Rabu, 21 Maret 2012

Pemimpin Itu Akan Datang

Pemimpin Itu (InsyaAllah) Akan Datang

Baru-baru ini, media kita dihebohkan dengan berita seputar seorang menteri yang ngamuk di pintu tol. Saat melihat judul beritanya, pikiran negative saya mulai bertanya-tanya, tingkah apa lagi yang sedang dilakukan oleh elit politik bangsa ini? Apakah mereka ngamuk karena tidak mendapatkan layanan VVIP? Ataukah sebab-sebab lain yang membuat mereka tidak nyaman sebagai seorang pejabat? Ternyata saya salah. Sebab, Pak Dahlan Iskan, menteri BUMN yang ngamuk itu justru melakukan hal tersebut sebab ia mendapati pelayanan publik yang amburadul! Lalu solusinya tidak tanggung-tanggung; melewatkan berderet-deret mobil secara gratis di pintu tol itu dan baru pergi dari lokasi saat tempat itu telah cukup sepi. Wah!

Oleh media massa, peristiwa langka ini kemudian menjadi booming dan dibicarakan dimana-mana. Banyak orang yang kemudian, seperti saya, salut dengan apa yang dilakukan oleh Pak Dahlan. Jujur, saya bahkan berkaca-kaca saat membaca berita tersebut. Namun, ada saja pihak yang menganggap hal ini sebagai ‘bisa-bisanya’ beliau untuk mencuri simpati publik. Ah, jikapun benar, apa yang salah dari itu? Bukankah bangsa kita memang telah lama rindu pada sosok pemimpin yang punya keinginan untuk langsung turun ‘menjenguk’ rakyatnya?

Sepak terjang Dahlan Iskan memang bukan hanya dimulai dari peristiwa pintu tol kemarin. Trade record beliau telah menunjukkan prestasi gemilang sejak menyelamatkan Jawa Pos, kemudian PLN, dan kini menjadi menteri. Kita pun akhirnya seolah mendapatkan angin segar, dan mulai bertanya-tanya, bahwa bisa saja ada Dahlan Iskan-Dahlan Iskan lainnya disekitar kita, hanya saja mereka tidak diakses oleh publikasi media. Krisis kepercayaan yang sudah kronik kepada pejabat-pejabat bangsa ini, memang membuat kita seringkali menutup mata dari adanya kemungkinan munculnya sosok pemimpin yang kita rindukan itu.

Ditengah hiruk-pikuk isu kenaikan harga BBM yang menimbulkan gejolak di setiap sudut negeri ini, kita tentu miris dengan dua belah pihak yang nampak sibuk dengan pendapatnya masing-masing, tanpa memberikan edukasi yang jelas tentang argumen mereka. Mengapa harus naik? Mengapa tidak boleh naik? Bagaimana hitung-hitungannya? Apa dampak baik dan buruknya? Dan yang paling penting: apa yang harus kita persiapkan untuk menghadapi itu semua?

Para mahasiswa turun ke jalan berteriak dengan orasinya masing-masing. Mereka nampak garang dan percaya diri sebab merasa telah memperjuangkan aspirasi rakyat. Tapi, jika demo itu kemudian berakhir rusuh dan justru membawa malapetaka baru sebelum malapetaka sebenarnya muncul, kita tentu sangat menyayangkannya. Kita tentu malu. Kita tentu bertanya, sekiranya saja semua aksi itu adalah atas nama rakyat, maka saya membayangkan; saat mereka berkoar-koar di jalan, para masyarakat akan memandang mereka dengan mata sembab sebab terharu telah diperjuangkan. Beberapa mungkin akan ikut berseru mengikuti yel-yel mereka, bahkan ada yang singgah untuk sekadar memberikan minuman dingin agar tenggorokan para pendemo tidak kering. Selebihnya, turut mendoakan keselamatan para pendemo dan berharap aspirasi mereka didengarkan oleh para pemegang kekuasaan itu. Tapi kenyataannya? Ah, jauh panggang dari api!

Maka dengan membuka kembali lembar-lembar sejarah, di masa lalu, kita dengan mudah menemukan sosok pemimpin yang tiduran di bawah pohon kurma tanpa pengawalan sedikitpun. Pemimpin yang ikut berbaur di tengah rakyatnya, dengan penampilan yang serupa pula dengan mereka yang ia pimpin. Pemimpin yang memanggul sendiri karung-karung berisi makanan untuk wanita miskin yang merebus kerikil untuk anaknya yang kelaparan. Kita bermimpi, kita merindu, suatu hari kelak, ada sosok yang minimal mendekati itu, yang bersedia untuk maju dan membawa bangsa ini menjadi lebih baik.

Apakah takdir Allah yang menyelamatkan nyawa Pak Dahlan Iskan pada 2008 lalu lewat cangkok hati merupakan sebuah jalan agar kelak beliau muncul sebagai pemimpin yang kita rindukan itu? Entahlah. Namun, sebab Indonesia telah menjadi takdir kita, maka agaknya menjadi lebih damai jika kita; orang-orang yang terpimpin ini pun ikut terus berusaha memperbaiki diri dan hal-hal kecil di sekitar kita saat ini. Bukankah, kita pun harus memantaskan diri agar kelak pemimpin yang baik itu sudi untuk melangkah maju? Wallahu a’lam.

Makassar, 22 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)