[dimuat di rubrik Opini,
Harian Amanah, 28 Oktober 2015]
Kabar duka nampak berseliweran di beranda salah satu sosial media hari itu.
Luasnya jejaring yang sanggup dicakup oleh dunia maya memang kadangkala membuat
kita mendapatkan kabar dari orang-orang yang mungkin tidak begitu kita kenal.
Sama halnya dengan kasus tersebut, saat seorang muslimah dikabarkan meninggal
dalam sebuah kecelakaan, dan beritanya menjadi masif disiarkan oleh banyak
media. Satu hal yang menarik untuk diperhatikan adalah, beberapa orang kemudian
memberikan fokus kepada ‘jejak’ yang ditinggalkan muslimah tersebut di sosial
media yang ia punya, sebelum ia kemudian ditakdirkan untuk meninggal dunia.
Capture status terakhirnya tersebar di mana-mana.
Tidak sedikit orang yang memberikan tanggapan positif dengan nada haru pada
deretan kata penuh manfaat dan hikmah dalam status tersebut. Hal ini kemudian
dikaitkan dengan pribadi pemilik status yang semasa hidupnya memang dikenal
sebagai seseorang yang sangat baik. Lihatlah, betapa kemajuan teknologi saat
ini bahkan turut memberikan warna pada cara kita menilai seseorang sepeninggal
dirinya.
Ada pepatah yang mengatakan, “Mulutmu,
harimaumu.”. Nah, di zaman di mana sosial media seolah telah menjadi bukti
eksistensi seseorang seperti saat ini, tidak berlebihan rasanya jika kita
meng-‘qiyas’-kan pepatah ini menjadi,
“Statusmu, harimaumu”. Ya, sebab
telah banyak kasus yang kita saksikan, di mana ternyata selentingan kalimat
yang di-upload di media sosial, yang
notabene mungkin hanya dibuat dalam tempo yang begitu singkat, dan dengan
tenaga yang tidak banyak, ternyata bisa memberikan dampak yang besar kepada
pemiliknya, baik itu dalam arti positif, maupun dalam nuansa yang negatif.
Contoh yang diangkat di awal tadi, mungkin adalah bukti bagaimana
status-status positif dapat memberikan imej
positif pula bagi seseorang. Contoh negatifnya? Ternyata tak kalah banyak.
Sudah berapa banyak kasus yang kita saksikan, di mana seseorang mendapatkan
sanksi, mulai dari tahap sanksi sosial hingga bahkan yang sudah menyentuh ranah
hukum, hanya karena postingan yang ia buat di sosial media. Parahnya lagi,
terkadang orang-orang ini awalnya hanya bermaksud iseng dan tidak menyangka
bahwa apa yang ia unggah itu ternyata bisa menjadi viral dan menuai hujatan
secara massal di tengah masyarakat. Biasanya hal ini terjadi karena adanya
ketidaktahuan, atau mungkin tidak adanya keinginan untuk peduli alias
menganggap enteng perkara kata-kata atau hal-hal yang ia lemparkan ke
masyarakat via sosial media yang ia punya. Maksud hati hanya ingin mencurahkan
perasaan atau sekadar iseng memperlihatkan aktivitas, namun ternyata hasilnya
malah memberikan dampak yang tidak sederhana.
Sama halnya dengan orang-orang yang kemudian menuliskan hal-hal yang tidak
benar-benar ia pahami di sosial media yang ia punya. Kemudahan akses dan adanya
perasaan ‘terlalu memiliki’ terhadap akun sosial medianya membuat seseorang
terkadang bersikap ‘semau gue’ dalam mengunggah sesuatu. Dampaknya bisa fatal,
apalagi jika kemudian ia termasuk orang-orang yang memang banyak diperhatikan
oleh khalayak di sekitarnya, sehingga apapun yang ia tuliskan memberikan
pengaruh. Maka, sedikit saja ia tergelincir, akan begitu banyak orang lain yang
turut tergelincir bersamanya. Hal yang sama juga berlaku untuk kasus
komentar-komentar yang terkadang tidak didasari dengan ilmu. Jika hal macam ini
sudah terjadi, tidak heran jika kemudian pemikiran-pemikiran aneh yang tidak
berdasar menjadi dengan mudah merebak di masyarakat. Dan semua itu bisa saja
hanya bermula dari sepenggal atau dua penggal kalimat yang mengudara lewat
sosial media. Nah, ini baru kita lihat dari sudut pandang hubungan antar sesama
manusia.
Sementara itu, bagaimana sebenarnya agama kita mengatur tentang hal ini?
Mari kita simak ayat berikut: “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta
pertanggungjawabannya.” (QS. Al Isra:36).
Ibnu Katsir menjelaskan kepada kita, bahwa ayat di atas mengandung larangan
untuk berkata-kata tanpa ilmu. Ya, sebab segala hal akan dimintai
pertanggungjawabannya. Dan mengucapkan sesuatu tanpa didasari dengan ilmu
memang akan mengundang mudharat yang
beruntun, yang bukan hanya akan menyulitkan diri pribadi, namun juga orang
lain. Bukan hanya memberi dampak di dunia, namun akan pula kita hadapi
pertanggungjawabannya di akhirat kelak!
Terlebih lagi saat kemudian untaian kata-kata itu ‘mengabadi’ dalam bentuk
tulisan yang bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan akan terus nangkring di dunia maya bahkan mungkin
melebihi usia kita sendiri! Maka efek yang akan timbul tentu akan lebih besar
lagi, dan otomatis akan semakin besar pula pertanggungjawabannya di akhirat.
Mari kita seksamai pula sebuah nasihat yang indah dari seorang ulama yang
tentu tidak kita pertanyakan lagi kadar keilmuannya. Seorang imam mahdzab yang
senantiasa kita sebut namanya dan begitu sering muncul dalam perjalanan kita
menuntut ilmu agama. Beliaulah Imam Syafi’i, yang meski begitu dalam ilmunya,
namun begitu berhati-hati dalam berkata-kata. Beliau telah menasihatkan; “Jika engkau hendak berkata, maka berpikirlah
terlebih dahulu. Jika yang nampak adalah kebaikan maka ucapkanlah perkataan
tersebut, namun jika yang nampak adalah keburukan atau bahkan engkau ragu-ragu,
maka tahanlah dirimu (dari mengucapkan perkataan tersebut).” (Asy Syahrul
Kabir ‘alal Arba’in An Nawawiyah).
Maka mari kita perhatikan ke mana
arah jemari kita bergerak menyusun kata-kata. Sebab bisa jadi, penggalan
kata-kata yang kita curahkan lewat sosial media kita hari ini, menjadi cara
orang-orang sepeninggal kita mengenali dan menilai diri kita, serta menjadi
satu catatan perbuatan yang kelak harus kita pertanggungjawabkan di hadapanNya.
Pertanyaannya; sebagai sosok seperti apa kita ingin dikenang, dan telah siapkah
kita dengan hujjah di hadapan Allah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)