Sabtu, 24 Desember 2011

Aceh, Aku Masih Mengingatmu



Jika kau bertanya, apa kejadian yang paling tidak terlupakan di akhir tahun, di bulan Desember, maka saya akan menceritakan tentang hal itu. Tentang sebuah kejadian di sebuah pagi pada dua puluh enam Desember dua ribu empat yang lampau. Saat itu saya masih duduk di bangku SMP, sepertinya. Kabar beritanya pun sebenarnya baru saya dengar beberapa hari setelah petaka itu terjadi. Namun, hal itu tidak pula mengurangi kesan yang selalu muncul setiap tanggal itu berulang. Saya mengingat Aceh, dan Tsunami yang pernah menerjangnya.

Itu mungkin menjadi bencana alam yang paling dahsyat yang pernah kita saksikan. Saat berbagai macam material; mobil, pohon, kayu-kayu besar, bahkan rumah yang kokoh ikut terhanyutkan dalam kerasnya arus air yang terjadi. Ya, air yang dalam kondisi normal mungkin menjadi hal yang tidak terlalu mendapat perhatian kita. Namun hari itu, kita dapat dengan terbelalak menyaksikan, bagaimana jika kuasa Allah telah terjadi. Maka, berjatuhanlah korban jiwa hingga ratusan ribu nyawa. Seketika, anak kehilangan orangtuanya, ibu kehilangan anaknya, dan mungkin, sebuah generasi telah lenyap seketika.

Saya, mungkin tidak punya koneksi apapun dengan tanah serambi Makkah, kecuali karena nama depan saya yang mirip-mirip dengan pahlawan wanita dari tanah Aceh itu; Cut Nyak Dien. Tapi, entah mengapa saya selalu merasa terenyuh jika kembali diingatkan tentang kejadian itu. Dan pada masa tersebut, saya selalu menghabiskan hari sepulang sekolah dengan menyaksikan tayangan MetroTV yang memang paling sering memberikan informasi terbaru tentang bencana tersebut.

Di sana, saya menyaksikan bagaimana Najwa Shihab tidak mampu lagi menyembunyikan air matanya demi menjadi saksi begitu banyak nyawa yang hilang, begitu banyak nyawa yang melayang; seketika! Saya juga sempat menyaksikan tayangan seorang anak kecil yang berdiri di sebuah titik, dan sangat enggan beranjak dari sana sebab ia menunggu ayahnya bangun. Ayahnya, yang terkapar tanpa nyawa di hadapannya. Ah, terlalu banyak air mata dan kepedihan. Terlalu banyak hati yang kehilangan. Mayat-mayat tanpa busana, yang jika terlambat ditemukan maka akan tinggal membusuk atau jadi santapan anjing. Lalu, ditengah itu semua, Allah kembali menunjukkan betapa kecilnya kita, lewat masjid-masjid yang tetap berdiri kokoh ditengah puing-puing yang hancur di sekelilingnya.



Setahun kemudian, dalam sebuah event Penulis Masuk Sekolah, sekelompok penulis menghadiahkan saya sebuah buku; Aceh Dukaku, Sebuah Tanda Kabung. Bersama ketiga buku luar biasa lainnya, beliau-beliau memberikan buku yang begitu menyentuh tersebut, setelah saya menuliskan dan membacakan puisi di hadapan mereka. Ya, Aceh Dukaku memuat beberapa puisi dan esai yang memotret keadaan Tsunami Aceh; kegetiran, kesedihan, kehilangan, bahkan secercah harapan yang masih tersisa.

Maka saya tidak peduli bahwa tahun akan segera berganti. Namun bangsa kita agaknya harus diingatkan, bahwa sebuah peristiwa besar seharusnya selalu membuat kita tersadar, memberikan sebuah pelajaran, bukan untuk mengumbar luka lama, tapi untuk menjadi cerminan, bahwa kita pernah mengalami sebuah kehilangan yang besar. Bahwa kita pernah ditegur dengan teguran yang teramat keras. Lalu, kapan kita akan tersadar? Apakah kita sedang menunggu teguran berikutnya datang? Naudzubillah...

Kisah Seorang Penjual Kafan

Oleh: M. Aan Mansyur

Tidak seperti di kiri dan di kanan

Tokonya selalu sepi pelanggan

Meski ia juga menjual kain

Seperti toko-toko yang lain


Kalau ada orang yang mati

Apalagi penguasa yang suka korupsi

Ia sungguh bersenang hati

Sebab kainnya laku dibeli


Begitulah dari jaman ke jaman

Ia hanya berjualan kain kafan

Agar hidupnya bisa terus berjalan

Dan anak istrinya bisa makan


Semalam ia lihat dari tv disiarkan

Di Aceh sebuah musibah datang

Dimana-mana mayat berserakan

Mengiris hati, sungguh menyedihkan

Ia menangis, dan berucap pelan,

“Sungguh, itu bukan doaku, Tuhan!”

(Aceh Dukaku, pg. 144)

2 komentar:

  1. Saya juga selalu ingat peristiwa ini :(
    selalu bayangkan bagaimana klo ada k' di posisi mereka saat itu :(
    Sudah baca bukunya tere liye yg hafalan shalat delisa? klo belum, bacami. atau sekalian pergi ke bioskop nntn filmnya..sedikit banyak bercerita tntang peristiwa ini.

    *eh, atau jgn2 sudah mi kita baca bukunya n tonton filmnya ;D

    BalasHapus
  2. @MamaRani: Belum baca novelnya pun nonton filmnya, dek. Kayaknya cuma bakal tunggu sampai ditayangkan di tipi :p

    BalasHapus

Terima kasih sudah berkunjung. Jika kamu berkenan meninggalkan jejak di kolom komentar, lebih baik lagi :)