, dengan tubuh yang telah luluh lantak dengan aktivitas laboratorium di semester dua kala itu, dengan mata yang terbuka sebagian, kucoba meraba saku rok panjang yang kukenakan. Dalam perjalanan melelahkan sepulang dari kampus itu, kucoba membaca sebuah pesan singkat yang ternyata darimu. “Kak, saya sudah kumpulkan nama-nama adik2 kelas 1. Semoga mereka semua bisa tarbiyah. Tolong carikan murabbiyahnya nah kak.”

Aku tertegun. Kembali terhenyak untuk sekian kalinya. Tertegur oleh semua semangat yang selalu meletup dari dirimu. Di lain kesempatan, kita kembali berbincang lewat sms saat kau mencoba lagi menjadi jalan cahaya bagi kawanmu yang lain. “Kak, tolong ajari dia shalat. Kalau sama orang lain mungkin dia malu. Mudah-mudahan sama kakak tidak”. Ah, dik…
Sifat keragu-raguanku selalu berhasil kau redam dengan senyum itu, Dik. Saat kita mencoba menyusun berbagai rencana dan program-program untuk terobosan dakwah di sekolahmu. “Insya Allah bisa, Kak!” ucapmu dengan mantap. Selalu.

Hingga akhirnya kita dipisahkan oleh takdir. Takdir saat aku tidak lagi diamanahkan di sekolahmu. Juga sebab kau harus mempersiapkan diri menghadapi dunia kampus. Terakhir kali perjumpaan kita di sekolah, kau berkata, “Saya mau lanjut belajar agama saja, Kak. Sudah capek belajar teknik… Heheheh…” Dan aku hanya tersenyum. Sambil menyelipkan doa dalam hati, semoga yang terbaik untukmu, Dinda.

Suatu saat kita kembali bertemu di masjid itu. Tak banyak berubah darimu. Juga dari sorot mata itu. Semangat, kehangatan, dan konsekuensi masih melekat erat di sana. “Saya lanjut tarbiyah di sini lagi, Kak…” ujarmu waktu itu. Dan aku pun selalu dapat yakin, bahwa keberadaanmu di jalan ini akan bertahan lama. Yah, bertahan lama.

Sampai hari itu datang. Sebuah pesan singkat menghentakkan kesadaranku di siang itu. Seorang adik kelasmu mengabarkan kepergianmu. Bukan. Bukan kepergian seperti dahulu, saat selalu ada kemungkinan untuk perjumpaan selanjutnya. Kali ini kepergian untuk selamanya. Setelah perjuanganmu koma selama beberapa hari, Allah pada akhirnya memanggilmu lebih dahulu. Mendahului segala mimpi-mimpi serta pengharapan orang-orang di sekitarmu.

Hidupmu yang singkat, aku yakin, adalah sebuah pelajaran besar bagi kami yang sempat bersinggungan denganmu di salah satu titik. Kau adalah semangat yang tak pernah padam. Dan memilih Sang Pemilik Cahaya sendiri yang mengakhiri bias sinarmu. Mengajarkan kepada kami yang masih diberi waktu untuk terus menebar sinar, namun kadang jengah dan sok capek dengan segala kesempatan ini. Kami yang lebih sering mengeluh dan jauh dari rasa syukur. Diantaranya, ada aku yang selalu bertanya-tanya; dimanakah ujung jalan cahaya ini?
Tapi mengingat sosokmu selalu membuatku merangkai sendiri jawaban pertanyaan itu; Ujungnya berada di sana, nanti saat kaki kita menapak di syurga! Benar begitu, khan Dik?

Adikku Kalsum Amalia, bagaimana kabarmu di sana? Masih ingatkah kau pada taman syurga yang dulu selalu membuatmu singgah? Semoga wanginya telah kau rasa. Semoga segala salah dan khilafmu telah tertebus dengan segala perih dan sakit yang kau terima dengan ikhlas. Semoga selalu mengalir keindahan pada tempat terakhirmu, mengalir dari semua jalan hidayah yang kau ambil andil di dalamnya. Juga dari semua debu-debu yang kau seka dari lantai masjid, yang tak pernah kau tinggalkan barang sedikit.

Dinda, aku rindu

Semoga kelak, kita berjumpa dalam keadaan yang lebih indah. Uhibbukifillah.

(Makassar, 23 Oktober 2010)

gambar:http://www.floridachildinjurylawyer.com/weather%20heat%20bright%20sun%20shine.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)