Hujan mulai turun rerintik saat saya akhirnya memutuskan untuk membuat
tulisan ini. Dari jendela kamar, nampak beberapa anak tetangga yang tengah
asyik berlarian menuju rumah mereka, takut kebasahan. Beberapa dari mereka siang tadi kedengaran
terlibat konflik dan saling berkelahi. Namun sore ini, saya melihatnya kembali
saling melempar tawa di antara derap langkah menghindari hujan. Nampak ringan
sekali hidup mereka, ya? Kapan terakhir kali kita –orang (yang mengaku) dewasa
merasakan itu?
Ya, mungkin karena kompleksitas kehidupan yang tengah kita jalani membuat
kita memandang hidup ini menjadi serba ribet. Macam-macam tuntutan dari
masyarakat maupun dari diri kita sendiri tanpa sadar membuat kita menetapkan
banyak standar-standar yang terkadang justru membuat kita stress sendiri,
bahkan malah (sempat-sempatnya) ikut-ikutan stress melihat kehidupan orang
lain. Kita menyembunyikan air mata, kita mengaku baik-baik saja, kita memasang
wajah ceria meski sebenarnya tidak, bahkan kerap kali kita menjadi orang lain
karena berusaha untuk menyenangkan semua
orang –walaupun itu mustahil.
Padahal, it’s ok to be human.
Ada kalanya, kita memang harus menangis, menumpahkan segala beban yang kita
rasakan, meski mungkin dalam keadaan sendirian, cukup di atas sajadah dalam
sujud panjang. Ada waktunya, kita tidak perlu memaksakan senyuman, saat kita
memang tidak benar-benar ingin. Ada masanya kita mengatakan ‘tidak tahu’ saat
kita menghadapi permasalahan yang memang di luar kapasitas kita. Saat kita
kemudian menahan diri untuk menghukumi sesuatu yang tidak berada dalam
pengetahuan kita. Saat kita memandang hidup orang lain yang juga tidak kalah
kompleksnya; kita menahan diri untuk terburu-buru mengambil kesimpulan, tidak
terburu-buru memberikan solusi yang akhirnya hanya sebatas: ah, kamu hanya kurang ini.. kamu hanya
kurang itu... Sebab nyatanya, kita tidak pernah benar-benar tahu tentang
kehidupan orang lain, sebagaimana orang lain pun tidak akan pernah benar-benar
mengerti tentang kehidupan kita. Namun terkadang kita sulit untuk menahan lisan
dan cukup mendengarkan curahan hati dengan hati kita pula, untuk kemudian
menjadi sebaik-baik ‘sapu tangan’ bagi saudara kita yang lain.
It’s ok to be human.
Kita sadar bahwa ada kalanya kita jatuh, maka saat kita melihat itu terjadi
pada orang lain, kita tidak serta merta mengutuk atau menertawakan pribadinya.
Sebab kita tidak pernah tahu bagaimana seseorang berusaha untuk bangkit,
berupaya untuk sembuh, dan bagaimana Allah mengatur takdir kehidupannya kelak.
Kita sadar pada sisi-sisi manusiawi yang tidak akan pernah lepas dari diri
kita, bukan untuk menjadikannya pembenaran atas kesalahan yang kita perbuat
pada orang lain, namun sebagai sebuah bentuk keinsyafan, bahwa orang lain pun
adalah manusia biasa, persis seperti kita, sehingga kita tidak pernah punya hak
untuk menuntut orang lain menjadi sempurna. Kita adalah manusia dengan keunikan
kita masing-masing, tidak ada di antara kita yang senang untuk dibandingkan
dengan siapapun, untuk dipaksa menjadi seperti siapapun; kita tetap bisa
menjadi baik, menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.
Makassar, 27 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)