Kamis, 23 Juli 2009

Pagi, di Atas Pete-Pete


Hampir tiap hari, saat akan bepergian saya selalu menfaatkan jasa angkutan umum yang di kota saya disebut pete-pete (semacam angkutan kota berbentuk mobil minibus). Terkhusus di hari kuliah, saya memanfaatkan jasa pete-pete berkode 07 yang selalu nangkring di ujung jalan Pettarani. Karakterstik petepete yang berhenti di tempat itu adalah ; tidak bakalan mau jalan kalau penumpang belum cukup dua belas orang, alias pete-petenya sudah penuh !

Bisa kamu bayangkan jika saya menjadi orang pertama yang naik di petepete yang menguji kesabaran itu. Dan hal itu sering saya alami. Terkadang waktu saya terbuang bersama supir pete-pete yang menunggu penumpang itu bahkan hingga setengah jam lamanya ! Tapi, karena saya termasuk orang yang tidak suka cari gara-gara (kalau tidak dibilang takut sama tampang sangarnya supir pete-pete... ), saya tidak pernah mengeluh secara nyata, apalagi kalau mencoba turun dari angkutan tersebut dan mencari angkutan lain. Saya menganggap hal itu bisa mempersulit saya, mengingat ada kemungkinan saya bisa ‘dikeroyok massa’ karena tempat itu memang sarangnya supir angkutan umum.

Tapi, diamnya saya bukan berarti saya tidak mengeluh dalam hati..., kadang, saat sedang buru-buru sekali, lalu ketemu dengan supir petepete yang begitu ‘setia’ menanti penumpangnya, tak jarang saya kesal dan geregetan sendiri, yang palingan saya wujudkan dalam bentuk ‘decak-decak cecak’ yang pastinya tidak akan dipeduli sama Pak Supir. Sekali lagi, karena saya tidak mau cari gara-gara.

Suatu pagi, saya kembali menumpang angkutan umum di tempat itu. Dan saya kembali menjadi penumpang pertama. Mind-set saya sudah mempola bahwa penantian saya pasti akan panjang. Dan memang benar, karena hari itu adalah hari Ahad, jadi mahasiswa yang biasanya mempercepat penuhnya angkutan umum ini tak nampak. Hasilnya, mungkin sekitar 15 menit setelah saya naik, penumpang kedua baru muncul dari balik becak. Hmm..., begitu setianya Pak Supir ini..., pikir saya.

Penumpang selanjutnya baru bertambah setelah hampir terlewat angka 20 menitan. Namun, mobil itu baru terisi sekitar delapan orang. Dan diantara delapan orang ini ternyata termasuk dalam kategori yang saya bahasakan ; berani cari gara-gara. Mereka mendesak supir agar segera jalan karena tak sabar lagi menanti. Pembicaraan antara penumpang yang mengeluhkan ‘ulah setia’ Pak Supirpun terus bergulir, sementara penumpang tak bertambah, dan Pak Supir hanya diam seribu bahasa. Berkali-kali ia memundurkan dan memajukan mobilnya untuk menjemput penumpang, tapi orang yang bertengger di petepetenya tak kunjung nambah. Sementara para penumpang yang sudah siap luncur termasuk saya- semakin tak sabar agar mobil segera melaju. Beberapa dari mereka mulai mendesak Pak Supir agar segera jalan.

Didesak seperti itu, akhirnya membuat si supir gerah juga, dengan nada tak kalah jengkel ia berujar, “Kalau saya jalan, memangnya kamu mau bayar kursi yang kosong ...?!” Setelah itu, ia akhirnya menjalankan pete-pete tersebut dan melaju ke jalan raya. Di antara kemudinya, Pak Supir tadi mengeluhkan betapa penumpang sebenarnya hanya ingin enaknya saja. Tidak tau kalau mereka –para supir angkot bisa rugi kalau jalan dengan mobil yang tidak penuh. Bahwa untuk parkir di tempat strategis itu juga kadang dipungut bayaran. Dan kesimpulannya adalah bahwa banyak orang tak merasakan jerit hati para supir angkot....

Yah..., kejadian itu membuat saya berpikir. Betapa seringnya kita menginginkan keadaan sesuai dengan keinginan kita, hingga kadang kita tidak peduli bagaimana nasib orang lain di balik keinginan kita. Pernahkah kita berpikir bahwa mungkin saja, seorang kerabat supir tadi ada yang sedang sakit keras dan membutuhkan pengobatan, sehingga sang supir harus kejar setoran ? Atau mungkin istri sang supir akan segera melahirkan dan membutuhkan biaya ? Atau anak-anaknya terancam putus sekolah karena tak lagi punya dana ?

Begitu sering mungkin, tanpa kita sadari kita menganggap orang lain salah karena hanya melihat sesuatu dari sudut pandang kita saja. Padahal di kesempatan yang sama kita selalu menuntut agar orang lain mengikuti pendapat kita. Apakah sifat egois memang telah dilumrahkan bagi makhluk bernama manusia seperti kita ?

Padahal sesungguhnya bila kita ingin berkaca, begitu banyak kekurangan dalam diri yang menuntut kita untuk selalu berbenah. Begitu banyak masalah yang dihadapi orang lain yang mungkin bila kita yang berhadapan dengannya, kita tidak akan sanggup melewatinya. Dan dengan segala kekosongan dalam diri ini, mengapa kita selalu ingin diri ini didahulukan dari orang lain ?

1 komentar:

  1. hehe..jadi keingat waktu di mks dulu..tapi jurusan pettarani itu jurusan gemuk ya ukh..coba bayangkan kalo jalur daya-sentral..nunggunya jauh lebih lama lagi

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)