“Jadinya, saya menyusun buku gado-gado lagi deh...,” itulah yang
terlintas di pikiran saya saat tengah melakukan perampungan pada naskah buku
ini. Berawal dari rutinitas ‘chatting
sebelum tidur’ yang saya lakoni bersama suami saat kami dalam masa LDM (long distance marriage), ide untuk
‘melahirkan’ buku ini pun tercetus. Saya yang kala itu tengah menjalani
masa-masa awal kehamilan yang membuat nyaris sepanjang hari hanya bisa berdiam
di rumah –lebih spesifiknya di atas tempat tidur, untuk menghalau rasa mual dan
pusing, kemudian merasa bahwa saya membutuhkan sesuatu yang membuat hari-hari
saya saat itu lebih bersemangat. Dan ternyata, jawabannya tidak jauh-jauh dari
dunia kepenulisan. Saya merasa perlu kembali menerbitkan buku sebagai sebuah moodbooster agar tidak diserbu overthingking yang hanya membuat saya
stress sendiri.
Pemikiran untuk mengarsipkan
tulisan-tulisan lama yang kemarin sempat muncul lewat beberapa media cetak pun
menjadi satu paket dengan ide awal itu. Maka skenarionya pun menjadi lebih
jelas. Saya akan mengumpulkan kembali artikel-artikel Islami yang mungkin di
masa lalu hanya bisa dibaca oleh mereka yang mengakses media cetak tersebut,
ditambah dengan beberapa tulisan lainnya, dalam sebuah buku yang akan saya
terbitkan secara independent. Gayung bersambut, suami pun ternyata memberikan
dukungan atas ide ini. Ah, bahkan membayangkan bahwa saya akan menerbitkan buku
lagi pun sudah membuat saya bahagia!
Dan bukan hanya memberikan
support dalam konteks ‘izin’, beliau pun berbaik hati menjadi pembaca pertama
dari naskah-naskah yang terkumpul, untuk kemudian memberikan masukan dan
memperbaiki beberapa kekeliruan, bahkan yang berkaitan dengan perkara
pengetikan. Alhamdulillah! Ssst... sebab untuk hal itu saya memang banyak
khilafnya! Hehehe...
Menyeksamai kembali
tulisan-tulisan yang sebagian besar dulu di muat di Majalah Al Firdaus itu,
memutar kembali memori saya. Tahun 2008 adalah saat pertama saya bergabung
dalam media dakwah tersebut, kami kemudian lebih senang menyebutnya; majalah perjuangan. Bergabung untuk
pertama kali dan menjadi kru dengan usia paling muda dan pengalaman paling
minim tentu membawa nuansa tersendiri. Ditambah lagi dengan kesibukan di
awal-awal masa perkualiahan saat itu. Modal saya hanyalah kesenangan menulis,
kebiasaan ngeblog, dan secuil pengalaman ikut lomba-lomba mading dan KTI jaman
SMA, serta terlibat dalam organisasi jurnalistik di sekolah serta punya proker
artikel Islami di rohis.
Pada masa peralihan dari SMA ke
kuliah, saya giat ngeblog dan posting
tulisan lewat note FB. Menulis apa
saja yang jatuhnya lebih sering ke semacam catatan hati alias curhatan.
Kegiatan itu membawa saya pada kebebasan menulis, ditambah lagi dengan
kawan-kawan di dunia maya yang kerap kali berkunjung pada tulisan-tulisan itu.
Nah, bergabung di media cetak
yang diproduksi dalam skala yang lebih besar, harus bekerja dalam teamwork dengan kru yang lain, dan tentu
saja tidak bisa meloloskan tulisan begitu saja, tentu memberikan pengalaman
baru bagi saya. Saya masih sangat ingat, saat mendapatkan hasil print-out naskah pertama saya selepas
dikoreksi oleh seorang ustadz yang menjadi staff ahli kami. Coretan merah di
mana-mana! Saya shock.
Kebanyakan dari coretan itu
memenggal kalimat-kalimat panjang yang saya buat untuk naskah liputan rohis.
Titik di sini! Koma di situ! Spasi di antara kata ini! Saya kemudian membaca
ulang hasil koreksian itu sambil mengernyitkan kening. Selama ini, tidak ada
yang pernah memperlakukan tulisan saya sebegitu rupa. Hehehe...
Saya sempat merasa agak down, merasa terkungkung, bahkan dengan
(sangat) sok tau, menganggap bahwa hasil editan itu akan mengubah ‘ciri khas’
tulisan saya *halah*. Belakangan saya
baru sadar, baru belajar, bahwa ternyata setelah diedit, tulisan itu memang
menjadi lebih baik. Saya selama ini telah terjangkit virus ‘kalimat-kalimat panjang tanpa jeda’, dan
sama sekali tidak ada yang menegur. Bahkan kadang mendapat banyak jempol.
Alhamdulillah, menjadi kru Majalah AlFirdaus, membuat saya belajar banyak hal.
Dan tulisan-tulisan yang saya himpun dalam ‘Kado Kecil Untukmu’ pada bagian
‘Khazanah’-nya, semoga menjadi lembaran-lembaran hasil belajar yang akan terus
saya pelajari.
Paruh kedua dari buku ini
kemudian memuat tulisan-tulisan lepas ‘khas
Jeda Sejenak’. Hmm... semacam catatan hati tentang banyak hal yang terlintas
di pikiran. Ada pula beberapa catatan yang lahir setelah menyimak video ceramah
yang saya rasa sangat baik untuk dituliskan. Yap, lagi-lagi buku gado-gado,
kawan. Dan buku yang juga terasa sangat personal ini pun akhirnya saya anggap
paling tepat untuk dipublikasi secara independent. Setelah kemarin sempat
ditakdirkan mengicip kerjasama dengan penerbit mayor, kali ini saya ingin
kembali bernostalgia ke masa-masa saat memproduksi dan mengedarkan Jeda
Sejenak, buku pertama saya yang juga menggunakan selfpublishing yang sama dengan kali ini; Leutikaprio di Yogyakarta.
Alhamdulillah, selalu ada kenyamanan saat bekerjasama dengan pihak yang satu
ini (terima kasih, Leu!)
Mulai dari proses penyusunan
naskahnya secara mandiri, self editing
yang dilanjutkan dengan bantuan editan dari suami, mendeskripsikan covernya,
menunggu prosesnya, hingga akhirnya membuka pre-order untuk Kado
Kecil Untukmu; semua proses itu selalu terasa menyenangkan. Beberapa
kawan ikut serta memesan pada preorder tahap pertama hanya dengan membaca dua
paragraf sinopsis (yang tentunya belum jelas-jelas amat). Hal itu membuat saya merasa terharu, bagaimana
kawan-kawan itu memberikan apresiasi dengan mentransfer sejumlah dana untuk
mendapatkan buku saya, bahkan tanpa banyak bertanya ini itu! Meski saya tahu,
beberapa di antara mereka punya kapabilitas di atas dari apa yang nantinya buku
saya tawarkan. Lagi-lagi buku saya ini tidak lebih dari teman minum kopi atau
teh di senja hari, bukan sesuatu yang perlu ditekuni dengan serius; persis
seperti kapasitas saya yang juga tidak seberapa dalam menulis, baik dari segi
teknik maupun isinya.
Namun terlepas dari berbagai kekurangan
yang sangat harus saya akui itu, buku ini, kado kecil ini, saya sebut sebagai
tanda cinta. Jika buku pertama saya dedikasikan untuk ibu yang telah melahirkan
saya, maka buku kali ini saya tulis untuk calon hamba Allah yang kelak akan
saya lahirkan, insya Allah.
Ya, maka ini adalah tanda
cinta. Untuk dia yang telah saya bersamai lebih dari tujuh bulan ini. Yang
berdetak bersama detakan jantung saya, yang turut berbagi dengan pembuluh darah
saya. Betapa menakjubkannya, bagaimana kehadirannya yang baru sebagai embrio di
dalam rahim, yang kemudian terbaca sebagai dua garis merah di testpack hari
itu, bisa menerbitkan bahagia yang luar biasa di hati kami. Bagaimana saya
menghadapi beberapa hal dalam keadaan sendiri, namun tetap merasa bahwa ia pun
ada dalam diri saya dan membersamai saya di mana pun dan kapanpun. Saya
mengajaknya mengobrol sambil mengusap perut, kadang pula mengeraskan suara saat
membaca buku, berharap ia turut menyimaknya. Saya menanggapi beberapa hal
dengan bergumam kecil, seolah meminta pendapatnya. Baiklah, saya memang orang
yang cukup ‘drama’, dan bawaan
hormonal ketika tengah hamil seperti sekarang, membuat saya menjadi ‘double-drama’. Hehe...
Buku ini adalah tanda cinta.
Juga berangkat dari keinsyafan betapa saya tidak tahu berapa lama saya bisa
membersamainya; dia yang kini semakin lincah ngulet-ngulet dalam perut saya. Saya sadar, betapapun kita
mencintai sebuah perjumpaan tentu akan ada masa perpisahan. Saya bahkan belum
pernah berjumpa dengannya, namun telah begitu mencintainya. Saat nanti insya
Allah berjumpa pun (mohon doanya semoga
dilancarkan... aamiin...), tentu ia butuh waktu untuk mengerti tentang
lembaran-lembaran dari buku ini. Namun, akan tiba masa di mana kami tidak bisa
bersama lagi, tidak bisa berbincang lagi. Saya berharap, saat masa itu datang,
lembaran-lembaran dari buku ini masih cukup baik untuk bisa ia seksamai. Untuk
ia tahu, bagaimana cara berpikir ibunya tentang ini dan itu. Dan tentunya untuk
ia tahu, bahwa sangat penting baginya untuk selalu berbangga karena ditakdirkan
hidup sebagai seorang muslim; mensyukurinya, dan menjadi seorang muslim yang
baik, dengan segala makna yang terkandung di dalamnya. Untuk engkau tahu, Nak,
betapa kami mencintaimu karena Allah.
Ya, ini adalah sebuah kado.
Sederhana saja, kecil dan mungil saja. Teriring permohonan maaf sebab ternyata
kado ini harus berbayar, sebab ada sumber daya yang harus turut serta dalam
proses cetaknya hingga berbentuk sebuah buku. Sekali lagi, terima kasih kepada
semua teman-teman yang sudah ikut mengorder, dan kepada yang setelah ini baru
akan mengorder... *Hehehe.. #modus*. Mumpung stok yang nantinya akan tersedia pada
preorder tahap pertama ini masih menyisakan beberapa ruang kosong, saya masih
menunggu dengan setia! Hehe...
Mari bersama saya merayakan
tanda cinta ini dengan kado kecil. Semoga ada manfaat yang bisa di ambil di
dalamnya, dan semoga Allah memaafkan kehilafan saya yang terekam di dalamnya.
Hanya dariNya saja bersumber segala kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)