Minggu, 22 Mei 2011

Kita, Pada Akhirnya


Setiap jiwa akan merasakan mati.

Sebuah ayat yang sudah sangat gamblang mengingatkan kita tentang bagaimana hidup ini memang akan terhenti. Lalu kematian itu, memang merupakan sebuah nasihat yang sangat tepat, ia nyata berada di hadapan kita, ia hanya menuntut waktu kita sejenak untuk menjadi saksinya. Menjadi saksi atas berbagai macam kematian yang silih berganti terjadi dengan atau tanpa kita ketahui.

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan sebuah kabar tentang seorang ummahat yang ternyata telah berpulang mendahului. Beliau masih cukup muda, hanya terpaut lima tahun dengan saya. Dengan seorang anak yang baru berusia empat tahun. Saya mengenalnya dalam sebuah momen kebersamaan empat hari tiga malam. Selanjutnya, perjumpaan kami terjadi saat saya sedang mengalami masa-masa ‘nomaden’, berpindah dari satu halaqah ke halaqah yang lain karena kepadatan jadwal di masa awal-awal kuliah.

Saya terlampau keget mendengar kabar kepergian beliau. Pasalnya, menurut kabar yang dibawa seorang kakak, beliau tidak sakit sama sekali. Tidak ada keluhan apapun yang berarti. Namun, keadaan berubah dengan sangat cepat di akhir-akhir hidupnya. Dan bukankah kita tidak dapat lagi bertanya; mengapa? Saat ternyata takdir itu telah terjadi. Dan memang; Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Namun terlepas bahwa maut adalah sebuah misteri. Entah mengapa beliau terlihat telah mempersiapkan banyak hal; rencana memberi makan anak yatim yang ia utarakan kepada suaminya, wasiatnya untuk menyumbangkan semua jilbabnya kepada akhwat saat ia telah tiada, dan permintaannya agar penyelenggaraan jenazahnya kelak dapat dipercepat.

Beberapa hari yang lalu pula, saya kembali mendapatkan kabar kepergian seorang akhwat. Umur beliau juga hanya terput lima tahun dari saya. Saya tidak terlalu mengetahui cerita tentangnya. Namun, yang saya tahu, kesamaan diantara dua orang yang pergi ini adalah; insya Allah mereka meninggal dunia dalam keadaan masih dalam keistiqamahan.

Subhanallah.

Saya teringat sebuat pesan singkat yang hadir di layar ponsel saya. Seorang saudari membagikan nasihatnya; Saat rasa malas datang, saat keinginan mundur dari jalan kebaikan menerpa, saat godaan maksiat terus terdengar, cukuplah ingat; bagaimana jadinya jika ternyata saat itulah kita akan dipanggil olehNya. Su’ul khatimah. Naudzubillah...

Maka kembali terngingang bagaimana nasihat seorang kakak di sebuah lingkaran majelis di akhir senja; Selagi masih ada waktu, berbuat baiklah, sekecil apapun ia. Sebab kita tidak tahu, kapan kesempatan ia akan pergi. Kapan waktu kita akan berakhir. Wallahu a’lam.

(Makassar, 23 Mei 2011)

*Jeda waktu antara tulisan ini selesai dan waktu mempostingnya, terlewat lagi dua kabar tetangga yang meninggal, seorang bapak dan seorang anak kecil. Takdir itu, seolah menegaskan bahwa kita memang harus banyak mengingat pemutus segala angan-angan; kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)