Minggu, 09 Februari 2014

Ahad yang Tidak Biasa

Seharusnya hari ini adalah Ahad yang biasa saja, menjelang waktu Ashar, saya berada di atas angkutan kota dalam perjalanan pulang menuju rumah. Tapi, anggapan saya itu akan berubah beberapa menit kemudian. Hal itu berawal saat saya turun dari angkot dan berjalan menuju pangkalan bentor (becak-motor). Karena pangkalan bentor itu ada di belokan setelah lampu merah, otomatis saat turun dari angkot saya harus berjalan kaki dulu menujunya. Saat dalam proses berjalan ke pangkalan bentor itulah, sebuah suara membuat saya menoleh. Di samping saya sudah nangkring sebuah bentor dengan pengendaranya yang mencoba mengajak saya bicara. (percapakan dalam tulisan ini sudah saya translate dari Makassar-style ke bahasa nasional, hehe..)

Mau lanjut naik angkot, Dek?” tanya pengendara bentor itu (selanjutnya kita sebut saja dia Pak Bentor). Saya menggeleng sambil terus melanjutkan langkah. Ia pun terus melaju di samping saya dengan kecepatan rendah. 

Mau naik angkot lagi, Dek?”, ia mengulang pertanyaannya. 

Tidak. Saya mau naik bentor..”, ujar saya sambil menunjuk ke arah pangkalan bentor yang masih di depan sana. 

Naik bentor saya saja..”, ujarnya sambil tersenyum. Untuk ukuran pengendara bentor, wajah Pak Bentor itu cukup terlihat-tidak-begitu-gelap. Wajah orang baik-baik, meski tampangnya asing. Tentu ia bukan pengendara bentor yang bisanya nongkrong di pangkalan di depan sana.

Saya menyebutkan alamat daerah rumah saya. “Ke sana berapa ongkosnya berapa, Pak?”, tanya saya. Tapi ia menggeleng sambil tersenyum dan meminta saya untuk langsung saja naik ke bentornya. Saya lalu menyebutkan nominal yang biasanya saya bayarkan jika naik bentor menuju rumah. Dia mengangguk sambil terus tersenyum, seolah masalah ongkos tidak begitu ia pusingkan.
Karena waktu itu saya membawa bawaan yang cukup berat, maka langsung naik ke bentor itu rasanya cukup masuk akal dibanding harus melanjutkan berjalan kaki menuju pangkalan bentor di depan. Maka naiklah saya. Sebuah keputusan yang belakang akan membuat hari Ahad ini akan berubah menjadi ‘tidak lagi biasa’. 

Perjalanan pun dimulai. Awalnya, Pak Bentor ini melajukan kendaraannya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Karena ada sedikit kecurigaan di awal, saya yang biasanya bersandar ria jika naik bentor, mulai mengubah posisi duduk dengan ‘mode-siaga’. Kecurigaan saya terbukti saat perjalanan sudah separuh dan Pak Bentor itu mulai menanyakan hal yang aneh. 

“Rumahnya di jalan ini atau jalan itu?”, ia menyebutkan dua nama jalan yang memang saya lewati saat menuju pulang. Tapi, tentu bukan di sana saya mau pergi. Saya menggeleng, lalu menyebutkan alamat saya dengan lantang –alamat yang sudah saya sebutkan di awal sebelum naik ke bentor itu.  Bentor pun terus melaju. 

Tidak beberapa lama kemudian, Pak Bentor ini kembali menanyakan lagi alamat saya. Perasaan saya bertambah tidak enak. Apalagi kali ini ia bertanya dengan nada yang sarat dengan keluhan. 

Masih jauh, ya? Masih berapa kilo lagi?”, tanyanya. Saya tidak menjawab, pertanyaan tadi sudah dua kali saya jawab, bukan? Lagipula, saat mengiyakan tadi, seharusnya ia sudah tau alamat yang akan saya tuju. Saya pun semakin menyiagakan posisi dan menggenggam erat tas dan bawaan saya. Untungnya waktu itu jalanan sedang ramai. Saya harus memastikan bahwa kendaraan ini tidak dibelokkan ke arah yang salah. Tapi, bentor  terus melaju. Namun, dengan kecepatan yang semakin rendah. 

Wah..saya tidak bisa terus ke sana..”, suara Pak Bentor tadi kembali terdengar. Padahal, rumah saya masih cukup jauh, apalagi jika harus dilanjutkan dengan berjalan kaki. “Saya tidak bisa ke sana, saya sudah bunuh orang dengan parang di sana!”, lanjut Pak Bentor  tadi, nada dan volumenya mulai meninggi. 

Deg!

Saya beristighfar.

Perkataan Pak Bentor tadi bisa saja dusta, tapi jelas saja bahwa gelagat Pak Bentor ini mulai berbahaya. Dia pun mulai meminggirkan bentornya dan berhenti di salah satu sudut jalan. Saya beruntung karena perjalanan ke rumah saya melewati jalanan yang cukup besar dan ramai. Tidak ada belokan yang benar-benar sepi dan mencurigakan. Bentor ini pun akhirnya berhenti di tepi jalan yang masih banyak dilalui oleh orang-orang. 

Saya turun dari bentor dengan bersungut-sungut. 

Di sini jarang ada bentor lain yang lewat, bagaimana saya bisa lanjut ke rumah saya?!”, ujar saya sambil turun dari bentor.  Saya bayar segini saja! Saya masih harus bayar bentor lain untuk lanjut ke rumah!”, saya menyebutkan nominal senilai dua per tiga dari ongkos normal jika saya diantar sampai ke rumah. 

Tidak bisa!”, Pak Bentor tadi menggertak. Ia bahkan menyebutkan angka dua kali lipat dari uang yang saya sodorkan.

Lho? Bagaimana caranya! Saya kan tidak diantar sampai rumah! Kenapa saya harus bayar lebih mahal!”, ujar saya. Saya kini sudah berdiri di depan Pak Bentor yang masih dalam posisi di atas bagian kendara bentornya. Saat itu, saya mendapati wajahnya yang tidak lagi ‘secerah’ saat beberapa menit lalu menawarkan saya untuk naik ke kendaraannya. Matanya nampak melotot dan sedikit memerah. Pengakuan bahwa dia sudah membunuh orang dengan parang juga turut membuat sosok Pak Bentor ini menjadi horor luar biasa. 

Jangan bikin pikiran saya kacau! Cepat bayar!”, ujarnya dengan nada yang tinggi. Dan mengerikan. Iya, mengerikan.  

Saya lalu menambahkan uang yang sudah saya sodorkan padanya. Dua kali lipat dari nilai yang sebelumnya ingin saya bayarkan. 

Tambah lagi!” ia makin melotot. Kali ini menyuruh saya merogoh kocek tiga kali lipat. Alis saya berkerut, perasaan saya tambah tidak enak. Apalagi saat ia kemudian kelihatan bertambah murka dan dan malah meminta uang dengan  jumlah tujuh kali lipat. Iya, TUJUH KALI LIPAT. 

Baiklah.

Baiklah.

Baiklah, ini perampokan, Saudara-Saudara! Sekali lagi saya masih beruntung karena kejadian ini terjadi di tepi jalan yang masih cukup ramai dan terang benderang. Menyadari diri saya semakin tersudutkan dalam bahaya, saya memilih untuk tidak meladeni makhluk mengerikan di hadapan saya, saraf simpatis saya terpacu dan menyebabkan respon ‘fight-or-flight’. Saya, lebih memilih pilihan kedua: langkah seribu!

Sambil membawa tas yang buesar dan kantongan yang berat, saya segera ngacir ke arah tempat tambal ban yang nampak lebih ramai, tidak begitu jauh dari tempat kejadian sebelumnya terjadi. 

Saya segera berbaur ke tengah-tengah orang-orang di tempat tambal ban itu –mungkin dengan wajah yang sedikit pucat, untuk mengamankan diri. Saya segera berpikir cepat dan mencari kendaraan lain yang bisa ditumpangi untuk segera sampai ke rumah. Lebih penting lagi, untuk segera pergi sejauh-jauhnya dari Pak Bentor yang sungguh tidak budiman tadi. 

Alhamdulillah, saya sampai di rumah dengan selamat sentausa. Tidak kurang satu apapun kecuali dompet yang semakin hampa. Saya segera duduk, memperbaiki perasaan, dan minum segelas air. Tidak apa-apa, semuanya masih baik-baik saja. 

Pesan moral: 

-          Selalu pastikan akad yang jelas sebelum melakukan transaksi apapun. Jangan tertipu dengan orang-orang yang menggampang-gampangkan hal ini. Bahkan meski ia sudah mengiyakan, jika ada kecurigaan yang mampir, lebih baik untuk menghindarinya dan tidak melanjutkan berurusan dengan orang macam itu.  

-          Bahkan meski keadaan masih aman dan terkendali, tidak ada keanehan, dan semua berlangsung seperti biasa, jangan lepaskan dzikir dari hati. Dengan berdzikir, in syaa Allah kita akan lebih tenang dan awas. Bagaimanapun, akan lebih baik jika menghadapi ‘kondisi yang tidak menguntungkan’ dalam keadaan sadar dan tidak dibawah intervensi apapun yang bisa menyebabkan kita tidak sadarkan diri. Waspada, modus hipnotis dan semacamnya ada di mana-mana. Dalam kondisi tidak sadar, tentu lebih besar kemungkinan kita akan mengalami kerugian yang bahkan bisa lebih buruk daripada hilangnya harta. Naudzubillah.

-          Saat hal macam ini terjadi, cobalah untuk jeda sejenak selepas kekagetan itu muncul. Muhasabah diri, mungkin ada bagian dari harta kita yang masih perlu dibersihkan. Jadi, bersedekahlah dengan ikhlas, membersihkan harta dengan ibadah tentu akan lebih menenangkan dibandingkan ‘dibersihkan’ dengan paksa. *note2myself-to-the-MAX*

-          Terimalah apapun yang telah terjadi. Kita mungkin ditakdirkan untuk mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan, agar bisa menjadi pelajaran bagi orang lain agar lebih waspada dan tidak perlu mengalami hal yang sama. Berbagilah. Karena itu, saya menuliskan ini.

-          Di luar rumah kita, ada begitu banyak manusia baik dan bermanfaat bagi sesama. Tapi ingat pula, ada-ada saja orang yang tidak mampu berpikir dan bertindak dengan benar sehingga ia memutuskan untuk melakukan hal-hal yang merugikan orang lain untuk kepentingannya sendiri. Tetaplah positif, kita tidak perlu menambah populasi orang-orang yang merugikan seperti itu.
Hanya Allah Sebaik-baik Pelindung. Silakan share tulisan ini, agar kita semua bisa lebih waspada. Jika orang-orang seperti Pak Bentor tadi tidak lagi bisa mendapatkan ‘korban’ karena kewaspadaan kita, semoga itu bisa menjadi sebab ia bertaubat dan tidak lagi melakukan hal yang sama. Kita doakan saja, ya. Aamiin..

Makassar, 9 Februari 2014
Menulis itu, melegakan..