Kamis, 26 Desember 2019

Wanita dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Tidak dapat dipungkiri bahwa wanita memiliki peranan yang krusial di tengah masyarakat. Peranan wanita di sektor publik dan domestik bagaimanapun juga akan memberi pengaruh yang besar dalam berbagai hal. Termasuk dalam perintah untuk beramar ma’ruf nahi munkar. Menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran merupakan satu perkara yang penting dalam agama ini. Namun terkadang, perkara ini dalam tataran pemikiran dan prakteknya, seringkali hanya diidentikkan dengan peran kaum pria saja. Maka berangkat dari hal tersebut, Dr. Fadhil Ilahi, menyusun sebuah risalah dengan tajuk; Wanita dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. 

Buku ini secara komprehensif akan membahas tentang bagaimana peranan seorang wanita dalam upaya menjalankan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan fungsi dan kodrat mereka sebagai seorang perempuan. Dengan referensi utama dari Al Qur’an dan As Sunnah, juga merujuk kepada kitab-kitab sunnah, sirah, biografi, dan sejarah, diperkaya pula dengan nukilan dari hadits-hadits yang dilengkapi dengan derajat keshahihannya, buku ini mengulas secara komprehensif topik yang urgen tersebut. 

Buku ini dibagi dalam tiga bagian besar yang masing-masing bagiannya merunut kepada topik-topik yang penting. Pada pasal pertama dibahas tentang tanggung jawab wanita dalam urusan amar ma’ruf nahi munkar. Bagian ini akan menjadi landasan berpikir yang menunjukkan urgensi dari pembahasan-pembahasan selanjutnya. Tersusun atas dua pembahasan utama, di mana yang pertama membahas tentang dalil secara umum tentang amar ma’ruf nahi munkar, kemudian mengerucut kepada dalil yang secara khusus membahas tentang peranan kaum perempuan dalam hal ini. Dalil-dalil ini memberikan gambaran yang tegas tentang posisi wanita dalam perkara ini. 

Kemudian pada pembahasan kedua, masih di pasal yang sama, diuraikan pula tentang urgensi peranan kaum wanita dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Bahwa ada poin-poin penting yang menjadi konsekuensi logis, mengapa seorang wanita tidak bisa tidak, harus pula mengambil peran dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Misalnya, bahwa wanita sebagai seorang ibu tentu saja menjadi pihak yang paling banyak bersama dengan anak-anak mereka. Sehingga, dasar dari pembentukan generasi selanjutnya, menghajatkan peranan besar dari perempuan di dalamnya. Bahkan meskipun kaum lelaki telah secara maksimal menjalankan perannya dalam berdakwah untuk menegakkan kebenaran, namun tetap terdapat kekhawatiran, bahwa usaha itu tidak bisa menuai hasil yang maksimal, manakala sang isteri tidak memiliki fikrah yang sejalan dengan suaminya. Sementara di sisi lain, kaum istri memiliki pengaruh yang besar terhadap suaminya.  Demikian pula di dalam keluarga. Seorang anak perempuan akan menerima perhatian yang besar dari orang tuanya, sedemikian pula bagaimana seorang saudari akan menempati posisi yang istimewa di antara para saudara laki-lakinya. Maka secara utuh, posisi seorang wanita dalam peranannya di setiap fase kehidupannya, baik sebagai anak, saudari, istri, maupun ibu, memiliki peran yang sangat penting untuk mengusung tugas menyampaikan kebenaran, dan mencegah dari kemungkaran. 

Kemudian memasuki bagian kedua dari buku ini, kita akan disuguhkan dengan contoh real bagaimana tokoh-tokoh muslimah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Ini akan menjadi bagian yang panjang dan mengangkat nama-nama kaum muslimah dari kalangan salaf dalam upaya mereka menjalankan perannya dalam beramar ma’ruf nahi mungkar ke berbagai kalangan di tengah masyarakat tempat mereka berada. Menjadi menarik untuk turut ‘menyaksikan’ bagaimana para wanita ini ternyata sangat mampu untuk menjalankan tugas tersebut sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. 

Pada pembahasan pertama, dipaparkan bagaimana para muslimah dari kalangan salaf menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang umum, kaum kerabat, dan handai taulan.

Disebutkan tentang kisah bagaimana Ummu Sulaim Radhiyallahu anha menyuruh anaknya untuk mengucapkan kalimat tauhid, juga bagaimana Aisyah Radhiyallahu anha mengingkari perbuatan memakaikan jimat di kaki orang sakit untuk upaya penyembuhan, Zainab bintu Abi Salamah yang melarang menamakan anak dengan nama yang tidak baik, serta ibu dari Sa’d bin Muadz yang menyuruh anaknya untuk menyusul pasukan Islam, atau Asma binti Abu Bakar yang melarang anaknya mengambil langkah yang salah dari peperangan karena takut mati. 

Selain di kalangan keluarganya sendiri, peranan muslimah juga ternyata dapat menjangkau amar ma’ruf nahi munkar kepada para ulama dan thalabul ilmi. Hal ini telah dituliskan oleh tinta emas sejarah dengan para muslimah kalangan salaf yang menjadi para tokoh utamanya. Sebagaimana Aisyah mengingkari fatwa dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang melarang memakai parfum ketika berihram atau Ummu Salamah yang mengingkari fatwa Samurah bin Jundab bahwa perempuan hadi wajib mengqadha shalatnya. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa upaya mereka dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar bukanlah sekadar menyuruh dan melarang dengan sesuatu yang kosong belaka, namun juga berlandaskan atas landasan ilmu yang kuat yang nyatanya saat itu juga turut dikuasai oleh para muslimah dari kalangan salaf. Sebuah inspirasi untuk perempuan masa kini agar tetap bersemangat dalam meniti jalan ilmu dan memberi manfaat dari ilmunya tersebut. 

Tidak hanya sampai di situ, lebih jauh lagi, para muslimah dari kalangan salaf juga telah mencontohkan bagaiaman mereka pun berihtisab kepada para penguasa. Di mana Ummu Darda’ pernah melarang Abdul Malik bin Marwan yang melaknat pembantu. Pun Ummu Thufail yang berihtisab kepada al Faruq karena ucapannya tentang iddah wanita hamil yang meninggal suaminya. Maka fitrah mereka sebagai seorang perempuan ternyata bukanlah penghalang untuk turut memberikan masukan, bahkan kepada penguasa sekalipun. 

Pada bagian ini, masih ada puluhan contoh kisah yang menggambarkan bagaimana seorang muslimah mampu untuk menerapkan amar ma’ruf nahi munkar di berbagai lini. Modal mereka tentu saja bukan hanya keberanian, semangat, dan kepercayaan diri, namun juga ilmu yang mumpuni dengan sumber yang sesuai dengan wahyu ilahi dan hadits nabi shallallahu alaihi wasallam. 

Kemudian pada bagian ketiga dari buku ini, dibahas mengenai boleh tidaknya perempuan ditunjuk sebagai petugas hisbah di pasar. Terdapat dua pembahasan dalam hal ini, yakni pendapat yang melarang, maupun pendapat yang membolehkan. Pada pembahasan pertama diuraikan mengenai pendapat yang melarang, berikut dengan dalil-dalil yang mendukungnya. Diantara pertimbangan dari uraian dalil-dalil tersebut adalah bahwa kepemimpinan laki-laki berada di atas perempuan, dalil yang membahas ini dianggap berlaku umum dalam urusan apapun dari urusan-urusan kaum muslimin. Maka, dalam hal menngambil peran sebagai petugas hisbah, di mana di dalamnya terdapat pula urusan para kaum lelaki, memberikan jabatan ini kepada kaum wanita dianggap tidak dibenarkan, sebab pada akhirnya ia akan ikut mengurusi dan memiliki wewenang di atas urusan kaum lelaki, padahal pada hakikatnya, seharusnya lelakilah yang menjadi pemimpin bagi wanita. Dalil kedua yakni tentang ditiadakannya kesuksesan dari kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan. Hal ini juga merujuk kepada dalil yang berlaku umum, bahwa melantik seorang perempuan sebagai petugas hisbah di pasar adalah menyerahkan urusan umum kepada perempuan yang dalam keadaan tersebut maka tidak ada kesuksesan baginya. Dalil ketiga adalah tentang hukum dasar bagi perempuan untuk menetap di rumah mereka. Bahwa perintah ini bukan hanya dikhususkan untuk ummahatul mukminin, namun secara umum kepada para kaum muslimah seluruhnya. Bahwa kaum muslimah tidak memiliki kewajiban untuk menjalankan shalat fardhu di masjid maupun shalat jum’at di masjid, serta berbagai syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang muslimah jika ia ingin meninggalkan rumahnya. Hal ini menunjukkan bahwa meletakkan seorang perempuan sebagai petugas hisbah yang mana mengkondisikannya untuk berada di luar rumah dalam menjalankan tugasnya merupakan sebuah kesalahan. Begitupun pula dengan dalil yang menunjukkan bahwa tuntutan tugas hisbah bertentangan dengan tabiat perempuan. Di mana petugas hisbah harus mampu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar yang berkemungkinan terjadi dalam bentuk penanganan sengketa yang bisa saja memerlukan ketangguhan fisik untuk berlaga dan mengusir orang-orang yang buruk, yang mana ini bertentangan dengan fitrah seorang wanita. Dan dalil yang terakhir adalah bahwa adanya berbagai macam akibat buruk yang bakal terjadi saat perempuan keluar ke tempat-tempat umum. Diantaranya adalah tersebarnya kemandulan, pelanggaran seksual, serta kehamilan di luar nikah. 

Kemudian pada pembahasan kedua akan dijelaskan tentang hujjah dari orang-orang yang berpendapat tentang kebolehan perempuan ditunjuk sebagai petugas hisbah serta hakekat dari hujjah tersebut. Pada bagian ini akan dibedah poin-poin hujjah dari pendapat yang membolehkan, serta bagaimana hakekat yang sebenarnya, sehingga menjadi terang benderang kelemahan dari hujjah tersebut. Di antaranya yakni berhujjah dengan keumuman nash yang menunjukkan kewajiban tugas hisbah, namun dalam hal ini tugas hisbah tersebut tidak serta merta membolehkan seorang perempuan ditunjuk untuk menjabat sebagai petugas hisbah. Sebab, berkomitmen dengan keumuman nash yang menunjukkan kewajiban ihtisab tidak boleh membuat kita menutup mata dari nash-nash yang mengkhususkan kepemimpinan bagi laki-laki saja. Kemudian dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya pada bagian ini, dibahas pula mengenai penunjukan petugas hisbah perempuan di masa khalifah Umar bin Khattab, serta perbuatan Samra’ bunti Nahik yang jikapun shahih dari sisi pemaparan kisahnya, namun tetap terdapat celah yang memberikan bantahan mengenai bentuk aktivitasnya sebagai petugas hisbah layaknya lelaki. Beberapa dalil juga mengkhususkan dalil-dalil tertentu untuk urusan tertentu bagi kaum muslimin, sehingga dianggap tidak berlaku umum, termasuk dalam masalah penunjukan wanita sebagai petugas hisbah. Kemudian pada bagian terakhir di pembahasan ini dijelaskan bahwa tetap terdapat pembolehan untuk perempuan mengambil andil dalam hal ini, jika itu mencakup urusan sesama kaum muslimah, di mana di tempat atau lingkungan tersebut kesemuanya adalah sesama muslimah, misalnya di pasar khusus muslimah, atau di yayasan pendidikan atau yayasan sosial. 

Kemudian terakhir, ditutup dengan kesimpulan dari berbagai pembahasan dalam buku ini, serta anjuran dan semangat untuk para muslimah mampu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar di tengah masyarakat, sebab tugas tersebut merupakan tugas yang mulia yang tentunya akan membawa kemaslahatan yang besar di tengah masyarakat, sehingga dapat membawa umat ini pada kejayaan layaknya kejayaan para generasi terbaik yakni kembali menjadi sebaik-baiknya umat. Insyaallah...

Senin, 11 November 2019

Mencandai Poligami

Ibu muda itu misuh-misuh. Baru kali itu ia merasa menyesal betul sudah iseng mengutak-atik pesan singkat di hp suaminya. Hingga ia kemudian mendapati pesan-pesan dari beberapa rekan kerja sang suami yang cukup mengganggu hati.

“Halalkan cinta barumu!” diikuti dengan berbagai quotes tentang poligami  


Ada pula yang mengakhiri obrolan dengan doa untuk suami perempuan itu, semoga bisa beristri lagi. Pake bahasa arab pula!

Suami saya, batin perempuan itu, kok justru kawan-kawannya yang 'keliatan' ngerti agama yang malah doyan sekali dengan pembicaraan, obrolan, dan candaan bernada seperti ini. Seolah-olah timeline hidupnya sebagai lelaki adalah sekolah-kerja-nikah-nikah lagi. Memangnya di kajian-kajian itu yang dibahas poligami melulu?

Sementara di sudut lain, seorang istri dengan bayi merah dalam gendongannya, plus bekas jahitan di jalan lahir yang jangan ditanya gimana nyerinya, masih harus menanggung kecamuk perasaan di tengah kondisi hormonal pemanggil mood-swing yang luar biasa, saat kemudian ia dapati sang suami enteng saja bercakap dengan rekan sesama suami perihal rencana beristri lagi. Sebab katanya; ini nih hikmahnya poligami, biar kalau istri nifas, masih ada istri yang lain...

Ok. Ngertilah arah pembicaraannya ke mana...

Poligami. Sebuah kondisi yang dalam syariat sudah diatur ketetapannya. Pembahasannya tidak pada ranah ikhtilaf, tapi bahkan dijelaskan secara gamblang dalam ayat al Quran dengan tafsiran yang telah tuntas ulasannya. Tak ada lagi celah diskusi. Tak ada lagi ruang untuk menolak. Jelas hukumnya, sejelas sinar matahari di siang hari.

Tapi duhai poligami, dalam penerapannya, ia melibatkan lelaki dan perempuan, dengan sifat bawaan yang secara umum saling berseberangan dalam memandang ini. Okelah kita tahu, bahwa konon seorang lelaki memang bisa menyimpan beberapa nama sekaligus di dalam hati. Bahwa katanya, mencintai dua istri bukanlah pertanda dipertanyakannya kesetiaan suami. Bahwa konon, membuka ruang untuk hati yang baru, tidak selalu berarti melupakan si dia yang telah ada lebih dahulu.

Tapi duhai bapak-bapak yang sedang mengangguk-angguk di sudut sana, ketahuilah bahwa perempuan pun punya fitrah. Yang kala perasaannya bicara, terkadang ambyarlah sudah segala yang selainnya. Yang mungkin bisa menjelma superwomen saat harus mengerjakan ini itu di satu waktu, namun seketika bisa jadi keok saat ketenangan batinnya yang terusik dengan nama lain sebagai isu. Cemburu, bagi seorang wanita mungkin berkali lipat lebih berat dari rindu. Dan sejarah mencatat, sekelas ummahatul mukminin saja merasakan ini. Perempuan-perempuan terbaik, juga punya rasa demikian, pada lelaki terbaik sepanjang sejarah. Lalu apa ekspektasi kita, pada perempuan akhir zaman saat menghadapi suaminya yang juga masih perlu banyak perbaikan?

Jadi, baik laki-laki dan wanita punya pembawaan umum masing-masing. So, harus adil. Jangan pas ditegor karena canda-canda poligami, langsung bawa fitrah lelaki. Tapi giliran istrinya ngambek karena ini, malah dibilang lagi ribet baper sendiri. Ngambeknya istri juga fitrah, keleus.

Pada titik kritis itu, kemudian entah mengapa di kalangan pria, ada semacam gelitik nan renyah saat kemudian isu poligami ini dibawa sebagai canda. Entahlah pelajaran tentang sunnah yang ini sudah sampai bab berapa. Yang jelas, lidah sudah ringan saja berseloroh,

“Ini anak dari istri keberapa?” .

“Trus kapan nih rencana mau nambah?”

“Duit sudah banyak, masa Cuma menafkahi satu keluarga saja? Situ beneran jantan?”

Nah loh...

Saat poligami dibawa sebagai candaan, ironisnya ketika mendapat teguran, kata-kata 'sunnah' malah diikut-ikutkan. Mungkin sejenak lupa, bahwa syariat tak boleh jadi bahan mainan. Biasanya memang, justru yang belum sanggup menerapkan yang lebih kencang suara dan tawanya.

Padahal, jangan ditanya perihal kasus seorang lelaki yang 'nekat' poligami hanya karena tak tahan dikompori. Akhirnya berniat menyelamatkan perempuan lajang, tapi malah jadi menjandakan istri. Dalihnya, si istri yang tak siap. Padahal hakikatnya, memangnya siapa yang harusnya menyiapkan istrinya? Trus sejatinya, yang belum siap sebenarnya siapa? Tarakdungces!

Padahal jika poligami dibicarakan dengan landasan ilmu, maka yang terbentang selanjutnya adalah seabrek kewajiban. Mengokohkan rumah tangga itu lebih berat dari membangun rumah makan, kan ya? Maka jika baru diajak seriusin ngobrol parenting buat membangun generasi aja sudah malas-malasan, lah giliran candain poligami malah paling depan.

Menyebut poligami sebagai sunnah, maka so pasti berkaca pada Rasulullah. Bukan, bukan mau bahas tentang istri-istri Rasulullah yang mayoritas janda. (Sebab jaman now biasanya justru mencari yang masih gadis untuk jadi yang kedua) Tapi, ini perihal bagaimana para shahabiyah terbaik itu, di tengah fitrah kewanitaan dengan cemburu yang kerap hadir, tapi toh tidak ada dari mereka yang minta diceraikan karena alasan dipoligami, kan? Kemudian saya teringat pada renungan seorang ahli psikologi, saat memandangi miniatur bilik istri-istri Rasul, bahwa di antara hikmah poligami yang dijalani sang Nabi, mungkin sebab keindahan rumah tangga nabi memang tak cukup untuk hanya dibicarakan oleh satu istri.

See?

Maka mengutip perkataan Ustadz Abu Ihsan al Maidani, kepada lelaki yang berniat poligami; silakan tepuk dada, tanya hati: ingin poligami untuk masuk surga atau mau masuk neraka? Sebab ada ganjaran bagi ia yang berpoligami tapi tak terapkan adilnya, yakni berjalan dengan tubuh miring tak seimbang kelak di hari perhitungan.

Ya, jangan sampai ternyata poligami jadi salah jalan, sehingga aib rumah tangga memang jadi harus dibicarakan oleh istri yang beberapa. Maka putuslah layangan di mana-mana... Naudzubillah...

Dan buat para istri yang jika mendengar bahasan poligami masih bisa santuy tanpa baper sama sekali, jangan buru-buru ngejudge mereka para wanita yang begitu berapi-api pas bahas poligami. Sebab latar belakang tiap orang itu beda-beda, Bunda. Selama bukan syariatnya yang dicela, maka mungkin ada background story yang bikin seseorang memandang poligami jadi tak mudah. Silakan dinasihati saja dengan lembut dan penuh cinta. Tak perlu makin dicela, apalagi dipertanyakan keimanannya. Jangan jadi kuat, dengan membuat perempuan lain terlihat lemah.

Akhirnya, membahas poligami sudah seharusnya didudukkan pada porsinya. Diilmui jika memang sudah perlu. Jangan dicandai berlebih, hingga mengakibatkan kenekatan yang akhirnya bikin segalanya jadi ribet sendiri. Katanya mau bawa keluarga sampai di surga? Coba deh, dibuat sakinah dulu di dunia. 

Selasa, 29 Oktober 2019

Nyinyir, Baper, dan Keadilan Pikiran Kita

Jika semua yang bernasihat disebut nyinyir, dari mana lagi kita akan mendapatkan masukan untuk mengoreksi diri? Jika semua yang merasa tersinggung disebut baper, lalu bagaimana kita belajar untuk mampu menyampaikan kebenaran dengan cara yang indah di saat yang paling tepat?

Repotnya, adalah jika saat ini kita sering menggunakan istilah-istilah tersebut demi menyelamatkan diri sendiri. Hasilnya, seperti yang pernah saya tulis di buku Merajut Benang Cahaya, di tulisan:Harmoni, keadaannya jadi selayaknya seorang pengemis yang membenarkan diri untuk terus meminta-minta karena ia menggunakan dalil keutamaan bersedekah pada orang kaya. Di lain pihak, orang kaya justru merasa punya hak menahan hartanya karena ia menggunakan dalil larangan meminta kepada manusia -diganjar dengan dibangkitkan tanpa wajah di hari akhir kelak, saat datang pengemis yang memerlukan bantuannya. Dalilnya tidak salah, hanya saja digunakan pada posisi yang tidak tepat. Dan kita tahu, bagaimana yang seharusnya. 

Sama saja dengan berbagai opini yang hari ini dengan mudah muncul di publik, terutama di dunia maya. Saat seseorang menyampaikan sebuah kebenaran untuk meluruskan sesuatu, maka ada-ada saja pihak yang tidak ingin menerima kebenaran tersebut, dan menuduh orang yang bernasihat itu hanya sekadar nyinyir belaka. Di lain pihak, saat sesuatu disampaikan dengan cara yang salah, pada momentum yang tak tepat, di ranah umum pula, lalu ada pihak yang tersungging, eh, tersinggung, dengan mudahnya kita seringkali mengabaikan empati, menganggapnya terlalu lebai dan mendramatisir suasana, bahkan kadang dianggap sebagai lemah iman, hanya dengan satu kata pamungkas: baper! Sementara kita tak tahu, betapa sakit dan lukanya dia menghadapi hal tersebut. 

See? 

Padahal kita sebenarnya tahu, sungguh sebuah kebenaran yang kita mampu terima dengan lapang dada, dapat membawa kebaikan bagi diri kita, ada masukan yang berarti di dalamnya, maka sebagai PENDENGAR, harusnya kita bisa lebih berusaha untuk tidak segera menganggap orang lain hanya nyinyir belaka. 

Dan saat kemudian kita berada di posisi sebagai seorang PEMBICARA, menyampaikan sesuatu yang kita anggap penting untuk diutarakan, maka tak mengapa jika kita berusaha lebih keras untuk mencoba memilih kata yang lembut, menetapkan waktu yang paling tepat, mungkin tidak harus di tengah keramaian, bahkan jika perlu dengan bisikan halus dan ruang yang privat, hanya agar kita menjaga perasaan saudara kita, agar ia terhindar dari keadaan baper atas apa yang kita sampaikan. 

Hanya saja memang menjadi sulit, manakala yang kita prioritaskan adalah kemenangan kita sendiri. Sehingga kebaikan akan mudah terdengar sebagai sebentuk nyinyir. Dan tajamnya ucapan kita menjadi pembenaran karena orang lain hanya sekadar baperan sahaja. 
Memang akan rumit dan pelik, jika kita terus bersikap tak adil, sejak dalam pikiran kita sendiri. 

Kamis, 19 September 2019

Yang Tidak Akan Kembali


Dalam berbagai fakta tentang pengasuhan anak, satu hal yang paling 'mengkhawatirkan' bagi saya adalah bahwa masa kecil anak tidak akan kembali. Waktu tidak akan menunggu, apapun alasan kita. Mimpi-mimpi masa muda, eksistensi, dan berbagai kesempatan yang hadir di saat bersamaan ada makhluk kecil yang juga seolah 'meminta segalanya' dari kita, tidak bisa menjadi alasan untuk mengaburkan kenyataan itu. Bahwa kita akan selalu ada di titik di mana kita berujar dengan kaget, "Eh, anak-anak kok tiba-tiba sudah besar, ya!"

Pada masa yang tidak terulang itu pulalah terdapat yang disebut sebagai golden-age. Satu fase perkembangan di mana anak bagaikan spons yang menyerap segala sesuatu, terutama apa-apa yang diteladankan pada mereka. Masa di mana merupakan saat yang paling tepat untuk menanamkan landasan yang kokoh sebagai pondasi yang akan mereka gunakan seumur hidupnya. Dan sekali lagi, masa ini akan terlewat, dan tidak akan kembali.

Saat putera pertama saya, Fayyadh memasuki usia 3 tahunnya, tiba-tiba saya menjadi begitu sering merasa khawatir. Khawatir apakah saya bisa mengisi masa belajar Fayyadh di usia dini dengan cara yang tepat. Khawatir apakah saya tidak akan melewatkan kesempatan untuk menanamkan iman dan adab kepadanya. Khawatir, apakah saya bisa menjadi seorang ibu yang baik baginya?

Hingga kemudian saya tersadar, bahwa sejatinya bukan Fayyadh yang butuh belajar. Tapi justru, saya sebagai ibunyalah yang seharusnya belajar akan banyaaaaak sekali hal baru. Alhamdulillah, Allah menakdirkan saya bertemu dengan orang-orang yang tepat. Kumpulan para ibu pembelajar di mana saya dapat memetik berbagai macam hikmah dan inspirasi. Komunitas itu bernama Homeschooling Muslim Indonesia (HSMI). Di sana, saya juga bertemu dengan wajah-wajah lama yang dahulu saya kenal sama-sama bergiat di dunia dakwah sekolah. Dan mereka sama sekali tidak berubah, bahkan kini, mereka bukan lagi hanya aktivis dakwah remaja yang gesit, tapi juga telah bertransformasi sebagai para ibu shalihah yang menginspirasi. Barakallahu fiihinna.

Kemudian tempo hari yang lalu saya berkesempatan untuk secara khusus mengikuti kelas online intensif bertema Iman dan Adab yang diampu oleh Mama Mahdi, Nurmayanti Zain Cahaya Makassar yang pada periode lalu mendapat amanah sebagai koordinator wilayah HSMI Sulawesi. Untuk mengetahui materinya secara komprehensif, saya menyarankan untuk mengikuti kelasnya secara langsung. Adapun pada tulisan ini, saya hanya ingin berbagai, tentang betapa pentingnya kita sebagai orang tua, untuk banyak belajar.

Pada anak usia dini, di fase pretamyiznya, seorang anak perlu mendapatkan pendidikan tentang tauhid. Ya, tauhid. Yang dalam perjalanan saya menuntut ilmu syar'i, ilmu tentang tauhid bukan hanya sangat penting, namun juga menjadi materi yang 'cukup berat' untuk dipelajari, pun untuk diajarkan.

Tapi ternyata, sudah ada pelajaran tauhid yang harus berikan pada anak, bahkan sejak mereka lahir. Bagaimana caranya mengajarkan hal itu kepada anak yang bahkan belum bisa berbicara dengan benar? Apakah mereka akan paham? Apakah akal mereka telah sampai? Apakah keyakinan itu bisa tertancap dengan kuat? Lintasan pertanyaan itu terus menerus hadir dalam benak saya.

Hingga dalam satu sesi diskusi di grup HSMI Sulawesi, Ummu 'Asma Basmah Thariq membagikan pengalamannya mendampingi tiga anak perempuannya. Mulai dari sejak seorang bayi lahir, maka pelaksanaan sunnah seperti tahnik, aqiqah, dan memberi nama yang baik, juga merupakan pendidikan tauhid paling awal. Menyusui dengan iman, hingga kemudian menyapihnya dengan iman pula, juga merupakan bagian dari penanaman tauhid. Ummu Asma bercerita, bagaimana beliau bahkan tiap kali akan meninggalkan bayinya sesaat di kamar, entah untuk ke WC, atau ke dapur, atau sedekat apapun jaraknya di dalam rumah, beliau selalu berucap pada bayinya, "Nak, ummi menitipkanmu pada Allah... " .

Masyaallah..., saya bergetar.

Ya, maka metode itu bernama talqin. Seorang anak di usia pratamyiznya perlu ditalqinkan tentang konsep tauhid dengan bahasa sederhana, namun tak boleh lepas dari esensi, ketentuan-ketentuan, dan landasan dalil yang shahih. Hal ini disebut sebagai dialog iman. Sesuatu yang diharapkan dapat menumbuhsuburkan fitrah anak. Fitrah yang dibawa seorang anak sejak ia lahir itu, bukan berarti sesuatu yang kosong dan tanpa isi. Fitrah itu adalah Islam. Seorang hamba Allah yang baru lahir itu sejatinya sudah paham bahwa ada Allah yang menciptakan mereka. Maka tugas orang tua sejatinya bukan mengajarkan hal yang baru dalam prinsip ketuhanan itu. Namun justru kita 'hanya' sedang merawat fitrah yang telah ada pada diri mereka.

Sejujurnya, setiap kali saya mendengar cerita tentang dialog iman yang 'berhasil' dijalankan oleh para bunda shalihah, saya merasa iri. Kefakiran ilmu saya kerap kali membuat saya kesulitan untuk menuntun ini pada anak saya sendiri. Apalagi jika saya disergap rasa ragu, apakah saya bisa membuat anak saya paham dengan apa yang sedang saya bicarakan?

Lalu di suatu hari, qadarullah Fayyadh sakit flu. Lalu sebelum tidur, saya mencoba mengisi sesi 'pillow talk' bersama Fayyadh dengan dialog iman.
"Yadh, Fayyadh lagi flu ya? Itu dari tadi ada ingusnya..."
"Iye, ummi"
"Fayyadh coba berdoa sama Allah, semoga flunya Fayyadh cepat sembuh"
Lalu Fayyadh malah bertanya tentang hal lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan pembicaraan saya. Berkali-kali saya mencoba kembali mengarahkan pembicaraan kami, bahkan mencontohkan bagaimana cara berdoa itu, namun bocah tiga tahun itu tetap kelihatan tidak tertarik. Saya tidak menyerah, di malam-malam berikutnya, saya kembali mencoba mengulang dialog yang sama, dan kembali mendapatkan hasil yang sama. Beberapa malam demikian, hingga saya merasa, mungkin Fayyadh memang tidak mengerti.

Hingga pada suatu pagi, saya mengusap hidung Fayyadh yang ternyata tak lagi beringus.
"Eh, flunya Fayyadh sudah sembuh ya Nak? Alhamdulillah..." ucap saya.
"Iye, kan ummi sudah berdoa sama Allah toh? Allah sudah sembuhkan flunya Fayyadh" ucap Fayyadh dengan senyum lebar.

Nyesss....

Rasanya ada yang mengalir dalam dada saya. Ah, ternyata Fayyadh selama ini mengerti dengan apa yang saya bicarakan. Ternyata memang sudah fitrahnya setiap anak bisa langsung memahami tentang keberadaan Tuhannya. Ternyata, usaha kita memang tidak ada apa-apanya, dan pada akhirnya kita menyadari, bahwa Allah-lah yang telah memahamkan mereka.

Pada titik itu, saya tersadar bahwa saya masih harus terus belajar tentang banyak hal. Bahwa perjalanan mendampingi ananda ini masih sangaaaat panjang. Ke depannya, masih banyak hal yang akan kami hadapi bersama.

Dan tentu saja, apa yang saya lakukan masih sangat sedikit sekali, pun dengan hasil yang bisa dilihat pada diri anak-anak saya. Bahkan tak jarang, anak-anak saya mendapat cap 'nakal' karena keaktifan aktivitas fisik mereka. Pada saat itu setidaknya saya menginsyafi, bahwa mungkin karena itulah hanya doa orang tua yang makbul terhadap anak, bukan doa orang lain yang terkadang tidak mampu kita kendalikan lisannya untuk mensifati anak dengan hal-hal yang kurang baik. Sementara kita, para orang tuanya sudah seharusnya memahami, bahwa hanya dengan perkataan-perkataan yang menjadi doa yang baik saja, seharusnya kita mendidik dan merawat anak-anak kita. Seberat apapun perjalanan kita dalam mendampingi mereka.

Cukup kita saja yang baru terengah memahami agama saat usia kita telah dewasa. Cukup kita saja yang buta terhadap syariat ini saat sudah masanya kita mengembannya. Cukup kita saja yang melakukan kelalaian-kelalaian dalam hidup padahal sejatinya kita mengemban tugas kekhalifaan.

Janganlah kejayaan Islam itu hanyalah tinggal kenangan belaka. Jangan biarkan kehebatan para pemuda di masa lampau itu hanya menjadi cerita. Mengapa mereka bisa mengemban amanah yang begitu dahsyat saat di usia yang sama para pemuda kita sibuk untuk memaklumkan dirinya sebagai generasi yang masih mencari jati diri? Bukankah seharusnya masalah jati diri itu telah selesai bahkan sejak mereka memasuki usia baligh. Bukankah seharusnya sebelum itu mereka sudah memasuki masa kanak-kanak yang tenang sebagaimana digambarkan oleh Syaikh Ahmad Asy Syantut? Maka, sebelum masa kanak-kanak yang tenang itu, ada masa pratamyiz yang kitalah, para orang tua, memegang peranan yang penting untuk menuntun mereka melaluinya dengan sebaik-baik cara.

Sehebat apapun hari ini berbagai sekolah usia dinia menawarkan target-target pencapaian untuk anak-anak kita, itu semua tidak akan mengugurkan kewajiban kita untuk mendidik mereka dan -dalam bahasa Ibu Elly Risman, mensubkontrakkan tugas pengasuhan itu pada sekolah yang sejatinya hanya membantu kita karena adanya amanah ilmiah mereka sebagai lembaga yang harus membagikan ilmu yang mereka punya. Namun tetap, kelak kita yang akan ditanya dan bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak kita bahkan meski mereka telah ditangani oleh sekolah paling canggih dan guru paling 'alim sekalipun!

Maya, dalam pemaparan materinya di kelas online itu memberikan warna merah, sebagai pertanda, redflag, pada fase taklif, masa di mana seorang anak sudah sampai pada usia dewasa, dan seharusnya sudah siap dengan tugasnya sebagai khalifah di atas bumi Allah. Sebelum masa itu tiba, telah siapkah kita untuk menjadi pendidik mereka yang utama? Dan sebelum mampu menjalankan itu semua, adakah ilmu kita telah siap untuk menuntun mereka?

Oh iya, sebagai orang tua, ada satu hal lagi yang perlu kita ingat. Tentang betapa terbatasnya kita pada semua hal. Pada ilmu, pada amalan, juga kesempatan. Maka, senantiasa langitkanlah doa untuk anak-anak kita. Kata Mamak saya, jangan pernah putus mendoakan anak. Saat menyuapi mereka, saat mengurus mereka, saat menatap mereka, bahkan saat wajah mereka terlintas dalam pikiran kita. Orang tua, terutama seorang ibu, adalah himpunan doa-doa untuk anak-anaknya. Doa adalah wujud kepasrahan kita padaNya. Bahwa di tengah berbagai keterbatasan yang kita punya, kita yakin bahwa ada Allah, sebaik-baik tempat kita mengharapkan penjagaan atas anak-anak kita. Dan ya, ini juga merupakan satu ejawantah dari konsep tauhid yang seharusnya lebih dahulu kita ilmui dan imani, sebelum kita ajarkan kepada anak kita sendiri.

Wahai Rabbi, mudahkanlah kami...

Kamis, 27 Juni 2019

Perjalanan Panjang

Saya baru saja ingin memulai cuci piring saat suara tangisan Fawwaz terdengar dari kamar. Seperti biasa, bocah itu akan segera turun sendiri dari tempat tidur ketika terbangun dan tidak mendapati saya. Sambil tetap menangis dan memanggil saya, ia berjalan keluar kamar menuju kamar Mamak, mengira saya di sana. Saya memanggilnya dari ambang pintu, dan ia segera berpindah ke gendongan saya, hendak melanjutkan lagi tidurnya.

Saya berdiri di depan pintu ruang tamu sambil menggendong Fawwaz yang tertidur. Memandang ke rumah seberang, tempat seorang anak tetangga terbaring sakit, setelah harus dirawat beberapa kali di rumah sakit dalam tempo yang berdekatan. Gadis itu seorang mahasiswi tingkat awal, yang kini kembali harus dirawat oleh ibunya.

Dalam pada itu, saya menginsyafi, betapa panjangnya perjalanan pengasuhan ini. Betapa menjadi seorang ibu, berarti harus siap menghadapi berbagai macam kondisi sang anak, bukan hanya ketika ia masih kecil, namun juga saat telah remaja, bahkan mungkin hingga ia dewasa.

Beberapa waktu yang lalu, selepas tunai hajat pernikahan kakak lelaki saya, Mamak nampak begitu lega. Tuntas sudah tugasnya mengantarkan sang sulung menuju gerbang pernikahan. Meski sampai kapan pun jua, meski si anak pun sudah menjadi orang tua, rasa seorang ibu tidak akan berubah.

Saya meletakkan Fawwaz di tempat tidur, lalu bocah lelaki berambut tegak itu kembali meringis dan menangis, minta digendong lagi.

Nak, perjalanan kita masih panjang, jika Allah menghendaki. Semoga selalu siap bekal kita mengarunginya, dan dengan ridhaNya kita melaluinya.

Betapa... ah, betapa kita menghajatkan pertolongan Allah...

Saya kembali menggendong Fawwaz, yang lagi-lagi melanjutkan tidurnya.

Rabu, 13 Maret 2019

Sebuah Jalan: Aku di Sini, Kau di Seberang


Langkahnya tidak  berhenti meski matahari semakin menyengat. Peluh di dahinya menyerap pada jilbab panjang yang ia kenakan. Belum lagi haus yang sejak tadi ia rasa, berusaha ia lupakan sejenak, sebab uang yang tersisa di kantong memang hanya cukup untuk ongkos perjalanannya ke tempat itu. Setibanya di tujuan, beberapa muslimah berwajah polos nampak sudah menunggunya. Sebagian dari mereka sudah siap dengan mushaf alquran di tangan. Sebagiannya lagi nampak sudah sangat percaya diri ingin menyetorkan hapalan. Ada juga yang sudah tidak sabar menanti sesi curhat di majelis, atau ingin bercakap empat mata untuk bisa mencari solusi, atau sekadar menenangkan hati. Tak lama, lingkaran mereka telah terbentuk rapi. Mengeja ayat-ayat suci, mengkaji poin per poin ilmu syar'i, serta bernasihat untuk terus menyucikan hati. Pertemuan itu mereka sepakati setiap pekannya. Ialah majelis cahaya. Salah satu metode yang mereka pilih untuk menjalankan kewajiban menuntut ilmu agama. Satu momentum di mana mereka percaya, malaikat meneduhkan sayap-sayapnya, serta doa penduduk langit dan bumi untuk ampunan dosa-dosa. Ialah majelis cahaya. Mereka menyebutnya: tarbiyah.

Di tempat yang lain, ada yang sedang serius menyimak perkataan ustadz. Rapatnya duduk mereka terkondisikan agar semua yang hadir dapat menyamankan tempat. Terkadang masjid itu penuh sesak. Terkadang pula tak penuh seluruhnya. Ilmu yang mengalir, yang tercatat, yang terekam di kepala, adalah semangat baru yang bukan hanya mengisi otak, tapi juga ruhiyah. Beragam karakter, tua-muda, dari berbagai aktivitas dan kerja, yang sedang lapang maupun yang berusaha melapangkan, semuanya duduk bersama menyimak kajian. Inilah metode yang mereka pilih untuk menuntut ilmu agama. Satu momentum yang mereka percaya saat itulah tetes demi tetes hidayah masuk ke dalam hatinya. Menyejukkan yang tengah panas. Melapangkan yang sedang sempit. Dan senantiasa menghadirkan rasa takut kepadaNya.

Ya, sebab di sanalah substansinya. Sebab ulama-lah itu orang yang paling takut kepada Allah. Yang ilmunya berbuah adab dan akhlak yang paling jelita. Yang membuat husnudzan menjadi yang paling utama kepada saudara seiman. Yang membuat setiap celah mereka hanya tertahan di lisan, untuk kemudian nanti dirangkai menjadi nasihat di kala hening, dengan nada yang paling santun dan mesra. Yang membuat mencarikan udzur menjadi ringan, menghempaskan prasangka menjadi yang utama.

Dan akhlak serta adab itu rata dapat dirasa, kepada siapapun yang Islam ada di dadanya. Warna apapun jilbabnya, sepanjang apapun ukurannya. Baju koko atau jubah kah pilihan busananya. Terjuntai panjang, segenggaman, atau bahkan hanya sehelaian janggutnya. Bahkan kepadanya yang mungkin berada di dunia yang glamor nan hingar bingar, atau yang sudah terbiasa dengan tampilan tato dan motor besar. Tak ada beda .

Dan tujuan  utamanya adalah berbahagia bersama di atas hidayah Allah, lewat jalan apapun saudaranya mendapatkannya. Sebab siapapun berhak untuk selalu percaya, bahwa surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya itu, tidak sejauh yang mereka kira.

Jangan sampai ukhuwah itu kandas hanya karena kita menatap mereka ada di seberang. Padahal kita sejatinya sedang melangkah di jalan yang sama. Hanya saja, mungkin caranya yang berbeda dan metodenya yang tidak serupa.

Bukankah kita selalu merindu, duduk bersama di atas dipan cahaya, dicemburui para nabi dan syuhada?

Selasa, 26 Februari 2019

Saat Ummi Bicara tentang Gelar

Saat kau melihat dunia di luar sana, Nak... maka akan kau dapati betapa ia tak pernah lelah untuk terus berhias dengan segala hal yang menyilaukan mata. Terkadang, kita pun turut berada di dalamnya, dan berdalih bahwa itu semua ingin kita raih untuk sebuah kemanfaatan.

Tapi, Nak. Pada akhirnya, setiap orang akan diuji kejujurannya. Dan beruntunglah orang-orang yang jujur itu.

Bagi sebagian orang tua, mungkin pencapaian serupa gelar yang panjang yang tersemat pada nama anak-anaknya, akan menjadi sesuatu yang sangat membanggakan. Tapi ketahuilah, Nak. Bagi Ummi, tidak selalu begitu.

Pada saatnya nanti, jemputlah takdir kehidupan kalian dengan cara kalian sendiri. Ummi akan selalu ada untuk mendukung, asalkan kalian tetap berada di jalan yang Allah cintai.

Jika gelar dunia bisa membuat kalian menjadi sebaik-baik manusia, yang mampu memberi manfaat terbaik pada makhluk Allah lainnya, maka kejarlah sebisa yang kalian mampu. Namun, jika itu semua hanya membuat kalian merasa patut untuk dimuliakan, menjadi benih yang menumbuhkan keangkuhan, melegitimasi untuk meremehkan orang lain, maka sungguh Ummi tak ridha, Nak.

Sebab ketahuilah, tak ada tempat di surga untuk orang semacam itu. Padahal, bukankah kita ingin berkumpul bersama di sana kelak, dalam hidup yang abadi?

Jadilah hamba yang shalih, yang manfaatnya dapat dirasakan oleh semesta alam ini. Dengan atau tanpa gelar yang harus diraih. Dengan cara itulah Ummi berharap kelak kalian menjalani hidup ini....

Minggu, 20 Januari 2019

Namanya Syafri Kelana

Bocah lelaki itu lagi-lagi melakukan kesalahan. Dia kembali kebingungan saat ia tiba di tempat yang bukan rumahnya. Perempuan yang sedari tadi ia ikuti itu kemudian membalikkan badan, menggeleng-geleng sambil tertawa kecil. Ah, ini bukan ibuku! Runtuknya dalam hati.

Ya, ibunya memang punya saudara kembar. Dan sekali lagi ia terkecoh. Sepulang dari ikut ibunya ke sungai, ia malah pulang mengikuti 'ibu yang salah'. Alhasil, bukannya tiba di rumahnya sendiri, ia malah tiba di rumah bibinya itu. Ia mendengus kesal sambil kembali melalui jalan pulang. Berharap ibunya masih di sungai dan menunggunya untuk pulang.

“Kenapa tidak mau sekolah?” sang ibu bertanya kepada anak lelaki nomor limanya itu. Si bocah hanya menggeleng kuat. Entah apa yang ada di pikirannya. Bapaknya seorang guru, dan di usia seharusnya ia mulai masuk SD, ia malah menolak mentah-mentah untuk berangkat sekolah.

Tapi, hal yang 'unik' justru terjadi saat ia tiba-tiba mengiyakan ajakan ke sekolah itu, setelah melewati masa yang panjang menjadi bocah 'pengangguran'. Ternyata, prestasinya di sekolah, melejit. Ia bahkan sanggup menjawab soal berhitung kakak kelasnya. Sesuatu yang membuatnya mendapat kehormatan dari guru untuk menjewer telinga siswa yang lebih tua yang tidak sanggup menjawab soal yang mampu ia selesaikan dengan mudah. Sesuatu yang membuatnya menjadi bulan-bulanan setelah itu. Dikejar ke sana ke mari, hingga berakhir dengan salah satu tulang di pundaknya yang harus cedera karena dijepit dengan pintu kelas. Alamak!

Bocah kecil tadi kemudian tumbuh dewasa. Memasuki usia kuliah, ia memutuskan untuk hijrah ke ibukota. Meski ia tahu, untuk itu ia harus bekerja keras. Bapaknya hanya seorang guru, ibunya tinggal di rumah. Kedua orangtuanya itu bertanggung jawab atas kehidupan ketujuh buah hati mereka yang kesemuanya mereka antarkan hingga bangku kuliah.

Di tempat perantauan, disingkirkannya semua rasa malu, disingsingkannya lengan baju. Dengan status sebagai mahasiswa, ia rela menjalaninya sambil merangkap sebagai tukang batu. Lalu suatu hari ia didapati oleh seorang kerabat dari kampungnya saat tengah asyik masyuk mengaduk semen.

“Nak, apa yang kamu lakukan? Di kampung, Bapakmu itu terhormat. Seorang guru! Kenapa kamu harus bekerja begini?” sahut kerabatnya itu dengan heran.

Lelaki itu hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. Baginya, tidak semua hal harus dijelaskan.

Saat ia kemudian memperoleh beasiswa. Disisihkannya untuk dikirim ke orangtuanya di kampung.
“Mungkin bisa membantu untuk menambah uang membeli seng untuk memperbaiki atap rumah yang bocor” tulisnya dalam sepucuk surat yang ia kirimkan dengan sejumlah uang itu.

Lalu, selayaknya jiwa muda lainnya. Lelaki itu pun jatuh hati. Seorang perempuan berkulit putih dengan julukan 'srikandi berkuda hitam' telah mencuri perhatiannya. Mereka sama-sama aktif di lembaga mahasiswa. Hubungan keduanya pun terrahasiakan dengan rapi, tak ada yang benar-benar tahu, kecuali berpucuk-pucuk surat cinta yang menjadi saksi.

“Apa itu primordial?” perempuan yang ia cintai itu suatu hari berkisah. “Ya, ia menggunakan kata-kata sesulit itu dalam apa yang ia sebut surat cinta. Saya tahu, ia hanya sedang mencoba membuat saya kagum. Ia tahu betul saya menyukai lelaki yang cerdas. Dan waktu itu, memang hanya itu yang ia punya.”

“Saya tidak bisa membawa buah tangan apa-apa. Tapi saya hanya ingin kau tahu, bahwa dalam forum itu, saya terpilih sebagai pembicara terbaik.” Ujarnya dalam surat yang ia jadikan oleh-oleh sepulangnya dari pertemuan mahasiswa tingkat nasional itu .

Nama lelaki itu, Syafri Kelana. Di masa berikutnya, kariernya bersinar. Seiring dengan deretan gelar pendidikannya yang terus bertambah. Dijalaninya hari-hari membangun rumah tangga dengan sang srikandi. Tak redup cintanya, meski harus mendampingi sang belahan jiwa dalam sakit menahun hingga menginjak angka sembilan belas tahun lamanya. Dan ia, tidak pernah beranjak dari sana.

Suatu hari seorang kerabat datang padanya untuk meminta bantuan. Kerabatnya itu terlilit hutang hingga rumahnya akan di sita. Ditelusuri, agaknya ketidakseimbangan gaya hidup yang membuat ekonominya carut marut. Setelah kejadian itu, Syafri Kelana berpesan kepada puterinya;

“Menjadi sederhana itu terkadang bukan masalah banyak sedikitnya harta. Tapi, ia adalah sikap hidup untuk tampil seadanya, dan tidak tergoda untuk bersaing tentang dunia. Bagi sebagian orang, itu yang sulit.”

Namanya Syafri Kelana. Nama yang ia pilih untuk menjadi identitas pada setiap buku yang ia punya. Juga pada lembaran surat cinta yang dulu ia tulis. Nama yang merupakan singkatan namanya dan nama perempuan yang menjadi istrinya, hingga di penghujung usianya. Syafri, Salehuddin Yasin Fatamorgana Djufri. Kelana? Mungkin itu hanya sebuah kata yang terdengar puitis saja. Sesuatu yang membuat saya, anak perempuannya, menjadi sadar, mengapa begitu menyukai puisi dan kata-kata indah.

20012019